Bab 19: Kelab Malam [21+]
Bab 19: Kelab Malam
Abigail mendapatkan telepon untuk ketiga kalinya dari nomor yang tidak diketahui. Ingin mengabaikan sekali lagi, tapi ia tidak enak dengan tatapan Nenek Fatimah yang melihat ponsel Abigail bergetar terus. Mau tidak mau, ia permisi ke ke dapur dan mengangkat panggilan tersebut.
“Hallo? Dengan siapa, ya?” Abigail berusaha menahan kekesalan di ujung lidahnya untuk tidak mengomel.
“....”
“Huh?”
“....”
“Okay. Saya ke sana, ya? Tunggu.”
Jeremias Derek! Apa yang laki-laki itu perbuat sekarang? Mabuk di kelab malam? Pantas saja sampai jam 11 malam pria itu belum juga pulang, membuat sang nenek panik, tapi berusaha tenang dan mengatakan bahwa ia tidak mengantuk dan ingin menonton. Sialan. Jika begini, Abigail pun tidak bisa pulang seenaknya saja. Ia harus menemani sang nenek hingga tertidur.
Kasian, Demian bersama Dela lagi di rumah sendiri. Anaknya itu makin sedih karena jarang melihat ibunya. Saat bangun tidur, Abigail kadang sudah pergi, dan pulang saat sang anak tertidur. Ingatkan Abigail untuk mengambil jata liburan agar bisa bersama Demian seharian penuh.
Kini, Abigail harus pergi menjemput pria itu karena mabuk berat. Tolong berikan kesabaran kepada Abigail. Malam-malam seperti ini, tensinya sudah tidak terkendali. Apalagi belakangan ini, Jeremias sungguh menyebalkan. Bener, Jeremias memang menjaga jarak darinya, tapi sikap pria itu terlalu kekanak-kanakan. Hanya karena hal-hal kecil, dirinya disuruh membuat ulang. Padahal di sini, ia bekerja sebagai Caregiver nenek Fatimah, bukan Nanny bayi besar alias Jeremias.
“Hmm ..., Nek?” Abigail duduk di samping sang nenek. Ia sudah memikirkan alasan apa yang ia ucapkan kepada sang nenek agar beliau tidak khawatir.
“Iya? Apa itu telfon dari Jeremias?”
Abigail mengangguk kaku. “Jeremias lagi di kantor, Nek. Hmm, katanya ada kasus yang harus dipelajari secepat mungkin karena besok udah masuk sidang pertama.”
Ya Tuhan, maafkan Abigail yang berbohong kepada nenek Fatimah. Ini demi kebaikan sang nenek, agar tekanan darahnya tetap stabil dan bisa tidur dengan nyenyak.
“Dasar anak itu. Kenapa tidak pulang saja!” nenek Fatimah menyadarkan tubuhnya di sofa, memejamkan mata. Seperti beliau merasa lega mengetahui keadaan cucunya itu.
“Kalau gitu nenek ke kamar, ya? Tidur. Ini udah malam banget. Aku bakal ke kantor Jeremias bawakan makanan, sekalian obat nyamuk.” Kebohongan versi dua.
“Hoo, iya? Baiklah. Nenek senang kalau kamu mau antar makanan ke dia. Nanti kamu pesan mobil online, kah?” tanya nenek Fatimah seraya bangkit berdiri, disusul oleh Abigail. Mereka pun berjalan ke kamar beliau.
“Iya, Nek. Kebetulan ada langganan.”
••••
Pergi ke bar Almaluna Bar & Resto yang jaraknya jauh, Abigail dihadapkan dengan tampang Jeremias yang tertunduk lemas di meja bartender. Untungnya sebelum masuk, Abigail terlebih dahulu memesan mobil online sehingga mas supir, yang ternyata masih muda juga, mau diajak kerja sama dengan tambahan tip untuk membantu pria itu keluar dari sana.
Setelah sampai, Abigail mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena nenek Fatimah sudah berada di kamarnya.
Abigail dengan hati-hati membopong tubuh besar Jeremias menaiki setiap undakan anak tangga. Jangan sampai suaranya atau suara Jeremias membangun nenek Fatimah.
Akhirnya, mereka sampai di kamar Jeremias. Abigail buru-buru untuk mendorong tubuh pria itu supaya jatuh terlentang di atas ranjang dengan harapan beban pundaknya menghilang, karena percayalah pria ini sangat berat hingga baju Abigail mau remuk saja, tapi ia melupakan satu hal, tangan Jeremias melingkar di pinggangnya hingga mereka berdua jatuh bersamaan di atas kasur.
Abigail berada di atas Jeremias. Pria itu, entah sadar atau tidak, sengaja atau sebaliknya, memeluk tubuh Abigail dengan erat.
“Jere ....”
“Meluk aja enggak boleh, ya, Bi?” Suara Jeremias serak, matanya pun terpejam, dan Abigail yakin pria itu setengah tidak sadar dengan ucapan, namun kenapa tepat sasaran?
Jeremias tanpa diduga mengubah posisi mereka. Kini Abigail berada di bawahnya. Di minimnya pencahayaan, Jeremias dan Abigail saling bertukar pandang. Cukup lama, sama-sama menyelami makna tatapan yang tersirat akan kerinduan.
Perlahan Jeremias menjatuhkan diri, menindih Abigail yang terbelalak. Aneh, seharusnya ia menolak tangan Jeremias yang melingkari pinggangnya, memeluk Abigail seperti bantal guling. Namun, perempuan itu membiarkannya begitu saja.
“Kamu masih ada rasa enggak sama saya?” tanya Jeremias, tepat di samping telinga Abigail.
Tidak jawaban. Abigail memilih tidak menjawab. Ia diam. Membiarkan Jeremias menduga-duga, dan melanjutkan perkataannya.
“Kalau iya. Let's play again. Kalau enggak, kamu boleh pergi.”
Bolehkah Abigail menuruti keinginan egoisnya untuk bersama Jeremias malam ini saja? Iya. Abigail tahu keesokan harinya mereka bisa saja tidak seperti ini, atau semua akan berubah. Tapi ..., Sekali saja.
“Sekali saja,” balas Abigail. Mengeratkan pelukan mereka.
Jeremias tersenyum lebar. Sebuah jawaban yang berada di luar ekspektasinya. Mengira bahwa Abigail aka menolaknya seperti sebelum-sebelumnya, tapi sebaliknya.
Baiklah. Malam ini akan menjadi malam yang panjang. Jeremias tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Meskipun otaknya penuh dengan efek alkohol, tapi percayalah, ia masih bisa mengontrol kesadaran diri. Berdua dengan Abigail, saling bercumbu, bertukar pandang, melucuti pakaian, menggesekkan kulit yang panas oleh gairah, dan bergetar karena menginginkan sesuatu yang lebih dan lebih, mendesah, dan kembali menyatukan diri, meleburkan diri bersama dengan suara desahan tak tertahankan.
Tiga kali berhubungan badan. Abigail pikir hal ini tidak akan terjadi lagi, tapi ia gagal, ia kalah karena keinginannya sendiri.
“Saya harap, ada sesuatu yang hidup di sini.” Jeremias mengusap perut rata Abigail. “Kamu tahu, Bi. Saya berharap, tujuh tahun yang lalu, saat kita melakukan ini untuk pertama kali, kamu bisa hamil. Kita memiliki calon bayi, dan menikah.”
Abigail merapatkan bibir. Membuang wajah ke samping. Permohonan Jeremias memang dikabulkan Tuhan. Demian ada di dunia ini.
“Saya bersungguh-sungguh malam itu. Berdoa seperti saat ini. Agar kamu hamil.”
“Jangan seperti itu Remi.” Abigail menggeleng kepala.
Hatinya sakit mendengar penuturan Jeremias. Pria itu tidak berbohong, mata itu berkata yang sejujurnya. Penuh harapan dan cita-cita yang dikecewakan Abigail.
“Apa kita ... punya anak, Bi?”
Abigail bungkam.
“Bi, jawab?”
Tidak menjawab, Abigail mendekatkan wajahnya ke arah Jeremias, mencium bibir pria itu agar tidak lanjut bertanya lagi.
“Sudah hampir pagi, Remi. Tidurlah kalau kamu enggak mau telat ke kantor besok.” Peringat Abigail seraya mengelus rambut pria itu. Berharap ia lekas tertidur pulas dan Abigail bisa segera pergi dari sana.
Jeremias tidak lagi bersuara. Mungkin karena rasa kantuk yang melanda akibat alkohol, juga permainan yang mereka lakukan selama dua jam nonstop. Bukankah itu sangat melelahkan? Abigail bahkan merasa tulang pahanya sakit dan beberapa bagian tubuhnya mulai terasa nyeri.
Jeremias agak kasar malam ini, tapi tidak mengecewakan. Ia pantas bila dikatakan gagah di atas ranjang. Ya, walaupun di mana saja ia tetap berkarisma.
To be Continued
Ahhh bagaimana bab ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro