Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🥀 Sepuluh 🥀

Istana berwarna perak itu begitu menjulang dengan megah. Begitu dingin menusuk tulang, ditambah dengan banyaknya pepohonan, membuat istana itu semakin dingin, namun sejuk.

Kini, Arbei bersama yang lainnya tengah menerima jamuan makan di istana. Dengan lahap, Robert memakan makanan yang disajikan, begitu pula dengan Afika dan Zainal.

Arbei mengambil kotak yang berada di sampingnya.

"Tuan Putri, tandatangani di sini. Dengan begitu, tugas kami selesai." Arbei memberikan kotak dan pena pada Zowela. Zowela menandatangani kotak tersebut dan membuka isinya.

Sebuah sisir. Seketika, air mata Zowela mengalir. Buliran halus itu berubah menjadi mutiara bening.

"E-eh... sudah jangan menangis, Putri!" Afika memberikan sapu tangan pada Zowela.

Setelah diberikan rumput laut ajaib, Afika dan Zainal memang sudah mengerti bahasa yang diucapkan di pulau tersebut.

Zowela mengambil sapu tangan tersebut, kini tangisannya sudah berhenti. Tidak ada lagi mutiara yang berjatuhan.

"Apakah, kalian mau mendengar ceritaku?" tanya Zowela dengan raut muka sayu.

"Ya! Tentu saja, kami bersedia!" tegas Afika.

"Dulu, ketika aku masih kecil,"

Flashback, Zowela pov

Malam itu, ketika aku selesai mandi dan sedang menyiris rambutku, tiba-tiba saja, seseorang mengenakan topeng masuk dengan paksa ke dalam kamar asramaku.

Ya, kali itu aku memang masih bersekolah. Tentunya, di sekolah khusus bangsawan.

Seseorang itu menodongkan belatinya pada leherku. Ketika itu, wajahku mendadak pucat, jantungku berdegup sudah tak karuan. Perasaan takut ini menghantam jiwaku.

"Zowela, jadilah tunanganku! Maka kau akan hidup!" kata lelaki itu berbisik pada telingaku.

Aku diam tak menjawab, karena gelagapan. Keringatku mulai mengucur, tak tahu apa yang harus perbuat kala itu.

"Jawab sekarang, kalau tidak nyawamu taruhannya!" Lelaki itu makin mendesak diriku.

Aku memejamkan mata perlahan, mencoba berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan? Saat itu pikiranku sudah campur aduk. Aku hanya bisa berharap dan memohon semoga do'a-ku terkabul.

BRAK!

Seseorang tiba-tiba membuka pintu dengan keras, membuatku sedikit bernapas lega. Aku harap dia mau membantuku.

"Apa yang kau lakukan, Lucky? Sudah aku bilang, untuk tidak melukai seseorang yang kau suka!"

Eh... tunggu? Apa maksudnya? Apa dia adalah teman si lelaki bertopeng ini? Apa yang harus kulakukan. Padahal aku sudah mengira, dia adalah pahlawanku.

"Ah, Zero. Berhentilah mengangguku, ini urusanku! Bukan urusanmu!" Lelaki bernama Lucky itu sedikit melonggarkan belatinya dariku.

"Bukan seperti itu caranya kawan. Kau harus dengan lembut untuk mendapatkan hati wanita, bukan dengan kekerasan seperti itu."

"Diamlah! Sana kau pergi, dasar bajingan tampan!" teriak Lucky memberikan perintah.

"Julukan itu lagi, ya? Baiklah aku akan pergi! Tapi, aku ingin berbicara terlebih dahulu dengan Nona Zowela," pintanya sembari tersenyum sinis, aku dapat melihat dirinya dari pantulan cermin.

"Sudah cukup kau merampas kerajaanku, jangan pula kau rampas seseorang yang penting untukku!"

"Itu salah sendiri. Ayahmu terlalu egois, tak memerhatikan rakyat. Rakyatmu mengadu pada kerajaanku. Apa kau tidak malu, hah?"

"Sudah cukup, dasar keparat!"

Perdebatan makin memanas kala itu. Adu mulut begitu terdengar dengan jelas, memantul di dinding kamar ini. Entah kenapa, lorong asrama kala itu sepi, mungkin karena saat itu sudah malam.

"Lepaskan Nona Zowela, Lucky!" pekik Zero masih dengan kesabaran.

"Aku bilang, jangan menganggu!" tolak Lucky tak kalah dengan nada begitu keras.

Bugh!

Satu pukulan mendarat di wajah Lucky, membuat dia melepaskan cengkaraman tangannya dari leherku. Akhirnya, dengan sedikit memar di leher, aku bisa beenapas lega.

"Tch... percuma! Kali ini kau menang, Zero! Lihat saja nanti, aku pasti menang!" ancam Lucky, kemudian pergi meninggalkan kamarku.

Zero menghampiriku, kemudian melihat leherku yang nampak memar.

"Ini pasti sakit, kan? Pergilah ke ruang pengobatan, sebelum tambah parah!" perintahnya. Aku hanya mengangguk.

"Putri duyung sepertimu, memang menjadi banyak incaran di dunia ini, berhati-hatilah."

Seketika aku terdiam. Mataku sudah berkaca-kaca. Tanpa sadar, aku memeluk Zero. Aku menangis di pelukannya, air mata yang sudah berubah menjadi mutiara, aku tak memerdulikannya.

Dia membalas pelukanku, dan mengelus rambutku dengan lembut, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukan itu.

"Terima kasih," kataku dengan suara serak. Zero hanya tersenyum.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Sebenarnya, hanya dirimu yang aku inginkan. Tapi, maaf aku tidak bisa. Kita tidak mungkin bersama," ucapnya, kemudian pergi meninggalkan kamarku, membiarkan aku sendirian termenung dan terus mencerna apa yang ia ucapkan tadi.

Keesokan harinya,

Setelah pelajaran selesai, dengan didampingi dayang istanaku, aku meminta izin kepada pihak sekolah untuk masuk ke asrama putra, untuk menemui Zero. Setelah mendapatkan izin, aku mencari letak kamarnya. Kamarnya berada di pojokan, tak sulit untuk mencarinya.

Ketika aku akan mengetuk pintu kamar, pintunya sudah dibuka terlebih dahulu dari dalam, kemudian menampakan seseok pria berambut abu-abu, acak-acakan. Ia nampak melonjak kaget, karena menemukan seorang wanita berada di depan kamarnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Zero mengerutkan keningnya begitu kebingungan, sembari melirik dayang-ku satu persatu.

"Bolehkah kita berbicara sebentar?"

"Boleh saja, silahkan masuk ke dalam." Zero mempersilahkan aku masuk ke dalam. Aku ingin berbicara berdua dengan dirinya, sehingga aku memerintahkan para dayang untuk menunggu di luar.

Kamarnya terlihat luas dan rapi untuk seorang pria. Banyak sekali buku-buku di kamarnya ini, dan juga kamar ini terkesan simpel, tidak seperti kamarku yang acak-acakan karena penuh barang-barang.

Aku dipersilahkan duduk di lantai, dengan karpet dan sebuah meja kecil terbuat dari kayu. Di atasnya terdapat buah jeruk pada keranjang buah. Dia juga menuangkan teh untukku.

"Sekali lagi, aku ingin mengucapkan terima kasih, karena telah menyelamatkan hidupku," kataku membuka topik setelah menyeruput teh dari gelas.

"Bukan masalah."

"Sebenarnya, tujuanku datang kemari, adalah ingin bertanya. Apa maksud perkataanmu kemarin itu?" tanyaku langsung to the point.

Zero meniup teh yang masih panas itu, lalu ia minum perlahan. Setelahnya ia kembali menyimpan gelas teh di atas meja, kemudian terkekeh geli. "Oh... itu, ya."

Dia nampak berpikir sejenak. Lalu menatap manik mataku dalam.

"Zowela, terkadang hidup itu tidak semuanya dapat kita genggam dengan mudah bukan? Perasaan mencintai orang lain itu sangatlah sensitif. Meskipun dia musuhmu, atau bahkan dia itu memiliki sifat yang buruk yang tanpa kita ketahui, kita akan tetap menyukainya bukan?"

Kedua halisku saling bertautan. Tanda tanya besar sepertinya terpampang jelas di wajahku.

"Sepertinya kau tidak paham. Apakah kau tidak ingat siapa diriku? Ini aku, seseorang yang dulu kau selamatkan ketika tenggelam."

Aku menatap heran. Kemudian mulai mengingat kejadian yang pernah menimpa diriku ketika aku masih kecil. Terlintas di pikiranku, dulu aku memang pernah menyelamatkan seseorang yang hamlir tenggelam, tapi aku lupa bahwa itu adalah dirinya.

"Mungkin kau sudah lupa. Dulu kau memang menyelamatkanku, dan membawaku kembali ke kapal keluargaku, beruntung saat itu ayahku bertanya siapa namamu. Setelah bertaun-taun aku mengingat namamu itu, beruntung rasanya dapat bertemu lagi dengamu setelah sekian lama."

"Lalu, kenapa kau tidak memberi tahuku?"

Dia kembali meneguk teh dari gelasnya hingga habis.

"Bukannya aku tidak mau mebertitahu. Tapi, aku takut, perasaanku padamu jatuh terlalu dalam."

"Lantas? Apakah kau tidak mau, hidup bersamaku?" Nada bicaraku mulai meninggi. Aku geram karena dia menyembunyikan perasaan sebesar itu dariku.

"Hati tak bisa dibohongi. Peralahan aku mulai menyukaimu, Zowela. Diam-diam aku perhatikan tingkah lakumu hari ke hari, tapi aku terlalu pengecut untuk menampakan diri."

"Sebelumnya, aku tidak pernah menyukai siapa pun. Tapi, semenjak kejadian malam tadi, sepanjang malam hatiku selalu berdegup kencang tiap kali mengingat wajahmu. Bahkan aku tak bisa tidur karena terus mengingat wajahmu."

Zero tersenyum, tapi matanya menampakan kesedihan. "Aku senang, kau juga tertarik padaku, tapi maaf, kita tidak akan pernah bersama."

"Kenapa?"

"Karena kerjaan kita itu, berumusuhan," jelasnya membuat otak-ku tak mampu mencerna perkataan yang begitu jelas. Kala itu aku tak mengerti apa yang ia katakan.

"Aku tak peduli, Zero. Bagaimana pun caranya, kau harus melamarku ketika aku keluar dari sini. Dan untuk saat ini, kita kesampingkan dahulu masalah kerajaan."

"Ini sangat berbahaya untukmu, Zowela. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu."

"Kenapa kau tidak memperjuangkanku! Kau memang pengecut! Musuh kerjaanku adalah kerajaan Artatte. Kerajaan kalian itu bukankah kerajaan yang besar nan kejam? Bagiamana mungkin, putra mahkota sepertimu, tidak dapat berdamai dengan kerajaan kecil milkku," tuturku keras kepala.

"Itu suatu hal yang berbeda. Tidak mudah melalukan perdamaian dengan kerajaan lain!"

Aku merogoh saku dari pakaian yang aku kenakan.

"Pokonya aku tak peduli! Kuberikan sisir ini untukmu, gunakanlah ini ketika akan melamarku!"

Aku berdiri dari sana, lalu meninggalkan kamar itu dengan segera.

Dari sana, diam-diam kami selalu bertemu dan berbalas surat untuk mengusir rasa rindu. Ketika aku sudah kembali ke kerajaan, kami juga tak pernah berhenti saling berbalas surat. Hingga akhirnya, hari ini tiba. Dia sungguh memberikan aku sisir ini.

Flashback end

Setelah Zowela menceritakan itu, suasana di ruangan itu hening dan canggung. Arbei dan yang lainnya, cukup lama mencerna inti dari cerita itu.

Kisah yang ia ceritakan cukup membuat mereka bingung. Untuk mencairkan suasana, Robert membuka obrolan.

"Wah, selamat ya, Putri. Sebentar lagi, kau akan dilamar."

"Iya selamat Tuan Putri," timpal Afika.

"Terima kasih, atas ucapan kalian, dan juga karena mau mendengarkan ceritaku."

"Ah tidak mengapa, lagian kami luang, kok." Arbei mencova tersenyum renyah untuk memberikan kesan yang baik.

Setelahnya, suasana kembali hening.

🍃🍃🍃

Semua peserta baru kini telah kembali dengan selamat di "Moonglight Courier" semua nampak lesu, tapi masih bersikap tegas.

Pakaian yang Azura kenakan nampak kotor, karena terlalu betah bermain di hutan. Blackburry nampak ceria ketika sudah kembali, karena ia mendapatkan permata Rubi. Dan Arbei nampak biasa saja.

"Baiklah, selamat datang kembali di sini. Aku bersyukur, misi pertama kalian diselesaikan dengan sangat baik. Kita tepuk tangan!" Aries menyambut kembali kedatangan semua orang yang diberikan misi sebelumnya. Semua orang di sana bertepuk tangan.

"Aku jamin, kalian semua pasti lelah bukan? Karena kalian lelah, maka aku akan berbicara secara langsung saja. Berhubung, ini adalah misi pertama kalian, dan kalian dinayatakan lulus. Maka dengan itu, satu minggu kedepan kalian akan beristirahat, lalu, kalian akan melakukan pelatihan untuk benar-benar menjadi seorang kurir di Moongliht Country," jelasnya dengan singkat.

"Gunakan satu minggu untuk beristirahat dan bersiap-siap untuk kamp pelatihan." Robert menambahkan.

Azura, Arbei, dan Blackburry saling menatap.

"Eeh...!" teriak mereka kompak.

🍃🍃🍃

Hallo guys, misi pertama telah berhasil mereka jalankan. Untuk selanjutnya akan ada kamp pelatihan untuk para calon kurir Moonlight, di negara bernama Moonlight Country.

Bagaimana mereka menghadapi kamp pelatihan itu? Bagaimana juga Azura mengatasi berbagai rintangan di kamp pelatihan?

Nantikan di chapter berikutnya:)

Senin, 22 April 2019 oleh Mikurinrin_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro