Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1: 7th West Road

***

dedicated to Ree for the beautiful cover. Gee, thanks!  

***

Boston

Di tengah jeritan memilukan ibunya dan tembakan peluru yang menembus dinding, Robert melangkahkan kakinya dari jendela kamar. Sebelumnya, rumahnya diserang oleh sekelompok orang dengan nama yang tak pernah ia dengar dan kenali sekalipun, The Yellowjackets. Ayah dan ibunya ditangkap. Ibunya memerintahkannya untuk melompat dari jendela dan kabur dari sana. Ia melakukannya, tanpa berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya.

Yang Robert inginkan hanya satu: berharap semua ini bukan kenyataan.

Di dalam kegelapan malam musim panas itu, 30 meter dari jalanan beraspal 10 Eastbound Road, Robert merasa waktu berjalan lebih lambat. Daun yang bergerak jatuh bersamanya, bergerak lebih lambat daripada seekor siput. Ini memang aneh. Kepala Robert terasa berdenyut. Ia memejamkan matanya. Syaraf-syarafnya terasa dialiri oleh listrik yang menggelitik kepalanya. Membuatnya berpikir jauh lebih jernih dan cepat. Lagi, ini benar-benar aneh. Namun tak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut.

Inilah waktu yang tepat untuk memikirkan apa yang ia harus dilakukannya. Ia melihat apa yang berada di bawahnya. Itu atap mobil. Robert berpikir, agar ia tidak mendapat cedera, ia tak boleh bertumpu ke atap mobil dengan tangan dan lengan. Jika tidak, seluruh pergelangan tangan dan sendinya akan cedera. Ia harus melindungi kepalanya dengan tangan, lalu berguling ke samping di atap mobil tersebut hingga jatuh di aspal jalanan. Itulah cara teraman untuk jatuh. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? batin Robert. Lihatlah keadaan. Berhati-hatilah. Jika ada sepasang mata elang salah satu anggota menangkap kehadiranku, celakalah.

Yang Robert lakukan selanjutnya adalah berusaha untuk mengendap-endap di balik mobil. Lalu berlari secepat mungkin ke perempatan terdekat, 11th Eastbound Street. Ia tahu, akan ada banyak mobil disana, dan ia bisa meminta bantuan untuk mengantarkannya ke 7th West Road. Setelah apa yang ia akan lakukan telah terencana, waktu kembali berjalan seperti semula. Robert jatuh bebas dengan cepat dengan tangan terentang lebar.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?

Ah, ya, lakukan rencana itu sekarang.

Robert memiringkan badannya, melindungi sekeliling kepalanya dengan lengan. Tangannya memegangi kepala, lalu topinya supaya tidak terlepas. 20 meter, 10 meter, 5 meter, dan 0 meter. Brak! Klang! Badan Robert berguling di atap mobil berwarna hitam itu. Kepalanya sempat terhentak ke atap tersebut. Badannya terus berguling dan terjatuh ke trotoar dengan sangat keras. Ia merasa tubuhnya sudah pecah belas sekarang.

"Argh-" Robert ingin mengerang karena punggung dan sebagian pergelangannya terasa nyeri sekarang. Namun ia berusaha menahanya. Ia menumpu badannya dengan kedua telapak tangan, lalu mulai berjalan tertatih-tatih untuk bangun. Tangannya meraba-raba kepalanya. Setetes darah mengalir dari keningnya karena goresan besi mobil.

Robert memandang lurus ke depan. 11th Eastbound Street berada 25 meter di depannya. Ia harus berlari secepat mungkin ke sana dan meminta pertolongan. Kedengarannya mudah, namun tidak mudah untuk dilakukan. Ia tak boleh mengeluarkan sedikit pun suara. Kalau tidak, matilah dia.

Robert, dengan tertatih-tatih, berjingkat melewati mobil van hitam milik para Yellowjackets. Matanya mengawasi salah satu anggota Yellowjacket yang berdiri tegap di depan pintu rumahnya, yang tak menyadari kehadirannya. Hingga ia tak menyadari ada sepotong pipa pralon yang melewati sepatunya. Dalam sedetik, ia telah menghasilkan satu suara yang keras.

KRAK!

Sialan.

"Hei! Berhenti!"

Anggota Yellowjackets itu memalingkan kepalanya dengan cepat ke arah Robert. Mata hitam pekatnya menatap tajam Robert dibalik topengnya yang mirip Deadpool. Badan besar dan jangkungnya berjalan dengan cepat ke arah Robert. Ia menghardik Robert dengan suara berat dan lantangnya. "Hei, kau! Kembali!"

Saatnya untuk lari.

Robert pun berlari dengan kecepatan turbonya. Ia melangkahkan kaki panjangnya dengan lebar, mengayunkan tangan kanannya sambil memegangi topinya agar tak terbang. Nafasnya berderu-deru, seiring anggota Yellowjackets itu mengejarnya. Anggota Yellowjackets itu terlihat mengerikan dengan seragam kuningnya dan kedua katana yang berada di punggungnya. Yang lebih parah lagi, kecepatan larinya hampir menyampai Robert.

Matilah kau, Robert.

Robert tak berani menolehkan kepalanya ke belakang. Ia terus memandang lurus ke depan sambil terus berlari. Wajahnya memutih. Sedikit lagi, ia sampai ke perempatan. Ia mencondongkan badannya dan memperpanjang langkah larinya. Hingga penjahat di belakangnya berhasil mengapai dan memegang keras kaki kirinya. Grap! Brak! Ia terjatuh ke aspal dengan keras. Orang itu mulai menyeret kakinya.

"Enyahlah!" teriak Robert dengan marah.

Ia menarik kaki kirinya, namun pegangan anggota itu benar-benar kuat. Robert tersenyum jahat ketika ia mendapat ide. Ia menendang dengan keras wajah orang itu dengan sepatu olahraga Converse coklatnya. Penjahat itu berteriak kesakitan. Ia memegangi wajahnya yang memerah karena tendangan itu. Ia melepaskan pegangan tangannya pada Robert.

Robert beranjak bangun untuk berlari. Namun ia kembali terjatuh dengan dahinya yang sedikit terbentur aspal. Pegangan penjahat itu pada kakinya kembali menguat. Si "Deadpool kuning", julukan Robert pada anggota Yellowjacket itu, mengeluarkan salah satu katana dari punggungnya. Ia mengayunkannya dan menyabet ke kaki Robert. Membuat darah mengucur dari celana panjangnya.

Robert berteriak kesakitan. Matanya terasa pedih. "Tolong! Siapapun, tolong aku!"

Tak ada yang mendengar teriakannya. Bahkan di jalanan sesepi itu pun. Tak ada pilihan lain. Robert mengeluarkan pistol dari saku celananya dan mengarahkannya ke arah bahu Deadpool kuning itu. Dor! Sebuah peluru meluncur dari pistol, menancap ke bahu kanan penjahat itu. Ia mengerang kesakitan, dan sekali lagi, ia melepaskan pegangannya pada Robert.

Robert berlari cepat ke perempatan yang jaraknya beberapa puluh senti darinya. Kakinya masih terasa perih, namun ia terus memaksa untuk berlari. Di dekat perempatan, ia menoleh ke kedua arah. Tak ada satupun mobil di jalanan, kecuali mobil patroli polisi yang melaju kencang ke arahnya. Dan sepertinya, mobil patroli polisi itu berusaha menabraknya.

Robert menoleh ke belakangnya. Anggota Yellowjackets itu sudah bangkit sambil memegangi bahunya yang terluka. Ia menggeram. Ia kembali mengejar Robert. Satu-satunya cara untuk meloloskan dirinya dari orang itu hanyalah lari ke seberang jalan tersebut. Atau menabrakkan dirinya ke mobil patroli.

Robert berlari ke seberang jalan dengan mobil patroli dan penjahat yang berjarak sesenti darinya. Ia tak peduli raungan-raungan klakson mobil patroli itu. Dan tangan anggota Yellowjackets itu telah menyentuk ujung kerah bajunya. Yang ia dengar hanyalah teriakan ibunya untuk terakhir kalinya: "Lari, Robert, lari!"

DIIIN! DIIIN!

Citttt!! Brak!

Robert berteriak histeris sambil menutup telinganya. Ia jatuh berguling tepat saat mendengar suara tabrakan tersebut. Ia menutup matanya dengan badan yang bergetar, takut bahwa dirinya akan mati. Namun, tak ada rasa sakit. Ia membuka matanya dengan pelan. Ia sudah ada di seberang jalan. Hanya kakinya yang terluka. Apapun yang baru saja terjadi, ia selamat.

Tapi bagaimana dengan Deadpool kuning itu?

Dengan perlahan, Robert merangkak menuju sebuah tong sampah dan bersembunyi dibaliknya. Kaki yang masih terasa nyeri. Ia mengambil kain putih dari tasnya dan membebatkannya di kaki. Ia meringis kesakitan. Lalu ia mengintip dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di perempatan tadi.

Deadpool kuning tergeletak di jalan, tak bergerak sedikit pun. Genangan darah terbentuk dengan perlahan dan mengalir menuju saluran pembuangan. Robert tersadar, bukan ia yang tertabrak. Melainkan penjahat itu. Dan yang menabraknya adalah polisi.

Cukup mengejutkan.

"Sudah kubilang! Rem sebelah kiri! Gas sebelah kanan! Lihatlah apa yang terjadi sekarang!" Teriakan terdengar dari jendela mobil patroli berwarna putih bergaris biru, khas milik Boston Police Department (BPD). Dua orang polisi, atau kemungkinan detektif, berjalan keluar dari mobil patroli tersebut.

Salah satu polisi itu memakai kemeja putih bergaris merah dan hitam. Rambut hitam kecoklatannya berantakan dan setengah terangkat. Ia berusaha terlihat menjadi sok keren, meskipun itu gagal karena wajahnya tampak berbentuk kotak. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi. Mata coklatnya memandang tajam koleganya itu.

Polisi yang satunya, lebih tinggi daripada polisi yang baru saja marah-marah tadi. Wajahnya terlihat polos dan lugu. Badan jangkungnya bergerak-gerik gelisah. Ia menggosok-gosokkan tangannya yang sepertinya basah. Rambut coklatnya berantakannya tertiup angin malam. Ia memakai kemeja biru langit dengan jaket kulit coklatnya. Kelihatannya kedua polisi itu sedang berdebat sengit.

"Andy, kau dengar, kan, kataku! Rem, kiri. Gas, kanan. Bukan sebaliknya!" kata polisi dengan berwajah kotak itu pada koleganya yang bernama Andy. Kemudian ia mengunyah pizza pepperoni di tangannya.

"Tapi aku mendengarkanmu, Ben!" gerutu Andy. "Tadi kau bilang rem di kanan, gas di kiri!"

"Berarti telingamu yang bermasalah."

"Atau kau yang salah memberi perintah."

Robert tetap memerhatikan tingkah laku kedua polisi itu dari jauh. Tangannya masih tetap memegangi kakinya yang dibebat kain. Dan kain tersebut mulai berubah merah karena darah. Ben dan Andy berjalan ke depan mobil patroli, dan terkesiap melihat tubuh anggota Yellowjacket yang tergeletak di depan mereka. Tampang mereka berubah pucat pasi.

"Astaga, kita baru saja membunuh badut itu!" teriak Andy histeris.

"Dia bukan badut!" hardik Ben dengan keras. "Itu Deadpool! Itu superhero kesukaanku dan dia... mati." Ia memandang anggota Yellowjacket itu dengan wajah seperti anak kecil yang murung.

"Dia mati, kan?"

"Tidak, dia hidup, bodoh."

"Berarti kau yang buta! Sudah jelas dia mati, kenapa kau malah bilang dia hidup?"

Plak! Robert langsung menepuk dahinya. Awalnya ia berniat untuk meminta pertolongan dengannya. Namun, kalau ia tahu kedua polisi itu sebodoh dan selugu itu, plus terlihat seperti anak kecil, lebih baik ia pergi sendiri ke 7th West Road dengan taksi dan kakinya yang terluka. Rupanya ia sedang apes hari itu. Namun ia tetap memerhatikan mereka.

"Apa yang harus kita lakukan?!" kata Ben dengan nada setengah histeris.

"Tinggalkan saja Deadpool malang ini. Apa susahnya."

Ben menepuk pundak Andy dan menyeringai. "Terkadang kau pintar juga, rupanya."

Mereka berdua menyingkirkan anggota Yellowjacket itu ke trotoar. Lalu berjalan kembali ke mobil mereka. Mereka akan pergi. Nafas Robert tercekat. Ia berada di dua pilihan yang sulit. Jika ia tak meminta pertolongan pada dua polisi itu, ia akan mati kehabisan darah. Jika ia meminta pertolongan, keduanya akan berpikir dia bisa dijadikan tersangka pembunuh anggota Yellowjacket itu. Atau, keduanya tak akan mengerti apa yang terjadi.

Namun Robert memilih berjalan menuju mobil polisi itu.

"Hei! Tunggu! Tunggu sebentar!" Robert berlari dengan langkah pincang ke arah kedua polisi itu. Ben dan Andy langsung menoleh, memandangnya dengan tatapan aneh.

"Siapa kau?" tanya Andy sambil menelengkan kepalanya. Seolah-olah seperti burung merpati yang melihat hewan baru yang aneh dan tak pernah ia lihat seumur hidupnya.

"Nak, pulanglah ke rumahmu, sudah pukul 11 malam sekarang. Benar-benar larut sekali sekarang." kata Ben, mendekatinya dan menaruh telapak tangannya di pundak Robert. Lalu ia memperhatikan kaki Robert yang terbebat kain berlumuran darah. Ia langsung terkesiap, mengira bahwa Robert adalah pembunuh Deadpool tadi. Ia mengeluarkan pistolnya dengan raut wajah serius.

"Whoa, angkat tanganmu, nak!" Ben mengarahkan pistolnya ke arah Robert.

Robert tersentak. Ia tak menyangka semuanya akan seperti ini. Ia mengangkat tangannya sambi melangkah mundur beberapa langkah. Kedua polisi itu salah paham dengannya. Sebentar lagi ia akan dijebloskan ke dalam penjara. Ia takkan bisa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi. Ben dan Andy mendekat ke arahnya dengan pistol di depan dada.

"Atas nama hukum, k-ka-kami menangkapmu dalam dugaan pembunuhan tingkat pertama! Ikut kami sekarang juga!" begitulah kata Andy, meskipun wajahnya penuh rasa bersalah.

"Apa?! Tapi aku-"

"Tidak ada tapi-tapian, nak! Ikut kami sekarang juga!"

Andy mendekati Robert dengan cepat sambil membawa borgol, berusaha untuk menangkapnya. Robert melangkah mundur dengan cepat hingga tangannya menyentuh dinding. Robert kehabisan pikiran apa yang harus dilakukannya. Hingga sesuatu yang aneh terjadi. Sama seperti ketikanya ibunya akan dibunuh sebelumnya.

Tangan Robert bergetar hebat. Kepalanya menjadi terasa pusing. Ia menatap Andy dengan tajam, tidak seperti tatapan biasanya. Ia mengarahkan tangannya ke arah Andy yang langsung tersentak ketika memandang matanya. Tiba-tiba, Andy terdorong ke belakang dan jatuh ke aspal, seolah baru saja didorong oleh sepasang tangan kasat mata. Tangan Andy tiba-tiba terangkat, lalu badannya dihempaskan kembali ke jalanan, dia badannya berusaha menangkap Ben. Andy berteriak histeris.

"Ben! Apa yang terjadi denganku? Aku tak bisa mengontrol diriku!"

Andy memegangi tangannya yang bergerak tak terkendali dengan wajah ketakutannya. Ben, yang melihat semua itu dari kejauhan, membelalakan matanya dan mengeraskan pegangan pada pistolnya. Seketika, ia menyadari perubahan wajah Robert dan Andy. Mata mereka berubah merah, dengan raut wajah tersenyum seperti seorang psikopat. Ben langsung terjatuh dan merangkak mundur ke belakang, ketakutan.

Dari jauh, Ben melihat ke arah Robert. Mata Robert merah dengan tangannya yang bergerak-gerik tak terkontrol. Tangannya seolah olah sedang mengendalikan sesuatu. Bahkan Robert sendiri tak sadar apa yang terjadi padanya. Andy, secara tak sadar, berdiri mendekati Ben sambil menggeram. Ben menodongkan pistolnya ke arah Andy.

"Andy! Menjauh dariku!" teriaknya.

Namun Andy tidak menjauh. Ia justru mengambil pisau lipat dari saku jaketnya dan mengarahkannya ke Ben. Ia semakin mendekat dan mendekat, hingga pisau itu beberapa senti dari leher koleganya itu. Ben, dengan keringat bercucuran di dahinya, menarik pelatuk pistolnya ke arah lengan Andy. Tangannya bergetar. Maafkan aku, Andy, batinnya dengan rasa bersalah.

Dor! Peluru meluncur dengan cepat ke arah lengan Andy. Namun entah mengapa, waktu seolah melambat baginya. Dengan kecepatan yang tak bisa digambarkan oleh kata-kata, Andy menghindar dari peluru tersebut. Ia menangkap peluru itu dengan kedua jarinya seperti sumpit, lalu melemparkannya ke aspal. Ia memandang peluru yang tergeletak dengan asap itu sejenak, dan tersenyum kecil.

"Usaha yang bagus, Washburn."

Buk! Andy langsung meninju Ben dengan kepalan tangannya. Ben terhempas ke tangan dan memegangi hidungnya yang mulai meneteskan darah sekarang. Ia menyeka darahnya dan langsung bangkit, berusaha untuk meninju balik Andy. Ia mengepalkan tangannya dan melancarkan pukulannya ke perut Andy. Namun sebelum pukulan itu mendarat di perut kolagenya itu, Andy menahan pukulan itu.

Andy menggenggam erat pergelangan kedua tangan Ben. Lalu seperti sedang taekwondo, ia membanting tubuh Ben dengan keras ke aspal. Ben berteriak kesakitan, namun Andy tidak peduli. Ia tak sadar apa yang terjadi pada dirinya. Ia memutar-mutar Ben seperti gasing, lalu menghempaskannya ke dinding berbata padat. Tubuhnya terhentak, lalu tergeletak lemas di trotoar.

Sementara itu, Robert dari jauh masih seperti sebelumnya. Matanya masih merah seolah sedang mengendalikan Andy. Kini, Andy mendekati Ben yang masih tergeletak di trotoar. Ben mengerjapkan matanya dengan darah yang mengalir dari dahinya sekarang. Tangannya terasa lemas, namun ia berusaha bangkit dengan rasa sakit yang luar biasa. Seiring langkah kaki Andy mulai mendekat ke dirinya.

Grep! Andy mengangkat Ben dari kerah bajunya dengan mudahnya. Ia terkekeh jahat dengan mata merahnya. Ben memandang baik mata temannya itu dengan lemah. Itu bukan temannya. Itu orang lain yang memasuki dirinya. "Andrew, apa yang kau lakukan? Kau temanku." kata Ben dengan lemah.

"Kau bukan temanku," kata Andy dengan suara berat. "Aku. Tak. Mengenalmu."

Tiba-tiba, pegangan Andy dari kerah baju Ben beralih ke leher Ben. Ia berusaha mencekik temannya itu. Dan semakin lama cekikan itu semakin kuat, hingga Ben mulai merasa kesulitan bernafas. "Andy, tidak." rintihnya dengan mata yang sudah mulai terpejam. Namun Andy tak peduli.

Tak jauh dari situ, Robert melihat semua itu dengan masih tidak sadar, seolah seperti dirasuki. Seketika, ia mulai tersadar tentang apa yang terjadi. Ia melihat Andy, yang mencekik Ben dan terlihat hampir kehabisan nafas. Apa yang terjadi? Batin Robert. Apakah ada yang berusaha mengendalikan pikiranku? Tepat saat ia berpikir tentang itu, tiba-tiba ada kepalanya terasa pening, seolah ditusuk-tusuk. Robert mengerang kesakitan dan berlutut.

Kendalikanlah pikiranmu, Robert! Kendalikanlah! Robert berusaha bangkit dan mengendalikan tubuhnya yang terus jatuh bangun. Kilasan tatapan matanya berubah-ubah, merah dan coklat. Ia mengerang dengan keras. Lalu berjalan dengan sekuat tenaga seolah-olah diterjang oleh badai topan. Ia mengarahkan tangannya ke arah Andy. Berhenti melakukan itu, lepaskan tanganmu, mundurlah, mundurlah!

Tiba-tiba, Robert dan Andy sama benar-benar tersadar. Pandangan mata mereka kembali seperti biasanya, dan mereka terlutut lemas. Robert berusaha menenangkan nafasnya. Ia memandang Andy, yang tergeletak pingsan di trotoar. Mata Robert mulai mengabur, dan ia mulai tergeletak di jalan. Di tengah pandangannya yang kabur, ia bisa melihat Ben mengulurkan tangan padanya.

"Kau... tidak apa?" tanya Ben mendekati Robert dengan takut-takut.

"Yeah," jawab Robert, menerima uluran tangan Ben. Lalu bangkit dengan badan yang terasa letih. "Trims. Aku merasa ada yang baru saja mengendalikan pikiranku."

Ben memandangnya sambil terdiam. Memikirkan sesuatu yang cukup rumit. Lalu Andy, dengan terhuyung-huyung, datang sambil memegangi kepalanya. "Sepertinya aku juga, ada yang aneh disini." katanya sambil menaruh tangannya di dinding. Andy menoleh ke arah Robert. "Kau bukan pembunuhnya. Ada seseorang dibalik ini."

"Aku tahu itu. The Yellowjackets. Mereka pelakunya."

"The- apa? Apa itu?"

"Aku bisa menjelaskannya, tapi jangan sekarang. Kakiku semakin sakit," Robert meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang terluka. "Tolong antarkan aku ke flat nomor 200, 7th West Road. Aku harus ke sana sekarang. Aku ingin menemui Oliver Can-"

"Oliver Canterbury?" sahut Ben dan Andy dengan nada terkejut, sambil membelalakkan mata mereka. Robert mengerutkan dahinya sambil mengangguk pelan. "Darimana kau tahu dia?" tanya balik Robert.

Andy tertawa gugup. "Ahehehe, itu atasan kami. Meskipun dia agen FBI, dia sering mampir ke kantor kami." Robert hanya mengangguk, meskipun ia menyadari ada sesuatu yang aneh disana.

"Ah, baiklah, nak," Ben mengangguk. Kemudian ia dan Andy membantu Robert untuk berjalan menuju mobil. "Ngomong-ngomong, aku Detektif Ben Wasburn. Dan itu kolegaku, Detektif Andy McLaughin."

"Senang bertemu dengan kalian, tapi kita harus pergi sekarang."

Robert, Ben, dan Andy melangkah masuk ke dalam mobil patroli. Di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi oleh sebuah lampu di perempatan tersebut, mobil itu memutar arahnya. Melaju menuju 7th West Road. Tanpa satu pun orang di perempatan tersebut yang menyadari apa yang baru saja terjadi di sana. Namun, hanya ada sesosok bayangan yang memperhatikan mobil patroli itu dari kotak telepon. Bayangan itu menekan tombol telepon, lalu berkata pada seseorang di ujung panggilan itu.

"Winters, target sudah bergerak."

***

"Kita sampai!"

Robert menguap dengan sangat lebar. Ia merenganggkan badannya, lalu mengerjapkan matanya. Ia tersadar, bahwa sebelumnya ia tertidur di perjalanan. Mungkin ia ditidurkan oleh nyanyian-nyanyian sumbang dan jadul dari Ben dan Andy. Ia memperbaiki letak topi dan jaketnya, lalu memperhatikan kakinya yang terluka. Darahnya sudah mulai berhenti mengalir dan tidak terlalu terasa sakit. Kemudian ia membuka pintu mobil dan berjalan keluar.

Robert memperhatikan bangunan di depannya. Itu adalah sebuah bangunan flat dengan bata merah yang diekspos. Dengan jendela-jendela berbingkai putih yang dilapisi gorden dari dalam. Juga sebuah taman kecil yang disusun dengan tanaman-tanaman hias. Baginya, itu adalah sebuah flat sederhana yang terlihat nyaman untuk ditinggali. Ya, ia sudah sampai di di bangunan flat nomor 190-200 di 7th West Road. Ben dan Andy menghampirinya, sambil memasukkan tangan mereka di saku celana.

"Kau yakin ini flatnya?" tanya Robert sambil melangkah masuk ke dalam flat itu bersama kedua polisi. "Aku yakin, baru dua minggu yang lalu kami kemari," kata Ben sambil menyusuri lorong. "Mari kita lihat, 198, 199, 200! Nah, kau lihat?"

Ben menunjuk ke arah sebuah pintu dengan pahatan nomor 200. Di samping pintu tersebut, terpampang keterangan nama orang yang tinggal di flat tersebut. Namun ada yang berbeda. Di keterangan itu, tertulis nama Oliver Canterbury dan Dr. William Cavanaugh. Robert, Ben, dan Andy mengernyitkan dahi mereka.

"Sejak kapan Will tinggal bersamanya?" tanya Andy dengan suara yang sangat pelan. Berusaha sebaik mungkin untuk tak terdengar. Namun telinga Robert masih menangkap kata-kata itu ketika ia mengetuk pintu flat.

"Kau mengenalnya?"

Kembali, Andy tertawa gugup. Disambut dengan sikutan dari Ben yang memberinya tatapan membunuh. Ia menggaruk tengkuknya. "Ahaha, tidak. Aku... bercanda."

Robert hanya mengerutkan dahinya, lalu memandang pintu sambil menunggu seseorang membuka pintu itu. Ia tahu, ada beberapa hal aneh yang terjadi sebelumnya. Mulai dari The Yellowjackets, tentang "kemampuan khusus", juga Ben dan Andy yang seolah mengenai Oliver Canterbury. Bagaimanapun juga, ia akan menyelidiki hal ini nanti.

Krieek. Pintu flat 200 tersebut terbuka pelan. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun dengan rambut coklat yang mulai beruban berdiri di depan pintu. Ia memakai mantel jingga yang melapisi kemeja merahnya. Ia mengerutkan dahinya, hampir saja menutup pintunya kembali. Mata birunya yang jernih memandang Robert baik-baik. Sementara itu, Ben dan Andy saling berpandangan, seolah secara tak langsung menyatakan bahwa lelaki itu adalah Oliver Canterbury. "Permisi, siapa kau?" tanyanya.

Robert mendeham. "Namaku Robert Runner, dan ibuku bilang-"

"Robert Runner?!" pekik Oliver dengan tak percaya.

"Eeh... yaah... dan aku-"

"Astaga kau kembali," tiba-tiba, Oliver memeluk Robert dengan erat, seolah pernah bertemu sebelumnya. Robert hanya bisa diam, dengan wajah kebingungan. "Lihatlah, kau sudah sebesar ini sejak kita bertemu terakhir kali." lanjutnya sambil memandang Robert dan tersenyum.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Ya, sangat lama sekali, saat kau masih kecil sekali," lalu Oliver melirik ke arah kaki Robert. Tiba-tiba matanya terbelalak saat melihat luka di kaki Robert yang masih berlumuran darah, dan tidak terlalu terlihat karena dilapisi oleh celananya. "Astaga, apa yang terjadi denganmu? Ayo, masuklah, Will akan mengobatimu. Dan, Ben, Andy, apa-apaan kalian kesini?"

Ben dan Andy tertawa gugup. Oliver hanya memutar bola matanya. Mereka berempat masuk ke dalam flat 200 tersebut. Flat itu, jujur, seperti kapal pecah. Di sisi bagian kanan, flat itu sangat rapi dengan buku yang tertata rapi dan meja yang bersih. Sedangkan di kiri, sebaliknya. Di bagian flat itu kertas bertebaran dan berantakan. Dan disana, seorang lelaki yang bertubuh jangkung dengan rambut coklat yang klimis dan piyamanya yang berantakan, duduk di sofa sambil membaca buku dengan tenang.

"Siapa itu-" Ben dan lelaki itu, saling bertanya dalam waktu bersamaan. Membuat mereka berdua terkejut. Oliver tertawa kecil sambil berjalan menuju dapur.

"Dia temanku. Duduklah, sementara aku akan membuatkan teh untuk kalian," kata Oliver dengan aksen british-nya yang kental. "Dan dia adalah William-"

"Will."

"William-"

"Aku Will!"

"Terserahlah," Oliver memutar bola matanya. "Dia adalah William Cavanaugh."

"Dan, panggil aku Will."

Will beranjak dari kursi sofa hitamnya. Ia berjabat tangan dengan Andy, lalu pada Ben. Robert melihat ada sesuatu yang berbeda ketika Ben menjabat tangan Will. Ben dan Will saling bertatapan dengan tajam, seolah pernah bertemu sebelumnya. Lalu ketika Will menjabat tangan Robert, ia memandang kaki Robert.

"Astaga, apa yang terjadi dengan kakimu?" tanya Will sambil berlutut. Lalu mengambil kotak P3K di dekatnya. Robert pun duduk di lantai, sementara Will mulai mengobati kakinya tanpa berkata apapun. Robert melihat betapa cepat dan gesitnya Will membersihkan lukanya dan membebat kakinya dengan perban.

"Trims, ini cepat sekali." kata Robert saat Will hampir selesai mengobati kakinya.

"Tak apa, lagipula dulu aku adalah seorang dokter." balas Will sambil tersenyum simpul, seolah tak pernah tersenyum seperti itu sebelumnya. Atau mungkin, sangat jarang sekali tersenyum.

Robert beranjak dan duduk di sofa di tengah-tengah Ben dan Andy, yang hanya saling berpandangan sebelumnya. Berhadapan dengan Will. Oliver datang sambil membawa seteko teh, lima buah cangkir kecil, juga gula batu. "Silahkan, nikmatilah. Kalian pasti lelah," kata Oliver sambil menyodorkan teh tersebut. Semuanya mulai menyeruput teh, sementara Oliver mulai mengawali pembicaraan.

"Jadi... ada urusan apa kalian ke sini? Terutama, Robert."

"Ada sesuatu terjadi malam ini. Ayah dan ibuku ditangkap oleh sekelompok orang bernama The Yellowjackets," kata Robert. "Dan ibuku bilang, ini soal California."

Oliver berhenti menyeruput tehnya. Begitupula Ben dan Will. Mereka bertiga saling berpandangan dengan wajah yang mulai memutih karena pucat. Hanya Andy saja yang masih menyeruput tehnya hingga habis. Oliver menaruh cangkirnya sambil mengigit bibir bawahnya. Ia menggelengkan kepalanya.

"Oke, ini benar-benar buruk," kata Oliver sambil menarik nafas panjang. "Dan aku tak bisa menjelaskan ini pada kalian panjang lebar. Jadi dengarkan baik-baik. Jangan beritahu siapapun. Aku... tak tahu banyak tentang masalah ini."

"Tak tahu banyak? Lalu kenapa ibuku menyuruhku untuk menemuimu?"

"Karena aku menyimpan sedikit berkas dari soal California. Atau aku bisa kubilang, Proyek California."

"Proyek? Proyek apa?"

"Hanya ini yang kutahu. Proyek California adalah proyek ilmiah yang berkembang di bidang genetika dan ini melibatkan beberapa anak sebagai bahan ujicobanya, termasuk kau, Robert," Oliver mengarahkan jari telunjuknya pada Robert. "Tidak banyak orang yang mengetahui proyek ini. Termasuk aku. Dan proyek itu dihentikan beberapa tahun yang lalu."

"Mengapa?"

"Sebuah insiden terjadi, dan membuat semua dokumen tentang proyek ini dimusnahkan dari database FBI. Namun aku masih menyelamatkan beberapa dokumen penting tentang ini, dan itu ada di vanku di bawah," Oliver menghembuskan nafasnya. "Dan ini yang kau harus kau lakukan sekarang."

Oliver mengeluarkan kertas daftar kumal dari kantong kemejanya. Ia menyodorkannya kepada Robert, Ben, dan Oliver. Mereka melihat ke arah daftar tersebut. "Ini adalah daftar nama anak yang menjadi bahan uji coba dalam proyek itu. Yang kau harus lakukan adalah, temukan semua anak-anak itu. Bawa mereka ke California dengan vanku. Disanalah kalian akan selamat."

Tiba-tiba mereka berlima mendengar suara mobil merem dengan mendadak. Diikuti dengan banyak suara langkah kaki yang berirama. Mereka semua berdiri. Will melemparkan sebuah kunci mobil ke arah Andy. Andy menatap kunci itu dengan bingung. "Apa ini?" tanya Andy sambil mengerutkan dahinya.

"Robert, mereka datang, aku tak bisa menjelaskan lebih banyak lagi." Oliver memegang kedua pundak Robert. Robert, dengan perasaan benar-benar kacau, menutup matanya.

"Tapi masih banyak yang kutanyakan!"

"Tidak ada waktu lagi," kata Oliver. "Mereka semakin dekat. Kau akan mengetahui semuanya sepanjang perjalanan nanti. Tidak ada jalan kembali, Robert. Tidak ada jalan kembali." Hingga pintu mulai didobrak, dan pemandangan sebelumnya terulang kembali. The Yellowjackets. Semuanya langsung mencelos. Oliver dan Will mengeluarkan pistol mereka.

"Run, Robert, run!"

Rentetan peluru mulai berterbangan dimana-mana. Robert, Ben, dan Andy berlari ke pintu belakang ketika para Yellowjackets itu mulai bertarung melawan Oliver dan Will. Mereka berlari menyusuri lorong, menuju pintu tangga darurat flat tersebut. Robert menendang pintu tersebut, dan yang ada hanyalah tangga besi berbalkon dengan kabut asap disekitarnya. Ia memandang ke bawah. Van berwarna silver bergaris putih menunggunya.

"Ben! Itu vannya!" teriak Robert. "Kita harus melompat dari sini!"

"Tidak, tidak," kata Ben sambil menggelengkan kepalanya. Seolah mengalami vertigo. Ia menunjuk ke arah pagar balkon tangga itu. "Kita bisa turun lewat sini! Ini lebih aman."

"Tidak, jangan lewat situ, Andy! Itu takkan berhasil." Kata Andy. Ben tertawa kecil.

"Ha, tak mungkin." Dan Ben mulai memasukkan kepalanya ke dalam sela-sela pagar itu.

"Ben! Jangan!" Robert dan Andy berteriak mencegah, namun terlambat.

Plop!

"Kepalaku!" Ben berseru dengan ketakutan. "Kepalaku tersangkut di pagar! Astaga, Robert, Andy tolong aku!" Ben berusaha menarik kepalanya yang tersangkut di pagar teralis itu dengan keras. Namun justru dia yang malah merasa tercekik. Wajah Robert memucat. Mereka bisa tertangkap jika kejadiannya seperti ini. Ia dan Andy langsung menghampiri Ben dengan cepat.

"Sudah kubilang, idiot, dengarkan apa kata anak itu!" seru Andy.

"Hei! Jangan memanggilku idiot! Kau juga idiot!"

"Tapi kau yang lebih idiot!"

"Whoa, diamlah, anak-anak," sindir Robert sambil mengerutkan wajahnya. Andy terdiam, sementara Ben hanya menggerutu. Robert meniliti kepala Ben yang tersangkut di pagar teralis tangga darurat itu. Tidak ada pemotong apapun. Apa yang harus kulakukan? batin Robert dengan cemas. "Ini buruk, aku tak tahu cara mengeluarkan kepalanya."

Mendengar itu, Ben meringis dan merasa ingin menangis. Tiba-tiba Andy meceletuk. "Dulu jariku pernah masuk ke dalam lubang jari, dan berhasil keluar pakai sabun."

Robert tertegun dan berpikir dengan cepat. Ia melihat botol saus mustard di dekatnya. Sejak kapan botol saus itu ada di tengah tangga pintu darurat. Tiba-tiba matanya terbelalak dan ia langsung menyabar botol saus mustard itu. Dan ia segera mengeluarkan seluruh isinya, menyelimuti seluruh bagian leher, kepala dan kerah baju Ben. Ben langsung mengerang.

"Astaga, apa yang kau lakukan, nak?!" katanya dengan rambut yang basah dengan mustard. Setetes mustard menetes di mulut Ben dan ia berusaha menyeruputnya. Lalu ia mengecap saus itu sambil mengangkat alisnya. "Mmm... tidak buruk."

Robert memutar bola mata dan melipat lengan jaketnya. "Mencoba mengeluarkanmu, sekarang diamlah," katanya. Ia memandang Andy yang tertegun melihatnya. "Andy, bantu aku menarik kepalanya sekarang."

"Apa?!"

Robert dan Andy memegangi bagian leher Ben yang mulai licin karena saus mustard itu. Mereka memutar kepalanya ke kiri dengan pelan dan Robert memberi aba-aba untuk menariknya. Andy mengangguk. Mereka mengembalikan kepalanya ke posisi semula hingga Robert berkata, "Satu, dua, tiga. Tarik!"

Robert dan Andy menarik kepala Ben dengan cepat dan plop! Kepalanya terlepas dari pagar tesebut dan ia terjungkal dengan keras. Ia memegangi kepalanya sambil tertawa bahagia. "Kepalaku kembali! Kepalaku kembali!" katanya. Robert dan Andy hanya bisa menggelengkan kepala mereka. Lalu mereka melihat The Yellowjackets berlari ke arah mereka. Semakin dekat dan semakin dekat. Robert melihat ke bawah. Ia langsung menarik tangan Ben dan Andy.

"Dalam hitungan ketiga, kita akan meloncat ke atap mobil van itu dan langsung masuk ke dalamnya. Lalu kita akan segera pergi dari sini." Kata Robert dengan serius.

"Apa?!"

"Satu, dua-"

"Tidak! Tidak! Jangaaan!"

"Tiga!"

Robert, Ben, dan Andy, meloncati pagar tersebut dan meloncat dari tangga darurat yang berketinggian 10 meter itu. Mereka jatuh dengan cara yang sama seperti Robert. Mereka memutar badan mereka, terhentak di atap mobil, dan mendarat di tanah dengan mendebum dan kesakitan. Robert terbatuk-batuk, berusaha untuk bangkit. Di tengah pandangannya yang kabur, ia melihat sekumpulan orang berseragam kuning-hitam mulai berlari menuruni tangga tersebut.

Tiba-tiba, grep! Ben menarik kerah jaket Robert, menariknya masuk ke dalam van berwarna silver itu. Robert, sambil berusaha untuk berdiri, juga Ben dan Andy, melihat sekeliling van raksasa tersebut. Van itu tidak seperti biasa. Van itu benar-benar lengkap. Dengan empat dipan, kamar mandi, meja dan kursi makan, sebuah dapur kecil, dan kendali bernavigasi lengkap. Mereka bertiga, dengan pelan, kagum melihat semua itu. Mereka saling berpandangan, hingga mereka mendengar tapak kaki para Yellowjackets.

"Andy, jalankan mobilnya!" teriak Robert.

Ketiga orang itu berlari ke arah setir. Andy, secara refleks duduk di kursi pengemudi. Sementara Robert berada ditengah mereka. Robert melihat kaca spion. Para Yellowjackets sudah benar-benar dekat sekarang. "Andy! Sekarang!" teriak Robert dan Ben dengan panik.

"Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan!" balas Andy dengan sama paniknya.

"Lakukan saja, idiot! Lakukan apa yang biasanya kau lakukan!" teriak Ben tepat di telinga Andy.

"Tekan gasnya," kata Robert dengan tenang. Ia menengok ke jendela. Tiba-tiba, seolah seperti hantu di kebanyakan film horor, salah satu Deadpool kuning itu menghantam jendela. Wajahnya menempel di jendela, membuat Robert langsung terkejut dan berteriak, "Tekan gasnya!!"

Karena panik dan tak bisa mengendarai mobil, Andy menginjak pedal yang dianggapnya gas dengan keras. Mobil tak bergerak, dan justru para Yellowjackets itu terus menggedor-gedor dan mendobrak kaca van raksasa itu. "Itu rem, bodoh! Gas ada di sebaliknya!" teriak Ben. Lalu Andy menekan menginjak gas, dan brak! Mobil itu justru menabrak pohon besar yang ada di depannya. Mereka bertiga terjungkal ke depan dan kaca mobil tersebut mulai retak.

Robert memandang Andy dengan wajah datar. "Andy, kau lupa perseneling mundurnya."

"Oh, astaga."

Andy langsung mengubah perseneling mundur dengan cepat, menginjak gas, dan reng!! Mobil terlonjak ke belakang dengan keras dan mulai berjalan mundur dengan cepat. Brakk! Mobil itu menabrak paksa pagar kayu yang ada di belakangnya, membuat pagar itu hancur berkeping-keping dan membuat mobil hampir mengarah sebuah bangunan.

"Putar balik!"

Andy berseru dan ia membanting setir, membuat mobil seolah sedang melakukan drift. Mobil tersebut seinci lagi akan menabrak trotoar, namun dengan gesit Andy menghindarinya. Membuat para anggota Yellowjackets itu ditabraknya secara tidak sengaja. Andy menginjak gas, dan membuat mobil itu melaju menuju jalan raya.

Dor! Dor! Dor! Tembakan diluncurkan ke arah mobil van tersebut, namun semuanya memantul. Itu karena bahan mobil tersebut anti meluru. Mobil itu melaju meninggalkan para penjahat itu mengumpat dengan sendirinya. Robert melihat ke belakang. "Mereka tidak mengikuti kita," lalu ia terkekeh. "Kita beruntung kali ini."

Robert, Ben, dan Andy tertawa kecil melihat apa yang baru saja terjadi tadi. Namun wajah Andy berubah mendung. "Sepertinya tidak," katanya. "Mungkin pimpinan mereka menyuruh mereka untuk tidak mengikuti kita, namun pasti ia memiliki rencana yang lebih buruk."

Mereka terdiam. Robert berjalan ke arah amplop berkas berwarna coklat yang tergeletak di meja van itu. Ia memandang amplop itu. Seketika ia mengingat apa yang terjadi pada malam itu. Ia menutup matanya. Lalu membuka amplop tersebut. Dan isinya, sebuah map dan secarik kertas. Ia membawa keduanya ke arah Ben dan Andy.

"Teman-teman, lihat apa yang kutemukan," katanya. Robert memandang Ben dan Andy dengan serius. "Dan ini dari Oliver." Ia mulai membacakan secarik kertas, yang merupakan surat dari Oliver itu.

Dear Robert Runner,

Sebelumnya, selamat datang di vanku. Van ini didesain khusus untuk melakukan perjalanan panjang, misalnya melintasi Amerika. Seperti yang kalian mungkin telah ketahui, aku sengaja membuat van ini, untuk mengantisipasi hal-hal buruk yang terjadi padamu, terutama, The Yellowjackets.

Untuk lebih singkat, map yang kuberikan bersama surat ini adalah dokumen yang tersisa dari Proyek California dan The Yellowjackets. Yang hanya kau perlu lakukan adalah mencari remaja sebayamu yang kutulis dalam daftar sebelumnya, lalu mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, dan mencari The Yellowjackets. Aku tahu kau akan bisa melakukannya.

Dan Robert, maaf aku tak mendampingimu sekarang. Namun aku berjanji, aku akan kembali bertemu denganmu dalam waktu dekat.

Salam,

Oliver Canterbury

Robert mengambil lipatan kertas dan Oliver sebelumnya. Ia membaca satu per satu kembali nama-nama remaja di daftar itu. Kirsty Dahlberg dari New York, Jeff Carmichael dari Philadelphia, May Averstreet dari Baltimore, James Foster dari Nevada, dan namanya sendiri, Robert Runner, yang sudah dicoret dengan spidol merah. Ini terlalu rumit, batinnya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

"Robert, istirahatlah," kata Ben sambil menaruh tangannya di pundak Robert. "Sekarang pukul setengah satu malam, dan kau lelah. Tidurlah, kami akan bergantian menyetir sampai New York."

Robert hanya tersenyum simpul. Lalu berjalan dengan lemas menuju dipan dengan kasur tipis dan selimutnya yang berada di kanan bagian bawah. Ia menghempaskan tubuhnya dengan lemas. Lalu berbalik sambil memandang kakinya yang tak terasa sakit. Lalu pandangannya teralih ke arah Ben dan Andy, yang tidak berselera untuk memutar musik seperti sebelumnya. Ia mengerjapkan matanya. Ben melirik ke arahnya, lalu berkata,

"Robert, ini belum berakhir-"

"Aku tahu, Ben," kata Robert dengan murung. Ia melipat tangannya di belakang kepala. Memandang langit-langit dipan, juga jendela panjang yang ada di sampingnya. Memikirkan apa yang terjadi sebelumnya, dan juga sebuah amplop dokumen itu. "Aku tahu. Kita harus mencari keempat anak lainnya. Pergi ke California. Mengungkap apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Ini... aneh."

"Aku pun tahu, Robert. Ini seperti... mimpi buruk yang tak ada akhirnya." Timpal Andy dengan tenang.

Hening. Tidak ada satupun orang yang berbicara. Ben dan Andy kembali memfokuskan pandangan mereka ke jalan raya. Menjalani perjalanan mereka menuju New York, mencari orang pertama yang perlu mereka cari, Kirty Dahlberg. Robert tak tahu lagi lebih rinci tentang apa yang harus ia lakukan, karena ia sudah terlalu lelah membaca semua dokumen itu. Ia memandang keluar dan menghela nafasnya. Lalu mulai terlelap dalam tidur yang tenang nya.

This is gonna be a long night.

***

Akhirnya update juga ^^"

Sebelumnya, aku sangat dan sangat minta maaf karena lambat updatenya, dan itu semua karena aku benar-benar sibuk #plak. Tapi serius, akhir-akhir ini aku harus ngurus daftar SMA dan bolak-balik kesana mengurus hal-hal lain. Jadi, beribu-ribu maaf!!

Dan seperti biasa, thanks sudah baca chapter ini. Jangan lupa untuk menekan tombol vote dan comment, atau dua-duanya juga boleh :P

Oh ya, karena sudah memasuki bulan Ramadhan, aku mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalaninya!

QOTD: Film terakhir yang ditonton?

(Kalau aku Jurassic World, and that's amazing movie)

Multimedia: Martin Freeman (Oliver Canterbury) and Benedict Cumberbatch (Will Cavanaugh)/Running Up That Hill - Placebo



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro