Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12: Siapa Pria Itu?

Bab 12: Siapa Pria Itu?

Jeremias sudah bersiap-siap, tapi Abigail belum juga menunjukkan batang hidung. Jika di hari sebelum-sebelumnya, perempuan itu sudah di rumah ini, membantu bibi Uti menyiapkan sarapan.

Apa Abigail baik-baik saja setelah kejadian kemarin? Ibu dan anaknya itu benar-benar keterlaluan, tidak punya akal sehat. Jika orang tua Abigail yang bersalah, mengapa ia dihujat, dikeroyok di tempat umum. Untungnya setelah Jeremias bertindak, pihak Sakinah bergegas menarik ibu dan anaknya keluar dari sana.

Berdiri di depan pintu, ia mendongak untuk melihat warna langit yang perlahan menjadi kelabu, seperti akan turun hujan. Jermias hendak mengulur waktu di rumah hingga Abigail tiba, tetapi ia harus segera berangkat ke kantor. Jeremias berjalan keluar dari rumah setelah menyelesaikan sarapan buat bibi Uti. Ketika pria itu hendak membuka pintu mobil, sebuah mobil putih berhenti di depan rumah, yang kemudian disusul oleh gadis yang ditunggunya sejak tadi bersama pria.

Dahi Jeremias mengernyit heran. Satu pertanyaan terlintas di kepalanya. Siapa pria itu? Jangan bilang itu kekasih Abigail? Bukannya ia berkata tidak memiliki pacar, atau jangan-jangan orang yang menyukainya? Karena tidak mungkin ada orang baik tanpa alasan yang jelas, kan?

Niatnya untuk masuk ke mobil menguap begitu saja, dan secara naluri ia berjalan mendekati Abigail dan pria itu.

"Makasih banyak Mas." Abigail tersenyum kecil seraya membetulkan helaian rambutnya yang bergerak mengikuti hembusan angin.

Sialan. Kenapa Abigail malah terlihat sangat cantik sekarang? Jeremias kemudian berpindah menatap pria berkacamata itu yang membalas ucapan Abigail dengan senyum sok tebar pesona. Jeremias mendengus tanpa suara.

Pria yang dipanggil Mas Adit itu kemudian kembali masuk ke mobil dan bergerak meninggalkan rumah nenek Fatimah.

"Siapa, Bi?" tanya Jeremias yang tidak bisa menahan rasa penasaran.

Abigail yang sedikit canggung dengan keberadaan Jeremias di sekitarnya pun berseru. "Manusia."

"Kok, dia bisa antar kamu?" Jeremias mengganti pertanyaannya, sambil mengikuti Abigail masuk ke rumah.

Ia pikir perempuan itu sedang sakit hati atau apapun itu akibat kejadian kemarin. Ternyata ada pria lain yang berada di sisinya. Jeremias tidak bisa menepis kekesalan ketika spekulasi mengenai Abigail dan pria itu memenuhi kepalanya.

"Kenapa? Emang enggak boleh, ya?" Abigail balik bertanya.

Jeremias berdiam. Bener juga. "Sebagai teman yang baik, saya harus tahu, dong, siapa dia? Nanti kalau ada apa-apa, saya bi-"

"Daripada mikirin dugaan kamu, mending sekarang kamu ke kantor kalau enggak mau terjebak macet dan hujan." Abigail memotong ucapan Jeremias, memberi tatapan ke arah luar.

Ck. Jeremias mengangguk mengerti. Baiklah, nanti pulang kantor saja barulah ia kembali melayangkan pertanyaan di kepalanya hingga perempuan itu menjawab semuanya.

••••

Jeremias mengentikan pergerakan matanya ketika sebuah pesan singkat masuk. Nama dari si pengirim pesan itu menarik konsentrasinya bayar. Meletakkan lembaran fotokopian kasus di atas meja. Jeremias membuka riwayat chat yang sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai chatting-an sepasang kekasih pada umumnya.

Ini benar-benar keterlaluan untuk ukuran pasangan jarak jauh. Tidak ada komunikasi penting yang terjadi selain percakapan, 'saya lagi di kantor,' 'saya sedang di ruangan sidang', 'saya sedang sibuk dengan kasus A', dan seterusnya. Ini sudah keterlaluan.

Jeremias mengetik pesan panjang kepada Evelyn. Membalas pesan perempuan itu sekaligus bertanya tentang keadaannya.

Melirik jam, ternyata sudah waktunya untuk makan siang. Melirik Cecilion dan Carmilla yang sibuk masing-masing dengan kertas mereka sejak tadi.

"Ayo, makan dulu." Jeremias menginterupsi kegiatan mereka.

Cecilion menutup kertasnya, tapi tidak bangkit dari kursi. "Mas yang traktir, ya?"

"Mila?" Cecilion menghela napas panjang. Istrinya itu sulit sekali diberitahukan agar tetap menjaga cara bicaranya saat masih jam kerja dengan atasan mereka sendiri.

"Ck!" Jeremias berdecak, melanjutkan langkahnya hingga di depan pintu. "Makanya ayo, saya traktir. Tapi Lion yang bawa mobil, ya."

"Duh, siap, Pak!" Bukan Cecilion yang menjawab, melainkan istrinya. "Iya, kan sayang?"

Di depan pintu kantor mereka berpapasan dengan beberapa pengacara lainnya dan paralegal. Sedikit menyapa untuk berbasa-basi, mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan ke sebuah rumah makan khas Minangkabau yang berada di dekat kantor. Jika mereka lambat, tempat itu bisanya sudah ramai diisi oleh orang-orang. Apalagi mengingat BRI tower ini bukan hanya satu kantor saja.

Dulu, ketika ia dan Abigail masih pacaran. Gadis itu suka sekali memesan rendang dan telur goreng di rumah makan Padang. Sampai-sampai tempat langganan mereka di Jakarta sudah hafal dengan menu yang diminati Abigail. Ah, kenapa ia malah memikirkan masa lalu mereka. Lupakan Jeremias.

"Mas Jere pucat banget? Sakit, ya?" Carmilla berseru ketika mereka kembali ke kantor sehabis dari rumah makan.

"Enggak enak badan, Mas? Tadi kehujanan juga karena pindahin mobil." Tambah Cecilion.

Tadi, mobilnya ternyata menghalangi mobil lainnya untuk keluar, sehingga terpaksa Jeremias harus menerjang hujan yang lumayan deras. Padahal Cecilion sudah menawarkan diri untuk memudahkan mobil, tapi dicegah.

••••

Jeremias sampai di rumah. Kepalanya agak pening, entah kenapa bisa terjadi, ketika pulang dari makan siang, ia merasa tidak enak badan. Apa karena ia terkena hujan? Atau karena akhir-akhir ini ia jarang istirahat? Ya, hampir setiap hari ia kurang tidur.

Nenek Fatimah, Abigail dan bibi Uti tengah duduk di ruang keluarga sambil menonton sinetron di sebuah saluran televisi.

Memberikan salam untuk yang kesekian kali, karena salamnya yang sebelum ini tidak digubris oleh mereka, Jeremias naik ke lantai atas. Masuk ke kamar. Kamarnya tidak terlalu dipenuhi barang, hanya sebuah lemari kayu, ranjang berukuran besar, dan cat dinding berwarna krem. Tidak menarik sebernarya. Tidak lupa di samping kamarnya terdapat meja kerja yang dipenuhi kertas.

Kepala Jeremias sangat sakit hingga ke mata, leher pria itu juga tegang, bersamaan dengan bersin-bersin dan batuk, tubuhnya lelah, dan tenggorokan sedikit sakit. Badan Jeremias hangat sejak di kantor, dan bertambah panas ketika dalam perjalanan pulang tadi. Cecilion dan Carmilla sudah menyuruh Jeremias pulang, tapi ditolak. Katanya masih banyak hal yang harus diselesaikan sebelum tenggat.

Jermias turun ke bawah. Makanan adalah obat sejati dari penyakit. Maka ia harus makan. Melewati nenek dan bibi Uti yang asik menonton, Jeremias masuk ke ruang makan. Ternyata Abigail tengah meletakkan nasi berserta lauk pauk di atas meja.

"Makasih, Bi." Shit. Kenapa suaranya berubah parau seperti ini.

Abigail mengangkat kepala dengan dahi mengernyit. Sejak tadi, saat Jeremias naik ke atas, Abigail sudah melihat gelagat aneh, ternyata pria itu memang tidak terlihat baik-baik saja.

"Kamu sakit, Remi?" Abigail melangkah cepat ke arah pria itu. Tubuhnya yang pendek dan mungil itu tanpa diduga-duga berjinjit dengan posisi begitu dekat dengan Jeremias, lalu meletakkan punggung tangan di atas kening Jeremias.

Barulah, Abigail sadar dengan tindakan impusifnya. Spontan Abigail mengundurkan langkah. Karena sangat terkejut, kaki Abigail yang masih dalam keadaan menjinjit malah menukik ke lantai hingga tubuhnya roboh.

Untung saja, Jeremias dengan cepat menahannya. Kembali, posisi mereka sedekat itu. Bahkan Abigail bisa merasakan hembusan napas Jeremias yang terasa hangat. Mata perempuan itu pun tidak lepas meneliti sang mantan yang tampak sayu, bibir pria itu kering, mata sedikit memerah, pipinya juga.

"Kalian ngapain?"

"Huh?"

"Eh?"

To be Continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro