(5) Warta Panca : Air Mata di Depan Kerangka
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Sesuai dengan yang tertulis di susunan kegiatan ekspedisi pada hari ini, agenda pertama mereka adalah pemberangkatan dari Balai Arkeologi menuju tempat tujuan awal, yaitu kompleks percandian Batujaya yang terletak di Karawang, Jawa Barat. Kompleks tersebut merupakan situs peninggalan dari Kerajaan Tarumanegara yang cukup luas dan beragam, namun sayangnya beberapa candi belum dipugar atau dibiarkan terbengkalai begitu saja. Selain itu, di kompleks percandian juga terdapat museum yang berisi penemuan artefak seperti uang logam, gerabah, arca, batu perapian, senjata pemburuan, reruntuhan dinding benteng, dan masih banyak lagi.
Tim ekspedisi yang sudah sampai di tempat tersebut mulai mengamati candi-candi di sekitar kompleks, termasuk Bayu dan Pratama. Candi yang mereka kunjungi terlebih dahulu adalah Candi Blandongan, memiliki ciri khas arsitektur yang cukup unik, yakni memiliki sejumlah lapisan batu bertingka tinggi, dengan tangga terletak di setiap ujung candi, kemudian terdapat candi inti yang berada di tengah dan menghadap condong 45 derajat ke arah timur laut.
"Candi ini merupakan bangunan bersejarah tertua di Pulau Jawa, mengalahkan Candi Borobudur." ujar Pratama sembari memperhatikan detail ukiran candi tersebut dari dekat.
Bayu mengangguk kecil, ia juga tahu tentang informasi itu. Selisih waktu antara Candi Blandongan dengan Candi Borobudur memang terpaut begitu jauh, Candi Borobudur dibangun ketika Wangsa Syailendra tengah berkuasa pada abad ke-8, reruntuhan candi tersebut ditemukan pada tahun 1814 oleh Thomas Stanford Raffles yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris. Sedangkan Candi Blandongan diperkirakan sudah berdiri kokoh sejak abad ke-4 saat Kerajaan Tarumanegara memegang dominasi di Pulau Jawa, namun bangunan candi itu baru pertama kali tampak dan dapat digali pada tahun 1996.
"Kompleks percandian ini besar juga, ya. Luas keseluruhannya mencapai 500 hektare. Ada situs Damar, situs Cibuaya, Candi Blandongan, Candi Jiwa, Candi Segaran, dan Candi Sumur. Tapi sungguh disayangkan karena tidak semua bangunan candi bisa dipugar dengan sempurna. Bahkan candi di hadapan kita ini hanya bagian struktur kaki bangunannya saja." ungkap Pratama.
Bayu kembali mengangguk. Sepertinya Pratama begitu memanfaatkan kesempatan mengamati salah satu bukti peradaban kuno dari Kerajaan Tarumanegara dengan antusias. Sebenarnya Bayu pun ingin mengobservasi semua situs yang ada disini secara menyeluruh, namun ia masih gusar menunggu kehadiran beberapa orang kepercayaan Ayuni yang akan menyertai mereka saat ekspedisi nanti, sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Tetapi hingga sekarang, orang-orang tersebut tak kunjung datang. Bayu khawatir kalau mereka tersesat ketika sedang menuju kesini.
"Kau sedang memikirkan apa, sih? Aku lihat kau sering sekali melamun," celetuk Pratama ketika ia sadar jika beberapa ocehannya tentang Candi Blandongan tidak ditanggapi oleh Bayu.
Baru saja Bayu hendak menyangkal ucapan Pratama, tanpa diduga terdengar suara perempuan menimpali percakapan mereka dari jauh. "Dia sedang resah memikirkanku!" sahutnya.
Bayu dan Pratama kompak menoleh ke arah belakang, dan mendapati Ayuni sedang melambaikan tangannya sembari tersenyum lebar dan berlari kecil menghampiri Bayu, disusul Amina yang melangkah perlahan mendekati mereka bertiga. Pratama tidak terlalu terkejut dengan kehadiran dua perempuan itu, karena ia sudah menduga bahwa mereka akan mengikuti kegiatan penelusuran ini, namun tidak dengan Bayu yang begitu tercengang dan terheran-heran.
"Apa maksudnya ini? Bukankah kau berkata jika kau akan mengirimkan orang-orang yang kau percaya untuk ikut ekspedisi? Tapi kenapa malah kau yang datang ke sini?" cecar Bayu.
Ayuni terkekeh pelan. "Hei, jangan marah begitu. Aku jadi takut padamu,"
Bayu diam tak bergeming dengan raut wajah datar tak bersahabat, saat ini ia sedang tak ingin bergurau dan menuntut penjelasan dari Ayuni secepatnya. Menyadari jika akan terjadi perseteruan yang sengit, Pratama pun cepat-cepat berpindah posisi ke samping Amina untuk menghindar dari suasana yang menegangkan ini.
"Baiklah, alasan kenapa aku datang dan ikut serta disini adalah, karena orang yang kupercaya adalah diriku sendiri. Di dunia ini, kita tidak bisa menaruh keyakinan bulat pada seseorang jika tidak ingin dikhianati. Ya, aku belajar itu dari pengalaman sebelumnya. Alasanku bisa diterima 'kan?" tutur Ayuni dengan santai.
Bayu mengusap wajahnya dengan kasar. "Kalau begitu, kenapa tidak dari awal kau katakan jika kau sendiri yang akan datang? Jadi bisa kutulis di Laporan Kegiatan bahwa kau tidak hanya berperan sebagai donatur acara, namun juga termasuk anggota tim ekspedisi,"
Ayuni mengibaskan tangannya. "Nanti 'kan bisa direvisi, tidak usah terlalu dipusingkan."
Mendengar jawaban dari perempuan itu, Bayu menggeram tertahan sembari mengepalkan tangannya, merasa kesal dengan kelakuan Ayuni yang semena-mena dan seenaknya sendiri.
"Apa kau memang selalu menggampangkan dan meremehkan urusan orang lain, Nona Ayuni Ardhanareswari?" ketus Bayu.
"Bukan begitu, Bayu. Aduh, aku tidak bermaksud menyepelekan apa yang sedang kau urus. Tapi hal kecil seperti ini tidak perlu diperdebatkan begini, bukankah seharusnya kita berfokus pada tujuan utama kita, yaitu mencari sisa-sisa peninggalan Tarumanegara yang masih tertimbun? Baiklah, aku mengaku jika apa yang sudah kulakukan ini tidak benar, nanti akan kubantu untuk revisi Laporan Kegiatannya, karena itu juga tanggung jawabku sebagai pengaju proposal. Jadi, aku sungguh-sungguh meminta maaf, ya."
Bayu memejamkan kelopak matanya, lalu berusaha mengambil napas dan mengembuskannya perlahan untuk menenangkan dirinya yang masih diliputi amarah. Apa yang dikatakan Ayuni benar, tidak seharusnya perkara kecil itu menimbulkan adu argumen yang tidak diperlukan. Tampaknya Bayu merasa terbebani dengan tanggungan kelancaran dan keberhasilan kegiatan ini sebagai Ketua Pelaksana, sehingga ia mengharuskan semua urusan harus 'sempurna' dan mudah terpancing dengan kesalahan kecil yang sebenarnya bisa ditoleransi atau tidak terlalu fatal.
Akhirnya lelaki itu berbalik badan, kemudian berjalan menjauh dari mereka. "Aku mau ke Candi Sumur untuk menyusul anggota lain, kalian pergi berpencarlah. Nanti pukul 11 siang kita kembali berkumpul di titik awal." ujarnya.
Ayuni ingin mengikuti Bayu dari belakang, berniat membujuk lelaki itu agar mau memaafkannya, namun dicegah oleh Pratama.
"Biarkan Bayu sendiri dulu, sekarang ini dia memang banyak pikiran dan sering merasa cemas. Jadi biarkan ia menenangkan batinnya dulu, ia tidak marah padamu, justru ia sedang marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol emosinya." ucap Pratama.
"Kalau begitu kalian berkeliling berdua saja dulu, aku mau mampir ke museum sebentar." balas Ayuni singkat dan segera pergi meninggalkan Pratama dengan Amina. Mereka berdua pun saling melempar tatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Amina memperlihatkan kamera Sony Alpha A6000 miliknya kepada Pratama. "Mau menemaniku untuk melihat-lihat dan memotret beberapa candi disini?"
Pratama mengangguk. "Boleh, mau lihat Candi Jiwa?"
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Berbeda dengan candi-candi yang berada di sekitar kompleks Batujaya, letak Candi Sumur ini cenderung menjorok di bawah permukaan tanah. Berbentuk persegi panjang dengan lubang di bagian tengahnya, dinamakan Candi Sumur karena bentuknya yang mirip dengan tempat tampungan air, masyarakat berasumsi jika pada zaman dahulu tempat itu digunakan untuk mengambil air ketika sedang mengadakan ritual keagamaan di Candi Blandongan.
Sebenarnya Bayu memiliki hipotesis sendiri mengenai beberapa candi di kawasan Batujaya, ia menganggap jika semua situs yang tersebar di tempat itu merupakan satu lingkup bangunan yang tercerai berai karena terpendam selama beribu-ribu tahun, sehingga terkesan candi-candi itu terpisah dan berbeda bangunan. Bayu juga berpendapat bahwa di daerah inilah pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara, karena jika mengutip Naskah Wangsakerta, Istana Kerajaan Tarumanegara terletak di tepi muara Sungai Citarum, sedangkan jarak dari kompleks percandian Batujaya ke Sungai Citarum hanya berkisar 2 kilometer saja. Tetapi ia tidak ingin terlalu berlarut pada teori buatannya, karena bukan itu prioritas utamanya. Tujuan ekspedisi kali ini ia menargetkan prasasti di sekitar anak sungai Citarum, yaitu Kali Gomati dan Candrabhaga.
Berdasarkan beberapa buku rujukan sejarah yang telah Bayu baca, setelah pembuatan Sungai Citarum selesai, Maharaja Purnawarman memberikan 1000 sapi ternak untuk para Brahmana dan mengadakan pesta rakyat untuk seluruh masyarakat penduduk Tarumanegara. Karena kebaikan dan kemurahan hatinya, maka Para Brahmana mempersembahkan Prasasti untuk Maharaja Purnawarman. Oleh sebab itulah, Bayu bertekad menemukan prasasti tersebut. Namun bila keadaan berjalan tak sesuai rencana, mungkin menemukan artefak kecil saja sudah bersyukur.
Kemudian Bayu beralih ke tempat selanjutnya, yaitu museum artefak percandian Batujaya. Salah satu anggota tim ekspedisi mengatakan, jika di sana terdapat beberapa uang logam peninggalan Tarumanegara yang memiliki bentuk dan ukiran yang unik, karena diadaptasi dari uang milik Dinasti Tang dari negeri Tiongkok pada abad ke-4, atau sekitar tahun 378 Saka. Karena penasaran dengan wujud dari uang tersebut, Bayu pun memutuskan untuk ikut masuk ke dalam museum bersama beberapa anggota tim lainnya.
Layaknya museum pada umumnya, di ruangan tersebut terpampang puluhan etalase kaca berisi beberapa koleksi penemuan yang sangat beragam, seperti ornamen, arca, terakota, inskripsi, gerabah, alat logam, perhiasan, keramik, fosil manusia dan tumbuhan. Walaupun tempatnya terlihat sederhana dan tidak terlalu besar, namun siapa sangka jika di dalamnya terdapat bermacam-macam artefak menarik ditampilkan. Bayu pun asyik mengitari ruangan museum itu sembari memandangi satu persatu barang yang dipajang.
Beberapa saat kemudian, langkah kaki Bayu terhenti sejenak ketika ia melihat seseorang di pojok ruangan sedang terduduk menatapi fosil manusia di dalam kerangkeng bambu sembari menangis tersedu-sedu. Lalu Bayu tersadar jika orang itu adalah Ayuni, maka dengan segera ia menghampiri perempuan itu untuk memastikan apakah dia baik-baik saja.
Ayuni cepat-cepat menghapus airmata yang mengalir di wajahnya saat Bayu datang mendekatinya dan ikut duduk di sebelahnya. Bayu pun merogoh kantong jaketnya untuk mengambil sapu tangan, kemudian ia berikan pada Ayuni.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu cemas.
Perempuan itu mengangguk. "Aku baik-baik saja, aku... aku hanya merasa bersalah,"
Bayu mengerutkan keningnya. "Bersalah kenapa? Apa masih menyangkut masalah kita tadi?"
Ayuni menggeleng. "Bukan. Aku merasa bersalah kepada kerangka manusia itu. Seharusnya dia disemayamkan dengan pantas agar arwahnya dapat beristirahat dengan tenang, namun tulangnya justru dipajang di museum ini sebagai bahan tontonan orang lain."
Bayu dibuat terheran-heran dengan sikap Ayuni. Astaga, bagaimana bisa ia begitu sentimental hanya dengan fosil kerangka manusia kuno hingga isak tangisnya terdengar kencang?
"Ya Tuhan, sepertinya jika kau kubawa ke Museum Sangiran, kau tidak akan berhenti menangisi nasib para arwah dari manusia purbakala Homo sapiens dan Meganthropus paleovanicus, karena mereka semua tidak dimakamkan, namun dipamerkan di showroom museum." celetuk Bayu.
"Tidak seperti itu, Bayu. Kau percaya dengan kutukan? Jika kau masih ragu, maka tulang belulang ini adalah bukti asli, bahwa kutukan itu benar-benar nyata." tukas Ayuni.
"Maksudnya?" tanya Bayu.
Ayuni menunjuk fosil tulang tersebut. "Orang ini, disumpah-serapahi karena dia berbuat jahat dan mengkhianati Kerajaannya. Namun sesungguhnya orang yang menyumpahinya itu tidak menyangka jika ucapannya akan menjadi kenyataan, karena dia hanya asal menyumpahi untuk meluapkan amarahnya."
Bayu kembali mengernyitkan dahinya, masih tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu. Dari mana dia tahu kalau fosil kerangka manusia itu dulunya seorang penjahat dan dikutuk dengan sumpah serapah? Apakah ia berkhayal atau berimajinasi saja?
"Tidak masuk akal, ya? Memang. Dunia tidak sesederhana yang kau kira. Aku berhutang banyak penjelasan padamu. Aku janji akan mengungkapkan semuanya secara runtut tanpa ada hal kecil pun terlewat. Nanti, jika waktunya sudah tiba, kau akan mengetahui dan memahami seluruh cerita tanpa kebingungan." ujar Ayuni.
Bayu manggut-manggut saja, karena sampai sekarang ia tidak mengerti apa-apa. Perempuan itu sudah terlalu banyak menimbulkan rasa penasaran di benak Bayu, hingga ia jadi pusing sendiri.
"Untuk perdebatan tadi, aku minta maaf jika ada perkataan yang menyakitimu." ujar Bayu.
Ayuni tersenyum, lalu ia mengibas-ngibaskan tangannya. "Tidak sama sekali, aku kagum ketika melihatmu sedang dilanda amarah, namun kau tetap berusaha menjaga intonasi bicaramu agar tidak terdengar seperti membentak. Kau menguasai diri dengan baik."
"Kau juga tidak mudah terpancing dengan perkataanku, kau pandai mengatur pembicaraan agar tetap dingin dan kondusif." balas Bayu.
Ayuni menggaet lengan Bayu, lalu mengajak lelaki itu untuk segera berdiri. "Ayo lekas bangun, aku ingin menunjukkanmu sesuatu sebelum kita keluar dari sini."
Bayu pun hanya menurut saja kepada Ayuni, dan mulai mengikuti perempuan itu dari belakang. Ternyata Ayuni hendak membawa Bayu menuju ke tengah museum, dimana terdapat rak-rak yang berisi sejumlah perhiasan logam dan beberapa kotak kayu jati berukiran khas zaman kuno.
"Bisakah kau menebak, pada zaman itu siapakah yang memiliki perhiasan ini?" tanya Ayuni.
Bayu menjawab asal. "Mungkin itu milik salah satu Bangsawan dari Kerajaan Tarumanegara."
"Salah. Perhiasan ini milik kaum dari kasta terendah Sudra yang melarat, benda ini ditemukan bersamaan dengan beberapa alat perbudakan yang hanya dimiliki kaum Sudra. Kalau kau tidak percaya, baca saja infografis yang ada disitu."
Lagi-lagi Dahi Bayu terlipat karena kebingungan dengan cerita yang diberikan Ayuni. Bagaimana mungkin kasta terendah yang cenderung hidup dalam kemiskinan dan diskriminasi pada saat kehidupan sosial zaman dahulu, bisa memiliki banyak perhiasan logam semewah itu? Apakah ia mencuri atau merampasnya dari salah satu kasta Ksatria atau Waisya?
"Nah, itu bisa menjadi salah satu petunjuk penting untukmu yang akan melakukan ekspedisi. Mungkin saja kau akan menemukan artefak di tempat dan waktu yang tak terduga, jadi persiapkan rencana dan strategi lapangan sebaik mungkin." tutur Ayuni.
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Pratama bersama Amina dengan perlahan dan hati-hati berjalan bersisian, menyusuri jalan setapak yang cukup sempit di sekitar Candi Jiwa, karena letaknya berada di tengah-tengah area persawahan. Walaupun begitu, mereka terlihat menikmati pemandangan indah yang tersaji di tempat tersebut. Terkadang Pratama meraih lengan Amina untuk memastikan perempuan itu tidak terpeleset saat melewati bagian jalan yang becek atau licin, kemudian Amina tersenyum dan berkata pada lelaki itu bahwa ia baik-baik saja dan tidak perlu dipegangi seperti anak kecil.
Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, mereka pun akhirnya tiba di Candi Jiwa. Amina langsung mempersiapkan kameranya untuk memotret beberapa gambar dari candi tersebut. Sedangkan Pratama memilih membaca papan informasi yang terpampang mengenai Candi Jiwa, membiarkan Amina bersenang-senang dengan urusannya sendiri.
"Dulu kawasan ini hanya berwujud gundukan tanah atau disebut unur-unur. Biasanya tempat ini sering digunakan masyarakat untuk menggembala hewan ternaknya, namun para hewan yang dibawa kemari sering ditemukan mati mendadak secara misterius. Maka dari itu istilah Candi Jiwa muncul, untuk menggambarkan jiwa yang hilang tanpa sebab." gumam Pratama.
"Benarkah?" timpal Amina sembari melangkah mendekati Pratama, kemudian ia mengabadikan papan informasi yang tengah diperhatikan oleh Pratama dengan kameranya.
Lelaki itu mengendikkan bahunya. "Entahlah, aku hanya sekadar membacanya saja."
"Amina, bolehkah aku bertanya sesuatu?" ujar Pratama kemudian.
Perempuan itu mengangguk kecil. "Silakan, semoga aku bisa menjawabnya."
"Mengapa kau mau mengikuti kegiatan ekspedisi ini? Maksudku, profesimu 'kan tidak ada korelasinya dengan tujuan penelusuran yang kami adakan."
"Kata siapa? Aku bersedia hadir, justru karena kita memiliki tujuan yang sama. Letak perbedaannya adalah, kalian mencari bukti orisinal dari peradaban Kerajaan Tarumanegara, sedangkan aku lebih berfokus mencari tahu sejarah intrik dari politik kekuasaan di kerajaan tersebut. Setiap kerajaan pasti memiliki konflik internal 'kan? Begitu pula dengan Tarumanegara, meskipun belum banyak yang mengulasnya, tapi aku bertekad untuk menguliti permasalahan perebutan tahta antar keluarga Bangsawan Tarumanegara."
"Kira-kira apakah ada pengkhianatan atau kudeta di masa itu?"
"Tentu saja, sejak Indonesia masih berbentuk Kerajaan, kalimat itu sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Ken Arok menggulingkan Tunggul Ametung untuk mendirikan Kerajaan Singhasari, Raden Wijaya menumpaskan Jayakatwang demi membangun Kerajaan Majapahit, dan Tumenggung Endranata yang hingga saat ini kepalanya terinjak-injak karena ditanam di gapura supit urang akibat perbuatannya yang mengkhianati Kerajaan Mataram. Bukankah topik tentang intrik perebutan kekuasaan di masa-masa Kerajaan itu menarik untuk dibahas?"
"Lalu kau akan mempublikasikannya di koran milik perusahaanmu?"
"Betul sekali. Omong-omong, tawaranku beberapa waktu yang lalu masih berlaku untukmu. Kau tidak tertarik bergabung menjadi kurator di Tempo Indonesia?"
"Jawabanku masih sama. Maaf, aku tidak tertarik,"
Mereka berdua pun terdiam usai percakapan mereka selesai. Pratama merenungi kalimat panjang yang disampaikan Amina mengenai permasalahan politik kekuasaan di masa-masa Kerajaan. Ia pun kembali teringat dengan mimpi buruk yang sempat menghantuinya beberapa waktu lalu. Apakah potongan kejadian yang tampak di mimpinya itu merupakan salah satu tragedi pengkhianatan yang ada di Kerajaan Tarumanegara? Atau hanya sekadar mimpi biasa tanpa arti?
"Oh iya, apakah kau masih ingat pembahasan kita tentang reinkarnasi?" tanya Amina.
Pratama mengangguk. "Saat kita berpapasan di mall 'kan? Ada apa?"
"Jika memang kita adalah jiwa yang terlahir kembali, menurutmu kita ini siapa di kehidupan sebelumnya? Apakah kita berhubungan baik, atau malah bermusuhan satu sama lain?"
Tatapan Pratama menerawang ke atas, memperhatikan langit biru yang diselimuti awan tipis berwarna putih. "Entahlah, namun sepertinya di kehidupan sebelumnya, kau sangat membenciku ketika ajal sedang menjemputmu."
Amina tercengang mendengar jawaban Pratama, lantas ia menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Membencimu? Mengapa begitu?"
Ingin sekali Pratama menjawab 'karena aku meninggalkanmu sendirian di tengah kobaran api yang dahsyat.' Namun kalimat itu tertahan di mulut lelaki itu, sehingga ia hanya mampu menggelengkan kepalanya, membuat Amina mendecakkan lidahnya, melenguh penasaran.
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
maaf baru bisa melanjutkan cerita ini, lagi sibuk ( such an unneccessary reason) 🙏🏻.
anyway, drop your theory?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro