Bab 14: Kenapa Kamu Pergi?
Bab 14: Kenapa Kamu Pergi?
Nenek Fatimah dan bibi Uti memang menginap di rumah paman Jeremias. Namun, Abigail tidak tahu bahwa mereka akan pergi selama dua hari. Ia baru dikabari beberapa menit yang lalu oleh bibi Uti.
Bagaimana dengan Demian? Abigail mengaduk-aduk bubur dengan punggung lemah. Apa yang sedang anak itu lakukan sekarang? Dela mengatakan ia telah mengantar Demian ke sekolah, memberi makan, dan membuatkan sarapan. Sungguh, keberadaan Dela sangat membantu Abigail di masa-masa seperti ini.
Melihat tekstur bubur yang sudah lembut, Abigail mematikan kompor, dan berjalan ke lemari dapur, tempat mangkok di simpan, yang berada tepat di belakang. Berjinjit, Abigail mengira bahwa tangannya sampai, tapi sebaliknya. Berdecak sebal, Abigail bedak memutar tumit untuk mengambil bangku. Namun ternyata Jeremias sudah selangkah lebih maju, ia berada tepat di belakang Abigail.
Jeremias dengan santai mencondongkan tubuhnya, mengabaikan Abigail yang mati kutu di tempat. Kenapa pula, perempuan yang sebentar lagi menginjak usia 30 tahun merona seperti remaja. Jeremias gemas ingin mencubit pipinya tapi ditahan agar kejadian canggung semalam tidak terulang.
Setidaknya Jeremias sangat senang tadi malam bisa bersama Abigail di ranjang yang sama. Entah di mana otak pria itu diletakkan, hingga akal sehatnya sangat jauh dengan apa yang ia rencanakan selama beberapa hari lalu.
Menundukkan kepala, Jeremias menerima satu alis terangkat dari Abigail bersama tatapan mata yang melebar. Tanpa berbicara, Abigail menyuruh Jeremias segera pindah dengan kepalanya. Bisa dibayangkan, kedua pipi perempuan itu memerah, tapi masih sempat-sempatnya bertingkah galak.
Ide iseng muncul di kepala Jeremias. Kebetulan rumah sedang sepi. Ia memajukan wajah ke samping telinga Abigail dan berbisik. "Kamu cantik kalau pipinya merah dan galak gini, Bi."
Berdosa kah Abigail jika terbawa suasana dengan Jeremias? Tidak. Buru-buru ia mendorong Jeremias menjauh. "Jangan gila, Remi."
Membelalakkan matanya, Jeremias pikir Abigail akan menikmati kedekatan mereka. Baiklah. Maafkan pikiran Jeremias yang kurang ajar ini. Ia meletakkan mangkuk di samping kompor gas, di mana bubur yang dicampur dengan sayuran hingga mirip seperti Tinutuan, bubur Manado, itu masih mengepul di atas sana.
"Siapa yang gila?" tanya Jeremias. Memancing Abigail agar terlihat lebih menggemaskan lagi.
Jeremias memang gila. Apa tidak terlintas di kepalanya sosok Evelyn jika ia berdekatan dengan perempuan lain? Abigail tidak habis pikir dengan pria itu. Jeremias benar-benar sudah berubah. Apa sejak dulu ia memang seperti ini?
"Apa yang kamu pikirkan tentang saya?" sahut Jeremias. Kerutan-kerutan halus di kening Abigail cukup membuat ia bisa mengambil keputusan untuk bertanya.
"Kamu dulu sering genit sama cewek lain juga, ya?" Abigail bertanya usai menuangkan bubur ke dalam mangkuk, lalu membawanya ke ruang tamu, meninggalkan Jeremias yang kini menyipitkan mata.
Jeremias mengikuti Abigail. "Lho, kok, saya genit?" serunya dengan mata melotot lebar.
Ting. Ponsel Jeremias berbunyi, tanda sebuah pesan singkat masuk.
"Kamu udah punya pacar." Abigail kemudian menurunkan pandangan ke saku celana Jeremias. "Mungkin itu dia yang lagi chat."
••••
"Mama habis dari mana?" Damian segera memeluk mamanya dengan semangat di depan pintu setelah mendengar suara Abigail.
Abigail kemudian memeluk anaknya. "Mama minta maaf, ya, baru pulang. Mama habis jaga ...." Raut wajah perempuan satu anak itu berubah masam. Mengingat bahwa ia baru salah merawat ayah dari Demian. "Mama habis kerja. Maaf, ya?"
Demian mengangguk. Lantas berseru. "Mama jangan tinggalin Demian lagi, ya?"
Tidak menjawab, ia memeluk erat Demian dan mereka berjalan ke dapur. Ia tidak mau berjanji. Satu hal yang Abigail pelajari selama ini adalah, ia tidak bisa berjanji untuk sesuatu yang tidak bisa ditanganinya. Seperti, hal ini akan terjadi untuk beberapa kali kedepannya, ia akan menjelaskan secara baik-baik kepada Demian agar anak itu mengerti.
"Malam, Mbak Rena."Dela yang baru keluar dari kamar mandi buru-buru menemui Abigail. "Aku udah masak nasi dan goreng tempe tahu, mbak. Di makan, aja sekarang, Mbak."
"Makasih, ya, Dela. Kamu mau, biar mbak belikan?" tawar Abigail seraya duduk di kursi plastik, meja yang menyatu dengan dapur sederhana mereka.
"Kuota aja, mbak, ehehe." Dela menyengir kaku.
"Okay. Besok, ya, mbak belikan."
"Makasih banyak, Mbak!"
Abigail kini tertuju pada Demian. "Demiam mau apa?"
"Mau es krim stlobeli."
"Udah malem. Besok aja, ya, dibeli sama kak Dela?" ucapan Abigail ini dijawab dengan anggukan kecil Demian.
Mereka pun masuk ke kamar masing-masing setelah menyantap makan malam sederhana kali ini. Apa yang paling membahagiakan selain menikmati makanan dengan penuh syukur? Menjadi anak orang kaya, yang tiba-tiba jatuh miskin, pendapatan setiap hari dibawah 14 ribu, bahkan pernah tidak ada sama sekali, dan merasakan penderitaan berjuang sendiri mengajarkan Abigail tentang makna kecukupan dan kebahagiaan.
Berbaring di atas ranjang sambil memeluk Demian, membuat Abigail teringat percakapannya dan Jeremias tadi.
"Kamu cemburu saya punya pacar?" Jeremias dengan sombongnya berseru. Wajar, hal itu tidak membuat Abigail kaget, sejak dulu Jeremias memilki kekurangan, yaitu banyak arogannya.
"Aku kasian sama pacar kamu, Remi."
"Kenapa? Memangnya saya ngapain dia?" Jeremias membasahi bibirnya. "Jahatan mana sama kamu yang ninggalin saya di apartemen? Nilai saya di mata kamu sama halnya dengan secarik kertas, kah?"
"Maaf. Aku salah. Aku tahu itu." Abigail tertunduk diam setelahnya.
"Kenapa kamu muncul di hadapan saya lagi, Bi?" Jeremias bertanya dengan lirih.
"Aku juga enggak mau ketemu sama kamu kalau bisa." Abigail meremas kuat ujung celananya. Kenapa sakit sekali pembahasan ini. Abigail berusaha untuk tidak meneteskan air mata. Menahan diri walaupun banyak duri tak kasat mata menusuk hatinya.
"Kenapa kamu pergi?" Jeremias mengangkat kepala. "Kasih tau, biar saya paham maksudnya kenapa kamu tinggalin saya gitu, aja, Bi."
"Banyak alasan. Aku pikir, ini enggak usah dibahas."
"Shit! Omong kosong apa ini, Bi? Saya butuh kejelasan kamu, kenapa saya ditanggalkan begitu saja?!"
Abigail tidak menjawab, ia memutar pergelangan kakinya. Lebih baik pembahasan ini tidak dilanjutkan. Namun, baru saja beberapa langkah, Jeremias bangkit dari kursinya, lalu melangkah lebar dan menarik lengan Abigail.
Dalam satu hentakan, Abigail berputar arah kembali menghadap Jeremias. Satu tangan Jeremias terangkat untuk menahan kepala bagian belakang Abigail, dan tangan satunya menekan pinggang perempuan itu agar tidak bergerak kemana-mana. Dalam hitungan detik, Jeremias mengikis jarak di antara mereka. Kembali setelah tujuh tahun berpisah bibir mereka saling menyentuh.
Abigail menolak, ia berontak, tapi Jermias tidak akan melepaskannya. Namun, perempuan itu mengalah juga, ia lemah. Balas memagut bibir Jeremias.
Ternyata perasaan itu masih sama saja. Debaran jantung yang menderu bersama aliran darah. Sensasi panas yang menjalari seluruh tubuh.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro