Bab 2 Tempat Tinggal Baru
Part 2 Tempat Tinggal Baru
Badai salju sore itu mengiringi kepergian selir Lui dari Vene Palace menuju ke sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian Venelovea. Desa itu terletak di perbatasan Venelovea dan Marvelous, desa yang kini tak lagi berpenghuni dan hanya ada satu rumah yang ada di sana, yakni rumah milik kerajaan Vene yang disediakan khusus untuk siapa saja yang diasingkan ke sana.
Pada umumnya mereka yang diasingkan di sini adalah para pelanggar norma, pezina dan juga wanita simpanan.
Lui mendekap erat seorang bayi perempuan bermata hazel yang baru saja berumur dua bulan, bayi perempuan itu bernama Aluna Louis. Bayi Aluna sangatlah mirip dengan sang ayah, King Erick Louis. Lui mengusap lembut pipi putrinya yang gempil. Ia lantas mengecup kening sang putri dengan sayang sembari tersenyum kecil.
"Kau cantik sekali, sayang ... Sangat mirip dengan ayahmu ..." ucapnya sembari tersenyum memandangi wajah Aluna.
"Maafkan Ibu, sayang ... Karena Ibu hanya seorang selir yang tak punya kedudukan, kamu jadi seperti ini ... Ibu janji padamu kita akan hidup bahagia berdua meski dalam sebuah masa hukuman," janji Lui lembut, hampir saja ia meneteskan air matanya, namun dengan pahit Lui mencoba untuk tetap tersenyum di hadapan putrinya.
Sejenak bayangan Lui berputar mundur jauh ke belakang. Ia ingat betul bagaimana bahagianya Lui kecil bersama Ayah dan juga Ibunya. Meski Lui hanyalah gadis desa dari keluarga miskin, namun Ayah dan Ibu Lui mengajarinya berbagai pelajaran berkelas seperti membaca dan menulis, bermain biola, menyulam serta berbagai pelajaran tentang pola berpikir.
Detik berikutnya pikiran Liu kembali melayang mempertanyakan akan masa depan Aluna. Akankah Aluna bisa bahagia seperti masa kecilnya dulu? Dan … apakah ia bisa membuat Aluna mengerti akan hukuman yang sedang mereka jalani?
Dalam hati Liu berkecamuk, membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Mobil yang ia tumpangi tiba-tiba berhenti mendadak membuat ia membuka sedikit jendela kaca mobil dan memeriksa keluar. Matanya menelisik ke arah luar, tampak seorang pengawal yang tadi mengemudikan mobilnya sedang berbicara dengan seseorang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan Lui tidak peduli. Ia lantas menutup kembali kaca mobil dan membenahi selimut yang membungkus sang putri.
"Tidurlah yang nyenyak sayang ... Ibu akan terus memelukmu," bisik Lui sembari bersandar di sandaran kursi penumpang.
Tak lama kemudian mobil tersebut kembali melaju. Dari gerak-gerik yang Lui tangkap nampaknya pengawal tersebut tidak cukup hafal jalan menuju desa terpencil yang dimaksudkan oleh King Erick sehingga ia harus turun dan bertanya.
Cukup lama berada dalam perjalanan kini mobil yang Lui tumpangi berhenti di sebuah rumah kayu yang di sekelilingnya adalah pohon. Pengawal tersebut menunjukkan kepada Lui bahwa rumah kayu yang berada di hadapannya ini adalah tempat tinggal barunya.
"Turunlah, Nyonya ... Kita sudah sampai," ucap sang pengawal kepada Lui. "Ini adalah tempat tinggal baru Anda."
Lui beranjak turun dari mobil dan memandang lurus ke depan, lalu berjalan menuju rumah kayu yang berada tepat di hadapannya. Ia membuka pintu rumah tersebut tampak sebuah ruangan kecil yang diasumsikan oleh Lui adalah ruang tamu karena di sana terdapat meja dan kursi kayu serta sebuah bufet kecil yang di atasnya tersusun beberapa buku.
Ada sebuah lukisan pula yang tergantung miring di dinding kayu. Pengawal yang tadi mengantar Lui membantu Lui untuk membersihkan rumah tersebut.
"Nyonya, sebaiknya Anda duduk di disini dulu. Biarkan saya yang membersihkan ruangan tidur Nyonya,” tawar sang pengawal.
Lui nampak meninmbang sebentar. Bahu dan pinggangnya terasa pegal sepanjang perjalanan. "Hemm ... baiklah,” putusnya sembari mendaratkan bokongnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu.
"Sudah selesai, Nyonya ... Anda bisa membawa Putri Aluna beristirahat di dalam.” Sang pengawal memberi tahu Lui bahwa pekerjaannya telah selesai.
Mendengar ucapan tersebut, Lui segera bangkit dari kursi kayu kecil itu dan berjalan menuju kamarnya.
"Terima kasih banyak," ucapnya kepada sang pengawal.
"Tidak perlu merasa sungkan, Nyonya. Itu sudah menjadi tugas saya,” tukas sang pengawal. “Oh iya, saya harus segera kembali ke istana dan melapor kepda King Erick jika Nyonya sudah sampai.”
"Hemm ... Katakan padanya terima kasih telah mengirimku kemari, aku bahagia sekali tinggal di sini,” pesan Lui.
"Baik, Nyonya."
Setelah kepergian pengawal tersebut Lui mengunci pintu rumahnya lantas menyalakan tungku perapian untuk menghangatkan suhu di dalam rumah itu. Bayi kecilnya, Aluna, kini telah tertidur nyenyak di dalam kamar.
Tanpa sadar, perut Lui berbunyi, mengingatkan bahwa tuannya belum makan apa pun hari ini.
“Ah, sepertinya aku harus memasak,” ucap Lui sembari tersenyum pahit.
Terbiasa menerima makanan setiap jam makan tidak membuat Lui lantas melupakan bagaimana susahnya ia dahulu tinggal di kampung bersama kedua orang tuanya. Bahkan, ketika ia berada dalam kondisi terpuruk seperti ini pun ia percaya bahwa dirinya pasti bisa bertahan.
Lui mulai melangkahkan kakinya ke dapur. Seulas senyum manis di bibirnya mendadak pudar ketika ia menyadari tidak ada apa pun di dapur selain tungku yang belum dihidupkan apinya.
“Aku harus mencari sesuatu.” Lui berkata pada dirinya sendiri, mencoba untuk menguatkan dirinya.
Lui berbalik dan membuat obor. Ia perlahan membuka pintu dapur guna mencari sesuatu yang mungkin bisa dimakannya mala mini, namun nihil. Yang ada hanyalah sebuah penyimpanan air yang terbuat dari tanah liat.
Sepertinya malam ini aku hanya bisa minum saja,” ucapnya sembari menahan perih di perutnya akibat rasa lapar yang kini menderanya.
“Oeeek … Oeeeek …”
Saat akan menyedok air tersebut, terdengar tangisan dari dalam rumah, membuat Lui bergegas kembali ke dalam rumah dan menutup pintu tersebut. Ia mematikan obor yang tadi dipakainya dan berjalan mendekati Aluna.
“Oeeek … Oeeeek …”
Lui buru-buru mendekap tubuh putrinya dengan hangat, kemudian mendaratkan bibirnya ke keningnya dengan sayang. “Cup … cup … cup. Kamu kenapa, sayang? Ibu ada di sini, kamu berhenti nangisnya ya.”
“Oeeek … Oeek …”
“Kamu lapar, ya?” tanya Lui pada putrinya, meski ia tahu bahwa putrinya tidak akan menjawab dirinya dengan jawaban absolut iya atau tidak selain dengan tangisan yang kian menggema memenuhi ruangan.
“Ya udah, sini Ibu kasih kamu minum dulu.”
Lui perlahan menyodorkan asinya, namun sayang di saat-saat begini asinya justru terasa kering, membuat Lui kembali menangis.
“Maafkan Ibu, sayang. Sepertinya kita harus puasa dulu malam ini. Maafkan Ibu, sayang …” Lui berulang kali meminta maaf kepada sang putri, berharap anaknya bisa mengerti dirinya saat ini. Lui berusaha mengusap kepala anaknya.
Ajaib memang, sang putri berhenti menangis dan lantas tertidur dalam dekapan Lui, membuat Lui memanjatkan syukur.
“Terima kasih, Tuhan … terima kasih. Malam ini tidurlah yang nyenyak, sayang. Besok Ibu akan memberikanmu asi yang banyak …,” janji Lui pada putrinya lagi.
-To be Continue-
Bagaimana kelanjutan kisah Lui dan Aluna? sanggupkah mereka bertahan dalam masa hukumannya? Simak kelanjutan kisahnya.
Jangan lupa tinggalkan komentar terciamik kalian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro