Chapter 5: The Spy Who Loved Me
***
dedicated to Nadia, who inspired me with jokes and "cockroaches-flirty-line" for Ben Washburn.
***
Washington DC
Nick Gestrade benci hari Sabtu.
Hari itu adalah giliran kerjanya sebagai agen senior lapangan di FBI. Agen senior lapangan? Mendengar sebutannya saja, anak kecil hingga para jompo mungkin sudah mengelu-elukan pekerjaannya dan meminta tanda tangan bak superstar. Dalam benak mereka terbayang pekerjaan itu seperti di film Mission Impossible: pekerjaan penuh petualangan, bahaya, dan tantangan. Plus tendangan karate yang keren, peralatan canggih, dan ledakan dramatis bom atom di latar belakang. Itulah anggapan orang tentang pekerjaannya sebagai agen FBI.
Namun Nick benci pekerjaannya.
Setiap hari ia selalu memasuki kantor biru kusam yang membosankan dengan geraman dan gumaman kesal teman sekantornya. Ia dihadapkan dengan tumpukan kertas administrasi yang membosankan dan tanpa adrenalin apapun. Yang ia lakukan selama ini bukanlah pengejaran dan penembakan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Melainkan tumpukan kertas yang bisa musnah dalam kejapan mata jika ia guyur dengan minyak dan sulutan api. Sekali lagi, ia membenci semuanya. Kecuali tiga hal: 1.) Oliver Canterbury, atasan satu tingkat Nick yang sangat berkelas, 2.) lencana plus pistol yang keren dan 3.) seorang wanita yang sedang berjalan di lorong kantor sekarang.
Wanita yang dimaksud Nick itu kini melangkahkan sepatu Brogues ke dalam lift yang mengantarnya ke detasemen kriminal FBI. Langkah kakinya terketuk seiring lift terus bergerak naik. Sesekali, ia menata rambut coklat bergelombang juga blazer biru navy yang dikenakan. Hingga lift berdenting dan terbuka, ia memandang menyapa penjuru ruangan dengan senyuman gembira.
"Good mooorning, fellow agents!"
Nick tertawa kecil mendengar sapaan wanita di tengah lautan gerutuan ruangan itu. Wanita itu, Lindsey Harrington, adalah keajaiban tersendiri bagi FBI. Ia salah satu lulusan terbaik pelatihan angkatan darat serta badan intelijen, dan satu-satunya perempuan yang mendapat skor tertinggi dalam ujian akhirnya. Selalu gembira, sangat gesit, dan penghidup suasana bagi Nick. Jika Lindsey tak ada di sana, hari akan terasa menyebalkan hingga waktu pulang.
Saat Nick yang cengar-cengir sendiri mengingat hal itu, Lindsey mengendap-endap di belakangnya dan mengecup pipinya dengan cepat, sukses membuat wajah Nick merah padam. "And good morning, sunshine- I mean, my favourite agent ever." bisik Lindsey, dengan tangan yang mengambil figurin Ant-Man di meja rekannya itu.
"Uh... Pagi, Lindsey," balas Nick pelan, berusaha menahan pekikan bahagianya dan wajah yang terasa panas seperti habis disetrika. Sementara itu, Lindsey sudah berjalan ke mejanya dengan figurin Nick di tangan. Baru saja tersadar akan hal itu, Nick langsung bangkit dengan gelagapan. "Hei! Kembalikan Scott Lang-ku!"
Lindsey memutar malas bola mata sambil mengendorkan kepala figurin itu, membuat Nick menggigit pensil dengan gugup, andai kata kepala figurin itu lepas. Tangan Lindsey yang lain menyalakan komputer dengan santai, seolah itu sudah seperti rutinitas sehari-hari. "Ya Tuhan, ini hanya boneka, Nicholas." gumamnya dengan pelan.
"Itu bukan boneka, Harrington. Itu figurin Ant-Man edisi khusus Civil War-"
"Ya, ya, aku tahu Nick," Dengan cepat, Lindsey melemparkan figurin Ant-Man itu pada Nick, refleks membuat Nick meloncat dari kursinya dan memeluk erat figurin itu. Nick melotot kesal, meskipun ia justru tak diperdulikan oleh Lindsey. "Ada kasus baru?" tanya Lindsey.
"Sejauh ini tidak ada," Nick mengggelengkan kepala dan pura-pura menguap, seolah terlihat jenuh. Tangannya terus mengklik kursor mouse-nya. "Membosankan, membosankan- tunggu. Yang satu ini kelihatan menarik."
Lindsey, yang awalnya tertuju ke layar komputer, melirik Nick yang mengerutkan dahi dari kejauhan. Ia bangkit dari meja, lalu menyeret kursi putar dan mendaratkan pantat di sana. Tepat saat Nick membuka dokumen berisi foto seorang remaja berusia sekitar 16 tahun. Tidak ada yang menarik, batin Lindsey.
"Ya, aku tahu kau bakal menganggap ini tak menarik. Namun dengar penjelasanku dan video yang kudapat," Ucapan Nick yang bernada serius sekarang membuat Lindsey setengah terkejut, seolah ia baru saja membaca pikirannya. "Anak ini, Daniel Winters, dikabarkan kabur dari rumahnya di Toronto 3 tahun yang lalu dan tak pernah kembali. Akhir-akhir ini, dia muncul di beberapa kamera pengawas kota yang berbeda setiap hari. Hari pertama di Boston, esok harinya di New York. Lalu Philadelphia dan Baltimore. Apa itu tidak aneh?"
"Tentu saja tidak aneh, bodoh. Dia bisa saja naik kereta untuk datang keempat kota itu." Ucap Lindsey sementara pandangannya bertemu dengan mata kelabu Nick yang lelah.
Nick menghela nafas. "Aku tahu, tapi buat apa naik kereta setiap hari secara misterius di tempat yang berbeda? Maksudku, mungkin saja dia terlibat dalam sindikat tertentu yang korbannya lari melintasi Amerika, mungkin sampai ke Kanada atau Kuba."
Tiba-tiba ucapan Nick terpotong saat saku celananya mulai bergetar dan berdering. Saat Nick mengangkat panggilan, Lindsey bergeser tepat ke depan komputer Nick dengan kursi putar. Ia tertegun saat membaca ulang berkas yang ditemukan Nick soal "Daniel Winters" ini. Kasus itu, Daniel Winters, dan segala hal yang dikatakan soal Nick tentang "sindikat misterius" ataupun "lari melintasi Amerika", kedengarannya lebih seru dari seluruh kasus yang ia selidiki selama menjadi agen. "Menarik sekali," gumam Lindsey pelan saat Nick menutup telepon.
"Direktur Fornell memanggil, aku harus pergi sekarang," Nick mengambil jas dan ransel. Lalu ia terhenti saat sadar Lindsey mengucapkan sesuatu pada. Ia mengernyit, "Apa katamu tadi?"
"Aku bilang, menarik sekali untuk tidak didengar." kata Lindsey datar.
Nick membalas dengan sama datar. "Kau menyebalkan seperti biasanya, Lindsey. Kalau begitu kau bisa menangani kunjungan tur hari ini. Mungkin itu bisa membuatmu tertarik." ujar Nick sambil meninggalkan dokumen daftar permohonan kunjungan FBI di layar komputer. Lindsey meneliti daftar dan mencari tamu yang menarik dari permohonan itu. Pejabat, pejabat, dan pejabat, gumamnya bosan melihat mayoritas rombongan di daftar. Hingga ia menemukan satu rombongan tamu yang menarik perhatiannya.
Perwakilan ekstrakulikuler forensik Whitemore High School, California. 4 orang [Ben Washburn, Robert Runner, Jeff Carmichael , May Averstreet]
Setujui permohonan?
Mata Lindsey membulat. Ia menekan kursor ke permohonan rombongan itu.
Setujui permohonan.
***
"Robert? Robert! Hei, bangun, Runner."
Robert, dengan kepala yang terasa ditusuk paku dan pandangan yang penuh oleh bintik kuning, mengerjapkan mata pelan. Ini efek samping dari perkelahian semalam dengan May Averstreet, si ninja Baltimore yang secara ajaib menyelinap ke dalam van mereka. Kali ini, keadaan Robert masih bisa dibilang jauh dari kata "baik". Seberkas cahaya matahari yang menyilaukan membuat ia berusaha fokus pada seseorang berambut pirang yang menepuk pipinya dengan cukup kencang.
"Kirsty?"
Gadis berambut pirang itu, Kirsty Dahlberg, menghela nafas pelan dan memasang wajah menyebalkan yang terbaik. "Uh, ya! Tentu saja ini aku, Robert. Memang kau pikir siapa yang baru saja menamparmu? Sherlock Holmes? Presiden Amerika?"
"Nggak lucu." gerutu Robert.
Kirsty tertawa renyah sambil menepuk-nepuk pundak Robert yang diselimuti kantung tidur. "Sepertinya kau memiliki malam yang sulit. Terutama kau tidur di bawah," gumamnya. Kata-kata itu seketika membuat Robert melihat ke sekeliling. Ya, ia terpaksa mengalah tidur di lantai tadi malam karena dipan yang ada tak cukup untuk lima orang anak, meski ia sudah babak belur. Ia memandang merutuk dalam hati sambil memandang Kirsty yang tersenyum lemah.
"Bagaimana punggungmu?" tanya Kirsty.
Robert membuka mata dengan lebar. Perlahan, ia menumpu badan dengan kedua tangannya. "Keadaanku? Sudah sangat-" KRAK! Tiba-tiba suara retakan terdengar dari punggung Robert yang kaku, membuat Robert mengerang kesakitan. "-baik." Lanjutnya sambil tersenyum lirih.
Kirsty menggelengkan kepala, menatapnya seperti seekor burung merpati yang tak berdaya sambil membantu Robert bangun. "Ck, kasihan kau, Robert. Masih muda begini kau sudah dapat encok."
"Diam kau, Dahlberg," sergah Robert dengan nada bercanda. Seketika, ekspresinya berubah kecut saat ia memandang ruang makan, membuat Kirsty bingung dan memberikan telepati untuk menanyakan apa yang sedang terjadi. Robert menceletuk dan menunjuk ke bagian depan van, "Mereka berdua pacaran?"
"Apa?" Kirsty terkejut. "Tentu saja Ben dan Andy tak pacaran!"
"Bukan dua polisi idi- maksudku polisi itu," gerutu Robert. "Maksudku mereka." Jari Robert yang awalnya bengkok ke arah Ben dan Andy di bagian kemudi, kini tertuju ke arah meja makan. Dengan mata terpicing, ia dan Kirsty bisa melihat Jeff dan May, tertawa geli sambil saling menatap dan menyeruput teh masing-masing. "Romantis sekali," gumam Robert curiga. "Tunggu, dimana Jamie?"
"Di sini, Rory," Rambut coklat Jamie beserta sisik hijau Collin si Bunglon menyembul dari selimut dipan atas di samping Kirsty, membuat Robert mendesis mengoreksi namanya yang salah sebut. Jamie memiringkan bibir dan berkata, "Aku nggak mau membuat suasana di sana lebih canggung karena kemunculanku."
Kirsty terkekeh. "Keputusan yang bijak, James."
"Trims, Katherine."
"It's Kirsty."
"Hei, teman-teman!" Tiba-tiba, Jeff menyapa teman-temannya (yang sebenarnya sedang menggosipkannya saat itu) dari jauh. Sontak membuat Robert dan kedua temannya langsung salah tingkah dan gelagapan. Bahkan Collin si Bunglon langsung ketakutan dan masuk ke kantong baju Jamie. May tersenyum kecil, kontras jika dibandingkan dengan tampang dinginnya semalam. "Kalian sudah bangun?" lanjut Jeff.
"Uh... bisa dibilang seperti itu." kata Jamie gugup sambil bertukar pandangan dengan Robert dan Kirsty. Mereka cepat-cepat bangkit dan segera melangkah ke meja makan.
"Ah! Akhirnya gerombolan jenius ini bangun juga!" Ben muncul dengan nada suara sarkastis dari bagian kemudi, diikuti Andy di belakang. Tangan mereka dipenuhi oleh beberapa kotak makan styrofoam berisi sarapan instan. Ia mengacak rambut Robert dan Jamie, membuat mereka mengerang keras. "Duduklah, anak-anak. Kita harus bergegas ke Washington."
"Washington? Memangnya kita sudah sampai mana?" tanya Kirsty sambil duduk di kursi bundar yang disediakan oleh Jeff.
"Brookmont, 6 mil dari Washington DC," kata Andy sambil membagikan kotak makanan, namun matanya terpincing ke arah Kirsty dengan bibir mengerucut. Entah kenapa, Andy tidak terlalu heboh seperti biasa, yang bisa jadi pertanda baik atau buruk. "Aku tahu kau bilang aku dan Ben pacaran, Kirsty."
Sontak, semua langsung menyemburkan minuman, sementara Ben tersedak air liur sendiri. Mereka tertawa terbahak-bahak dan Kirsty menunjukkan air muka tak bersalah. Ia mengangkat kedua tangan seperti tertangkap basah sambil tersenyum jenaka. "Hei! Bukan aku yang memulainya!" serunya.
"Ya, tapi itu sama saja, Dahlberg."
"Tapi kalian berdua memang serasi kok, kalau kalian pacaran." gumam May tanpa melirik sedikit pun ke arah Ben dan Andy yang berwajah merah padam.
"APA?"
"Whoa, whoa, tenanglah kalian. Bisakah kita makan dengan tenang, sementara kita bisa membicarakan soal rencana di Washington?" Robert mengambil alih pembicaraan dengan tegas, meskipun mulutnya dipenuhi oleh daging asap sekarang. Ia melirik Ben, yang mengatupkan mulut, seolah sedang merutuk dalam hati. Ia menjentikkan jarinya di depan Ben, membuat polisi itu terkejut. "Oi! Bisa kau jelaskan apa yang akan kita lakukan di Washington, Detektif Washburn?"
Ben mengepalkan tangan di udara dengan gembira dan berseru, "Kita akan menyusup ke FBI!" Sontak, semua kembali menyemburkan minuman masing-masing, membuat Ben basah kuyup seketika.
Jeff memandang sangsi Ben sambil terbatuk-batuk. "Kau menanggapi serius perkataanku kemarin soal menganalisis chip itu, ya?"
"Tidak, aku tak menanggapinya serius-" Saat Ben ingin melanjutkan kalimat, ia mendapatkan pelototan mata kesal dari semua orang hingga ia tersenyum bersalah. "Maksudku... tentu saja aku menanggapinya serius. Namun cobalah dengarkan pendapatku terlebih dahulu."
"Washburn, bukankah gila jika membobol FBI hanya untuk chip mungil itu saja? Bagaimana jika isi di dalamnya kosong?" sergah May sarkastis, membuat Robert dan Kirsty mengangguk setuju. Meskipun mereka tak suka May sejak awal, namun kali ini dia benar juga.
"Aku bilang, dengar rencanaku dulu," kata Ben sembil mendeham dan mulai memaparkan rencana dengan serius. "Jadi, aku sudah memesan tiket tur FBI yang diadakan setiap tiga minggu sekali. Aku sudah melihat rute dan mereka bakal mampir ke ruang berkas dan analisis data. Di sana, aku bakal mengalihkan perhatian tour guide sementara kalian menganalisis chip tersebut. Dan voila! Kita hubungi Andy untuk menjemput kita dan kabur dari sini!"
Suasana seketika hening. Semuanya, bahkan Andy, mengangkat alis sambil bergumam pelan dan menangkupkan wajah di telapak tangan. Jeff memandang datar Robert. "Taruhan seloyang piza keju jika rencananya berjalan lancar," bisiknya dengan pelan, disambut dengan anggukan setuju Robert.
"Hei! Jangan meragukanku Ben seperti itu, Carmichael!" seru Andy yang membanting pelan gelas kopi. "Lagipula Ben sudah mendaftarkan kau, Robert, dan May untuk membantunya menjalankan rencana itu!"
Robert, Jeff, dan May saling pandang dengan mata terbelalak. Seolah tak percaya apa yang baru saja dikatakan oleh Andy. "Oh tunggu, apa?! Kau pasti bercanda kan?!" kata May sambil melotot pada Ben yang terlihat hampir putus asa dengan nada tinggi. "Kami tak bakal menjadi tim yang baik!"
"Ya, ya, aku setuju dengan May," kata Robert yang memicingkan mata pada May. "Lagipula badanku masih ngilu semua saat aku dibantingnya tadi malam."
"Itu tak sengaja, oke?" May membalas tatapan Rober dengan malas. "Aku seperti dipengaruhi tadi malam. Jujur, aku baru tersadar setelah Jeff berbicara padaku."
"Whoa, whoa, tenanglah kawan-kawan." Jamie berdiri dan melambaikan tangannya ke bawah dengan pelan. Membuat teman-temannya berangsur terdiam dan memandang Jamie serius. Ia melirik ke arah Andy. "Memangnya kenapa kalian memilih Rory, Jeffrey, dan Mandy? Bukannya aku dan Kerry?" lanjutnya disambut dengan protes oleh Robert dan yang lain setelah nama mereka kembali salah sebut.
Andy menyeruput kopi yang justru membuat ia terbatuk-batuk karena terlalu panas. "Karena Robert punya banyak taktik, Jeff pintar mengatasi masalah komputer, dan May pandai berkelahi. Bukannya aku meragukan kemampuanmu dengan Kirsty, namun mereka bisa mengatasi masalah ini."
Kirsty memutar bola mata. "Oh, bagus sekali. Terima kasih sudah meragukanku secara implisit, Andy."
"Aku serius!"
"Oke, oke! Kita perlu mengakhiri pembicaraan ini sekarang! Kita harus bergegas sekarang sebelum kita benar-benar terlambat untuk misi keren ini." Ben langsung bangkit dari kursi dan bergegas lari menuju lemari. Robert mengerang keras dan menarik pelan lengan kemeja Ben. "Hei, hei! Lalu bagaimana kelanjutan rencananya? Apa tugas kami? Lalu apa yang harus kami lakukan-"
"Tolonglah, Runner. Jangan banyak bicara, masih ada yang harus kujelaskan pada kalian." Ben menaruh jarinya di bibir Robert, berusaha membuatnya diam. Ia mengeluarkan setelan jas, tiga kemeja dan kacamata, laptop, serta headphone dari lemari dan membawanya ke meja makan. Ia menyapu bersih meja makan dan menaruh barang-barang itu di tengah dengan keras, membuat yang lain kembali protes karena mereka belum selesai makan.
"Hei! Ayolah, Ben! Janganlah membuat mood-ku lebih parah hari ini!" seru Kirsty saat makanannya disingkirkan oleh Ben. Namun tetap saja, Ben tak peduli. Ia justru membagikan kemeja dan kacamata pada Robert, Jeff, dan May, juga laptop dan headphone ke Jamie.
"Jadi begini, aku beserta Robert dan yang lain bakal menyamarkan penampilan untuk masuk ke sana. Sementara kalian, melalui headphone yang kuberikan, akan berkomunikasi denganku menggunakan perangkat di telinga. Ketika aku berkata "Himalaya", maka kalian harus datang karena kami dalam bahaya. Paham?"
"Tunggu sebentar, aku tak paham," Kirsty mengerutkan dahinya. "Kenapa kau bilang "Himalaya"? Apa tak ada bahasa lebih keren lagi seperti... Vatican Cameos? Yang dipakai di serial TV apa itu namanya?"
"Karena sebenarnya itu anagram dari "Kami dalam bahaya", namun anagramnya malah jadi "Himalaya Dahibaya". Aku tak mau pakai kata terakhirnya, jadi..."
"Oh sudahlah, Ben. Aku tak mau mendengar kelanjutannya lagi." Kirsty menempelkan tangannya ke jidat, lelah dengan semua kata-kata Ben yang sangat tak masuk akal. Ben menepuk pundak Robert dan yang lain dengan gembira. "Ayolah kawan-kawan! Bersiaplah sekarang, kita akan menjalani salah satu misi penyusupan terkeren yang pernah kalian alami!" serunya dengan riang. Semuanya mendesah kesal sambil memutar bola mata dengan malas.
Jamie membenamkan kepala ke meja. "Oh Tuhan, tolong selamatkan aku dari gerombolan orang tak waras ini."
***
Beberapa jam kemudian, Robert dan teman-temannya berjalan memasuki gedung FBI. Kacamata berbingkai tipis, kemeja baru, dan setelan jas membuat penampilan mereka lebih keren. Namun dibalik semua itu, mereka menyembunyikan pistol, pisau, chip yang akan mereka teliti, dan transmiter di balik telinga. Persis seperti agen rahasia yang sedang melakukan misi penyamaran.
"Robert, kau sudah siap?" kata Kirsty dari van melalui transmiter Robert.
Robert menghela nafas pelan. "Entahlah, aku rasa ini bakal tak berjalan lancar."
"Kalau begitu, kalian harus memberikan taruhan padaku juga." Tambah Andy dari balik transmiter Jeff dan May. Terdengar suara gemerisik yang mengganggu saat jeda. "Lagipula uangku sudah habis untuk- EW LEPASKAN BUNGLON INI DARI WAJAHKU, FOSTER!"
Mendengar Andy yang sedang berteriak-teriak sekarang, Ben terkikik geli. Ia bisa menduga Collin sedang menempel di wajah Andy dengan lendir menjijikkan yang melapisi permukaan kulitnya dan tangan yang mencengkram wajah dengan keras. Ia berhenti terkikik hngga ia mendengar pekikan keras dari transmiter.
"BENNY! BENNY! BENNY! APAKAH TRANSMITERNYA BERKERJA?!" Jamie berseru keras seperti memakai toa ukuran raksasa dari balik earphone, membuat semua mengaduh kesakitan saking kerasnya.
Ben menggemeretukan gigi kesal dan menendang kaleng yang ada di depan. "Ayolah! Jangan panggil aku Benny! Aku Ben! Ben! Dan selalu menjadi Ben!"
Jamie bergumam pelan, "Er.. aku kan, cuma mengetes transmiternya-"
"Tapi janganlah sekeras itu!" Ben membentak keras, membuat orang-orang menatapnya aneh dan berdecak ria, seolah ia perlu penanganan khusus dari rumah sakit jiwa. May langsung menyikutnya, menyuruhnya untuk diam. "Berisik, Ben! Kita sudah sampai."
Mendengar hal itu, Robert dan ketiga temannya mendongak melihat pemandangan sekitar. Gedung FBI itu bisa dibilang sangat futuristik, dengan atap terbuka yang menyajikan pemandangan cerah siang itu beserta teks berjalan yang menjelaskan buronan top FBI. Ada para agen berlalu-lalang menggiring tahanan mereka, dan ada juga yang bercengkrama dengan rekanan mereka. Benar-benar ramai, pikir Robert. Keadaan itu sangatlah tepat bagi mereka menyelinap saat tur nanti.
Jeff melirik ke arah Robert yang melongo melihat pemandangan itu. "Robert, apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisiknya pelan.
Robert terpecah dari lamunan. "Oh, ya! Ya, benar sekali. Maaf aku melamun sebelumnya," katanya cepat. "Tunggu sebentar... kita harus mencari pemandu kita sekarang." Robert memandang sepenjuru ruangan. Tiba-tiba, ia mendapati seorang wanita muda berblazer biru navy yang berdiri di dekat meja resepsionis. Tangannya memegang map bercapkan lambang FBI, membuat Robert bisa menerka tulisan "TUR FBI" yang tercetak di sampul dari jauh.
"Kurasa itu pemandu kita, apakah aku salah?" Robert menunjuk ke arah wanita itu, membuat Jeff, May, dan Ben sama-sama melihat wanita itu dengan serius. Tak disangka, wanita itu sama-sama melihat mereka dan tersenyum.
Di saat ia mulai berjalan ke arah mereka, Jeff menyikut keras teman-temannya. "Oke, beraktinglah dengan baik, teman-teman! Itu pemandu kita, bersiaplah!" bisiknya, membuat teman-temannya merapikan pakaian. Sementara itu, Ben hanya melongo dengan mata berbinar dan mulut hampir meneteskan liur.
May menjentikkan jari di depan Ben. "Ben? Oi, Ben! Apa yang kau lihat-lihat?!"
Namun Ben tak bergerak. Tepat saat Ben memandang perempuan itu, nafasnya terasa sesak ia merasa wajahnya terasa panas. Mata cokelat wanita itu memandang Ben dengan serius, membuat Ben merasa meleleh. Melihat Ben yang mulai tersenyum sendiri dan salah tingkah, Jeff langsung menginjak kaki Ben. Ben berteriak kesakitan dan memandang melotot ke arah Jeff. Mulutnya bergumam "Apa-apaan yang kau perbuat," tanpa suara. Jeff membalas melotot, meminta Ben untuk serius. Perempuan itu tersenyum kecil (dan mungkin sinis) pada Robert dan teman-temannya.
"Kalian pasti anak-anak dari perwakilan ekstrakulikuler forensik Whitemore High School dari California itu, kan?" tanya wanita itu riang.
"Iya, tentu saja!" bohong Robert. "Aku Robert Runner, dan ini teman-temanku, Jeff Carmichael, dan May Averstreet," lanjutnya diiringi dengan sapaan Jeff dan May. Kemudian, Robert mengarahkan tangan pada Ben sambil mengerutkan dahi. "Dan ini pendamping kami, guru ekstrakulikuler forensik, Ben-"
"Namaku Benedict Norton- maksudku Norton Wash- bleh! Namaku Washburn! Ben Washburn!" Ben memotong ucapan Robert dengan kecepatan tingi. Seketika wajahnya merah padam karena telah mempermalukan diri di depan wanita berambut coklat itu. Robert, Kirsty, dan May berusaha keras menahan tawa melihat Ben saat itu.
Wanita itu, Lindsey, langsung tertegun dengan wajah setengah memerah. Ia mengalihkan pandangan ke atap gedung, berusaha untuk menahan tawa. "Senang bertemu denganmu, Washburn. Aku Agen Spesial Lindsey Harrington, FBI. Aku yang akan menemani kalian berkeliling hari ini."
"Apakah kita akan pergi ke ruang berkas dan analisis data?" tanya Robert cepat, lalu ia berubah gelagapan karena keceplosan. "Uh- maksudku, aku pernah membaca soal itu."
Lindsey mengangkat tinggi alisnya, seolah belum pernah ada bocah tengil dari sisi lain Amerika yang bertanya seperti itu. "Tentu saja kita juga akan pergi ke sana," Lindsey tersenyum simpul. "Sepertinya kau tertarik bekerja di sini, hm?"
"Uh... sepertinya begitu," Robert menggaruk kepala ragu, mengingat status buronnya sejak peristiwa dari New York beberapa hari yang lalu.
Lindsey mengalihkan pandangan ke arah Ben yang masih terpaku padanya. Dengan wajah dongkol, Lindsey menjentikkan jari di depan Ben, membuat Ben langsung tersentak. "Maaf mengganggumu melamun, Tuan Washburn," kata Lindsey dengan nada penuh sarkas. "Tapi bagaimana jika kita berangkat sekarang?"
"Oh ya! Tentu saja!" kata Ben dengan gelagapan. "Maafkan aku, sepertitnya tadi aku sempat melamun atau- entahlah."
Lindsey memutar bola mata. "Terserahlah, mari kita jalan sekarang." Ia pun memimpin Robert dan lainnya menuju ruang yang direncanakan dalam tur FBI. Di belakang, mata Ben terus memandangi Lindsey tanpa bosan. Ia menyenggol pelan Jeff, membuat Jeff mengangkat alis. Ia berbisik pelan pada Jeff, "Kau tahu, Lindsey Harrington itu terlihat keren sekali."
Jeff mengatupkan bibir, berusaha untuk menahan tawanya yang berulang kali hampir meledak. Ia mengangguk pelan sambil menyapu air mata tawanya yang ditahan. "Tentu saja, dia agen yang terlihat tangguh," katanya. "Memangnya kau ingin merayunya, huh? Sepertinya dia bukan tandinganmu, Ben."
"Tentu saja! Aku kan, perayu yang handal. Mungkin aku akan berkata seperti ini," Ben mendeham. "Hey girl, are you a cockroach with wings? Because you always surprise... me?"
"Ya Tuhan. Benedict Norton Washburn, kau benar-benar perayu yang payah."
Setelah perbincangan singkat Ben dan Jeff di belakang, tur pun dimulai dengan lancar, tepat seperti dugaan Robert. Mereka melintasi laboratorium, dimana para peneliti memerika DNA korban dan barang bukti dari tempat kejadian kasus-kasus (awalnya Robert sempat ingin menguji chipnya di sana, namun ia mengurungkan niat karena ada banyak orang di sana). Mereka juga melewati cabang intelejen, dimana para agen melakukan pertemuan besar di sana. Mereka melewati ruang pelatihan, dimana para agen muda menguji kemampuan bertarung dan menembak. Intinya, tur itu memang agak membosankan. Kecuali mereka mendapat kesempatan untuk pergi ke ruang berkas dan menyekap pemandu mereka di sana.
"Dan ini adalah detasemen kriminal, pusat para agen spesial bekerja." Lindsey terus melanjutan penjelasan tanpa henti sementara mereka berjalan melewati para agen yang berlalu lalang di tengah rutinitas tersebut. Ben melangkah mendekati Lindsey saat wanita itu lengah, berusaha menarik perhatiannya.
"Jadi... bagaimana menurutmu soal bekerja di FBI? Apakah itu menyenangkan?" tanya Ben dengan nada rendah.
"Tentu saja sangat menyenangkan!" seru Lindsey riang dan cepat. "Kau tahu bagaimana rasanya jika setiap hari kau bertemu dengan orang baru, atau terjun ke lapangan. Memang orang-orang di sini tak terlalu ramah, namun aku bertemu dengan beberapa orang yang menyenangkan. Misalnya- Oh itu dia! Hai, Nick!"
Tepat pada saat itu, pandangan Robert dan teman-temannya yang awalnya terpisah, langsung tertuju pada seorang lelaki berjas hitam yang turun dari tangga atas dan hampir berpapasan dengan mereka. Lelaki berambut hitam berantakan itu tempat terkejut melihat Lindsey dan rombongan di belakangnya. Mata coklat kelabu lelaki itu memandang Robert dan yang lain dengan aneh. "Hei, Lindsey! Uh... siapa orang-orang di belakangmu?" tanya lelaki itu, Nick sambil menunjuk rombongan di belakang Lindsey.
Lindsey menelan ludah saat melihat sikap Nick yang kurang sopan. Namun ia tetap berusaha tersenyum. "Nick Gestrade, ini Robert, Jeff, May, dan Ben dari Whitemore High School." Lindsey memperkenalkan Robert dan teman-teman yang melambaikan tangan dengan canggung dan menyapanya pelan.
Sementara itu, Nick hanya tersenyum tipis, seolah kurang menyukai mereka. "Ah! Senang bertemu dengan kalian! Tapi sepertinya aku harus pergi sekarang! Kuharap kalian dapat menikmati tur ini!" katanya dengan nada suara yang pura-pura gembira. Ben mendengus pelan melihat reaksi Nick. Ia tidak terlalu menyukai si "Nikolas" yang agak sombong dan berusaha mencari perhatian Lindsey ini. Terlebih lagi, sepertinya Nick selalu menatap curiga Ben, Robert, dan yang lainnya.
Sebelum pergi, Nick mencondongkan badan dan berbisik pada Lindsey, "Berhati-hatilah dengan mereka, sepertinya mereka mencurigakan."
"Nick!"
"Bercanda. Selamat menikmati turmu!"
Lalu Nick berjalan meninggalkan kelima orang itu dengan suasana canggung. Membuat Lindsey tertawa gugup sambil mengajak rombongannya untuk melanjutkan perjalanan. "Maafkan aku, Nick tidak seperti biasanya kasar seperti itu," ujarnya sambil berusaha memaafkan sikap temannya itu. Suasana menjadi hening, hingga Lindsey kembali bersuara. "Ngomong-ngomong, tempat yang satu ini kurang diperhatikan orang lain. Namun kalian pasti akan menyukainya."
Awalnya, mata Robert masih lesu seperti biasa. Namun seketika matanya terbelalak saat sadar tempat yang mereka akan tuju. Mereka semakin mendekati sebuah pintu di bagian kanan lorong yang berplatkan "Ruang Berkas dan Analisis Data". Itulah tempat yang menjadi destinasi utama mereka. Robert menyenggol teman-temannya dan berkata, "Ini saatnya. Bersiaplah." Mendengar peringatan itu, Jeff dan yang lain memasukkan tangan saku pakaian masing-masing, meraba chip dan senjata yang disembunyikan. Lindsey memasukkan kunci di lubang kunci, dan semakin perlahan ia memutarnya, semakin gelisah Robert dan yang lain untuk segera menyerang dan membekapnya.
Krek! Saat pintu berderit tersebut terbuka, semua bisa melihat betapa tak terawat dan berantakan ruangan itu. Sarang laba-laba dan debu memenuhi setiap sudut ruangan, menyelimuti komputer dan lemari berkas. Lembaran dokumen tersebar di lantai. Barangkali laboratorium futuristik yang Robert lewati sebelumnya adalah alasan mengapa ruang berkas itu terbengkalai. Apalagi, peralatan di dalamnya seolah tertinggal beberapa abad daripada peralatan di laboratorium. Lindsey berbalik dan membuka mulut, ingin melanjutkan penjelasan.
"Nah, ini dia ruang berkas dan analisis data, silahkan masuk-"
BRAK! Dengan cepat, Robert mendorong Lindsey masuk ruangan. Ia menutup pintu hingga mendebum dan memutar kunci cepat. Ben langsung mendorong Lindsey ke dinding dan menahan kuat leher Lindsey dengan lengan, membuat nafas Lindsey tersekat dan meronta memberontak. Jeff dan May segera berlari menyalakan komputer terdekat dan memasukkan chip ke driver yang ada. Lindsey melotot pada Ben dan membentak keras, "Apa yang kalian lakukan?!"
Robert seolah tak peduli dengan bentakan Lindsey. Ia justru berjalan menuju lemari berkas dan mengarahkan jari telunjuk pada teman-temannya. "Dengar, Ben, kau jaga Lindsey agar tak bergerak. Jeff, May, lakukan pencarian pada chip itu sekarang. Aku harus melihat berkas terdahulu."
"Ha, sudah kuduga kalian sudah merencanakan semua ini. Nick sudah menduga itu dari awal," sergah Lindsey sambil memandang kesal Ben. "Dalam 10 menit, para staf keamanan akan menyadari hal janggal di sini dan memburu kalian."
"Coba saja jika mereka berhasil melakukannya. Ternyata si Nikolas-mu itu pintar sekali, hm? Sampai-sampai dia tak menolongmu sekarang." Balas Ben dengan nada sama sinis seperti Lindsey. Ternyata berdebat dengan Lindsey menyenangkan juga, batinnya.
"Namanya Nicholas- dan demi Tuhan, lepaskan lenganmu dari leherku sekarang, Norton," Lindsey tersenyum sarkastis. "Atau sebentar lagi aku akan meludahi wajahmu habis-habisan."
"Astaga, teman-teman, bisakah kalian berhenti berdebat? Biarkan aku konsentrasi mencari berkas sebentar saja," Robert memutar bola mata sementara tangannya terus bergerak menyusuri puluhan dokumen berawalkan huruf "Y" yang tertata rapi di dalam lemari. Hingga ia mengangkat sebuah dokumen lama dengan sampul bertuliskan The Yellowjacket. Ia bergumam pelan"Dapat!", sambil beralih ke rak selanjutnya untuk melihat dokumen lain.
Sepertinya ucapan Oliver tentang "tidak ada dokumen The Yellowjackets di FBI" salah sekali. Robert menoleh ke arah Jeff dan May yang mengerutkan dahi di depan monitor komputer, kebingungan dengan apa yang mereka dapatkan. "Bagaimana dengan kalian, Jeff? Ada perkembangan? Aku dapat berkas The Yellowjackets di sini."
"Sepertinya tak ada. Lagipula aku tak terlalu paham apa isi chip tersebut," ujar Jeff menghela nafas lesu sambil melepas chip dari driver komputer. "Mungkin kita harus menelitinya lain kali di tempat berbeda. Sia-sia saja kalau seperti ini."
Dari belakang, May menepuk pundak Jeff dengan senyum menenangkan, berusaha untuk menyemangatinya. "Tidak sia-sia juga! Kami menemukan bahwa chip ini berasal dari Mendacium Pharmacy di California. Kami tidak sempat mencari perusahaan itu karena waktu kita terbatas."
Mendengar hal itu, Robert mengerutkan dahi dan melangkah ke Jeff dan May yang berdiri di dekat komputer. Ia menetap aneh chip biru itu, seolah tak pernah mendengar nama "Mendacium Pharmacy" seumur hidupnya. Namun satu informasi itu bisa banyak membantu mereka. Sementara Jeff dan May menjelaskan temuan mereka, Ben menguap sangat lebar. Seolah hal itu kesempatan emas bagi Lindsey, ia tak bercanda soal "meludah di wajahnya". Cuih! Tiba-tiba ia meludah tepat ke dalam mulut Ben, membuat Ben tersedak dan mengeluarkan benda yang masuk ke dalam mulutnya. Di saat Ben tersedak, Lindsey mendorongnya ke samping dan mengeluarkan pistol Glock 22 dari belakang celana.
Seketika, Robert, Jeff, dan May berteriak panik dan mengangkat tangan. Mereka berusaha mengelak hingga Robert berkata, "Whoa! Tunggu, kami bisa menjelaskannya-"
"Angkat tangan. Sekarang."
"Tolonglah, dengarkan-"
"Aku bilang, angkat tangan." kata Lindsey dengan air muka tegang. Tangan kaku dan kuatnya mengarahkan ujung pistol ke arah Robert dan lain yang membelakangi deretan komputer. Robert, Jeff, dan May mematung dan menelan ludah. Itu tidak seperti yang mereka harapkan. Atau bisa dibilang, sangat melenceng dari rencana awal mereka.
Ben, yang tertua disitu (tentu saja, dia 38 tahun), mengemeretukkan giginya dengan kesal setelah baru saja diludahi oleh wanita yang ia taksir. Ia tahu dia tertarik pada Lindsey, namun bagaimana jika Lindsey menyakiti anak-anak itu? Robert dan teman-temannya memang menyebalkan, namun mereka seperti anaknya sendiri. Tentu saja ia akan melawan. Ia melangkah ke depan Robert dengan percaya diri, memasang wajah serius dan tegas.
"Jangan sakiti mereka," Ben memasang kuda-kuda karate yang lemah. "Kalau kau ingin melukai mereka, lewati aku dulu."
Lindsey tertawa kecil, namun raut wajahnya kembali merengut dan memberikan tatapan mematikan pada Ben. "Oh benarkah? Kalau begitu, silahkan tinju aku terlebih dahulu." katanya dengan sinis. Ia memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana, sementara buku-buku jarinya mulai mengepal. Ben mengerutkan dahi melihat sikap Lindsey, namun ia tak bisa membiarkan kesempatan itu buyar. Dengan cepat, ia mengayunkan tendangan ke perut Lindsey. Namun, dengan sigap, Lindsey menahan tendangan tersebut dengan menahan kakinya, membuat Ben tak bisa bergerak dan meloncat-loncat, berusaha melepaskan dirinya. Ia menggenggam erat pergelangan kaki Ben, dan Brak! Ia membanting tubuh Ben ke lantai. Ben menggulung badannya, meringis kesakitan. Membuat May berusaha maju untuk menyerang Lindsey.
"Jangan!" cegah Ben. Ia melirik ke arah Lindsey. "Ini pertandinganku dengan Lindsey, kalian jangan ikut campur."
Dengan teriakan memekik, Ben bangkit dan melancarkan tinjuannya ke Lindsey. Lindsey mengelak, dan mengunci pergelangan tangan Ben. Ia menyikut rusuk Ben dengan siku, membuat Ben terbatuk kesakitan dan kembali tersungkur ke lantai. Belum sempat bangkit, Lindsey menendang wajah Ben, membuat pipi Ben tercoreng oleh sebuah memar dan luka gores yang dihasilkan oleh sepatu Lindsey. Kini Lindsey melangkah perlahan ke arah Ben dengan tampang pembunuh. Di tangannya, ia memegang erat pistol dan mengarahkan lambat ke tengkorak Ben.
Melihat hal itu, Ben menahan getaran badan dengan mengepalkan kuat tangannya. Ia berusaha bangkit, namun badannya terasa nyeri. "Lindsey," Ben tertegun saat ia terpaku pada Lindsey. Wajahnya pasrah, meskipun ada secercah harapan di dalam matanya. "Kau harus percaya padaku. Mereka anak-anak yang baik. Begitu pula kau. Setega itukah kau menyakiti anak kecil?"
Lindsey melirik ke arah Robert, Jeff, dan May yang berdiri cemas di dekat komputer. Mereka memandang Lindsey dengan tatapan tegang. Namun ia sadar di balik tatapan itu, terdapat sedikit kecemasan yang bersembunyi di balik diri mereka. Lindsey menelan ludah dan berkata, "Tentu saja aku tak tega."
"Kalau begitu, kau harus memercayaiku."
"Dan mengapa aku bisa mempercayaimu?"
"Karena mereka, Harrington, ada di antara hidup dan mati," Ben menunjuk Robert dan kawan-kawannya dengan gigi bergemetuk. Wajahnya merah padam, seperti kemarahannya akan meledak. Robert dan yang lain tertegun, belum pernah Ben terlihat semurka itu sebelumnya. "Kau pikir aku hanyalah orang iseng yang ingin mengambil dokumen untuk hal omong kosong, huh?
Dengan sekuat tenaga, Ben berlutut di depan Lindsey. Perlahan, tangan Ben mencengkram pergelangan tangan Lindsey yang mengarahkan pistol ke tengkoraknya. Ia berbisik lirih, "Mungkin ada banyak anak seperti mereka beserta keluarganya terancam dibunuh oleh orang tak dikenal ini. Banyak orang akan tewas, Lindsey."
Mata Lindsey bertemu dengan mata coklat Ben. Tatapan Ben tidak seperti tatapan kelabu Nick yang tegas ataupun cerdas. Ia berbeda, seperti sedikit bodoh (sepertinya begitu) dan penuh harapan juga tekad kuat. Perlahan, Lindsey menurunkan pistol dari Ben dan melangkah mundur. Ia menengok jam sebentar, lalu mengalihkan pandangan pada Robert, Jeff, dan May. "Kalian punya senjata?"
Robert, Jeff dan May saling berpandangan kebingungan. Mereka mengeluarkan pistol dan pisau lipat dari saku pakaian. Jeff mengendikkan kepalanya. "Sepertinya begitu. Kau berubah kubu, Miss Harrington?"
"Sepertinya begitu," ulang Lindsey, yang terlihat menyeringai seperti ikan hiu. "Kalian terlihat cukup jujur, lagipula aku agak kasihan dengan Ben. Sepertinya ia ingin pipis di celana sekarang." Lanjutnya sambil menunjuk Ben yang bergetar ketakutan karena sebelumnya ia berusaha menahannya.
Singkat kata, Robert menceritakan cepat bagaimana semua hal tentang The Yellowjackets itu terjadi, mulai dari sekelompok pembunuh bertopeng Deadpool yang membobol rumahnya hingga May si Ninja Baltimore yang hampir menghabisinya tadi malam. Lindsey mengangguk mengerti, sementara para remaja anggota turnya bersiap sebelum bertempur ketika keluar dari gedung FBI.
"Sialan, 5 menit lagi. Aku harus menghubungi Andy sekarang," umpat Ben sambil memukul-mukul transmiter di telinganya. Saat yang dengar hanyalah gemerisik keras, Ben berteriak keras. "HIMALAYA! ANDY, HIMALAYA! Astaga, dimana kau saat aku membutuhkanmu, Andrew?!"
Lindsey mengerutkan dahi. "Himalaya? Memangnya kau ingin menabrak gunung?"
"Bukan, itu hanya kode ciptaannya. Aku tahu, itu memang terdengar bodoh," kata May sambil menyeringai. "Jadi apa rencana kami selanjutnya?"
Lindsey memandang ke arah kamera pengawas di ujung ruangan. "Biasanya pengawas keamanan akan bertindak 10 menit setelah satu keanehan terjadi. Dan sekarang, waktu kalian sisa 4 menit. Untuk bisa melarikan diri, kalian harus melintasi lorong yang ada di kiri pintu ini, dan meloncat dari balkon utama. Tenang saja, saat kalian mendarat, kalian langsung ada di tengah pintu kedatangan. Sementara itu, aku akan tetap di sini, seolah menjadi korban. Jadi aku juga tak dianggap sebagai komplotan dan dapat mengawasi perkembangan dari jauh."
Robert mengangguk pelan. Dari jauh, ia sudah mulai mendengar keributan di luar. Sepertinya para penjaga keamanan mulai bertindak. Ia dan teman-temannya tersenyum lirih kepada Lindsey. "Sepertinya aku salah tentangmu, Miss Harrington," Robert mengulurkan tangan. Lindsey tersenyum dan menjabat tangan Robert. "Terima kasih atas bantuanmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi nanti."
"Tentu saja, Robert. Aku berusaha menyelidiki kasus kalian dan membantu kalian dari jauh." kata Lindsey sambil bergilir menjabat tangan Jeff dan May. Saat semua sudah bersalaman, hanya Ben yang belum menyalami Lindsey. Dengan wajah merah, Ben menggaruk tengkuk dengan kikuk di depan Lindsey.
"Jadi... apakah kita tak akan bertemu lagi?" ucap Ben lirih, seolah agak patah hati.
Lindsey tersenyum kecil dan menyalaminya. "Tentu saja tidak, Ben. Aku yakin kita bisa bertemu lagi."
Tepat sebelum Ben melepaskan jabatan tangan Lindsey, Lindsey menarik dasinya dan mengecup pipinya pelan. Membuat Ben tersentak dan memandang Lindsey tak percaya. Wajah Ben kini terasa seperti digesek di aspal, sementara Lindsey tersenyum lirih pada Ben. "Semoga kau beruntung, Washburn." bisik Lindsey pelan. Sebelum Ben bisa berkata apa-apa, Robert sudah menariknya pergi. Meninggalkan Lindsey yang berjalan ke belakang di belakang lemari untuk bersembunyi hingga dirinya ditemukan oleh Nick atau agen lain.
"Apa yang kau lakukan, Robert? Aku bahkan belum mengucapkan perpisahan pada Lindsey!" Ben melotot pada Robert saat bocah itu menariknya ke dekat pintu.
Robert menarik dasi Ben hingga Ben merunduk tepat ke depan wajahnya dengan kesal. "Kita akan pergi sekarang, Washburn. Dua menit lagi pasukan FBI akan memburu kita karena kau memaksa kami ke sini. Sekarang dengarkan perintahku untuk menyerang atau kau akan mati."
Ben langsung menelan ludah pasrah dan mengangguk dengan wajah pucat pasi. Ia pun mengeluarkan pistol, bergabung bersama Jeff dan May yang bersiap dengan pistol dan pisau mereka di sisi samping pintu. Terdengar suara teriakan Nick bersama derapan sepatu sekelompok orang mendekati pintu. "FBI! BUKA PINTUNYA!" seru Nick dari luar. Robert memandang teman-temannya, memberikan aba-aba untuk bersiap sebelum ia membuka pintu. Jeff, May, dan Ben mengangguk, hingga Robert memutar kunci dan membuka pintu perlahan. Terjadi keheningan saat pintu berderit itu terbuka, hingga Robert berteriak keras.
"SEKARANG!"
Dari balik pintu, Robert dan timnya meloncat dan melancarkan tembakan ke arah Nick dan pasukan FBI-nya. Para personel keamanan berlindung dari balik di balik perisai, sementara mereka mengeluarkan pistol dari saku. Sebelum mereka bisa mengeluarkan pistol, May mengeluarkan pisau lipat dan menusukkannya ke sepatu salah satu personel. Salah satu personel tersebut memekik kesakitan, sementara Ben melancarkan hantamannya ke arah mereka. Sementara itu, Jeff dan Robert memberikan tendangan dan tinjuan terbaik mereka, lalu mengambil cepat senjata yang dimiliki oleh para personel. Membuat satu persatu personel itu berjatuhan dan berusaha bangkit lagi. Robert dan timnya berusaha bertarung melewati personel dan berlari melintasi lorong. Mereka bisa melihat balkon di ujung lorong, membuat mereka mempercepat lari dan mengayunkan tangan kencang.
"Dalam hitungan ketiga, kita harus meloncat dari balkon!" teriak Robert. Teman-temannya mengangguk. "Satu, dua- tiga!"
Hup! Brak! Tanpa sadar lagi bahwa balkon tersebut sangat tinggi, mereka memegang pagar balkon dan meloncatinya. Membuat mereka jatuh mendebum dan bergulung di lantai dasar. Robert dan yang lain mengerang kesakitan, sementara para pengunjung FBI memekik terkejut melihat mereka. Ben melihat ke atas, mendapati Nick menggeram padanya dari balkon atas karena mereka semua harus turun lewat tangga. Ben nyengir, hingga ia tersadar bahwa Andy dan vannya belum tiba. Ia langsung bangkit dan hampir berkata kasar.
"Dimana si idiot itu- oh, ya ampun."
BRAAK! PRANG! Seketika, sebuah mobil van silver menabrak lobi FBI dengan kecepatan tinggi, membuatnya melayang dengan pecahan kaca bertebaran dan orang-orang lari terbirit-birit. Mobil tersebut mendarat dengan mulus tepat di depan resepsionis dan melakukan drift dengan sangat cepat. Membuat Robert dan teman-temannya langsung mengeluarkan rentetan umpatan saat melihat mobil itu terbang. Saat Andy mengeluarkan wajah tololnya dari balik jendela, dia membunyikan klakson mobil ala klakson Meksiko sambil berteriak, "Aku mendapat sinyalmu, Ben!"
"McLaughin! Kebodohan apa yang kau lakukan sekarang?!" seru Ben sambil tertawa terbahak-bahak.
Dor! Dor! Dor! Tiba-tiba tembakan melayang melewati ujung telinga Robert dan teman-temannya. Membuat mereka sontak berbalik dan mendapati Nick beserta pasukan agennya berteriak dengan keras sambil menembakkan pistol mereka. Robert dan teman-temannya merunduk dan menembak balik, sambil berlari menuju van. Kirsty dan Jamie membuka pintu dan mengeluarkan kepala mereka.
"Robert!" teriak Kirsty, mengalihkan perhatian Robert yang sedang menembak. "Jangan pedulikan para agen FBI itu! Kalian harus masuk sekarang!"
Dengan teriakan keras, Robert berseru pada teman-temannya untuk menahan tembakan. Ia menarik Jeff dan lain masuk ke dalam van anti peluru itu. Melihat kedatangan Robert dan timnya, Kirsty, Jamie (juga Collin), dan Andy bersorak kegirangan. Andy langsung menyerbu Ben dan memeluknya dengan sangat erat, membuat Ben tak bisa bernafas. "Benedict Norton Washburn! Ya ampun, aku benar-benar merindukanmu! Kukira kau sudah dibunuh di dalam sana! Mungkin aku harus menciummu sekarang-"
"Apa-apaan!" Ben langsung mendorong wajah Andy ke samping hingga terbentur lemari. "Aku bukan pacarmu, bodoh! Jalankan mobilnya sekarang!" Ia berlari menuju ruang kemudi, sementara Robert dan teman-temannya berlari mengikutinya dan Andy marah-marah sendiri karena habis di dorong oleh sahabatnya.
Alih-alih berkelahi dengan Andy, Ben justru memutar persneling penuh dan menginjak gas dengan kencang. Rengg! Mobil tersebut meloncat mundur dengan kencang, membuat mobil oleng dan hampir terjatuh. Untungnya Ben membanting setir dan membuat mobil tergoncang kencang. Ia melepaskan perseneling mundur, dan kembali menginjak gas dengan kuat. Mobil tersebut melaju kencang, meninggalkan para agen yang berteriak mengumpat. Mereka terus menembak mobil tersebut hingga teriakan mereka tak terdengar lagi. Robert dan timnya memandang ke belakang, memandangi pemandangan kacau FBI yang telah mereka tinggalkan. Dan jujur saja, penyamaran dan penyusupan mereka ke dalam FBI itu benar-benar gila sekali.
Robert memandang datar Jeff. "Kau kalah, bayar taruhanku karena rencana Ben benar-benar tak berjalan lancar," bisiknya pelan, disambut dengan anggukan setuju Jeff.
***
"Bocah-bocah itu melakukan apa?"
Di ruang direktur FBI, keadaan semakin runyam setelah Robert dan timnya kabur, juga setelah sebuah mobil van berukuran besar menghancurkan sebagian pintu kedatangan. Di ruangan itu, Lindsey dan Nick menunduk dan berpandangan ketika direktur mereka mulai mengucapkan sumpah serapah. Direktur Fornell, seorang pria paruh baya dengan kepala botak licin dan asap cerutu havananya yang mulai mengepul tinggi, menatap tajam kedua anak buah terbaiknya. "Tiga anak kecil, satu polisi Boston, menabrak masuk FBI dan memukuli agennya di ruang berkas," katanya dengan aksen Minnesota yang kental. "Terdengar seperti lelucon."
Lindsey melipat tangan di dada, berusaha menahan kekesalan dan kebohongan tentang "dipukuli oleh tiga bocah dan polisi Boston" yang ia ceritakan pada Direktur sebelumnya. Ia bergumam pelan, "Itu bukan lelucon, sir."
"Kalau itu bukan lelucon, bagaimana itu bisa terjadi?" sahut Direktur Fornell. "Mungkin kau membiarkan mereka mengambil berkas di sana."
Lindsey menahan air muka pucatnya. Teringat kembali saat Ben menggenggam tangannya dan mengatakan bahwa mereka orang baik, karena apa yang ia lakukan adalah urusan hidup dan mati. Ia percaya padanya, walau bertemu selama beberapa puluh menit saja. Ia mengatupkan bibir, sementara Nick memajukan kursi dan memandang serius Direktur Fornell. "Sir, biarkan aku menangkap mereka," kata Nick tegas. "Selama mereka masih berkeliaran di luar sana, biar aku melacak dan menyelidiki apa yang mereka lakukan."
Direktur Fornell menghela nafas panjang dan memijat tengkuk. Terdengar ia mendesah "Ya Tuhan" dengan pelan, seolah tidak percaya apa yang menimpa anak buahnya. Ia mengangguk tegas dan memandang penuh harap pada Lindsey. "Baiklah jika itu keinginan kalian," katanya. "Tapi aku percayakan Gestrade untuk mengatur semuanya. Ini sudah cukup."
Nick memegang pergelangan tangan Lindsey dengan erat, memberikan isyarat untuk keluar dari ruangan. Kedua agen itu berdiri dan mengangguk penuh hormat. "Terima kasih, pak. Biar aku selesaikan masalah ini." Nick melangkah keluar diikuti oleh Lindsey di belakangnya. Tepat saat Nick menutup pintu, Lindsey mencegat Nick dengan kesal.
"Nick, apa yang kau lakukan tadi? Menangkap mereka?" tanya Lindsey.
Nick berusaha menyingkir dari Lindsey. "Sudah tugas kita untuk menangkap mereka. Dia sudah membahayakanmu dan agensi ini," Namun Lindsey tetap menahannya, membuatnya memutar bola mata. "Menyingkirlah, Harrington."
"Aku tak akan menyingkir. Mereka orang baik, Nick."
"Kau memercayai orang-orang itu?" tanya Nick tak percaya. Pegangan tangannya mengeras. "Aku percaya padamu. Dan aku atasanmu sekarang. Sekarang menyingkirlah."
Dengan dorongan pelan, Nick menggeser Lindsey yang menghalanginya. Meninggalkann Lindsey dengan keadaan frustasi. Sebenarnya, mereka berdua sama-sama frustasi sekarang. Lindsey menutupi muka dengan telapak tangan dan menghela nafas panjang. Ia meronggoh saku celana, lalu menekan sebuah nomor telepon seseorang yang mungkin bisa membantunya sekarang, meskipun ia sedikit kurang yakin. Hingga ia mendengar seseorang di seberang mengangkat panggilannya.
"Will, aku perlu menceritakan sesuatu padamu. Dan ini penting."
***
Di saat senja, mobil van silver Robert dan kawan-kawan melaju melintasi Rute 95, melanjutkan perjalanan mereka setelah berhasil kabur dari serangan FBI, atau bisa dibilang, berhasil melewati salah satu hari terberat dalam perjalanan mereka. Suasana kembali hening dan tenang. Robert yang saat di FBI berusaha kabur hingga ngos-ngosan, kini terbaring di kantong tidurnya dan Kirsty kembali melanjutkan membaca buku. Sementara Jamie bermain bersama Collin, Jeff mendengarkan musik, May menyeduh teh, dan Andy yang mulai bernyanyi sumbang mengiringi siaran radio. Seolah tak ada peristiwa mengerikan apapun sebelumnya.
Di saat semuanya terlihat normal, satu-satunya yang bersikap berbeda hanya Ben. Ia terus termenung di meja makan, sambil menempelkan wajah murungnya di jendela. Pandangannya lesu, sementara pikirannya melayang pada Lindsey Harrington, agen FBI yang sangat keren dan lincah itu. Sejak pertemuandi FBI, Ben percaya pada dengan Lindsey, meskipun ia hanya bertemu selama beberapa menit. Salah satu yang juga mengusiknya adalah saat Lindsey mengecup pipinya dengan cepat sebelum pergi. Namun yang ia cemaskan kali ini ada dua: 1.) Apakah Lindsey bisa menjaga rahasia? 2.) Apakah Lindsey menyukainya? Bayangan menawan Lindsey selalu hadiri di benak Ben, membuatnya menggerutu pelan dan berusaha mengusir bayangan itu.
"Kau kenapa, Ben? Kau cukup lesu sekali." kata May dengan senyuman kecil sambil menyodorkan teh pada Ben yang terlihat sama sekali tak berselera.
Ben hanya menggelengkan kepala, sambil bergumam terima kasih pada May. "Tidak apa-apa, May. Aku cuma sedikit lelah hari ini." katanya sambil menyeruput teh.
Andy, yang memberhentikan mobil di stasiun gas untuk mengisi bensin, berjalan ke arah Ben dengan santai. Ia meninju pelan lengan Ben sambil tertawa jenaka pada May. "Sebenarnya, dia masih memikirkan Lindsey, lho. Kau tahu kan? Agen FBI itu? Dia suka padanya." katanya.
Sontak, Ben langsung memukul punggung Andy dan berteriak keras. "Hei! Ayolah, Andy! Kau tak bisa melakukan itu padaku sekarang!" teriaknya.
Kirsty, Jamie, dan Jeff ber-oh ria dari balik selimut dipan mereka sambil tertawa geli. Mereka segera bangkit dari dipan masing-masing dan mulai mengerubuti Ben. "Oooh, jadi kau jatuh cinta dengan Lindsey setelah wajahmu ditendang oleh sepatunya, eh?" sindir Jamie dengan nada mengejek sambil menyodorkan tangan terlipatnya ke arah Ben.
Ben memutar bola mata dan menyembunyikan wajah yang panas. "Oh tidak, kalian salah-"
"Wajahmu memerah! Ha! Kau memang menyukainya!" seru Kirsty dengan riang.
Ben bergumam, "Kirsty... berhentilah, berhentilah," tanpa suara sedikit pun. Semuanya mulai tertawa mengejek pada Ben. Jamie dan Andy mulai bernyanyi-nyanyi.
"Ben and Lindsey sitting on the tree, K-I-S-S-I-N-"
BLETAK! DUG! Ben membenturkan kepala Andy dan Jamie ke satu sama lain dengan kencang, membuat Andy dan Jamie langsung terhuyung-huyung. Jamie tertawa kecil, dan mulai menggulati Ben yang ada di kursi meja makan.
Di tengah tawa dan canda teman-temannya itu, Robert meringkuk di balik selimut, berusaha mengistirahatkan otot kaki yang tegang setelah pelarian. Ia tersenyum sinis melihat Jamie dan Ben yang mulai bergulat, disambut seruan Andy dan gelak tawa May dan Kirsty. Matanya kembali turun ke selimut katunnya. Di baliknya, ia menarik sebuah map coklat misterius, yang terselip di belakang map FBI Yellowjacket. Ia memandang baik-baik map coklat bercap merah rahasia khas FBI itu. Di dalam hati, ia membaca nama subjek map tersebut dengan penuh rasa penasaran mengenainya.
Agen Senior Lapangan Oliver John Canterbury.
Kali ini, Oliver Canterbury adalah salah satu target investigasi Robert.
***
Note:
1.) Vatican Cameos: istilah militer yang diperkenalkan pada Perang Dunia 2, yang digunakan untuk memperingatkan seseorang agar berlindung dari serangan tertentu (yang nonton Sherlock pasti tau hehe #plak) ;
2.) Anagram: permainan kata dimana sebuah kata/kalimat yang diacak dapat membentuk kata/kalimat baru.
.
HELLO I'M BACK!
Btw, sori ya buat para pembaca yang sudah menunggu lama, karena alasannya pasti karena 1.) Tugas 2.) Ulangan 3.) UKK plus 4.) Ada ide tapi malah gak bisa nulisnya. Jujur, aku padahal pengen update tapi kuperbaiki lagi, sooo...
meh, I don't know.
Dan juga, akhirnya ada karakter sampingan baru di cerita ini! Yaitu Lindsey Harrington (Tina Fey) dan Nick Gestrade (Paul Rudd)! Kalau kalian paham kenapa aku menaruh bagian "Ant Man" dalam ucapan Nick, I really love you.
(sorry if I put many gif, I just... really love gif *cringe)
Trims udah meluangkan waktunya untuk membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan komentar dan votenya, I really appreciate it :) Dan aku juga memasukkan The Runaways untuk Wattys2016, jadi mohon dukungannya ya! :D
Plus, cek trailer The Runaways buatan ironsabel_ di multimedia! (ada Deadpool loh di sana WHAHAHAHA) Anyway, sejak kalian semua selalu bertanya bagaimana dan seperti apa Deadpool Kuning, maka inilah yang sudah kuhasilkan:
Uh... okay. Thanks for reading!
QOTD: Kalau dibandingin, si Lindsey mending sama Ben atau Nick, ya? (pertanyaan macam apa ini)
Multimedia: Jamie Foster/Callan McAullife (Picture)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro