Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Meet the God of Death


"Aku menemani perjalanan mereka. Menunggu di perbatasan sungai Nil."

-Anubis (Dewa Kematian)

__________________

"Mu- mutan!"

Alexa membelalakkan netranya terkejut bukan main. Kakinya selangkah mundur, sedang ujung tangannya masih menyentuh sisi lorong yang dingin. Bagaimana dia tidak terkejut? Seorang makhluk dengan tubuh tinggi, otot kekar berupa pria dengan kepala serigala ada di depannya. Mutan jenis apa lagi ini?

"Mutan?"

Suara makhluk itu terdengar serak dan berat. Walau tidak melakukan hal mengancam, makhluk ini masih menghampiri Alexa yang lebih terkejut mutan bisa berbicara. "Siapa kau?" tanyanya menyorot waspada makhluk di depan perlahan mulai terdiam, menyadari Alexa sedang ketakutan. Berusaha ramah, makhluk itu mengulurkan tangan.

"Selamat datang jiwa fana."

"Jiwa fana?"

Alexa mengernyit menatap makhluk di depannya, tetap siaga; matanya bisa melihat penampilan makhluk-- entah apa itu kembali menarik tangannya menunduk kecil. Lorong yang gelap, dindingnya terbuat dari lumpur dan tanah liat kering yang tercium samar, ketika menyentuh dinding dia bisa merasakan butiran tanah yang membekas meninggalkan jejak di telapak tangan.

Sementara itu makhluk yang menyebutnya jiwa fana mulai menatapnya lagi dengan kepala serigala-- atau anjing? Terlihat seperti campuran. Tubuhnya yang coklat dan berotot gagah sekali, tapi dengan kepala hitam hewan itu bukan pemandangan yang baik. "Benar, kau jiwa fana yang kini memasuki duat."

Alexa mengerjapkan mata bingung, tidak mengerti, lantas kembali bertanya. "Duat? Apa maksudnya itu?" Untuk sesaat ketenangan menghinggapi ketika mendengar jawaban tenang lawan bicara. Makhluk ini cukup sabar. "Kau berada di Duat, jiwa fana. Jangan takut, aku akan melindungimu di sini dan memimpin jalanmu ke kehidupan selanjutnya."

Alexa menegak ludah mendengar penjelasan yang didapat. Apa? Kehidupan selanjutnya? Tunggu dulu, apa yang dimaksud dia sudah mati?! "Tu- tunggu. Maksudmu aku sudah mati?" tanya gadis itu tercengang, netranya bergetar, ketakutan menyergap membuatnya terdiam kaku.

Alexa bisa mendengar desahan lembut yang keluar dari mulut makhluk ini, kembali bicara tampaknya dia ingin menenangkan Alexa. "Aku tahu sulit bagi orang hidup untuk membayangkannya, tetapi akhirat tidak menakutkan-- jauh lebih indah dari yang dapat kau bayangkan, dan aku akan berada di sana bersamamu sepanjang waktu untuk memastikan kau sampai dengan aman."

Alexa meremas tangannya, astaga, dia sudah benar-benar mati? Untuk beberapa waktu air mata jatuh membasahi pipinya, tapi makhluk itu tidak menginterupsi apa yang dilakukan gadis itu dan menunggunya tenang. Isak kecil terdengar memenuhi sudut lorong yang gelap. Setelah menghapus air matanya kini mereka kembali bersitatap.

"Aku akan menunggu sampai kau tenang." Itu kata-kata yang meluncur dari wajah buas yang sempat ditakuti beberapa waktu lalu, Alexa hanya terkejut dengan fakta dia sudah mati. Siapa juga yang tidak akan terkejut? Sebelumnya dia ada di kamar yang tenang bersama sang sahabat. Dan kini dia berada di lorong gelap yang disebut duat atau dunia orang mati. Tapi, ketika dia menangis, bukan berarti dia benar-benar tidak memiliki harapan. Itu lebih condong menuangkan kesedihan. "Tidak... Tidak... Aku, aku hanya... Tidak tahu harus bereaksi bagaimana," gumamnya memejamkan mata.

"Tidak masalah, kau tidak perlu menahan diri. Bebaskan dirimu." Suara berat itu kembali masuk dalam pendengaran, suaranya bijak dengan perhatian yang asing. Alexa tidak menghitung berapa lama menangis sebelum mengelap pipi dengan lengan piyama doraemon, pipinya basah dibanjiri air mata. "Aku masih tak percaya."

Suara helaan napas terdengar kemudian dia berlutut di depan Alexa yang terduduk berusaha menahan isak tangis. "Tak masalah. Aku akan selalu di sisimu selama perjalanan duat." Alexa perlahan mengangkat wajah, masih sesenggukan akal sehat mulai berjalan menguasai hingga kesadaran menghinggapi. "Ka- kau... Tunggu. Apa kau Anubis? Dewa kematian Mesir?"

Anggukan terlihat sementara senyum menyebar di wajah menjawab pertanyaannya. "Benar. Aku Anubis, Dewa Kematian Mesir." Netra Alexa membelalak. Tunggu, tunggu, tunggu! Walau dia akui menyukai mitologi setengah mati, dia tidak benar-benar percaya mereka itu nyata. "Apa? Bukankah itu hanya mitologi?"

Anubis mengerutkan kening, tidak terima, kemudian menggeleng. Anubis menjawabnya dengan helaan napas. "Bukan begitu, aku yakin pasti kau tahu bahwa alam semesta ini tidak ada karena sendirinya bukan? Bukan berarti penciptaan tidak ada karena itu berubah menjadi mitologi, dongeng-dongeng. Kau bisa menyebutkan bahwa kami sama nyatanya karena menjadi salah satu penjaga aliran kehidupan, pencipta."

"Itu- itu tak pernah kupikirkan. Kupikir... kau tahu? Mitologi memiliki banyak versi..." Alexa bungkam masih kebingungan, sedang sudut matanya mulai mengering. Sekarang dia sudah mulai tenang. Anubis mengangguk sebagai tanggapan. "Aku mengerti, manusia banyak menceritakan mitos soal penciptaan dan lebih sederhananya, kau hanya perlu percaya bahwa yang ada di hadapanmu ini nyata."

Itu terasa mustahil. Alexa mulai bangkit menepuk bagian tubuh yang terkena pasir, kakinya yang dibungkus sendal tidur tertutupi dengan butiran pasir yang dibawa angin, beberapa sudut piyama doraemon juga kotor. Jujur saja di sudut hati masih banyak pertanyaan juga kesedihan. Mengapa juga dia harus mati dengan cepat? Alexa menyesali hal-hal yang terlewatkan.

"Aku mengerti."

Masih tertunduk lesu menepuk pipi dan sudut mata. Alexa menarik napas kemudian mengelap hidungnya yang basah. "Tapi, kenapa aku ada di sini? Bukan aku mengatakan ini palsu. Maksudku, kenapa aku bisa ada di dunia orang mati mitologi Mesir? Aku berasal dari dunia modern, bahkan aku baru tahu mitologi Mesir itu ada."

Alexa bisa melihat lebih jelas, Anubis-- sang Dewa Kematian memegang tongkat yang dibalut kulit binatang, satu tangannya memegang cambuk. Perlahan sinar mulai menyinari dari ujung lorong. Anubis mengulurkan tangan. "Ini rumit, tetapi pada dasarnya, kau ada di sini karena jiwamu sudah sangat tua. Lebih tua dari waktu. Lebih tua dari bintang. Anda adalah jiwa yang diturunkan dan bereinkarnasi melalui banyak siklus."

Alexa masih waspada, tapi tidak ada gunanya menolak kebaikan Anubis. Dia mengangguk, menggapai tangan itu sementara dia bisa melihat ukiran-ukiran khas mesir-- takjub adalah reaksi pertamanya. Anubis tersenyum kembali melanjutkan, "Kali ini kau kebetulan berada di era modern. Dunia telah banyak berubah, tetapi jiwamu akan mengingat tujuannya. Untuk hidup dan mencintai dan belajar selama kau bisa. Itulah tujuan dari semuanya."

"Aku mengerti...." Jiwa yang sangat tua? Apa yang Dewa ini maksud? Bahkan jiwanya lebih tua dibanding bintang-bintang... bahkan waktu. Itu bukankah berarti jiwanya sedikit istimewa? Perasaan Alexa membaik mendengar itu, walau selanjutnya suasana diisi oleh kecanggungan. Tunggu, dia sekarang benar-benar sedang bersama Dewa kan?! Astaga, obrolan apa yang biasanya dilakukan orang lain dengan Dewa? "Terima kasih penjelasannya. Hmmm... Kalau begitu aku harus memanggilmu apa? Dewa?"

Apakah pernah terpikirkan kepala serigala dengan campuran anjing; terakhir seingatnya ketika browsing, kepala itu dinamakan jackal-- anjing gurun tertawa geli. Ya, untuk pertama kalinya dia melihat itu. Anjing tertawa seperti manusia. Terlebih anjing itu menertawakan dirinya yang canggung. "Orang Mesir memanggilku Anubis. Kau juga bisa. Kami tidak pengap seperti orang Yunani dan dewa mereka. Kami sangat informal di sini. Kau bisa memanggilku Anu, Anubis, An, Paman... apa pun yang kau inginkan, sungguh."

"Ah.... Anubis."

Alexa mengangguk-angguk kepalanya, menggaruk pipi malu, setelahnya netra biru gadis itu menelisik lorong yang kian diukir semakin rumit. Ada gambar beberapa bentuk hewan-- burung hantu, kucing, huruf kuno, gambar-gambar sepanjang lorong. Anubis masih menggenggam tangannya ketika mereka terus berjalan melewati melewati lorong.

Anubis mengenakan kain putih dengan bordir emas di sisinya, kain berlapis menutupi bagian bawah pusar hingga lutut. Tangan dan kaki dewa itu terdapat gelang biru juga kuning, terdapat kalung emas tebal dan berat di leher. Satu tangan yang lain menggenggam tongkat juga cambuk sekaligus. Dilihat lebih jelas penggambaran ini benar-benar menunjukkan bahwa ini  Anubis-- Dewa Kematian Mesir.

"Aku senang bertemu denganmu, jiwa fana. Terima kasih telah berbicara denganku dan menunjukkan minat padaku." Ah, Alexa buru-buru mengalihkan pandangan. Apa terlalu jelas dia melihat Anubis? Sepertinya iya, antara masih takjub dan tidak percaya. Menghela napas dia mengibaskan tangan. "Aku senang jika itu sedikit menghibur," jawab Alexa.

"Benar, benar, itu cukup menghibur." Anubis menyeringai tetap menuntun Alexa menuju pintu keluar. Rambut pirang gadis itu diterpa angin bercampur pasir yang tipis, udaranya yang lembap dengan suhu masih dingin membuat Alexa sadar; bukan saja berpindah dunia, tapi dia juga berpindah tempat. "Ini di Mesir?"

"Tepat sekali," jawab Anubis, langkah mereka sudah keluar dari lorong dan mencapai ujung. Alexa tidak bisa untuk tidak terpesona, butiran-butiran padang pasir yang terhampar, piramida menjulang; barangkali menjadi salah satu paling megah dan terkenal, aliran sungai Nil mengalir memanjang-- Alexa bahkan tidak bisa melihat ujung hingga ujung.

"Yang kami banggakan, Mesir," ucap Anubis, kebanggaan terserat nampak jelas. Dagu dewa kematian terangkat, sinar matanya menyorot kebanggaan. Gunung-gunung menjulang, sebuah gurun eksotis menampakkan sinar dari matahari terbit yang mulai masuk dalam peredaran. "Memphis, Armana, Thebes...." Alexa mendengar gumaman Anubis, tidak asing-- nama-nama kota barang sekali yang dia ketahui.

"Dari mana kita berasal?" Kepala jackal bergerak melirik lorong di belakang, seringai senang terpoles kembali menjawab. "Lorong yang mengantarmu kemari. Bagaimana orang-orangmu menyebutkannya di sana? Portal? Hal seperti itu," jelasnya mulai menarik tangan ramping sang gadis.

Langkah mereka tersusun, menapaki pasir selembut sutra, terdapat sengatan dingin yang tersisa semalaman. Sendal kamar merah muda miliknya terdapat butiran pasir, menyentuh jari-jemari kaki geli. Senyum rekah di bibir mulai beranjak mengikuti langkah cepat Anubis. "Ke mana kita akan pergi?"

"Semua kata-kata yang kau lontarkan bukankah itu selalu pertanyaan?" Alexa mengerjapkan mata sebelum terkekeh, menggelengkan kepala. "Karena aku penasaran," imbuhnya. Kepala jackal bergoyang pelan, ketika tersenyum-- Anubis tampak terlihat menyeringai dengan taring-taring yang muncul sedikit. "Tugasku menuntun orang mati, Alexa. Kau lihat ini?"

"Piramida..."

"Ya, piramida. Tempat-tempat ini berupa makam, tempat mumifikasi, tempat orang-orang penting mati tersimpan. Dalam peti yang diukir, membawa mantra yang disiapkan para pendeta Anubis."

Khazanah; ilmu pengetahuan yang memasuki kepala gadis itu membuat netra birunya bersinar mengalahkan mentari yang mulai meninggi. Anubis menarik sudut bibir, menampilkan taring-taring di baliknya melanjutkan. "Mereka tertidur di peti mati setelah mumifikasi akan terbangun, linglung, melupakan jati diri. Tapi, ketika melihat ukiran-ukiran di peti mati mereka tahu kemana harus pergi."

Embusan angin lembap menyapu pipi kemerahan milik Alexa-- seolah lupa dan tenggelam dalam dunia yang dia cintai berupa mitologi. Alexa mendengarkan penuh khidmat dan patuh. "Aku penasaran dengan orang-orang biasa yang mati. Tidak di dalam sini." Alexa menunjuk piramida.

"Mereka semua sama-sama akan mati, dimumifikasi, dimasukkan dalam peti dan dikuburkan. Tapi, mereka tidak membawa harta benda seperti para firaun juga pemimpin mereka."

Alexa masih berjalan di atas pasir... Matahari mulai meninggi, menyengat, Anubis berdiri di sampingnya, menutupi gadis itu dengan bayangan tubuhnya yang besar. "Apa kau menjemput mereka juga seperti yang kau lakukan padaku?" Anubis menggeleng, Alexa bisa melihat kini mereka menyusuri pohon- pohon zaitun, buah-buah itu hijau hampir kekuningan. Tangan coklat dengan kuku tajam Anubis mengambil beberapa buah.

"Aku menemani perjalanan mereka. Menunggu di perbatasan sungai Nil." Alexa hampir melompat sebelum terkikik kecil melihat burung-burung yang jahil menyentuh kepala ingin mengejutkan, salah satunya hinggap di pundak. "Burung bulbul," gumam Anubis menyipitkan mata. Embusan napas lembut terdengar lega dan nyaman. "Mereka menyukaimu."

Alexa menaikkan sebelah alis, terkikik lagi. Ketakutan juga kesedihan sebelumnya perlahan pudar, perjalanan kematian tidak seburuk yang dia pikirkan. Burung-burung bulbul berkicau, burung kecil dengan bulu kuning pudar keemasan, ada pun yang kecoklatan, menari-nari terbang menuju Nil. "Mereka mengantarkan orang mati, teman-temanku."

Alexa mengangguk-angguk kemudian berhenti. Netra mereka berpapasan ketika Anubis terduduk di bawah pohon zaitun... Alexa menengadah menatapmu pohon-pohon yang berdiri di sana. "Kita akan pergi ke Nil," ucap Anubis. Alexa mengerti melirik matahari yang bersinar, wajahnya memasang ekspresi konyol. "Memangnya Dewa bisa kepanasan ya?"

Anubis yang masih duduk di bawah pohon, menyilangkan kaki terkekeh kecil. "Matahari dibawa oleh Ra. Tentu saja aku tidak. Tapi kau bisa jiwa fana." Alexa mendelik, ada seringai main-main di bibir Anubis yang membuatnya tidak yakin. "Ra adalah Dewa tertinggi. Dewa matahari dan pemimpin dari Ennead."

Anubis kembali bangkit, pasir berguguran dari kakinya yang menempel ke tanah. Awan datang menutupi langit dan angin bertiup lembut. Alexa mengikuti langkah kaki dewa itu, kembali berjalan melewati gurun hingga berada di tepi sungai Nil. Sungai kebanggaan Mesir. Alexa menatap takjub pada aliran jernih, airnya segar dan dingin. Tangannya basah menyentuh air sementara ikan-ikan berenang memercikkan air. Alexa tertawa senang.

Anubis kembali memasang ekspresi geli, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. Pandangan Dewa Kematian beralih pada perahu dayung yang menepi. Perahu dayung dengan dua ujung kayu yang dipahat oleh pemahat terbaik Mesir, depan-belakang. Ada beberapa lukisan di badan kayu, sementara kain tipis hampir terawang menutupi bagian atas perahu.

"Alexa."

Bersambung...

Glosarium

Duat: Dunia perjalanan orang mati.

Mumifikasi: Proses pengawetan mayat dalam Mesir kuno melewati ritual panjang yang dilakukan pendeta Anubis yang mengenakan topeng serigala.

Burung bulbul: Burung pipit kecil.

Jackal: Anjing gurun yang mirip dengan serigala.

Anubis: Dewa Kematian Mesir; dewa yang menuntun jiwa-jiwa orang mati.

Ra: Dewa Matahari; pemimpin para Dewa yang memiliki kekuasaan tertinggi.

Ennead: 9 Dewa-dewi utama dan agung dalam Mesir Kuno.

6 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro