Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34: Menikah

Bab 34: Menikah

Abigail terbangun. Melihat jam di ponsel. Ia segera turun dari ranjang dengan terburu-buru karena ia hampir telat ke rumah nenek Fatimah. Bahaya, bagaimana keadaan nenek sekarang? Hingga tanpa sadar, matanya menggelap untuk sesaat, kepala perempuan itu penting. Ah, sepertinya Abigail butuh banyak asupan zat besi. Ingatkan Abigail untuk membeli obat tambah darah di apotek, dan banyak mengkonsumsi sayuran hijau.

Setibanya di luar. Seorang pria tengah tertidur dengan posisi duduk menyandar sofa. Kenapa Jeremias tidak pulang?

Kejadian tadi malam berkelebat di kepalanya. Abigail masih menyimpan kekesalan. Namun, tindakan Jeremias yang tidak pergi dari sini, seperti mantra yang menghilangkan hal itu. Abigail berjalan mendekati Jeremias.

Jam berapa Jeremias tidur? Wajahnya kelelahan dalam tidur. Dengkuran halus terdengar, ia pasti kelelahan. Salah sendiri, disuruh pulang tapi kukuh di sini. Abigail mencebik.

Abigail pergi ke dapur. Membuat dua gelas teh hangat. Ia kembali ke ruang tamu dengan segelas teh, lalu diletakkan di atas meja.

Jeremias masih terpejam. Entah sudah sejauh mana mimpi yang diarungi pria itu, bahkan ia tidak terusik dengan gaya tidur, yang menurut Abigail, sama sekali tidak nyaman.

"Remi?" Abigail menggoyangkan lengan pria itu, membangunkannya. “Bangun.”

Perlahan Jeremias membuka mata. Menggeleng kepala, untuk menghilangkan kantuk yang mendera, Jeremias mendongak dan mendapati Abigail.

Spontan pria itu berdiri tegak, memegang pundak Abigail dengan tatapan khawatir. Tidak ada lagi mata sayu baru bangun tidur.

“Kamu mual? Atau ada yang sakit? Kita ke rumah sakit aja?” tanya Jeremias bertubi-tubi.

“Kamu kenapa masih di sini?” Abigail balik bertanya. Sungguh, ia ingin mentertawakan Jeremias, tapi ditahan. “Ini jam berapa? Kamu enggak ke kantor?”

Abigail melepaskan diri dari Jeremias. Kali ini ia melirik ke arah teh. Karena Jeremias masih bergeming di posisinya, Abigail kembali membuka suara. “Minum teh, terus pulang.”

Jeremias menggeleng. “Kita ke klinik atau ke rumah sakit aja dulu.”

“Nanti aku tes pakai tespek aja.”

“Kamu punya?”

Abigail tidak menjawab. Ia belum sempat membelinya di apotek.

Mengetahui itu dari gelagat Abigail. Jeremias menghela napas. “Kamu tunggu di sini. Saya ke apotek.”

“Tapi, Remi—”

“Ssst. Ini untuk kamu juga.”

Tidak memedulikan lagi kalimat Abigail berikutnya yang berisikan bantahan, Jeremias berjalan setengah lagi keluar.

Saat berjalan keluar, beberapa tetangga yang berada di sekitar, tampak terkejut melihat Jeremias keluar dari rumah Abigail. Jangan lupa mobil pria itu yang mencolok di antara transportasi lainnya di sekitar kontrakan itu.

Masa bodoh dengan pandangan mereka. Orang-orang begitu mana tahu, dan mana peduli tentang kisah seseorang? Tidak ada yang perlu diklarifikasi, mereka seharusnya paham, beberapa hal dalam kehidupan orang lain tidak perlu diurusi, karena bersifat pribadi. Entah kemana perginya manner masyarakat ini.

Jeremias kembali lagi ke kontrakan setelah membeli alat tes kehamilan yang dimaksud. Mencari keberadaan Abigail, perempuan itu keluar dari kamar dengan gugup.

“Ini, kamu coba dulu.” Jeremias memberikan benda itu ke Abigail.

Ada keraguan di balik netra Abigail. “Makasih.”

Dela keluar bersama Demian dari kamar Dela, yang buru-buru ke kamar mandi. Ah, anak itu hampir terlambat ke sekolah.

“Aku mandiin Demian dulu, ya?”

“Enggak usah. Biar saya saja.” Jeremias lalu menarik kaki celana panjangnya, dan berjalan ke belakang.

Dela yang membuka pakaian Jeremias menautkan kedua alisnya. Bertanya-tanya tentang kehadiran Jeremias di sana.

“Biar saya aja yang mandikan Demian."

Dela tidak menolak tawaran pria itu. Malah, seharusnya sejak dulu ia mengurus Demian, memandikan, mengantar ke sekolah, bahkan membantu Abigail memasak dan mencuci, jangan lupa membersihkan rumah dan mencari uang yang banyak.

Gadis berusia 23 tahun itu berjalan keluar dari sana, mencari-cari keberadaan sang kakak sepupu yang duduk di ruang tamu sambil memegang tes kehamilan dengan pandangan tak terbaca.

“Mbak kok ada barang ini? Buat siapa?” tanya Dela penasaran.

Tidak ada jawaban dari Abigail.

“Jangan bilang ini untuk mbak?”

Abigail mengangguk singkat. Perempuan itu menatap Dela dengan mata berkaca-kaca. “Maafin mbak, Dela.”

“Mbak Renata sama siapa? Jangan bilang sama pria brengsek itu?” Dela tidak peduli mengumpat di depan Abigail, ia marah. ia tidak percaya ini. Kemana otak Abigail? Pria itu sudah menyakitinya, tapi mereka melakukan hal itu lagi? Apa penderitaan yang dialami perempuan itu masih kurang hingga jatuh ke lubang yang sama?

“Aku kecewa sama mbak. Kenapa harus sama dia, sih mbak? Ada mas Adit yang selalu bantuin, Mbak. Kenapa sama dia yang jelas-jelas buat mbak menderita?”

Abigail menggeleng. Dela salah paham. Ini juga kebodohan Abigail yang tidak menjelaskan secara rinci mengenai kasus yang ia alami dengan Jeremias. Sudah jelas, di sini, Abigail yang salah.

“Mbak masih belain dia?” Dela menghela napas kasar. “Dela mau ke kamar dulu. Nanti Dela antar Demian ke sekolah. Selesaikan masalah kalian. Mungkin Dela pulangnya sama-sama Demian.”

Abigail tertunduk tak bertenaga melihat punggung adik sepupunya menghilang dari balik pintu kamar.

Lihat sekarang perbuatanmu, Abigail. Bukankah itu yang kamu suka? Saat melakukan hubungan badan dengan Jeremias, tanpa memikirkan perasaan orang-orang di sekitar.

“Kamu kenapa, Bi?” Jeremias menggendong Demian keluar dari bagian belakang rumah.

Abigail menghapus air mata di pipi. “Enggak papa, kok. Cuma kelilipan.”

Siapapun tahu, ucapan Abigail adalah kebohongan, kecuali Demian yang mengangguk dalam dekapan sang ayah. Percaya saja.

“Kita antar Demian ke sekolah dan pergi ke rumah sakit. Kamu hari ini jangan ke rumah dulu, nanti saya telepon bibi Uti biar jaga nenek.”

“Aku bisa kok, Remi, setelah dari dokter.”

“Baiklah. Tapi kamu tidur di kamar saya.”

“Papa dan mama bertengkar?” sela Demian kebingungan.

Abigail buru-buru berseru. “Enggak, kok, sayang. Kami cuma ngomong aja.”

“Yuk, kita ke kamar.” Jeremias ikut bersuara.

Mereka pergi ke kamar, dengan Jeremias yang kembali menyiapkan pakaian, memakaikan Demian seragamnya, dan menyisir rambut. Sementara Abigail terdiam sambil memperhatikan semua itu.

Tidak berbohong, Abigail senang.

••••

Di dalam mobil ini, Abigail dan Jeremias sama-sama terdiam. Pria itu sibuk mengendari bersama dengan cabang pikiran di kepala, begitu pun Abigail yang menoleh ke jendela, melamun. Mereka baru saja keluar dari wilayah rumah sakit.

Seharusnya, kabar ini, adalah hal paling membahagiakan. Namun menjadi kegundahan hati bagi kedua manusia itu.

Abigail dan Jeremias saling menukar padangan. Abigail dinyatakan hamil, dengan usia kandungan enam Minggu.

“Jadi gimana?” tanya Abigail, meremas ujung baju.

Kepalanya berat, ia hanya ingin tidur saja, sejujurnya.

“Kita menikah.” Jeremias berseru tegas, tidak ada nada main-main di sana.

“Jangan bercanda.” Bagaimana dengan Evelyn? “Jeremias, mau berapa banyak hati yang kamu hancurkan?”

“Kamu mau hamil anak kedua kita tanpa ada ikatan, Abi?” Satu alis Jeremias terangkat.

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro