Bab 37: Nenek Fatimah
Bab 37: Nenek Fatimah
Dua hari Abigail izin karena sakit. Nenek Fatimah menaklukkan hal itu, karena keadaan orang untuk bisa pulih dari sakit memang membutuhkan waktu.
Hanya saja, sehari tanpa kehadiran Abigail, terasa sepi. Biasanya ia akan mendengar suara perempuan itu, yang kadang cerewet jika ia melakukan kesalahan, atau melanggar peraturan yang mereka sepakati di awal. Biasanya nenek Fatimah melanggar bagian memakan makanan yang dilarang atau mengabaikan untuk meminum obat.
Teringat pertama kali Nenek Fatimah bertemu dengan Abigail satu tahun lalu bersama anak kecil dalam gendongannya. Bayi yang sangat mirip dengan Jeremias.
Iseng-iseng, nenek Fatimah bertanya siapa nama mereka. Lalu Abigail menjawab dengan menyebutkan namanya dan si bayi. Detik itu, pantas saja wajah Abigail tidak asing di ingatan Nenek Fatimah. Menggunakan Skype, mereka sering melakukan video call. Ternyata itu Abigail, kekasih cucunya, Jeremias.
Bayi dalam gendongan Abigail juga sangat mirip dengan Jeremias.
Kebetulan, nenek Fatimah tahu tentang hubungan Jeremias yang kandas sengan Abigail karena nenek Fatimah yang bertanya.
Ada yang aneh. Sejak saat itu, nenek Fatimah mulai mengajak Abigail bercerita. Sedikit demi sedikit ia mengetahui masalah di antara mereka. Bisa ditarik kesimpulan, mereka masih saling mencintai, hanya saja keadaan yang memaksa Abigail mengambil tindakan untuk menjauh dari sang kekasih.
Tentu bukan pilihan yang benar menurut nenek Fatimah kala tahu alasan Abigail. Namun, bukan berarti perempuan itu salah. Bagaimana pun, ia tidak pernah menjalani hari atau kehidupan yang sama seperti Abigail. Sepatu yang mereka gunakan berbeda, begitu pula ikan pinggang, dan perhiasan di kepala.
Nenek Fatimah sedikit sedih. Jujur. Abigail perempuan yang sangat baik, dan layak untuk menjadi menantu di keluarga mereka. Hanya saja, entah kemana pikiran orang tua Jeremias. Sebagai nenek, ia tidak bisa melakukan apa-apa karena itu hak anaknya. Nenek Fatimah, hanya bisa melakukan semampunya agar mereka bisa bertemu kembali.
Beliau yang awalnya meminta Jeremias datang ke Surabaya, dengan dalih iseng untuk menjaganya di sini. Tidak disangka-sangka, cucu kesayangannya itu menjawab iya. Kebetulan, Abigail tidak ada pekerjaan. Nenek Fatimah langsung meminta ke pihak Yayasan tempat Abigail bekerja untuk membuat kontrak dengan beliau.
Jika Nenek Fatimah tidak bisa menjelaskan kepada Jeremias bahwa selama ini Abigail berada di sekitarnya. Ia bisa mempersatukan mereka seperti saat ini, bukan?
Lagi pula, alasan mengapa nenek Fatimah tidak memberitahu kepada Jeremias jika ia bertemu dengan Abigail, dan seorang anak kecil berparas tampan sepertinya di sini, karena permintaan Abigail. Wajar memang jika Abigail seperti itu. Nenek Fatimah hanya melakukan bagiannya saja. Jika Tuhan berkehendak mereka bersatu, maka mereka akan menyatu.
Nenek Fatimah duduk di atas ranjang, kembali ke awal pemikirannya. Abigail yang tidak ada, dan anehnya Jeremias malah ikutan. Dari kemarin, pria itu mengantar Abigail pulang, dan tidak kembali. Lalu, saat ia mengecek kamar sang cucu pagi-pagi, Jeremias tidak ada di kamar.
Memegang benda persegi itu di tangannya. Nenek Fatimah kembali menelpon Jeremias. Berharap pria itu mengangkat teleponnya. Karena demi Tuhan, kepala beliau rasanya sakit sekali karena anak itu. Mendadak pergi tanpa memberitahu. Walaupun ia sudah dewasa, meminta izin tetap harus Jeremias lakukan.
“Hallo? Jeremias? Kamu di mana? Nenek cari kamu di kamar enggak ada. Ditelepon berulang kali tapi enggak angkat. Kamu mau buat nenek jantungan?” semprot nenek Fatimah, tidak bisa menahan diri.
[“Hallo, nek? Ini dengan Abigail. Maaf, nek. Jeremias lagi sama saya. Jeremias lagi tidur. Bentar lagi kami ke rumah ya, Nek.”]
Kening Nenek Fatimah mengerut bagaikan lipatan pakaian yang ditimbun. “Abigail? Kalian ngapain?”
[“Nanti Abigail jelaskan, ya, Nek. Kami enggak ngapain-ngapain, kok.”]
Menghela napas panjang. Nenek Fatimah mengangguk, meskipun tidak dilihat oleh Abigail. “Ya sudah. Nenek tunggu.”
••••
Nenek Fatimah duduk di ruang tamu. Di hadapannya ada seorang anak kecil yang sudah pasti adalah anak Abigail dan--jika tebakan nenek Fatimah tidak salah--Jeremias.
Jeremias dan Abigail duduk di antara Demian. Saling melirik, dan sepertinya Jeremias akan menjelaskan apa yang terjadi pada mereka.
“Nek. Jeremias dan Abigail akan menikah.”
Nenek Fatimah tentu senang sekali dengan kabar ini. Namun, ia tidak menyangka kabar bahagia ini akan datang secepat ini.
Jeremias dan Abigail mengira neneknya akan terkejut mendengar pernyataan Jeremias. Malah diluar dugaan. Beliau berdiri dengan semangat empat lima, seakan-akan nyeri akibat asam urat di kedua sendinya tidak ada sama sekali.
“Kapan? Nenek sangat bahagia.”
“Huh?”
“Nenek?”
“Jadi ini cicit nenek, kan? Lihat wajah kalian bahkan sangat mirip. Sejak awal, nenek sudah tahu ini anakmu, Jere!”
“Huh?" Jeremias dan Abigail melotot lebar. Mereka saling berpandangan dengan ekspresi yang sama, luarbiasa terkejut, bahkan Jeremias melongo.
Demian yang menyaksikan semua itu dengan kebingungan. Apalagi ketika nenek Fatimah mendekati, dan mengajaknya berbicara.
“Jadi nenek tahu? Kok bisa?”
“Lah, cuma Abigail yang kamu kenalin ke nenek, sampai video call di skype. Bertahun-tahun lihat wajah Abigail, bahkan foto Abi masih nenek simpan di dompet, masa nenek lupa? Terus ini cucu nenek kan? Anak kamu?”
Abigail dan Jeremias tidak bisa berkata-kata lagi. Sungguh ini di luar ekspektasi mereka. Pantas saja, nenek berlagak tahu segela tentang mereka, dan kadang membuat Jeremias dan Abigail berada di tempat yang sama.
Semua terjawab sudah hari ini. Ternyata nenek Fatimah tahu segalanya. Seketika Jeremias merinding. Abigail pun terpaku diam, selama ini ia berlagak seperti ini dihadapan beliau, yang tahu segelanya tanpa diberitahu.
Umur seseorang memang kadang selalu berjalan seiringan dengan pengalaman. Ada beberapa momen yang selalu mengajarkan mereka untuk menarik kesimpulan atau mengetahui hal-hal yang tidak diungkapkan. Kemampuan deduksi beliau perlu diacungi jempol.
“Jadi kapan mau dilanjutkan ngobrol serius sama orang tua kamu Jer?” tanya nenek Fatimah. Kali ini ia lebih serius dari sebelumnya.
Jeremias tahu bahwa sang nenek memikirkan hal yang sama. Namun, Jeremias yang berada di hadapan beliau sambil membawa Abigail di sampingnya adalah orang yang berbeda dengan Jeremias bertahun-tahun lalu. Jika dulu ia tidak memiliki banyak nyali, maka sekarang nyalinya cukup untuk memberontak jika Mona dan Liam tidak mau hubungan mereka berlanjut.
“Kami tetap akan menikah, Nek. Bukannya restu dari nenek saja sudah cukup?"
“Tentu. Hubungan kalian tidak ada yang salah, dan tidak menentang hal-hal yang dilarang oleh agama dan adat. Lagi pula, kesuksesan dan kebahagiaan seseorang tidak diukur oleh material pasangan. Tetapi dari sini.” Nenek Fatimah menunjuk hatinya. “Ya, bukan berati uang tidak penting. Tentu dua hal itu sangat diperlukan dalam hidup. Cinta tanpa uang itu omong kosong. Tapi, uang tanpa cinta sama saja penderitaan.”
“Makasih, Nek,” seru Jeremias.
Abigail sendiri berkaca-kaca mendengar itu. Sungguh, nenek Fatimah orang baik.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro