🥀 Tujuh 🥀
Dalam sebuah ruangan yang begitu gelap, hanya cahaya oranye yang mampu memberikan mereka cahaya. Arbei tengah sibuk dengan laptopnya. Sementara di sisi lain, Robert nampak mengigit lidah bagian bawahnya, mondar-mandir seperti orang yang tengah kebingungan.
"Kau sudah menemukannya?" tanya Robert yang nampak panik. Arbei diam menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan oleh Robert. Matanya masih fokus pada layar monitor, sementara jarinya terus menekan layar keyboard.
Robert nampak kesal karena dihiraukan oleh Arbei. Ia memutuskan mengambil sebuah peta yang tergulung di dalam kotak kayu berwarna merah. Ia meletakan peta itu di atas meja kayu yang nampak sudah usang. Dibukanya lebar-lebar peta tersebut hingga menunjukan beberapa gambar pulau dan samudera di dalamnya.
Robert mengacak-ngacak rambutnya sendiri pertanda frustrasi. Ia menyerah, dan kembali lagi bertanya pada Arbei.
"Kenapa ini? Jam tangan ini mengatakan ada pulau di tengah Samudera Pasifik, tetapi nyatanya?" Robert menjeda perkatannya. "Di peta tidak ada apapun. Bagaimana pendapatmu?" lanjut Robert dengan memberikan pertanyaan bertubi-tubi.
"Selesai!" kata Arbei, kemudian menutup laptopnya. "Apa maksudmu, Robert? Jam yang dirancang oleh Bubblegum itu peta yang sesungguhnya. Di jam tangan itu, dapat menunjukan suatu tempat, yang bahkan para Ilmuwan tidak dapat menemukannya."
"Ya... ya, aku tahu! Tapi, maksudnya bagaimana cara kita bisa sampai ke pulau itu? Di jam tangan ini, pulau itu tidak bernama. Tidak mungkin, kita bisa berangkat ke sana menggunakan portal." Robert nampak cemas lalu kembali menggulung peta yang ia letakkan tadi.
Arbei menghela napas lembut. "Tenang saja, Robert! Aku sudah mencari informasi, ada sekelompok mahasiswa dari universitas swasta akan melakukan penelitian ke Samudera Pasifik. Aku sudah meminta izin pada mereka untuk menumpang ikut," jelas Arbei.
Kedua bola mata Robert membulat, senyuman kini terukir jelas di wajahnya. "Serius? Lalu, apakah kita boleh ikut?" tanya Robert antusias.
Arbei merapikan laptopnya, beranjak pergi dari ruangan tersebut. "Kita tidak boleh ikut." Arbei tersenyum lebar menampakan deretan giginya, sembari memegang gagang pintu hendak pergi.
Robert terdiam. "Tu-tunggu... apa maksudmu?" Arbei tertawa jahil, kemudian pergi meninggalkan ruangan beserta Robert.
"E-eh... Arbei! Berani sekali, kau main-main denganku, hah!" Robert kemudian berlari, untuk mengejar Arbei yang sudah pergi mendahuluinya.
🍃🍃🍃
Azura mengigit bibir bawahnya, dengan mata sembab dan pipi yang merah akibat habis menangis. Ia terus melamun di depan api yang menyala. Melihat Azura yang seperti itu, membuat Bubblegum iba, tetapi tak dapat melakukan apa pun.
Bubblegum mengambil ranting-ranting yang sedari sore mereka kumpulkan, untuk membuat api supaya tidak padam. Ia mendekatkan posisi duduknya untuk lebih dekat dengan Azura. Bubblegum membelai rambut Azura lembut, membuat Azura menoleh karena-nya.
"Bagaimana ini, Bubblegum. Ini hari pertamaku bekerja, tak kusangka aku akan seceroboh ini." Mata Azura kembali berakaca-kaca, sebelum akhirnya air bening menetes perlahan ke pipinya.
Bubblegum menarik tubuh Azura pelan dan menyenderkan kepalanya di bahunya. "Tenang saja, paket itu pasti aman. Kita tadi sudah melihat di peta, kalau paket itu masih utuh dan baik-baik saja. Jadi tenanglah, kita akan melanjutkan perjalanan kita esok hari."
Azura menarik kepalanya dari senderan bahu Bubblegum. "Hmm... kau benar. Barang itu tidak akan apa-apa. Mari kita lanjutkan besok!" Azura menyeka air matanya dengan kasar. Kini semangatnya sudah kembali pulih seperti semula.
🍃🍃🍃
Embusan angin, dan suara ombak laut yang begitu menentramkan telinga, membuat Robert dan Arbei betah berlama-lama di atas deck kapal yang sedang berlayar. Tidak cukup besar emang kapal yang mereka tumpangi, tetapi itu cukup bagi mereka berdua.
Langit yang begitu biru membawa ketenangan bagi keduanya, ditambah dengan taburan burung yang berlalu-lalang, membuat mereka enggan beranjak dari sana.
"Andai saja kita mengetahui nama pulau yang berada di tengah Samudera itu, sudah pasti kita tidak akan bisa menikmati keindahan alam ini," kata Robert membuka percakapan.
"Tetapi, jika kita tahu, kita akan menggunakan portal dan tidak perlu susah payah mencari tumpangan seperti ini, 'kan?"
Mereka begitu khidmat menikmati tiap belaian lembut dari angin dan embusan ombak, hingga tak sadar seorang wanita tengah berjalan menghampiri mereka dengan membawa dua cangkir kopi.
"Kalian sungguh menikmati perjalanan ini. Minumlah kopi hangat ini untuk menambah suasana lebih nikmat," kata wanita itu membuat kedua pria itu menoleh. Diambilnya satu-persatu kopi itu dari tangan sang wanita.
"Terima kasih, Afika. Selain memberikan tumpangan, kamu juga berbaik hati kepada kami, 'orang asing' yang bahkan baru mengenalmu beberapa jam yang lalu." Arbei tersenyum sembari meniupi kopi itu perlahan.
Afika tertawa. "Tak apa. Kami senang dengan orang baru, kami juga senang jika dapat bertukar pengalaman dan berkumpul bersama dengan orang baru," jawabnya sembari ikut bersandar pada besi yang membatasi deck kapal.
Robert meneguk kopi itu perlahan, lalu menyimpan kembali kopi itu di tangannya.
"Ngomong-ngomong, penelitian apa yang akan kalian lakukan?" tanya Robert penasaran.
Afika masih menatap lurus ke arah laut, setelahnya menoleh untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Robert.
"Bisa dibilang kami di sini untuk menemukan hewan langka yang dikabarkan sudah punah. Dan kami, ingin membuktikan kebenaran itu."
"Kau memburu Hiu Megalodon?" tanya Robert polos. Hal itu sontak membuat Afika dan Arbei tertawa dibuatnya.
"Temanmu sungguh lucu, Arbei. Tentu saja bukan Hiu Megalodon, tetapi kami ke sini untuk menemukan ikan duyung," jelasnya membuat Robert dan Arbei saling menatap.
"Kenapa? Kalian berdua kaget? Ikan duyung-- maksuduku Putri duyung itu memang benar ada! Kemarin, kami menemukan sirip dari ekor mereka. Aku harap kali ini, dapat bertemu dengan mereka langsung dan mengabadikan mereka dalam sebuah buku." Perkataanya nampak halus hingga membuat Robert ingin sekali memberikan pertolongan padanya. Lalu ia teringat dengan tujuannya kemari, untuk mengantar barang pada putri duyung.
"Kau ingin ikut dengan kami?" tawar Robert pada Afika.
"Kemana?"
"Untuk bertemu putri duyung," ucap Robert lagi-lagi dengan polosnya. Dengan reflek Arbei menarik lengan Robert dan sedikit menjauh dari Afika.
"Bodoh! Apa yang kau katakan?" Bisik Arbei pada Robert.
"Ish! Diamlah! Aku punya alasan untuk itu. Itu akan menaikan popularitas perusahaan kita, lebih ramai lebih bagus," ucap Robert membalas bisikan Arbei.
"Tapi, kita tidak akan leluasa menggunakan kekuatan kita. Bodoh!"
"Aku bisa menanganinya. Serahkan semuanya padaku," ujarnya percaya diri.
Robert dan Arbei kembali berjalan mendekati Afika. "Ehem! Kau boleh ikut dengan kami, tapi ada dua syarat," kata Robert menatap Afika serius.
"Apa itu? Aku akan menepatinya," jawab Afika yakin.
"Pertama, hanya dua dari kalian yang boleh ikut dengan kami. Kedua, kalian harus merahasiakan apapun tentang kami berdua. Jelas?"
Afika mengangguk cepat. "Baik, aku akan menerima itu." Afika nampak senang dengan pernyataan yang diberikan Robert. Dengan wajah sumringah, ia kemudian berlari kecil meninggalkan Robert dan Arbei yang masih berdiri tegak di deck kapal.
🍃🍃🍃
Napas Blackburry terengah-engah sembari memegang pedang besi di tangannya. Ia kembali bangkit dari kelelahannya, bersiap-siap dengan kuda-kuda khas yang ia gunakan.
"Hia...." Teriak Blaclburry menghunuskan pedangnya pada pedang milik Gelltain.
Cling cling cling!
Suara dua pedang berbenturan terdengar begitu linu di telinga. Di tengah padang rumput yang begitu luas, mereka tengah beradu pedang dengan begitu lincah. Satu goresan belum pernah mengenai Gelltain. Tetapi, puluhan goresan sudah berkali-kali melukai tubuh mungil Blackburry.
Hingga tak sanggup lagi untuk berdiri, Blackburry tersungkur di tanah dengan keringat dan darah yang saling menyatu. Gelltain segera membuang pedangnya, dan memberikan penyembuhan pada Blackburry.
"Wahai roh angin yang berembus, bantulah aku, Gelltain. Peri dari Moonligh Island datang untuk menyembuhkan puluhan luka yang telah kuperbuat." Gelltain mengoleskan cahaya hijau dari tangannya pada luka-luka yang berada di tubuh milik Blackburry. Dalam hitungan detik, luka-luka tersebut kembali tertutup rapat. Nyeri dari hunusan pedang juga tak lagi terasa, sehingga membuat Blackburry kembali ceria dan tersenyum karenanya.
"Kalian berdua, awas!" Teriak seorang pria tiba-tiba membuat Gelltain dan Blackburry menoleh dan memejamkan mata, berharap traktor sawah itu tak melindas mereka.
Mereka berdua membuka mata perlahan, melihat seorang pria dengan tubuh gemetar tengah duduk di dalam traktor itu.
"Kau sudah gila, hah?" teriak Gelltain membuat pria itu turun menghampiri mereka.
"Maafkan aku. Aku baru saja menyelesaikan event dan mendapatkan traktor ini. Saat aku memakainya, ternyata sulit sekali untuk menggunakannya.
"Tch... maaf saja tidak akan pernah cukup," ucap Gelltain menekankan nada intonasinya.
"Kalau begitu, apa yang kalian inginkan?"
Gelltain dan Blackburry tersenyum sinis. Tatapan mereka begitu kejam, sehingga membuat pria itu menggigil ketakutan karena tatapan dua wanita di depannya.
🍃🍃🍃
Pagi di luar pertama kalinya untuk Azura. Kala itu, matahari fajar begitu indah untuk Azura lewatkan. Seolah beban yang ia tanggung hilang, ia kembali tertawa lebar dan mengabadikan momen itu lewat ponsel yang ia bawa.
"Azura. Apa yang kau lakukan? Ayo cepat, kita akan segera bergegas!" teriak Bubblegum yang tengah sibuk merapihkan sisa makanan dan bekas api unggun semalam.
"Iya, aku akan segera ke sana." Azura berjalan untuk mengambil tas punggung yang ia bawa.
"Ayo!" Azura tersenyum lalu melangkah meninggalkan tempat yang semalam mereka huni.
Jalanan berlumpur, hewan-hewan melata, hewan beracun, bahkan hewan langka, berhasil ia lewati. Perjalanan sejauh tiga kilo meter, telah mereka tempuh. Bubblegum melihat jam tangannya lalu memperbesar monitor itu hingga menjadi monitor transparan yang berada di depannya. Panah berwarna merah, menandakan lokasi dirinya. Sedangkan titik berwarna biru menandakan paket yang akan diantarkan.
"Kita harus berjalan sekitar dua kilo meter lagi, untuk mencapai barang itu," ucap Bubblegum memberikan informasi, sembari terus melangkah melewati semak-semak belukar.
"Sebentar lagi!" Azura nampak semangat setelah mengetahui hal itu.
Perjalanan dua kilo meter telah mereka tempuh, hingga akhirnya terlihat sebuah pemukiman warga. Mungkin itu sebuah desa, karena nampak ramai di sana. Untuk itu Bubblegum dan Azura mempercepat langkah mereka untuk segera sampai ke pemukiman tersebut.
Penduduk yang berada di desa tersebut menatap Bubblegum dan Azura heran. Tak berhentinya penduduk di sana berbisik-bisik saat menatap mereka.
Tak!
Panah melesat dengan begitu kencangnya, hingga memotong sedikit rambut Azura. Karena hal itu, membuat Azura dan Bubblegum diam mematung di sana sembari dikerumuni para penduduk. Napas mereka seolah berhenti berhembus, jantung mereka juga berdegup begitu kencang, memompa darah dengan begitu cepatnya.
🍃🍃🍃
Tbc
Cerita ini hanya cerita yang mengandung unsur Aprilmop di tanggal 1 april ini:v
See you :*
Senin, 1 April 2019 oleh Mikurinrin_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro