Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6: Pertama Kali Bertemu

Bab 6: Pertama Kali Bertemu.

Depok, Juni 2011.

Bangunan yang baru diresmikan satu bulan lalu dengan sebutan Crystal of knowledge ini menjadi banyak buruan mahasiswa, entah mahasiswa baru yang disuruh melakukan tugas oleh Kakak tingkat, atau anak-anak dompet tebal yang sekadar nongkrong atau mengerjakan tugas di tempat cozy seperti Starbucks, Cafe Korea, dan Green-T, atau para senior semester akhir yang sebelas dua belas dengan zombie.

Meskipun, disebut sebagai perpustakaan terbesar di Asia tenggara dengan fasilitas okay. Beberapa mahasiswa ada yang mengkritisi kinerja perpustakawan dan bising yang terdengar hingga ke ruang baca. Asal bising itu sudah pasti berasal dari bel elevator dan pintu ruangan yang selalu terbuka.

Salah satu dari sekian banyak mahasiswa, ada Abigail. Gadis itu rela bangun pagi-pagi, dan segera ke kampus, walaupun jadwal kuliah hari ini di mulai siang.

Kembali melanjutkan langkahnya. Tentu alasan utama Abigail ke perpustakaan adalah mencari buku-buku menarik yang tidak dimilikinya di rumah. Hanya saja, dibalik alasan itu, ada juga keinginan gadis 18 tahun itu untuk bertemu dengan cowok berperawakan kurus dan tinggi yang kemarin ditemuinya di lorong section fiksi. Ia dan cowok itu, kemarin, menarik buku yang sama dan sempat terjadi drama kecil tarik menarik hingga akhirnya si cowok itu mengalah dan membiarkan Abigail membawa benda itu.

Entah mengapa, cowok itu sangat menarik. Berpakaian serba hitam, dan memakai topi berwarna senada. Apalagi parfumnya masih membekas jelas di ingatan Abigail. Tanpa sadar gadis yang memakai jaket merah mudah itu tersenyum kecil sambil menyematkan helaian rambut ke sela telinga.

Melihat elevator yang banyak dipakai. Lagi pula tujuan Abigail hanya di lantai 2, maka gadis itu memutuskan melewati tangga darurat, dan berpapasan dengan beberapa mahasiswa yang menyanyikan lagu yang sedang viral karena kasusnya akhir-akhir ini, Andai Aku Gayus Tambunan.

Hingga langkah Abigail tertahan di depan pintu ketika matanya menemukan sosok yang dicarinya. Ia tampak baru datang juga. Kali ini ia memakai jaket yang berbeda, namun warnanya tetap senada dengan pakaiannya yang hitam. Diam-diam memperhatikan, hingga cowok itu melepaskan tepinya sambil menolehkan kepala ke arah Abigail.

Sekonyong-konyongnya, Abigail menundukkan kepala dan badannya, berlagak hendak mengikat kembali tali sepatunya yang masih tersimpul rapi.

Merasa aman, Abigail mendongak. Helaan penuh kelegaan di keluarkan oleh gadis itu sambil berdiri. Hampir saja, harga dirinya jatuh di hadapan cowok itu. Memalukan. Abigail kembali berjalan, dan kali ini ia berhenti di deretan novel sejarah Indonesia.

Sebuah sampul bergambar seorang pria memegang parang sabit, memotong rumput. Kiranya menarik perhatian Abigail. Kemarin, ia sempat membeli seri pertama dari tetralogi karya Anata Toer tersebut. Menggerakkan tangan untuk mengambil benda tersebut. Sebuah tangan lebih cepat menarik buku dari genggaman Abigail.

Spontan, Abigail memutar tubuh dan dikejutkan dengan cowok itu, di hadapannya sambil memperhatikan Rumah Kaca dengan teliti.

"Saya duluan ambil," serunya tipis.

Antara gugup dan linglung, Abigail mengangguk pelan sambil berusaha biasa saja di hadapan cowok itu, padahal di dalam sana, jantungnya berdegup tak karuan. Sialan.

"Kamu bisa denger, kan?" ujar cowok itu lagi, mengangkat satu aslinya.

Sialnya, Abigail malah terpesona dengan mata cowok itu tergagap, salah tingkah. Maka, untuk mengurangi rasa malunya itu, ia mengangguk sambil mengusap lengannya.

"Nama?"

"Huh?"

"Jeremias. Hukum. Kamu?"

"Hoo ..., Eh, iya. Farmasi. Abigail." Abigail segera membalas jabatan tangan cowok itu. Gadis kemudian membandingkan kurang tangannya dengan Jeremias. Meskipun cowok itu kurus, tangannya sangat besar dibandingkan Abigail.

"Starbucks? Green-T?"

Sepertinya Jeremias masih ingin mengajak Abigail berbicara, terbukti dari pertanyaan setengah-setengahnya itu. Abigail yang ambigu, kembali berseru bahwa ia tidak paham maksud Jeremias.

"Nugas, kamu enggak ada tugas?"

Abigail mengedipkan mata berkali-kali, dan setelah menghabiskan waktu 15 detik untuk berpikir, ia mengangguk. "Boleh."

Jangan tanyakan betapa senangnya Abigail saat itu. Entah mimpi di siang bolong yang menjadi kenyataan, gadis itu menjerit dalam hati, sensasi kupu-kupu terbang memenuhi perut hingga dadanya.

Dalam perjalanan menuju Starbucks, Abigail dan Jeremias hanya berdiam saja. Hingga mereka duduk di salah satu bangku yang berada di pojokan belakang. Setelah memesan minuman yang mereka inginkan, Jeremias kembali membuka suara.

"Rame banget, ya?" celetuk Abigail spontan ketika melihat banyak mahasiswa yang memenuhi kursi di Starbucks.

"Pindah tempat." Jeremias langsung berdiri dari bangkunya, mengambil minumannya dan milik Abigail.

Tidak menolak tawaran cowok itu. Abigail ikut bangkit dan mengikuti langkah Jeremias keluar dari sana. Tidak dipungkiri, ia baper dengan perlakuan Jeremias yang membawakan minumannya.

Jujur, ia bisa saja di sana. Namun terlalu ramai. Abigail tidak suka dengan keributan, ia sedikit gugup ditatap banyak orang, walaupun tatapan itu tidak fokus hanya kepadanya.

Berjalan keluar, beberapa orang menegur Jeremias, kadang mereka berbicara sebentar, lalu berpamitan. Hingga sampailah mereka di danau Kenanga, yang letaknya memang berada di samping perpustakaan, dekat Starbucks. Mereka kemudian duduk di salah satu kursi, yang menghadap langsung ke arah ruang apung, art center, dan balai room.

"Ini," Jeremias memberikan Abigail minumannya.

Abigail mengalihkan pandangannya dari danau, dan tersenyum lembut menerima pemberian cowok itu. Tidak lupa mengucapkan terima kasih.

"Angkatan berapa? 2009, 2010?" tanya Abigail.

"2009. Kamu?"

"2010, Kak." Mengetahui Jeremias satu tingkat di atasnya, Abigail segera menambahkan kata kak.

Jeremias mengangguk pelan. Memikirkan apa yang harus dibahas. Biasanya ia tidak seperti ini, semua terasa gampang untuk diutarakan, namun kenapa kali ini sulit?

"Lulus hukum mau kemana, Kak?"

"Niatnya lanjut Lawyer."

Abigail yang berpikir hati-hati, pun berseru. "Membela yang benar?"

"Enggaklah. Buat kepentingan pribadi." Jeremias tersenyum lebar, setengah tertawa diakhiri kata. "Selama hakim belum memutuskan hasil akhirnya, sebagai lawyer enggak bisa menyatakan siapa yang salah dan benar. Dan, enggak ada yang salah dengan membela yang salah atau diduga keras telah melakukan tindak pidana sepanjang membelanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kode etik, dan keyakinan si advokat itu sendiri.

Lagipula kalaupun dia salah, sepanjang yang akan saya lakukan adalah hanya mempertahankan hak-hak hukumnya yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berusaha keras agar pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan sesuai dengan proporsi kesalahannya."

Andai saja mata Abigail bisa mengeluarkan cahaya bintang-bintang berkilau saat menatap Jeremias berbicara, maka itulah yang terjadi sekarang.

"Hmm, begitu."

"Tugas lawyer itu mendampingi klien, konsultasi, membela perkara sesuai dengan hati nuraninya, di kode etik juga ada, kok. Ada juga yang namanya Asas praduga tidak bersalah. Dalam proses perkara pidana, asas praduga tidak bersalah diartikan sebagai ketentuan yang menganggap seseorang yang menjalani proses pemidanaan tetap tidak bersalah sehingga harus dihormati hak-haknya sebagai warga negara sampai ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan kesalahannya."

"Noted!" Abigail mengangguk mengerti.

"Kamu ambil Farmasi mau jadi apoteker?"

Abigail mengangkat bahu. "Ikut-ikutan teman, aja. Enggak tau kedepannya. Tapi, kalau bisa, ya Puji Tuhan." Setelah itu, keningnya bertautan. "Gue penasaran, Kak. Asal mana, sih? Pakai aku, kamu."

"Surabaya."

"Hmm, pantesan."

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro