Persiapan Pembawa Bencana-4
Lamat-lamat, Azura tatap sekeliling ruangan itu sembari tertawa puas. Begitu banyak barang antik, terutama barang peninggalan manusia purba. Sungguh, ruangan yang gelap ini, seperti sebuah musium.
Azura lalu menarik tali yang megantung, tepat di hadapannya. Kini, ruangan ini menjadi lebih terang, berkat cahaya oranye dari lampu.
"Sebenarnya, siapa dia ini? Padahal, warga lain belum ada yang mengenakan lampu. Lantas, kenapa dia bisa?"
Azura menilik sebuah lukisan- foto, yang terpampang begitu besar, dengan jelas tertempel di dinding sana. Ia berjalan perlahan. Suara telapak kakinya sedikit terdengar, karena menginjakkan kakinya ke lantai beralas kayu ini.
Ia usap foto itu perlahan. Seorang Pria dan Wanita muda, tengah tersenyum mengenakan baju khas para petualang. Tiba-tiba saja, Azura menyipitkan mata, menangkis cahaya dengan telapak tangannya.
Cahaya merah begitu memancar, terkena pantulan sinar lampu. Dengan hati-hati, Azura menghampiri benda yang berada di atas meja, belakang lemari tersebut. Terdapat sebuah patung dengan permata berwarna merah, di keningnya.
"Ketemu juga, kau. Si biang masalah," gumam Azura pelan.
🍃🍃🍃
Sementara itu, Gramada tengah canggung- sesekali menatap- Lisu, perempuan berusia 30-an di depannya. Ia meneguk teh dengan pelan, lalu disimpan kembali di atas meja.
"Ya. Aku hanya ingin mengunjungi rumah para wargaku saja. Tak ada yang istimewa." Gramada tersenyum, hendak berdiri dari duduknya.
Lisu juga ikut berdiri. Ia mengantar, Gramada hingga menuju pintu rumah. Setelah Gramada izin pamit, ia berbalik.
"Tumben, tidak mengenakan aksesoris dengan kepala binatang lagi, di telinga dan lehermu."
Lisu tersenyum kaku. "Perhisanku itu banyak, Ketua. Aku sedikit bosan dengan perhiasan itu. Anting-anting dengan bulu merak ini, juga bagus, bukan?"
Gramada mengangguk, menghormati. Lalu benar-benar pergi dari rumah Lisu.
🍃🍃🍃
Azura tengah bersenandung, melantunkan nyanyian-nyanyian, sembari mengelap patung yang kini sudah berada di atas meja pemujaan. Suara langkah kaki, semakin mendekat, membuat Azura berbalik, dan melihat kedatangan seseorang.
"Ternyata, kau mendapatkan itu kembali." Gramada tersenyum menatap Azura dari ambang pintu.
"Sekarang, kita bisa menyuruhnya mengaku, Paman."
"Apa lagi rencanamu?"
Azura meletakan kain lap di atas meja. Lalu mulai berjalan, dan bersandar di dinding. Ia nampak berpikir dengan menyimpan telunjuk di dagunya.
"Itu dia!" teriak Azura girang.
"Paman, tolong esok hari, suruh seluruh warga desa berkumpul dan membawa bunga pemberianku. Dan jangan biarkan, siapa pun kabur!" perintah Azura.
"Baiklah, seusai permintaanmu."
🍃🍃🍃
Keesokan harinya.
Blackburry tengah rapih mengenakan jas berwarna hitam, dan kemeja berwarna putih. Dengan rambut diikat satu, ia berjalan perlahan mengenakan flat shoes-nya memasuki kantor yang sudah disibukan dipagi hari.
Ia mengingat-ngingat ruangan yang kemarin ia lewati. Setelahnya, ia menyuruh Flayello untuk melihat- tepatnya mengintip, nama dari orang jahat kemarin.
Flayello kembali, dan membisikan nama orang tersebut pada Blackburry. Kini, Blackburry mengangguk, mencari cara, agar bisa masuk ke dalam ruangan tersebut.
Blackburry melihat sudut ruangan, ia melihat seorang pelayan- sepertinya sedang membawa kopi untuk orang jahat. Blackburry lalu tersenyum dan menghampiri wanita tersebut.
"Untuk tuan, Zupi? Bukan?" tanya Blackburry menunjuk kopi yang berada di nampan.
"Iya, anda benar."
"Bolehkah aku membawanya? Sekali saja!" pinta Blackburry. Wanita yang lugu, bermata sayu itu pun berseri. Ia menagngguk dengan cepat. Lalu menyerahkan nampan itu pada Blackburry. Dalam kejapan mata, kini wanita itu sudah tidak ada lagi di hadapan Blackburry.
Blackburry hanya bisa bergeleng. "Dasar aneh!"
Ia kemudian berjalan, hingga akhirnya berada di depan pintu, Zupi- si 'orang jahat' kata Blackburry. Blackburry mengetuk pintu tiga kali, setelahnya dipersilahkan masuk.
Zupi, nampak fokus pada layar monitornya, sebelum menoleh, menatap Blackburry, dengan senyum mengembang di wajahnya. Zupi diam mematung. Ia menelan ludah perlaha, mengikuti arah datangnya, Blackburry hingga kini berada di depannya.
"Tadi, yang mengtarkan kopi sedang sibuk. Jadi mereka menyuruhku." Blackburry menjelaskan.
Zupi baru tersadar. "Tidak apa-apa. Aku justru senang, kau yang membawakan kopi ini untukku. Rasanya, jadi terlalu manis."
Blackburry hanya tersenyum renyah. Padahal hatinya begitu mengumpat. "Dasar pria bajyngan! Sudah menghancurkan hidupku, masih saja mau menggodaku!"
Zupi meletakan kopinya di atas meja, lalu menatap lagi Blackburry. "Kenapa kau, masih berdiri di situ?"
Blackburry terperanjat. Ia tak sadar, dari tadi ia masih di ruangan Zupi. Blackburry membungkuk pamit, hendak meninggalkan ruang tersebut. Baru beberapa langkah ia berjalan, Zupi menahannya.
"Tunggu!"
Blackburry berbalik.
"Kau mau makan siang denganku?" tawarnya.
Blackburry berpikir sejenak. Dalam benaknya, ia tidak sudi harus pergi makan siang dengan pria hidung belang sepertinya. Tapi, tak mengapa. Ini demi terwujudnya tujuan utama.
"Baiklah, aku tunggu di restoran sebrang," kata Blackburry, lalu sungguh meninggalkan ruang tersebut.
🍃🍃🍃
Arbei menguap, sembari menuangkan air panas ke dalam cangkir, berisi bubuk kopi. Setelah cangkir itu penuh, ia berjalan ke luar rumahnya, hanya sekadar menikmati satu cangkir kopi dan membaca koran pagi. Sungguh, inilah kehidupan normal.
Berbllu begitu cekatan, membersihkan ruang tamu yang nampak terlihat sudah rapih, namun berdebu.
Krek!
Suara engsel pintu terbuka. Ketika Arbei melangkah keluar pintu, langsung saja seluruh wartawan yang telah berkumpul di luar gerbang, menggedor-gedor gerbang rumah Arbei.
Ia terperanjat, kaget melihat puluhan wartawan, memenuhi gerbang rumahnya seperti itu.
"Tuan Arbei, tolong buka gerbangnya! Kalau tidak, akan kami buka dengan paksa!" teriak salah satu wartawan.
Selain para wartawan, di luar sana juga terdapat paparzi yang siap memotret Arbei beserta Berbllu kapan saja.
"Ada apa, Arbei?" tanya Berbllu penasaran, karena melihat ekspresi Arbei yang masam.
Arbei masih menempelkan diri pada pintu rumahnya. Perlahan ia tarik nafas, setelahnya barulah ia meneguk kopi, dan menyimpannya di atas meja.
"Apa yang harus kulakukan? Banyak sekali wartawan di luar sana."
Berbllu duduk di bahu Arbei.
"Bagaimana, pakai kekuatan hipnotismu saja. Bisa jadi, mungkin kalau kau banyak belajar mantra lainnya, kamu bisa menggunakan penghilang ingatan."
Mendengar saran dari Berbllu, langsung saja Arbei memanggil Berbllu. Ia hendak bersiap menekan tuts piano.
Nada demi nada, berhasil terlantun dengan indah nan merdu, menyesapkan telinga para pendengar. Arbei begitu menikmati permainannya denga sungguh-sungguh. Karena dalam pikirannya terus menyuruh para wartawan itu pergi, akhirnya mereka semua pergi dari gerbang rumah Arbei.
Arbei membuka mata perlahan, ada satu hal yang ia pelajari kali ini. Ia sadar, saat memainkan piano dia harus memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan hipnotis tersebut.
"Mungkin, sekarang aku bisa menghilangkan ingatan mereka."
🍃🍃🍃
Tbc
Jumat, 3 mei 2019 oleh Mikurinrin_
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro