Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4: Stayin' Alive

***

dedicated to Shelma, one of the best  junior high school partner -in-crime that I've ever had and the first person who ship Robert-Kirsty c:

***

Baltimore

Pagi hari di sudut kota Baltimore itu dimulai dengan cukup aneh. Hujan rintik yang gelap nan suram mulai membasahi jalanan kota yang terkenal dengan burung gagaknya itu. Cukup mengherankan, terutama saat itu adalah musim panas dengan panasnya yang membakar. Di sudut kota itu, dari jendela sebuah rumah kayu coklat sederhana, seorang gadis dengan rambut hitam panjangnya menerawang pemandangan itu. Mata biru jernihnya memandang tetesan demi tetesan air hujan yang menempel di jendela.

Hujan itu mengingatkan sesuatu yang kelam di masa lalunya. Namun ia berusaha mengalihkannya tepat saat ketel air panas di dapurnya mulai melengking dan bersiul dengan keras. Dengan langkah cepat, ia mematikan kompor dan mengambil ketel tersebut. Lalu menuangkan isinya dengan perlahan pada cangkir teh putih yang telah ia siapkan bersama beberapa pil dan koran di sampingnya.

Di tengah kesibukan kecilnya, tiba-tiba seorang perempuan berambut pirang pendek memasuki dapur itu. Bibirnya yang terangkat ke atas saat melihat gadis di depannya bekerja dengan keras. "Bangun cukup pagi di hari minggu ini, May?" bisik perempuan itu pada gadis berambut hitam itu dan melipat tangannya.

May, lebih lengkapnya May Averstreet, memutar bola matanya. "Tolonglah jangan menyindirku karena selalu bangun terlambat, Bibi Sierra," Ia tersenyum tipis, entah itu menandakan rasa malas atau sinisnya. "Aku hanya ingin membantu."

"Baiklah, baiklah. Aku tahu kau sedang sangat rajin. Pergilah. Nikmatilah hari liburmu." Bibi May, Sierra, mengacak rambut May dengan gemas.

May berjalan dengan pelan bersama nampannya menuju sebuah pintu coklat berkusen tua dan rapuh yang berjarak beberapa langkah darinya. Dengan hati-hati, ia menaruh telinganya ke pintu, berusaha mendengar suara dari dalam ruangan. Suara radio dengan volume pelan terdengar dari dalam, pertanda penghuni ruangan itu sudah terbangun. Ia pun mengetok dan membuka pintu itu dengan pelan.

Dari pandangan May, seorang kakek berayun di kursi goyangnya dengan tenang. Ayunan kursi goyang itu mengalun mengikuti nada musik klasik Beethoven dari radio. Matanya yang mulai renta menerawang ke antara pepohonan Maple. Garis wajahnya yang mulai mengeriput sekilas terlihat seperti May. Dia tak lain adalah Kakek May sendiri, David.

"Ah, Maynard," kata Kakek David dengan suaranya yang monoton dan lemah. "Kau sudah terbangun rupanya. Biasanya hari ini kau lebih suka tidur dengan kolam air liurmu hingga pukul 8."

Wajah May merah padam saat kakeknya memanggilnya dengan nama depannya yang seperti laki-laki itu. "Aku hanya mencoba bangun lebih pagi. Ini teh, obat, dan korannya." Kata May sambil menaruh nampannya dengan pelan di samping kakeknya.

Jujur, May menyukai keadaan kakeknya saat itu. Kakeknya jauh lebih tenang dan dapat menikmati hari pensiunnya. Sudah lebih dari tiga bulan, penyakit kakeknya tidak kambuh. Perlu diketahui kakek May menderita schizophrenia, sejak ayah dan ibu May meninggal karena kecelakaan pesawat di Toronto 2005 silam. Ia selalu meracau tentang hal-hal aneh dan menghancurkan barang yang ada di sekelilingnya. Untungnya, May dan Bibi Sierra dengan telaten menjaganya. Hingga tiga bulan terakhir adalah bulan tertenang sepanjang tahun 2018. Setidaknya, ia berharap keadaan itu bertahan lebih lama.

Kecuali perkiraannya salah besar.

"Terima kasih, May. Nikmatilah liburanmu." kata Kakek David, membuyarkan lamunan May.

May tersenyum hangat sambil membawa nampannya keluar. Ia mengangguk dan memberikan salam perpisahan pada kakeknya. Tepat saat ia melangkahkan kaki kirinya keluar dari ruangan itu, tiba-tiba suatu kalimat diucapkan oleh kakeknya. Suara kakeknya yang lemah dan tenang, berubah menjadi tegas dan waspada.

"Satu hal lagi, May. Berhati-hatilah dengan Yellowjackets."

May tertegun. Ia menoleh ke belakang dengan lambat, memandang kakeknya dengan tidak percaya. Kakeknya masih duduk di kursi goyangnya sambil menyeruput teh hijau. Tidak ada yang aneh. Dengan pikiran yang kembali melayang ke saat-saat dimana penyakit kakeknya kambuh berat, May menutup pintu kamar kembali.

Kini, pikiran May dipenuhi oleh banyak hal. Satu kata, dan itu telah mengganggunya. Yellowjackets. Yang ia tahu adalah Yelllowjacket adalah musuh dari sebuah superhero bebadan semut di sebuah komik. Yellowjacket juga jenis serangga semacam lebah yang memiliki sengatan yang mematikan. Dan Yellowjacket juga grup musik instrumen dari Los Angeles. Tidak mungkin yang dimaksud oleh kakeknya adalah semua itu. Kakeknya tentu saja sedang meracau. Lalu apa?

Tok, tok, tok! May dibuyarkan oleh suara ketokan keras dari pintu depan rumahnya. Ia tak tahu sudah berapa lama ia tertegun dengan nampan di pelukannya. Ia menarik gagang pintu dan mendapati seorang remaja lelaki berambut brunnete dengan seragam dokter dan beserta peralatannya berdiri di sana. Dari kacamata berbingkai tipis yang dipakai oleh lelaki itu, mata biru sebening esnya memandang dingin May. Seolah May adalah ancaman serius baginya.

"Umm... Ada yang bisa kubantu?" tanya May dengan serius, mengerutkan dahinya.

"Maaf membuatmu terganggu, Nona Maynard Averstreet. Namaku Daniel Winters, perwakilan dari Northwest Hospital. Aku adalah asisten dari Dr. Mallory Stewart, yang bisa kau ketahui adalah dokter penyakit dalam kakek anda," jelas lelaki tersebut. "Kebetulan Dr. Stewart mengalami kecelakaan parah beberapa hari yang lalu, sehingga aku yang terpaksa menggantikannya untuk melakukan pengecekan bulanan."

May langsung membelalakkan matanya dan mengangguk paham. "Oh ya, tentu saja-"

"Bolehkah aku memeriksanya sekarang?" sela Daniel.

May mengangguk cepat dan mempersilahkan asisten dokter itu masuk. Ia berpikir, sepertinya lelaki itu adalah asisten baru yang tak bisa diajak berbasa-basi. Ia pun meninggalkan asisten itu bersama kakeknya, karena ia tahu pasti prosedur pemeriksaan tersebut. Ia pun memasuki kamarnya yang penuh dengan sticky note dan kliping di dindingnya, sambil kembali memfokuskan pikirannya soal Yellowjacket.

Yellowjacket, Yellowjacket, gumam May sambil mulai mengetikkan kata "yellowjacket" di mesin pencari internet komputernya. Matanya terus meneliti setiap artikel yang ada. Tidak ada yang mencurigakan. Ia membuka database FBI dari link situs tersembunyi yang ia simpan. Ia mengetikkan kata "yellowjackets" sebagai kata kuncinya. Ia terhenti di sebuah titik:

The Yellowjackets. Proyek California. [dokumen ini tidak dapat di buka oleh umum. Dokumen ini hanya dapat dibuka oleh otoritas FBI dan pihak yang berwenang]

May membanting mejanya dengan gusar. Ia berada di jalan buntu. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha membersihkan pikirannya dari hal itu. Lalu ia menyadari sesuatu. Seumur hidupnya, hanya kakeknya dan Sierra yang memanggilnya dengan nama Maynard. Selain itu, teman dan gurunya sendiri, tidak memanggil dan bahkan mengetahui nama "Maynard". Pertanyaan yang bersarang di pikirannya hanyalah satu, tepat saat degup jantungnya berdetak cepat seketika.

Sejak kapan asisten itu tahu namaku Maynard Averstreet?

PRANG! KLANG!

Pekikan seorang wanita terdengar dari luar. Mata May terbelalak. Itu teriakan Bibi Sierra. Dengan sigap, ia langsung menarik laci mejanya, mengambil sebuah pistol revolver tua yang ia simpan. Ia berlari keluar dan menendang pintu dengan keras. Nafasnya tersekat saat ia melihat bibinya dicekik hingga hampir tak bernafas oleh sekelompok orang tak dikenal berpakaian spandeks kuning superhero Deadpool. Dengan rahang yang mengeras, ia mengarahkan revolvernya ke arah penjahat itu.

"Lepaskan dia. Sekarang."

Deadpool itu membeku di tempatnya, dengan tangan kanannya memegangi leher Bibi Sierra yang meringis ketakutan. Tiba-tiba, Deadpool itu mengeluarkan dengan cepat pistol berkaliber dari punggungnya dan menembakkannya ke May. Dor-dor-dor! Tembakan demi tembakan diluncurkan ke arah May. May merunduk dengan cepat, menghindari tembakan itu. Ia menggulingkan meja yang ada di belakangnya, dan berlindung di baliknya. Peluru demi peluru menembus kayu dari meja tersebut. May mengumpat dan menyadari bahwa rentetan tembakan itu mulai berakhir. Saatnya untuk menembak balik.

Saat May meloncat dari balik meja itu, lehernya tersentak dan tubuhnya dibanting ke belakang dengan keras. Ia terbatuk dan mengerjapkan matanya, melihat salah satu Deadpool itu membantingnya, sementara Deadpool lainnya menyeret kakek dan bibinya pergi. May mengeraskan rahangnya. Ia tidak boleh langsung menyerah begitu saja. Ia meloncat bangkit dan menerjang Deadpool yang menyerangnya dari belakang.

Deadpool dan May mendarat, dengan kedua kaki May menginjak keras punggung Deadpool itu. Terdengar suara "krar" pelan dari punggung Deadpool itu. Deadpool tersebut memutar badannya dengan cepat dan mengapit May dengan kencang. Seketika, May dan Deadpool itu langsung bergulat dengan keras. Deadpool itu menghantam perutnya dengan lututnya. May menekan gigi-ginya, membalasnya dengan sikutan kerasnya berkali-kali. Deadpool kuning itu tak melawan, dan May mengakhirinya dengan menghantamkan kepalanya ke Deadpool itu.

Bruk! Sang Deadpool langsung tergeletak lemas di depannya. Namun untuk memastikannya bahwa dia masih tak sadar, May menghantamkan keras kepala Deadpool itu ke lantai kayu. Ia menarik nafas panjang dengan mulutnya yang merah karena darah. Ia kelelahan setelah bergulat, namun juga merasa bersalah karena tak pernah menyakiti seseorang seumur hidupnya. Hingga ia mendengar suara dencitan mobil.

May melebarkan matanya. Oh tidak, oh tidak, batin May dengan panik. Pasukan Deadpool itu akan pergi, membawa kakek dan bibinya kabur dari sana. May berlari dengan kencang seiring van itu berderu dengan kencang. Ia mengarahkan ujung pistolnya ke arah mobil itu. Dor! Satu peluru meluncur, dan mobil itu tetap melaju. Dor! Dor! Satu persatu peluru dari revolver itu mulai meluncur dan terpantul dengan sendirinya. Van itu tetap kabur. Dan ia tetap ada disana. Sendiri, dan bertahan hidup. Dia satu-satunya Averstreet yang bertahan hidup.

May menggenggam pistolnya dengan tangan bergetar. Ia berlutut di aspal jalanan itu, berusaha untuk menahan air mata yang mulai mengalir di pelupuk matanya. Hujan mulai membasahinya. Kini, ia sendirian, dengan darah bersemburat di pakaiannya dan sebuah pistol revolver di genggamannya. Dengan tatapan tajam, ia melirik ke mayat salah satu penjahat itu yang tergeletak di dalam rumahnya. Ia tahu, apabila salah satu anggota dari aliansi itu masih tertinggal di sana, para penjahat itu akan kembali ke rumahnya, hari itu juga. May mengeraskan rahangnya dengan penuh amarah.

Mereka akan kembali. Dan May siap membunuh mereka.

***

Tidak ada yang lebih menenangkan selain tidur dengan alunan musik.

Itulah yang dimaksud oleh Jeff Carmichael sekarang. Di tengah perjalanan menuju Baltimore, Jeff memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah pelarian yang melelahkan. Kali ini, ia mulai mempertanyakan maksud dari Yellowjackets dan Proyek California, dua kata yang seperti garis yang samar baginya. Ayahnya pernah bercerita tentang itu. Namun ia tak yakin ayahnya bercerita keadaan sebenarnya. Kali ini, masalah itu jauh lebih kompleks dari yang ia kira.

Satu-satunya cara untuk melupakan hal itu sementara adalah dengan terlelap dalam alunan musik yang menenangkan. Ia menaikkan selimutnya, menenggalamkan kepalanya dalam bantal. Namun, belum 5 menit terlelap, ia merasa gumpalan air menetes di pipinya. Tetesan yang terasa lengket itu semakin lama semakin membasahi wajahnya. Kulitnya bergesekan dengan sisik-sisik yang terasa mengganggu. Dengan sedikit letih, ia membuka matanya dan kali ini, bola matanya terasa hampir keluar dari tengkoraknya.

Collin si bunglon, dengan diselimuti lendir, menempel di wajah Jeff sekarang.

"Ew- JAMES FOSTER! SINGKIRKAN BUNGLON SIALANMU DARIKU SEKARANG!" pekik Jeff dengan jijik.

Collin berlari masuk selimut dengan kaki mungilnya, ketakutan. Jeff menyapukan seluruh liur Collin ke kasurnya sambil berteriak dengan jijik. Ia tidak sadar, sedari tadi seorang gadis berambut pirang dan berjaket merah telah berdiri di sampingnya. Memandangnya dengan wajah datar dan keheranan. Terkejut, Jeff langsung tersudut hingga ke dekat kaca mobil. Gadis itu adalah Kirsty Dahlberg. Tapi sejak kapan ia berdiri di sana?

"Maaf mengganggu tidurmu, Carmichael, tapi makan malam sudah siap." kata Kirsty dengan lembut.

Jeff menjadi salah tingkah. Ia mengangguk dengan cepat dan bangkit dari dipannya. "Tentu saja, tapi sebelumnya-" Ia menyerahkan Collin dari balik selimutnya pada Kirsty dengan ekspresi datar dan kesal. "Tolong kembalikan bunglon ini pada Jamie. Bilang padanya, Collin berhasil mengganggu tidurku hari ini."

Kirsty hanya tertawa geli sambil menggendong Collin dari pegangan Jeff. Gadis itu menyuruh Jeff bergegas jika ia tak mau kehabisan makan malam. Sambil menggosok mata dan merengganggkan punggung, Ia berusaha memfokuskan pandangannya ke meja makan. Jeff bisa melihat teman-temannya bercengkrama sambil menikmati minuman mereka. Kirsty dan Jamie (juga Collin di pundak Jamie) saling berbagi cerita bersama Ben dan Andy yang telah melakukan pemberhentian di pengisian bensin Rute 895. Pemandangan itu cukup menenangkan bagi Jeff. Seolah mereka adalah keluarganya meskipun baru saling mengenal beberapa jam yang lalu.

"Hai, Jeff! Bergabunglah bersama kami! Makan malam hampir siap!"

Dari dapur, Robert berseru dengan riang sambil membolak-balik telur di panci datarnya seperti koki terkenal. Namun justru yang membuat Jeff hampir tersedak air liurnya sendiri adalah celemek "kiss the cook" yang dipakai oleh Robert. Membuat Robert gagal terlihat keren dengan rambut coklat berantakan dan kemeja barunya. Jeff tertawa kecil, berusaha menahannya agar tawanya tidak menjadi keras.

Robert hanya memutar bola matanya melihat Jeff berusaha menahan tawanya. Ia memang mengakui, satu-satunya celemek yang ia bisa temukan itu membuatnya terlihat bodoh. "Duduk dan jangan tertawakan aku, Jeff. Aku tahu aku memang terlihat bodoh seperti ini." Katanya sambil meletakkan telur mata sapi dan dua potong daging bakon sapi di piring.

"Itu punya Oliver atau Will. Kalau salah satu dari mereka memakai celemek itu, mungkin aku sudah tersedak garpuku sendiri." gumam Ben yang sedang setengah melamun dengan garpu di mulutnya (yang diharap tidak akan tertelan) saat Jeff duduk dihadapkannya.

"Oke, cukup berbicaranya, kawan-kawan. Nikmati makan malam kalian dulu," kata Robert sambil membawa piring berisikan makan malam mereka. "Ini roti isi dan kentang goreng untuk Jeff dan Jamie, plus selada untuk Collin." Jeff memandang sajian itu dengan lapar, sedangkan Jamie memandang roti isinya dengan sedikit tidak berselera. Collin meluncur dengan girang dari bahu Jamie melihat sepiring seladanya.

"Kenapa kau tidak memasak taco? Bukannya taco itu juga enak?" tanya Jamie sambil menyeruput teh hijaunya.

"Aku suka saja taco," kata Robert sambil meletakkan piring berisi mac and cheese untuk Jeff beserta dua piring telur dan daging bakon sapi untuk Ben dan Andy. "Masalahnya, taco itu mengingatkanku pada sesuatu yang buruk." Ia langsung bergidik ngeri mengingat kembali truk The Yellowjackets dan mayat yang tumbang di di depannya. Jujur, ia memasak makan malam itu bukan karena ia sedang berbaik hati, ia ingin mengalihkan pikirannya dari masalah The Yellowjackets dan Proyek California yang membuatnya makin gelisah.

"Dan yang terakhir, sepiring souvlaki sandwich untuk Kirsty."

Robert menyajikan sepiring souvlaki, makanan khas Yunani yang dilapisi oleh roti pita dan diisi dengan kentang goreng, keju feta, dan jamur. Bau harumnya langsung mengundang rasa lapar Kirsty, membuat perutnya keroncongan seketika. Seolah-olah Robert bisa membaca pikirannya bahwa itu makanan favoritnya. Kirsty menggosokkan tangannya. "Téleios! Aftó eínai ypérocho! (Bahasa Yunani: Sempurna! Ini sangat lezat!)" serunya dengan bersemangat.

"Hah?" Andy langsung mengernyitkan dahinya, tak paham dengan bahasa Yunani itu.

"Maksudku, ini sempurna. Ini sangat lezat, perlu kau ketahui, Yunani adalah bahasa keduaku, Andy," kata Kirsty sambil mengangkat setengah alisnya. Ia mulai mengunyah segigit souvlaki-nya sambil tersenyum kecil pada Robert. "Trims, Robert."

"Sama-sama, Kirsty Althea Dahlberg, aku tahu kau akan menyukainya." Robert mengedipkan sebelah matanya pada Kirsty sambil melepaskan celemeknya. Ia pun mengambil burger dari atas microwave dan duduk di depan Kirsty. Wajah Kirsty terasa panas seketika.

Robert menggosok tangannya seolah hendak membuka sebuah jamuan makan malam di meja kecil itu. Ia membuka pembicaraan sambil menyeruput kopinya. "Jadi, ini makan malam bersama pertama kita, dan aku harap kita semua akan selamat dan memecahkan kasus ini," katanya, lalu melirik ke arah Jeff dan Jamie yang duduk di antaranya. "Jeff, Jamie, sepertinya kita semua belum terlalu mengenalmu lebih lanjut."

"Ah ya, tentu saja," Jeff menegakkan posisi duduknya dan mencomot kentang goreng dari piringnya. "Aku sebenarnya sedikit tahu tentang The Yellowjacket dan Proyek California. Ayahku bercerita sedikit. Namun saat aku ingin mengetahui soal itu lebih jauh, ia justru melarangku untuk bertanya lagi."

Jeff bilang, ayannya hanya mengatakan bahwa The Yellowjacket adalah organisasi rahasia dalam hal genetika dan Proyek California adalah salah satu proyek yang dikerjakannya. Ayahnya juga peneliti yang bekerja dalam proyek itu. Ia sebenarnya sedikit iri hanya bisa mengetahui sesedikit itu saat teman-temannya sudah mengetahui hal yang lebih penting.

"Dimana ayah dan ibumu saat kau dan Jamie kabur, huh? Dimana?" Ben mencondongkan tubuhnya ke Jeff dengan wajah serius dan datar. Nada suaranya yang berubah monoton membuat Robert memutar bola matanya. Jeff hanya memijat pelipis kepalanya, pusing memikirkan semua hal itu.

"Ben, tolonglah jangan seperti itu, ini hanyalah makan malam. Kau seperti sedang menginterogasinya. Itu justru malah membebaninya." tegas Robert dengan nada sedikit kesal. Sepertinya makan malam pertama mereka sebagai sebuah tim berjalan tidak terlalu baik.

Wajah Ben langsung berubah drastis 180 derajat. Ia tertawa renyah. "Santai, Robert, santai," katanya sambil nyengir sendiri. "Aku cuma berlatih dengan bakat interogasiku ini, berhubung dua minggu lagi aku ada ujian kenaikan pangkat." Kalimat itu membuat Robert dan lainnya memutar bola mata mereka dan mengerang. Tidak dapat dipercaya.

"Ah ya, ngomong-ngomong soal ayah dan ibuku," kata Jeff, mengangkat alisnya. "Saat kami kabur dari rumah karena diburu oleh The Yellowjackets, mereka sedang pergi ke supermarket. Dan ternyata... aku tak pernah melihat mereka lagi."

Robert menepuk pundak Jeff yang berwajah murung sekarang. Ia tahu bagaimana perasaan Jeff saat itu, begitu pula dengan perasaan Kirsty dan Jamie. Mereka merasakan bagaimana rasanya jauh dari rumah dan orangtua mereka dalam bahaya. Setidaknya, dalam perjalanan kali ini mereka harus bekerjasama, dan menganggap semua seperti keluarga sendiri. Ia mengalihkan pandangannya ke Jamie yang mengelus Collin dengan selada di genggamannya.

"Bagaimana denganmu, Jamie? Bagaimana kau bisa ada di Philadelphia?" tanya Kirsty dengan cepat, merebut kesempatan Robert untuk menanyakan hal itu. Seolah Kirsty telah merebut pertanyaan yang ada di benak Robert.

Jamie hanya mengangkat kedua alisnya sambil mengacak rambut pirangnya. Ia menghela nafasnya. "Yah, sebenarnya aku sedang menikmati liburan musim panasku di sini. Aku sudah menabung sejak lama, lalu aku singgah di rumah Jeff yang juga sepupuku selama satu minggu." katanya dengan santai.

Andy mengernyitkan dahinya. "Kau 14 tahun dan terbang dari Nevada menuju Philadelphia sendirian? Orangtuamu tidak cemas dengan dirimu?" tanyanya dengan lambat.

Tiba-tiba Jamie berhenti menyeruput tehnya. Ia meletakkan cangkirnya dengan tangan yang sedikit basah. "Kurasa tidak," katanya dengan nada sesantai mungkin. "Aku sering berpergian jauh dan mereka tidak terlalu keberatan soal itu."

Kirsty mengerutkan dahinya. "Kau punya hubungan yang buruk dengan orangtuamu?"

Semuanya terdiam. Kirsty seolah memberikan pertanyaan yang telah menonjok Jamie dan telah menghancurkan sebuah meja di depan mereka. Ben dan Andy membanting cangkir mereka dengan tidak sengaja hingga isinya tumpah. Jeff dan Collin hanya mengunyah makanan mereka secara bersamaan, seolah tak bersalah. Sementara Robert menggelengkan kepalanya pada Kirsty dengan pelan. Ia membatin, "Ini tak bagus, Kirsty, tak bagus."

Di tengah kecanggungan itu, Jamie mendeham dan tersenyum tipis. "Mungkin sebenarnya kita tak perlu membicarakan hal ini bukan?"

Dengan cepat ia bangkit meja makan tersebut dengan langkah yang terseret-seret. Kemudian berjalan ke dipan atasnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Collin melompat dari meja makan tersebut, mengikuti majikannya dengan wajah sedih. Ben dan Andy hanya mengangkat bahu mereka dan bergeser perlahan, berusaha kabur dari tempat kejadian.

"Umm... sepertinya makan malam ini telah usai bukan? Kami.. Uhh, harus menyetir lagi sekarang jika kita tak mau sampai Baltimore terlalu larut malam dan-" kata Ben, berusaha mencari alasan untuk kabur dari sana.

"Terserahlah, Ben. Tapi kembalilah ke sini, ada yang perlu kita bicarakan." sahut Robert.

"Aye-aye, Komandan Runner."

Robert hanya memutar bola matanya saat Ben dan Andy berjalan meninggalkan meja makan dengan langkah yang sedikit meloncat. Kini tersisa dirinya sendiri bersama Kirsty dan Jeff di meja makan yang dipenuhi tumpukan piring kotor. Kirsty memijit pelipis matanya, sedikit frustasi kenapa ia melontarkan pertanyaan itu secara refleks. Jeff menghela nafas dengan lesu dalam keheningan itu.

"Maaf sudah bertanya soal itu, Robert. Soal orangtua Jamie." kata Kirsty memecahkan keheningan.

Robert menggelengkan kepalanya, berusaha menenangkan Kirsty. Sebenarnya otaknya telah terbagi atas banyak masalah sekarang, dan kali ini ditambah oleh masalah mispersepsi antara Kirsty dan Jamie. "Itu bukan salahmu. Kau hanya bertanya, bukan bermaksud untuk memojokkannya."

"Dan itu juga menjadi satu catatan untuk Jamie," kata Jeff dengan serius. "Jangan pernah mengungkit masalah keluarganya. Apapun itu. Aku yang bahkan sepupunya sendiri tak tahu banyak soal keluarganya."

Robert menepuk tangannya dengan keras, mengejutkan Kirsty dan Jeff yang sebelumnya benar-benar serius. "Oke! Cukup soal semua itu! Sekarang beralih ke topik yang lebih menarik lagi," katanya sambil menarik Kirsty dan Jeff ke dekat dipannya. Jamie hanya melirik ketiga temannya dari atas sambil bergelung di dalam selimutnya, tidak terlalu tertarik soal "topik" tersebut. "Ngomong-ngomong, Jeff, kau pernah bilang kau memiliki ketertarikan dengan hal-hal mekanik bukan?"

Jeff mengatupkan bibirnya dan mengangguk. "Yep. Memangnya kenapa?"

Dari rak besar di bawah dipan Robert, Robert mengeluarkan seonggok mayat dengan mata yang masih terbelalak. Sebuah lubang tercetak di kepala mayat itu, tidak berbau dan mengeluarkan apapun. Hanya gumpalan kabel dan darah yang bercampur aduk menjadi satu. Jeff dan Kirsty terkesiap melihat pemandangan mengerikan itu. BRAK! Jamie langsung terjatuh dari ketinggian melihat pemandangan itu. Semuanya berteriak terkejut dan Jamie mengerang kesakitan.

"Hei, hei! Relaks, temanku," canda Robert. "Aku curiga ini robot, bukan manusia. Sebaiknya kita coba periksa ini. Setidaknya bisa cukup berguna. Kalian tunggu disini sebentar, aku akan panggil Ben."

Robert meninggalkan ketiga temannya bersama "mayat" tersebut dan sekotak peralatan mekanik. Kirsty memandang mayat itu setengah jijik dan Jamie hanya menunduk ke arah mayat. Sementara itu Jeff mengeluarkan kacamata berbingkai hitamnya dari saku bajunya, dan tang dari kotak peralatan. Dengan perlahan, ia mencoba memotong kulit kepala itu sambil bergumam, "Mari kita lihat isi otaknya-"

Jamie dengan sedikit mual langsung berusaha mencegahnya. "Jeff! Jangan-"

KRAK! Kulit kepala mayat tersebut terpotong dengan mudahnya. Jeff menyentuh kulit mayat itu dan mengendusnya. Itu bau silikon. Dengan cepat, ia menyambar gunting dan menggunting keseluruhan silikon berwarna krem yang menyelimuti tubuh robot itu. Perlahan, kulit itu terkelupas, menampilkan kerangka titanium dan fiber karbon, dengan otaknya yang berpendar merah. Kirsty dan Jamie terkesiap melihat pemandangan menakjubkan yang sedikit menakutkan itu.

"Ini indah sekali, lihatlah ini," kata Jeff dengan mata berbinar di balik kacamatanya. Mata birunya bertemu dengan mata bionik robot itu yang sempurna. Ia menunjuk ke gir, chip, dan kabel tersusun rapi di kepala yang ia telah buka. Semua tatanan itu dilapisi oleh plastik, membuatnya tidak basah saat ditenggelami oleh gumpalan air berwarna merah darah. "Ini automaton terbaik yang pernah aku lihat."

"Dan aku memaafkanmu, Kirsty Daly," gumam Jamie, yang sukses membuat Kirsty terbelalak. Rupanya temuan itu telah membuatnya lupa tentang masalah sebelumnya. "Aku terlalu melankonis tadi dan ini benar-benar menakjubkan. Whoa."

"Dan itu tepat sekali!" seru Robert bersama Ben yang datang menghampiri mereka tiba-tiba dari belakang. "Ngomong-ngomong, namanya Kirsty Dahlberg, Jamie."

"Ya, ya, ya, tutup mulutmu, Runner," kata Ben dengan malas yang membuatnya mendapat tatapan tajam dari Robert. Ben membungkuk dan meneliti automaton itu dengan kebingungan. "Apa yang kau dapatkan kali ini, Dokter?" tanyanya dengan nada sarkastik sambil melirik ke Jeff yang mengernyit.

"Lihat ini," Jeff mengangkat sebuah chip besar dengan pinsetnya dari kepala itu. Ia mengangkatnya dengan hati-hati, sementara teman-temannya mulai mengelilinginya. Ia bergumam pelan melihat chip itu. "Chip memori. Setidaknya kita bisa mengetahui isinya. Namun laptop biasa sepertinya tidak mampu melakukan itu. Chip ini dibuat khusus. Kecuali-"

"Kita mencari sebuah tempat dimana chip itu bisa dianalisis!" sambung Jamie dengan bersemangat, setelah sebelumnya tidak menemukan apapun. Jeff tersenyum dengan sangat lebar. Ia berseru, "Tepat sekali! Sayangnya aku taku tahu dimana tempat analisis itu dimana-"

"Federal Bureau of Investigation?"

Robert, Kirsty, Jeff, dan Jamie menoleh dengan lambat ke belakang mereka. Ben, yang ada di belakang mereka, memandang mereka dengan sangsi seolah bocah-bocah tengil itu sedang menghakiminya. Ia membuka mulutnya, "Apa? Memangnya aku ada salah bicara?"

"FBI? Kau ingin menyelidiki chip ini di FBI? Agensi federal itu?" tanya balik Kirsty dengan nada tidak percaya. Ia menghela nafasnya, tangannya berada di pinggangnya sekarang. "Ben, kita adalah buronan antar negara bagian. Kita dicari di Boston, New York, Philadelphia, dan sekarang kau menargetkan DC. Kau gila, Washburn?"

"Ya! Aku memang gila!" balas Ben sambil mengangkat kedua alisnya dan melipat tangannya. "Aku memang gila dalam hal menyelesaikan masalah. Dengar, Oliver Canterbury bekerja di FBI. Aku yakin dia akan membantu kita. Dan ya, setelah dari Baltimore, kita akan pergi ke sana, secepatnya."

"Oh astaga, Ben. Kau memang nekat sekali, bahkan aku tidak sampai pikir apa yang akan terjadi selama ini." Robert memijat pelipisnya yang disambut oleh kebingungan Jamie.

"Memangnya apa pikiranmu?" tanya Jamie. Robert mengerucutkan bibirnya.

"Pikiranku? Aku ditembak, Kirsty tak pernah ditemukan, aku tak menemui kalian, dan Ben juga Andy diturunkan pangkatnya. Selesai. Dan bagian kredit film mulai berputar..."

"Robert!"

"Teman-teman," Andy memanggil semua kawan-kawannya ke ruang kemudi saat ia mengendarai van itu. "Selamat datang di Baltimore, Maryland."

Robert dan kawan-kawannya melongok ke pemandangan di luar jendela. Gedung-gedung bertingkat menjulang tinggi, meskipun jumlahnya tak terlalu banyak. Namun, sesuatu membuat pemandangan kota tersebut terasa janggal. Beberapa bangunan dan toko yang kacanya pecah belah berantakan, seolah baru saja dirampok. Bunyi sirene berbunyi silih berganti, sementara beberapa kali polisi berpapasan dengan wajah kaku mereka. Membuat Robert takut status buronan mereka akan dikenali oleh kepolisian Baltimore.

"Kota ini mirip Seattle atau New York, tapi sedikit berbeda," gumam Kirsty. "Seolah sering terjadi kekacauan di sini."

"Kau lupa, Kerry? Disini pernah terjadi penembakan massal, tahun 2015 seingatku," kata Jamie, yang diikuti protes kesal Kirsty karena ia selalu dipanggil dengan nama yang salah. "Itu yang membuat pada tahun berikutnya daerah ini berubah... menjadi daerah konflik berdarah."

"Hoo, that's creepy. Dan aku bahkan tak peduli." kata Ben dengan nada malas seperti biasanya. Jamie menatap tajam Ben yang benar-benar tidak menghargai penjelasannya tadi. Sepertinya ia perlu melakukan sesuatu pada polisi berwajah kotak itu.

"Ini memperburuk keadaan." kata Robert sambil mengigit bibir bagian bawahnya dan melipat tangan di depan dada. "Akan ada banyak polisi berlalu lalang di sini. Terlebih saat ini status kita adalah buronan nasional, dan ini membuat kita harus lebih hati-hati dalam perjalanan."

"Kalian tidak perlu khawatir," kata Andy sambil menghentikan mobil dengan rem mendadak. Membuat semuanya (tentu saja selain Andy) terjungkal ke depan, menabrak kaca mobil dengan keras. Semuanya hampir saja mengeluarkan umpatan dan makian mereka, namun Andy langsung menyela mereka tanpa mempedulikan hal itu. "Karena kita sudah sampai di kediaman Averstreet dan kita bisa kabur dari sini dalam waktu 15 menit."

Robert dan lainnya langsung menoleh ke arah kanan mereka dengan cepat. Memang benar, itu adalah rumah ke 10 di Frankford Avenue, yaitu rumah keluarga May. Dengan bangga karena berhasil menyetir hingga Baltimore, Andy melangkah keluar bersama pistolnya. Meninggalkan Robert, Ben, dan teman-temannya bersama senjata mereka di dalam van. Kebingungan karena betapa cepatnya mereka bisa tiba di sana. Jeff mengernyitkan dahinya dan mengerucutkan bibirnya dengan bingung.

"Well, that escalated quickly."

***

Rumah keluarga Averstreet benar-benar dalam kondisi mengerikan saat itu. Pecahan dan serpihan benda porselen bertebaran di karpet. Semburat kubangan darah tersebar di penjuru ruangan. Bahkan di tengah malam itu, rumah tersebut gelap gulita karena seluruh bohlam lampunya dipecahkan. Robert, diikuti oleh yang lainnya di belakang, menyorotkan senter mereka masing-masing ke penjuru ruangan. Kali ini mereka harus waspada, karena tidak ada penerangan yang cukup dan tak ada tanda dari May Averstreet.

Kirsty menyorotkan senternya ke salah satu kamar dari rumah itu. Kamar tersebut kecil, namun sangat berantakan seperti kapal pecah. Kertas dan baju bertebaran di penjuru ruangan. Dengan langkah perlahan, ia berjalan dan menyorotkan senter ke meja belajar yang berada di depannya. Guratan huruf M.A. yang Kirsty sentuh di sudut meja kayu itu terasa kasar, mengartikan bahwa meja itu adalah milik May.

"May Averstreet. Ini memang kamarnya," gumam Kirsty dengan pelan saat Robert dan Jeff mendekatinya. Ia berbalik ke arah kedua temannya itu sambil menggelengkan kepalanya. "Aku tak yakin May berhasil bertahan hidup."

"Aku yakin dia bertahan," kata Jeff sambil membuka laci meja dan menyorotkannya dengan senter. Matanya setengah terbelalak melihat isinya. Pisau lipat swiss, beberapa butir peluru, dan kacamata inframerah tersimpan dalam laci itu. "Dengan semua ini, dia pasti bertahan. Dia gadis yang cukup kuat."

"Aku tidak yakin, Jeff," sahut Robert sambil meneliti setiap sudut kamar yang hancur itu dan menghela nafas berat. "Dengan semua kekacauan di rumah ini, aku bisa memastikan dia tidak ada disini. Hidup atau mati, kita tak akan pernah menemukannya."

Tiba-tiba, sikap Jeff berubah. Wajahnya masam mendengar hal itu dan ia menggenggam kerah kemeja Robert. Robert tersentak melihat perubahan drastis itu, seolah hal yang sama telah berulang kembali. "Kalau begitu jawaban kita berbeda," kata Jeff dengan nada tajam, ujung hidungnya tinggal beberapa senti dari Robert. Ia berbisik dengan tajam. "Bagaimana kau bisa menyimpulkan hanya dari hal itu saja, Sherlock Holmes?"

Jeff melepas genggamannya dan melangkah keluar ruangan itu dengan cepat. Robert menghela nafasnya dan memperbaiki kerah kemejanya saat Kirsty mendekatinya dengan kebingungan. Belum Kirsty mengeluarkan suaranya, Robert memotongnya. "Ada yang aneh dengan Jeff," bisik Robert. "Dia mulai berada dalam pengaruh Yellowjacket."

"Maksudmu?"

"Matanya merah. Kita harus mengawasinya, atau dia akan menghabisi nyawa seseorang."

"Yo, teman! Coba cek yang satu ini!" Jamie berseru dari luar. Robert dan Kirsty keluar dari ruangan May, dan mendapati pemandangan mengerikan di depan Jamie dan Jeff. Jamie menyorotkan senter ke bawahnya. Di sorotan sinar senter tersebut, mereka bisa melihat anggota Yellowjackets lagi. Kali ini, hancur berantakan, dengan darah buatan yang berkubangan di sekitar mereka. Sementara kabel-kabel di tubuhnya mulai memercikkan api kecil. Robert kini tak bisa menutup mulutnya sekarang, entah karena kaget ataupun tak percaya. "Oh, astaga. Itu-"

"Tidak terlalu mengerikan, sebenarnya," gumam Andy dengan mata menatap kosong mayat tersebut. "Ada yang jauh lebih menakutkan dan mengerikan daripada itu."

Ben, rekannya yang berdiri disampingnya, mengerutkan dahinnya. "Memangnya apa itu?"

Flap! Flap! Flap! Flap! Tiba-tiba sekumpulan makhluk hitam terbang menyerang Andy dan Ben, membuat mereka berteriak histeris layaknya seorang perempuan. Robert dan yang lainnya terkejut, dan menyorotkan senter ke wajah kedua polisi itu. Makhluk-makhluk hitam bersayap itu langsung terbang kabur saat mengenai sinar senter itu. Meninggalkan Ben dan Andy, saling berpelukan dan memegangi kaki satu sama lain dengan gigi yang bergemeletuk. Mereka yang baru tersadar saling berpelukan, menatap tajam anak-anak itu.

"Apa yang kalian lihat, hah?" desis Ben. Jamie menahan tawanya.

Kirsty mengernyit sambil tersenyum kecil. "Kelelawar. Jelas kalian takut kelelawar."

Andy melepaskan pelukannya dari Ben dan merapikan baju Ben, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia mengangkat alisnya, berusaha untuk tampil keren. "Kami tidak takut. Hanya saja... kaget."

"Oke, sekarang lupakanlah soal masalah kelelawar itu. Itu tidak penting." hardik Jeff. Namun kali ini jelas matanya kembali coklat, menandakan bahwa tidak berada dalam pengaruh Yellowjackets. Robert berpikir, setidaknya kali ini keketusannya karena tindakan konyol dua polisi itu, dan Jeff agak kebal dari pengendalian pikiran Yellowjackets. Hingga Jamie menyadari sesuatu.

"Tunggu," kata Jamie. "Kelelawar kabur karena sesuatu mengganggu mereka, yaitu suara kencang dalam gelombang ultrasonik. Kecuali... gelombang ultrasonik itu berada di sekitar kita, maksudku-" Jamie menunjuk ke arah mayat Yellowjacket yang tergeletak didepannya. "Gelombang ultrasonik itu berasal dari sini."

Robert mengerutkan dahinya. Apa yang dikatakan Jamie tadi memang benar. Ia pernah membaca tentang pengusir kelelawar saat kelelawar masuk ke dalam kamarnya dan bersarang disana, menimbulkan bau yang tidak sedap di pagi harinya. Di artikel yang ia pernah baca, salah satu caranya adalah menggunakan suara keras ataupun gelombang ultrasonik yang mengganggu. Dengan penasaran, Ia melangkah mendekati mayat itu secara perlahan. Dengan cepat, Kirsty menarik lengan Robert. "Robert, jangan dekati mayat itu. Tolonglah, jangan." cegahnya sambil berfirasat sesuatu yang buruk akan terjadi.

Robert hanya mengacuhkannya. Dia justru melangkah mendekati mayat tersebut, hingga sesuatu yang menyakitkan terjadi. Tiba-tiba suatu suara berfrekuensi tinggi menusuk kepalanya seperti pahat es yang menusuknya dengan sangat tajam. Ia mengerang keras, berlutut dan tergeletak kesakitan tepat di samping mayat anggota The Yellowjackets itu tergeletak. Ben dan Andy langsung berteriak terkejut dan mengeluarkan pistolnya dengan siaga. Kirsty berteriak histeris.

"Robert! Robert, dengarkan aku!" katanya sambil menggguncang Robert. Dengan mata nanar ia menoleh cepat ke arah Ben dan Andy. "Ayolah! Lakukanlah sesuatu!"

Ben dan Andy hanya mengoceh dengan pelan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pula Jeff yang berlutut di dekat Robert, berusaha meyadarkannya. Jamie pun berlari mendekati mayat tersebut di saat telinganya mulai berdenging dan kepalanya terasa pusing. Ia mengangkat dan melempar dengan keras mayat "automaton" yang terasa berat itu ke ujung ruangan. Seketika, Robert dan Jamie merasakan hal yang sama: dengingan menyakitkan itu telah menghilang.

Robert, dengan peluh keringat dingin di dahinya, menarik nafas dan mengeluarkannya dengan berat. Kirsty dan yang lainnya menatapnya, meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Robert hanya menggelengkan kepalanya, kehabisan tenaga untuk berbicara. "Aku tak tahu," desahnya. "Kepalaku terasa seperti ditusuk oleh pahat es dan... ada dengingan yang sangat menyakitkan, dan ia tak bisa keluar."

Ben ingin angkat bicara bahwa hal itu adalah omong kosong, namun Kirsty segera menyetujui Robert. "Dia benar, dengingan itu ada ketika aku dan dia mendekati mayat itu," katanya. Ia menatap tajam Ben. "Kita harus segera pergi dari sini. Yellowjackets mengawasi kita."

"Kirsty benar, tempat ini memang tidak aman," kata Andy dengan keringat dingin. "Lagipula... aku takut ada kelelawar sialan itu lagi."

Dengan putus asa tanpa dapat menemukan May Averstreet, mereka melangkah keluar dari kediaman tersebut. Meskipun Jeff masih yakin, May masih ada di luar sana, selamat namun belum dapat ditemukan. Ia tak menyadari, saat sepatunya telah memijak keluar dari kediaman Avestreet itu, sepasang bola mata mengawasi mereka dari balik kegelapan tangga rumah itu. Bercahaya dalam kegelapan dalam warna iris birunya.

***

Jeff Carmichael termenung di dipannya sambil memandang keluar, melihat kilasan-kilasan pemandangan di jalannya menuju Washington. Sudah larut malam, namun ia merasa insomnia, memikirkan apa yang terjadi pada May. Robert menepuk pundak Jeff dengan sedih. Dengan lirih, ia berkata, "Maafkan aku, Jeff. Tapi May tak dapat kita temukan."

Jeff mengangguk pelan. "Aku tahu itu, tapi aku tak yakin ia mati," gumamnya dengan pelan. Ia berbalik ke arah Robert dan tersenyum lirih. "Setidaknya aku masih memiliki keluarga seperti kalian." Mendengar ucapan itu, Robert hanya membalas senyumannya dengan tipis. Ben menepuk tangannya, meminta perhatiannya sejenak.

"Istirahatlah, anak-anak. Setidaknya kita akan sampai Washington esok hari... tanpa tahu apa yang harus kita lakukan disana." Kata Ben sambil menggaruk kepalanya pada kata-kata terakhir.

Robert, Kirsty, Jeff, dan Jamie naik ke atas dipan mereka masing-masing dengan malas. Mereka mulai bersiap tidur dengan cara mereka masing-masing. Kirsty membaca novel The 5th Wave yang ia bawa dengan mata yang terasa sangat berat. Jeff meletakkan headphone dari walkman-nya ke telinga. Dan Jamie menemani Collin yang terkulai di sampingnya. Sementara Robert memandang ke langit-langit, berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya.

"Yah, setidaknya aku harus berterimakasih karena kau benar-benar peduli, Papa Ben," kata Robert dengan nada sarkastik sambil tersenyum kecil pada Ben. Ben hanya memelototinya dari kaca spion dengan kesal. Robert tertawa renyah. "Bercanda, Ben. Oke, selamat malam semuanya."

"Selamat mal-"

GLAK! Tiba-tiba kegelapan menyelimuti ruang dipan van. Angin dingin yang menggigil berhembus deras di sekitar mereka. Terkejut, Jeff dan Jamie terbangun cepat dari dipannya. BRAK! Kepala mereka terbentur keras ke dinding di atas mereka, membuat mereka mengerang kesakitandengan keras. Kirsty menutup bukunya dengan frustasi dan mengumpat dalam bahasa Yunaninya yang terdengar sangat kasar.

"Oi! Siapa yang mematikan lampunya?!"

Andy hanya mengangkat bahunya dan mengerucutkan bibirnya dari kaca spion, meskipun keempat anak di belakangnya tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. "Pasti masalah aliran listriknya," kata Andy dengan cepat. "Biar kucek ke kotaknya-"

"Jangan," Robert langsung melompat dari dipannya. Ia menyambar senter kecil yang terselip di balik bantalnya. Lalu menekan tombol nyala dengan cepat dan menyorotkannya ke kemudi depan. "Biar aku saja yang mengecek. Tetap kemudikan mobilnya, Ben. Andy, diam di tempat."

"Psst! Robby, jangan pergi!" bisik Jamie ketakutan.

Robert melangkahkan kakinya ke arah kotak pengendali listrik di dekat pintu van. Ia melirik ke arah jendela, seolah ia baru saja melihat sesosok bayangan melesat dengan cepat di depannya. Tidak ada yang mencurigakan. Ia membuka tutup kotak pengendali listrik. Saklar listrik dipan telah dimatikan. Tapi siapa yang melakukannya? Tangannya meraih saklar listrik itu, hingga tiba-tiba sesuatu terjadi.

KREK! Sepasang tangan sedingin es menggenggam leher Robert, mencekik dan mengapitnya ke lengan orang misterius itu. Robert memberontak, berusaha melepaskan diri dari cekikan itu. Ia ingin menyikut dan menendang penyerangnya. Namun ia bisa merasakan ujung dingin pisau swiss menyentuh ujung kulitnya. Robert memekik dengan keras.

"SESEORANG, TOL-"

"Diamlah, sok pintar," desis si misterius setajam pisau. "Tak ada yang bakal menolongmu."

Kirsty, yang sebelumnya masih merasa gelisah karena tidak bisa membaca buku, langsung meloncat dari dipannya. Matanya bisa melihat Robert, dicekal oleh seorang gadis bersweater turtleneck hitam dengan pisau swissnya dalam remang kegelapan tersebut. Dengan cepat, ia menarik pisau lipatnya dari bawah bantal. Dan mengarahkannya ke gadis itu.

"ROBERT!" teriak Kirsty dengan lantang, membuat semua orang di van itu terlonjak dari tempat mereka dan mendapati kekacauan itu. Ben ingin menyerang gadis itu, namun ditahan oleh Kirsty. Sementara Jamie dan Jeff berdiri di belakang Kirsty, menyiapkan kuda-kuda mereka. Kirsty mengalihkan pandangannya kepada gadis itu dengan tajam. "Turunkan senjatamu."

Gadis itu terkekeh. Seberkas cahaya bulan pernama menembus dari jendela, menunjukkan wajah gadis tersebut. Rambut hitam kecoklatannya bergelombang dan berkilau, namun mata biru lautnya dingin, seperti dinginnya laut di siang hari. Kirsty mencelos. Itu May Averstreet, gadis yang bertahan hidup. Gadis yang menghilang dan muncul tiba-tiba seperti hantu. Tapi dari mana dia datang?

"Kau pikir aku akan menurunkan pisau ini? Atau aku," May menaikkan letak pisaunya hingga tepat di nadi Robert. "Akan menaikkannya saja?"

"Kalau kau tak mau jawab pertanyaanku, bagaimana kau bisa masuk?"

"Intru-da-window," desis May dengan lambat. Kirsty dan yang lainnya mengernyit, tak mengerti apa yang dimaksud oleh May. May memutar bola matanya dan mengendikkan kepalanya ke arah jendela. "Tentu saja dari jendela itu."

Mata Kirsty dan yang lainnya tertuju ke arah jendela yang berada di dekat meja makan. Jendela tersebut terbuka lebar, diganjal oleh sebatang kayu. Membuat Kirsty hanya berkata "oh" akan masuk akalnya itu. Kecanggungan langsung menyelimuti ruangan itu, sementara May mulai mengendorkan pegangannya pada pisau. Melihat kesempatan itu, Kirsty langsung berseru dengan keras.

"SERANG DIA!"

Kirsty, Jeff, Jamie, Ben, dan bahkan Collin berseru dengan keras dan menyerbu May, seeolah seperti pasukan sparta yang akan berperang. May, dengan sigap, langsung menendang Robert hingga terjatuh ke tangga van. Robert tergeletak dan berusaha bangkit, meskipun kepalanya terasa berputar dan sangat pening setelah mengenai pintu. May memasukkan pisaunya ke balik celana jeansnya, dan mengambil pistol dari belakang celananya.

Dari belakang, Ben berusaha mencekik May dengan tali belatinya. Namun dengan sigap, May memegangi kedua pergelangan tangan Ben, dan membantingnya ke arah jendela mobil di sebelah kanannya yang sedang terbuka. Brak! Glak! Badan Ben terbanting, membuat kepalanya masuk ke lubang jendela dan terjebak di sana. Ben berusaha menarik kepalanya yang terjepit di jendela dengan sekuat tenaga. Namun ia seperti ikan yang meronta tak berdaya karena kehabisan nafasnya. Ia pun meringis. "Oh astaga, tidak lagi." rintihnya.

"BEN! TIDAK!" seru Andy melihat sahabatnya yang tengah terjepit di jendela dengan kesakitan. Rahangnya mengeras dan melirik May dari kaca spion. "Permainan selesai, Averstreet." gumamnya. Dengan keras, Andy membanting setir ke kanan dengan cepat, membuat semua orang di van itu terjatuh dan bergetar karena jalan yang mereka lalui penuh batu. Geram, May melancarkan tembakannya ke arah Andy. Dor! Dor! Dor! Tiga tembakan menembus kursi Andy. Andy berteriak histeris sambil berusaha menghindari tembakan dengan merunduk.

"Kembalikan mobil ini ke jalannya, bo-"

Belum selesai May berbicara, ia langsung mendapat tinjuan di wajahnya dari Jamie. Collin pun ikut bertarung dengan mengigit tangan May dengan keras. Membuat May mengerang kesakitan dan terjatuh. Jamie mengepalkan tangannya dengan keras. Dengan wajah gelapnya dan tangannya yang mulai menitikkan darah, ia terkekeh. "Itu yang kau dapatkan jika kau menyakiti temanku-"

Bugh! Belum selesai Jamie berbicara, ia langsung mendapat tendangan perut yang menyakitkan dari May. May melempar bunglon Jamie ke ujung ruangan dan memberikan tendangan berputar pada Jamie. Membuat Jamie dan Collin tersungkur bersama-sama, terbatuk-batuk kesakitan. Kini, tinggal Kirsty dengan kuda-kuda taekwondo-nya bersama Jeff yang beringsut di belakangnya yang tersisa di ujung ruangan. May dan Kirsty menyeringai mematikan.

"Hari ini bukan hari keberuntunganmu, Averstreet."

Kirsty dan May berteriak. Mereka berlari ujung ruangan dan mulai mengeluarkan jurus mereka masing-masing. Kirsty meloncat dan mengayunkan tendangannya ke wajah May, namun dengan gesit May melakukan gerakan sliding, menghindari dari tendangan tersebut. Kirsty mengerem, dan berbalik dengan cepat. May melancarkan tinjuan dari samping, namun langsung ditangkis oleh lawannya. Kirsty menggenggam pergelangan tangan May dengan keras, membuat May mengerang dan membantingnya ke lantai.

Perkelahian itu belum usai. May, yang tersungkur di lantai belum kehabisan tenaga. Ia menendang perut Kirsty dengan keras. Kirsty terlempar, dan tersungkur ke lantai. Tak bergerak. Jeff menahan nafasnya. Petarung paling andal yang mereka miliki, Kirsty Dahlberg, telah tersungkur. Kalah telak. Oh tidak, celos Jeff di dalam hatinya. May Averstreet, seolah seperti pembunuh, berdiri di depannya di dalam kegelapan, disinari oleh seberkas cahaya bulan.

"Sekarang giliranmu."

May melangkahkan kakinya bersepatu ketsnya dengan anggun. Segenggam pistol berada di tangannya, ujungnya mengarah ke dahi Jeff yang berada beberapa senti darinya. Jeff beringsut mundur, seketika kehabisan tenaga untuk melawan gadis tangguh itu. Bukannya takut, tapi ia tak suka kekerasan. Ia tak mau menyelesaikan masalah itu hanya dengan tinjuan, tendangan, dan darah. Teman-temannya telah tergeletak tak berdaya di lantai van. Tak ada yang bisa ia lakukan, kecuali satu hal.

"May," kata Jeff dengan lirih. "Ini bukan yang seperti yang kau inginkan."

"Apa maksudmu? Tentu saja ini adalah hal yang kuinginkan," desis May dengan suara yang terasa mengiris seperti sebilah pisau yang tajam. "Balas dendam, karena kalian mengambil keluargaku."

"Itu bukan kami," kata Jeff dengan nafas tersekat. "Aku bersumpah-"

"Pembohong," Kini ujung dingin pistol berada di ujung nadi leher Jeff. Jeff menekan giginya kuat-kuat, berusaha untuk menahan teriakan ketakutannya. Wajah May mendekati Jeff. "Aku tak tahu sudah berapa lama orang-orang seperti kalian berbohong dan menyembunyikan sesuatu dariku. Mungkin peluru ini bisa memberikan jawabannya."

"Tidak, May, tidak. Menembak tak akan menyelesaikan masalah. Kau akan memperburuknya. Tolonglah, dengarkan aku."

Robert berusaha merangkak dengan kepalanya yang terasa kaku dan pening. Ia berseru, meskipun seluruh badannya terasa ditusuk sekarang. "Jeff, apa yang kau lakukan? Menjauhlah, Jeff!" teriaknya.

"DIAM!" bentak May sambil mengarahkan pistolnya ke arah Robert. "Atau semua orang di van ini akan mati. Tak terkecuali supir itu," May menatap tajam Andy yang terus menyetir dengan tangan bergetar sekarang. Perhatiannya kembali lagi ke Jeff, secara tidak langsung meminta Jeff untuk melanjutkan negosiasinya. Jeff mengangguk dengan cepat.

"Apakah ini yang kau inginkan, Averstreet? Membunuh seseorang? Huh? Apa yang akan dikatakan ayah dan ibumu mendengar putri kecilnya telah mencabut nyawa seseorang?"

"AYAH DAN IBUKU SUDAH TEWAS!" bentak May, namun kini dengan mata yang berlinang dan tangan yang bergetar. Dengan suara lirih, ia melanjutkan ucapannya. "Kau tak mengerti apa yang kurasakan."

"Aku tahu," Jeff memandang mata biru May dengan lekat. Nada suaranya terlalu lembut, membuat May mulai mengendorkan pegangannya pada pistol itu. "Aku tahu perasaan itu. Robert tahu, Kirsty, Jamie, Ben, Andy, dan bahkan Collin. Membalas dendam pada orang yang tak bersalah tak akan menyelesaikan masalah. Kau orang baik. Percayalah padaku."

"Lalu bagaimana aku dapat percaya denganmu?"

"Apakah kau melihat seseorang disini memakai kostum Deadpool, sama seperti penculik keluargamu? Tidak ada! Bahkan van penyerangmu berbeda dengan van milik kami!" Nada suara Jeff semakin meninggi. "Kau termakan oleh amarahmu sendiri. Sampai kau menganiaya orang yang ingin menolongmu. Ugh, cobalah untuk percaya, May Averstreet-"

"Aku ingin percaya!" seru May. Terdapat jeda dalam nada suaranya yang penuh rasa bimbang dan bersalah mendengar semua penjelasan Jeff. "... Tapi aku tak tahu bagaimana caranya."

"Letakkan pistol itu. Tolonglah."

Kemudian Jeff terdiam dan mencelos pelan. Mata coklatnya yang terlihat sayu seolah meminta tolong May untuk memercayainya. Jeff percaya dengan May, bahkan sebelum mereka bertemu. Ia menelan ludahnya, menunggu reaksi May. May mengulum bibirnya sambil memandangi pistolnya. Ia menurunkan pistolnya dengan sangat perlahan. Matanya berkaca-kaca. Klang! Ia menjatuhkan pistolnya di lantai.

Robert, Kirsty, dan Jamie membelalakkan matanya, melihat psikopat yang hampir menghabisi mereka itu runtuh benteng pertahannya di depan Jeff. May mendekati Jeff dengan badan yang bergemetar. Ia memeluk Jeff dengan erat, tangisannya pecah di dekapan hangat Jeff. Jeff, tak tahu harus melakukan apa, membalas pelukan itu dengan erat. Ia berbisik pelan pada May,

"Semuanya akan baik-baik saja, May. Kami akan membantumu."

Malam itu adalah salah satu malam paling menyedihkan yang pernah Jeff dan May alami.

"Ehem!"

Semuanya berbalik ke sumber dehaman itu. Mendapati Ben, yang wajahnya merah karena kepanasan dan kesakitan. Dan, kepalanya terjepit di jendela. Hampir selama 10 menit. Ia memutar bola matanya dan mengerang dengan keras.

"Kalian lupa kepalaku masih terjepit di jendela ini? Ayolah. Ini payah."

***


HELLO AND HEY GUYS I'M FINALLY COME BAAAAAACK!!! ALSO-

Seperti biasa, trims buat yang udah baca! Semoga suka chapter kali ini! Jangan lupa seperti biasa vote&commentnya, I really appreciate that. (dan aku juga melalui writer's block yang benar-benar mengganggu.Trims untuk Agent Carter ,The X-Files, serial dan artikel lainnya yang dijadikan referensi dalam bab ini)

(Anybody got my X-Files or Doctor Who reference? :v)

(Dan aku udah lama nggak update karena tugas-ulangan-tugas, so pretty please vomments this :v)

(Anybody have a good ship name for Robert-Kirsty? *whut)

(please skip that one. Adios and happy (really late) new year 2k16!)

QOTD: Novel yang terakhir kali dibaca?

Multimedia: Alexandra Daddario/May Averstreet (picture), Fight Song - Rachel Platten (video)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro