(13) Warta Tridasa : Singgasana Yang Rapuh
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
“Dalam rangka apa kau memanggil semua Keluarga Kerajaan, Dewan Pengadilan Internal, serta para Menteri, wahai Putri Ratungganara? Undangan jamuan ini sangat mendadak, beruntung kami dapat menghadirinya sesuai permintaan Tuan Putri.” tanya salah satu petinggi kerajaan.
Ratungganara mengulum senyum simpul. “Terima kasih, karena sudah menyempatkan untuk datang ke perjamuan makan siang yang sangat mendadak ini. Tujuanku sebenarnya sederhana, aku hanya ingin memperkenalkan diriku secara resmi di hadapan seluruh penghuni Istana. Sejak kepindahanku kemari, aku belum sempat mengunjungi kalian satu persatu. Jadi, mohon terimalah bentuk penghormatanku pada kalian.” perempuan itu lantas membungkukkan tubuhnya. Seluruh tamu yang hadir pun balas menundukkan kepalanya.
Ratungganara pun bangkit dari posisinya, lalu tersenyum ramah menyambut mereka semua. “Mari, silakan duduk. Para pelayan akan segera menghidangkan makanannya,”
“Apakah kau tidak kelelahan? Bukankah malam tadi kau ikut rombongan yang menyelamatkan tawanan rakyat? Harusnya tidak perlu mengadakan jamuan makan hari ini, agar kau bisa istirahat.” ujar salah satu keluarga kerajaan yang mengkhawatirkan kondisi dari Ratungganara.
Perempuan itu tersenyum lagi. “Tidak apa-apa, anggap saja jika perjamuan ini sebagai pengganti dari upacara adat pernikahanku dengan Putra Mahkota yang tertunda karena masalah itu.”
Suasana pendhopo telatar istana pun menjadi ramai karena adanya perjamuan tersebut, tentu saja semua orang disana terlena ketika melihat masakan yang disajikan terlihat begitu lezat dan menggoda, lupa dengan urusan konspirasi politik yang tengah mereka siapkan sedemikian rupa. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Purnawarman dengan sebaik mungkin untuk mencari secercah bukti yang bisa ia gunakan di persidangan petang nanti. Dibantu dengan Cakrawarman, ia pun mulai mengkoordinasi dan mengarahkan pasukan penggeledah untuk segera beraksi.
“Ingat, jangan meninggalkan bekas apapun dan pastikan untuk menata tempatnya kembali setelah selesai digeledah. Ambil segala bentuk surat, warkat, atau tempat penyimpanan yang mencurigakan. Mengerti?”
“Mituhu dhawuh, Putra Mahkota!”
Mereka pun segera menyebar ke penjuru arah dengan senyap, agar tidak menimbulkan kebisingan yang mencurigakan. Purnawarman dan Cakrawarman saling menatap satu sama lain, sembari menunggu pasukan penggeledah menyelesaikan pekerjaannya, mereka berdua masih ada urusan yang harus segera dirampungkan, yaitu menginterogasi Panglima Kerajaan Indraprahasta. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka melangkahkan kaki mereka menuju sel tahanan kerajaan yang dijaga ketat oleh prajurit suruhan Cakrawarman. Ketika sampai di tempat, tampak orang tersebut meronta-ronta minta dibebaskan dari penjaranya, namun karena mulutnya tersumpal bebat kain, maka ia hanya bisa meraung-raung kesetanan dan menabrakkan tubuhnya berkali-kali pada pintu tahanan. Cakrawarman tertawa mengejek orang itu di depannya.
“Dasar bodoh, kau kira kau bisa merobohkan kayu penjara ini, hah? Kayu ini merupakan batang dari pohon terkokoh di seluruh tanah Jawa, jadi takkan mudah untuk mendobraknya. Tulangmu bisa patah lebih dulu, tetapi kayunya tetap baik-baik saja.” komentar Cakrawarman.
“Keluarkan dia dari penjara, lepaskan bebat mulutnya. Namun jangan lepaskan ikatan tali di tangan dan rantai di kakinya.” titah Purnawarman pada prajurit yang berjaga. Mereka pun langsung mematuhi perintahnya, membawa Panglima Kerajaan Indraprahasta keluar dari tahanan, dan dihadapkan langsung di depan Purnawarman dan Cakrawarman.
“Lepaskan aku! Atau kalian akan menyesali konsekuensinya!” baru saja bebat mulutnya dilepaskan, orang itu sudah berani mengancam dua Pangeran terpenting di Tarumanegara.
Cakrawarman menunjukkan ekspresi pura-pura takut. “Astaga, iyakah? Mengerikan sekali!”
“Aku serius! Raja Indraprahasta akan datang untuk menghabisi kalian semua!” gertaknya marah.
“Ya ampun, aku akan dihabisi Raja Indraprahasta! Aku harus lari! Huhuhu…”
“BAJING—”
Tring!
Cakrawarman menghunuskan pedangnya di depan mulut Panglima Kerajaan Indraprahasta. “Berhenti bicara omong kosong, atau aku akan membelah lidahmu.” ancamnya dengan lugas.
Purnawarman segera menyingkirkan pedang Cakrawarman dengan hati-hati. “Atur emosimu, Cakrawarman. Jangan menghabiskan energimu pada orang tak berguna seperti dia, masih ada Persidangan Kerajaan yang lebih penting untuk kita hadapi sebentar lagi.”
Cakrawarman langsung menunduk patuh. “Baik, Kakanda. Maafkan aku,”
Sekarang Purnawarman beralih ke Panglima Kerajaan Indraprahasta yang terikat tak berdaya di bawah kakinya, ia pun menekuk lututnya untuk menyamakan posisi. “Membahas tentang Persidangan Kerajaan, aku mempunyai negosiasi yang bagus bagi kita berdua. Kau tertarik?”
Cuih!
Orang itu meludahi wajah Purnawarman dengan congkak, Cakrawarman pun kalap melihat kakaknya diremehkan seperti itu, ia bergegas mengangkat pedangnya untuk menebas leher orang tersebut. Namun Purnawarman mencegahnya dengan isyarat mengangkat tangan kanannya.
“BIARKAN AKU MEMENGGALNYA, KAKANDA!” teriak Cakrawarman dengan murka.
Si Panglima Kerajaan Indraprahasta gemetar ketakutan melihat amarah Cakrawarman yang meluap-luap. Ia pun langsung membungkukkan tubuhnya yang duduk terikat. “Ampuni aku!”
Purnawarman menggeleng dengan tegas. “Tidak. Kuasai dirimu terlebih dahulu, Cakrawarman. Urusan ini biar aku yang menyelesaikannya.” kemudian ia mengusap perlahan wajahnya, untuk menghilangkan air ludah yang menempel padanya.
“Aku menawarkan negosiasi ini, karena aku kasihan padamu. Kau tahu sendiri ‘kan, jika aku mengembalikanmu ke kerajaanmu, kau akan mati langsung di tangan Rajamu, karena kau telah gagal melaksanakan perintah kejinya untuk menculik rakyat-rakyatku. Dengan kata lain, jika kau ingin hidup, maka kau tidak boleh kembali ke Indraprahasta.”
Bahu orang tersebut bergetar hebat, seketika rasa kecemasan menjalari tubuhnya. Ia menangis ketakutan, apa yang dikatakan Purnawarman sepenuhnya benar. Raja Indraprahasta pasti akan menyalahkannya atas kejadian ini, kemudian membunuhnya tanpa belas kasih. “Ampuni aku!”
“Aku akan mengampunimu, membebaskanmu dari penjara, dan membiarkanmu melanjutkan hidup dengan memberimu sepetak tanah untuk kau tinggali. Dengan syarat, akuilah semua kesalahanmu yang sudah berniat menjadikan penduduk kerajaanku sebagai tawanan, lalu sebutkan semua pihak yang telah terlibat perencanaan penculikan itu. Maka aku akan melindungimu dari siapapun yang hendak melukaimu. Bagaimana?”
“Apakah kau ini Dewa Wisnu, Kakanda? Kenapa kau sangat berbaik hati pada penjahat ulung seperti dia?” gerutu Cakrawarman kesal, ambisinya untuk mengoyak tubuh Panglima tersebut masih tinggi rupanya. Tetapi Purnawarman tidak menanggapi, memilih untuk menunggu jawaban dari orang tersebut.
Ia ragu-ragu mengiyakan permintaan Purnawarman. “Hamba bersedia untuk melakukannya, Yang Mulia. Akan kubeberkan semua orang yang terlibat dalam rencana tersebut, asalkan hamba bisa mendapatkan pengampunan.”
Purnawarman mengangguk-anggukkan kepalanya dengan puas. “Baiklah, berarti kita sudah bersepakat, ya? Aku mempercayaimu, jadi kau tidak boleh menipuku.”
“Sendhiko dhawuh, Yang Mulia!”
“Masukkan kembali ia ke dalam tahanan! Lepaskan tali pada tangannya, namun tetap rantai kakinya. Berikan ia makanan dan minuman untuknya,” perintah Purnawarman.
Lelaki itu lantas menggeret Cakrawarman menjauh dari kawasan sel tahanan kerajaan, kemudian mereka berjalan menuju titik kumpul para pasukan penggeledah. Urusan interogasi ini sudah selesai, saatnya kembali memantau sejauh mana mata-mata mereka bisa mendapatkan barang bukti yang diincar olehnya. Mereka harus bergegas sebelum siang ini berganti petang.
“Kenapa kita tidak langsung bunuh saja orang itu? Mengapa ia justru kau selamatkan? Bahkan sikapnya saja kurang ajar sekali padamu,” Cakrawarman belum bisa menerima keputusan yang diambil Purnawarman.
“Dalam persidangan, diperlukan saksi untuk memperkuat barang bukti. Dengan begitu, kita bisa langsung menembak tepat ke arah jantung dari terdakwa masalah ini. Kesaksian Panglima itu akan sangat berguna bagi kita saat sidang pengadilan berlangsung nanti.” tutur Purnawarman.
Cakrawarman tercengang tidak percaya dengan tindakan bijak yang dilakukan Purnawarman.
“Astaga, kau sangat pandai, Kakanda.” pujinya kemudian.
Purnawarman menghentikan langkahnya, lalu ia menoleh ke Cakrawarman yang berjalan di sampingnya, lelaki itu pun ikut mengerem pergerakannya. “Ada apa?”
“Kau harus mengingat satu hal penting ini, Cakrawarman. Tidak semua perkara bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan, tetapi kita juga harus menggunakan…” Purnawarman pun menunjuk kepalanya.
“…pikiran. Ada banyak pendekatan efektif untuk memecahkan masalah, salah satunya dengan negosiasi.” ucap Purnawarman dengan menyunggingkan senyuman lebar.
Cakrawarman lagi-lagi dibuat terperangah oleh sikap Purnawarman. “Sepertinya kau memang jelmaan dari Dewa Wisnu. Kau terlalu sempurna untuk menjadi manusia!” ujarnya berseru.
Purnawarman hanya tertawa pelan mendengar hal itu.
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Tidak seperti yang diharapkan oleh Ratungganara, ternyata selama perjamuan makan siang berlangsung, ia mendengar begitu banyak tuduhan, hinaan, dan kecaman yang ditujukan padanya, walaupun secara tidak langsung, lebih banyak melalui sindiran halus ataupun gunjingan berbisik. Hal tersebut membuktikan bahwa banyak sekali para penghuni istana yang tidak suka dengan kehadiran Ratungganara sebagai calon Permaisuri dari Putra Mahkota Purnawarman. Namun sebisa mungkin ia terus mengulur waktu selama perjamuan makan berlangsung, supaya Purnawarman dapat mencari barang bukti yang ia butuhkan saat persidangan nanti.
Seorang perempuan paruh baya datang menghampiri Ratungganara di tengah-tengah perjamuan. Tatapan matanya begitu angkuh, terlebih lagi ia justru mendongakkan kepalanya ketika di hadapan Ratungganara, menandakan jika orang itu enggan memberikan penghormatan pada Ratungganara. Namun ia mencoba bersabar menghadapi wanita tua itu, lalu mengulas senyuman.
Ia sangat tahu siapa wanita tua tersebut, dia adalah adik tiri dari Raja Dharmayawarman, yang berarti merupakan bibi dari Purnawarman dan Cakrawarman. Ia pemimpin dari Dewan Internal Kerajaan kubu kiri yang memiliki otoritas yang cukup mendominasi ketika jalannya Konferensi Kerajaan maupun Pengadilan Kerajaan. Ia bernama Dyah Sri Indariwarman.
“Dewi Ayu Ratungganara, bagaimana kabar kerajaanmu sekarang?” tanya wanita tersebut.
Ratungganara tersenyum miris mendengar pertanyaan tersebut. Astaga, bahkan Indariwarman pun tidak sudi memanggilnya dengan gelar ‘Putri’, sepertinya wanita tua itu benar-benar membenci Ratungganara.
“Semenjak saya sampai di Tarumanegara, saya belum sempat bertukar surat dengan keluarga saya di Salakanegara. Namun sepertinya mereka baik-baik saja.” jawab Ratungganara dengan intonasi tenang dan pandangan mata yang tegas, ia hendak menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak terusik dengan sikap arogan dari Indariwarman.
“Aku turut prihatin atas penundaan upacara pernikahanmu dengan Putra Mahkota. Karena hal itu sama saja dengan penundaan pelantikanmu sebagai Permaisuri resmi, jadi kau belum menyandang gelar bangsawan apapun di Tarumanegara. Panggilan ‘Putri’ bawaan dari Kerajaan Salakanegara tidak berlaku disini.”
“Benarkah? Sayang sekali, ya. Aku pernah berkunjung ke Kerajaan Kalingga saat usiaku masih remaja, pada saat itu mereka tetap memanggilku sebagai ‘Putri Ratungganara’. Padahal letak kerajaannya sangat jauh dari sini, tapi gelarku tetap berlaku di sana. Sedangkan jarak Tarumanegara ke kerajaanku sangat dekat, tapi malah tidak berlaku.”
Sri Indariwarman memicingkan matanya sinis pada Ratungganara. “Kau sangat ingin dipanggil sebagai ‘Tuan Putri’ ya? Atau tidak sabar dipanggil sebagai ‘Permaisuri’ oleh semua orang?”
Ratungganara tertawa kecil, yang terdengar meremehkan bagi Indariwarman. “Tentu saja tidak, sepanjang hidup aku selalu dipanggil ‘Putri’ dan itu terdengar sangat membosankan. Lagipula aku sangat menyukai nama lengkapku, Dewi Ayu Ratungganara. Nama yang cantik ‘kan?”
Wanita paruh baya itu mendecakkan lidahnya kesal. “Kedudukanmu sebagai Permaisuri tidak akan memberikan pengaruh apapun pada kasta kekuasaan di Tarumanegara. Jadi, lebih baik kau segera menyadari posisimu dan tidak melewati batasanmu. Paham?”
Ratungganara menundukkan kepalanya sembari menyedekapkan tangannya di atas perut. “Sendhiko dhawuh—eh, aku harus memanggilmu bagaimana? Kau bukan saudara kandung Raja Dharmayawarman, sehingga kau tidak mendapatkan gelar ‘Putri’. Baiklah, aku akan memanggilmu Bibi. Sendhiko dhawuh, Bibi.” ucapnya sembari menyeringai tipis.
“Kurang ajar!” Indariwarman berseru marah.
“Maafkan aku, Bibi. Aku hanyalah calon Permaisuri yang merupakan istri sah Putra Mahkota, yang akan menghasilkan pewaris tahta, memiliki gelar wanita tertinggi selain Ratu, menjadi ibu negara dari Kerajaan Tarumanegara, duduk di singgasana bersama Raja, Ibu Ratu, dan Putra Mahkota, serta dikenal sebagai simbol Istana di kalangan masyarakat. Aku akan memahami batasanku, Bibi. Terima kasih atas tegurannya.” Ratungganara mengulas senyuman tipis.
Sri Indariwarman mengepalkan tangannya kuat-kuat, dengan raut wajah kusut menahan murka.
Di tengah-tengah pembicaraan antara Ratungganara dengan Indariwarman yang bersitegang, Purnawarman dan Cakrawarman pun datang menghadiri jamuan makan siang tersebut. Sontak seluruh tamu perjamuan langsung bersujud pada Purnawarman, ketika mereka baru saja menyadari keberadaan lelaki itu. Indariwarman pun mau tak mau harus ikut bersujud. Lain halnya dengan Ratungganara yang cukup membungkukkan tubuhnya saja.
“Aku tidak menyangka kalau banyak yang bisa datang ke perjamuan ini, selamat menikmati makanan yang dihidangkan. Semoga kalian bisa menerima dan menghargai Ratungganara setelah perjamuan ini.” kata Purnawarman membuka suara.
“Mituhu dhawuh, Putra Mahkota!”
Purnawarman lantas mengalihkan tatapannya pada Ratungganara, kemudian ia tersenyum pada perempuan itu—mengucapkan terima kasih melalui isyarat. Ratungganara pun ikut tersenyum sembari mengangguk kecil—membalas Purnawarman melalui isyarat juga.
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Untuk pertama kalinya, Ratungganara menghadiri persidangan di Tarumanegara, walaupun ia sudah rutin mengikuti konferensi dan persidangan di Salakanegara, namun suasananya sangat berbeda. Di Salakanegara yang merupakan kerajaan kecil, ia bisa mengenali semua Dewan Internal dan Menteri, karena jumlahnya yang sedikit. Lain halnya dengan Tarumanegara yang merupakan kerajaan induk terbesar di pulau Jawa pada saat itu, jumlah Dewan Internal dan Menterinya tiga kali lipat dibandingkan kerajaan miliknya.
Ratungganara mendekat ke arah Purnawarman, lantas mulai berbisik pelan. “Bagaimana hasil dari upaya penggeledahannya tadi? Apakah kau menemukan barang bukti yang kau cari?”
“Lihat saja nanti,” jawab Purnawarman singkat.
Ratungganara mengerutkan keningnya penasaran. “Kenapa tidak kau beritahu padaku sekarang?”
Purnawarman menggeleng. “Nanti saja. Agar ada kejutan menarik di persidangan hari ini.”
Sesuai janji yang telah diucapkan, Raja Dharmayawarman mengadakan Persidangan Kerajaan ketika matahari hampir tumbang di ufuk barat. Seluruh Dewan Internal, Menteri, dan Keluarga Kerajaan turut hadir persidangan sore hari ini. Dapat terlihat dengan jelas, Sri Indariwarman berdiri paling depan di antara jajaran Petinggi Kerajaan kubu kiri lainnya, menatap tajam ke arah Ratungganara yang duduk atas singgasana bersama Purnawarman, Raja Dharmayawarman, dan Ibu Ratu. Sedangkan Cakrawarman berdiri di samping pamannya, yang bernama Nagawarman, selaku Pimpinan Petinggi Kerajaan kubu kanan. Karena seluruh anggota Pengadilan Kerajaan telah hadir, maka persidangan segera dibuka oleh Raja Dharmayawarman.
“Perhatian, persidangan kerajaan akan kita mulai!” seru Kepala Hakim dengan lantang.
Para hadirin mengunci lisan masing-masing, lalu mereka membungkukkan tubuhnya sembari menyedekapkan tangan di bawah perut, bersiap untuk menyimak persidangan pada hari ini.
“Kepala Hakim, tolong bacakan tuntutan perkara yang akan dibahas di persidangan ini.” titah Dharmayawarman. Sang Kepala Hakim pun mematuhi perintah Raja, ia segera mengambil gulungan kertas diatas meja pengadilan, kemudian membacakannya dengan lantang dan keras.
“Pada tanggal 13 Wesana, waktu malam hari, saat Istana sedang sibuk mempersiapkan upacara pernikahan Putra Mahkota dan calon Permaisurinya, Pangeran Cakrawarman mendapatkan laporan dari salah satu prajuritnya bahwa ada sekelompok tentara dari suatu kerajaan yang berniat menyandera rakyat Tarumanegara di bagian pesisir pantai. Putra Mahkota dan Pangeran Cakrawarman pun membawa rombongan pasukan untuk menyelamatkan korban penculikan. Mereka pun berhasil menangkap seorang Panglima Kerajaan yang dianggap bertanggungjawab atas insiden ini. Tuntutan perkaranya, siapa dalang utama di balik yang menjadikan rakyat pesisir pantai sebagai tawanan? Apa tujuan terselubung dari rencana keji tersebut? Dalam persidangan ini, akan dihadirkan 2 orang saksi dan beberapa barang bukti, untuk menentukan terdakwa dari pelaku penyanderaan penduduk pesisir pantai.”
“Panggilkan 2 orang saksi itu untuk masuk ke persidangan!” seru Raja Dharmayawarman.
Akhirnya masuk kedua orang saksi yang dimaksud oleh Kepala Hakim. Yang pertama merupakan salah satu penduduk yang berhasil diselamatkan, sedangkan yang kedua adalah Panglima Kerajaan Indraprahasta. Mereka pun dimintai keterangan yang berkaitan dengan tuntutan perkara dengan sejelas-jelasnya.
Saksi pertama bersimpuh membungkuk di depan singgasana. “Argya dhumateng Prabu! Hamba adalah warga biasa, yang sangat beruntung bisa dibebaskan dari penculik oleh Putra Mahkota. Pada malam itu, semua orang sudah terlelap tidur dengan tenang, tiba-tiba datang puluhan tentara berseragam hitam-hitam yang mendobrak pintu rumah kita, lalu kita ditarik paksa dan diseret ke dalam kapal untuk diikat. Namun tak lama kemudian, pasukan dari Putra Mahkota dan Pangeran Cakrawarman datang menyelamatkan kita, lalu mengevakuasi kita ke atas bukit. Awalnya kami tidak mengetahui bahwa pasukan tersebut adalah rombongan dari Putra Mahkota, karena mereka menggunakan penutup wajah berwarna hitam. Kita baru sadar setelah di atas bukit, saat mereka melepas kain penutup wajah itu.”
Raja Dharmayawarman mengangguk-angguk takzim mendengarkan penjelasan tersebut.
Kemudian saksi kedua menyusul untuk ikut duduk bersujud di depan singgasana. “Ampuni saya, Yang Mulia! Saya hanyalah orang yang disuruh oleh Raja Indhraprahasta untuk memimpin penculikan penduduk rakyat Tarumanegara. Saya sama sekali tidak tahu, apa tujuannya menyandera warga-warga tersebut, saya hanya berusaha mematuhi perintah dari Raja saya. Adapun alasan mengapa dilakukan di kemarin malam, karena memanfaatkan kelengahan Tarumanegara yang sedang sibuk mengurus upacara pernikahan. Tapi dugaannya salah, Putra Mahkota Purnawarman dan Pangeran Cakrawarman dengan mudah menghentikan tindakan kita.”
Seluruh hadirin Persidangan Kerajaan sangat terkejut usai mendengarkan pernyataan dari saksi kedua, yang merupakan Panglima dari Kerajaan Indhraprahasta. Mereka mengira bahwa kerajaan itu memang berkerabat baik dengan Tarumanegara, namun kenyataannya malah mereka yang mengkhianati dengan menusuk dari belakang. Di saat Kerajaan Tarumanegara sedang mempersiapkan pernikahan Putra Mahkota, Kerajaan Indhraprahasta justru mengambil kesempatan untuk mengganggu ketenteraman dengan berusaha menyandera penduduknya.
Di lain sisi, tampak beberapa petinggi kerajaan kubu kiri terlihat gelisah ketika terbongkarnya Kerajaan Indhraprahasta sebagai biang onar atas kejadian kemarin malam, salah satunya adalah Indariwarman. Mereka berdeham pelan, berusaha menghilangkan kepanikan dari pikiran mereka.
Raja Dharmayawarman pun terperanjat kaget setelah mendengarkan penuturan dari saksi kedua.
“Raja Indhraprahasta telah merencanakan hal ini bersama beberapa pembesar kerajaan ini. Secara tidak langsung mereka terus-menerus berkomunikasi untuk menyusun muslihat itu. Tapi saya tidak tahu pasti, siapa nama yang terlibat langsung dalam perkara ini. Namun saya yakin, ada Menteri Perang, Menteri Kelautan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan salah satu Pimpinan Dewan Inti Kerajaan.”
Tatkala saksi kedua menyebutkan, jika Pimpinan Dewan Inti Kerajaan ikut dalam persengkokolan itu, pandangan mata seluruh hadirin langsung tertuju pada Indariwarman dan Nagawarman. Pasalnya mereka berdua adalah pemimpin dari masing-masing kubu mereka, sehingga semua orang kini mencurigai salah satu di antara mereka berdua. Selain itu, mereka juga menatap sinis ke arah para menteri yang disebutkan oleh saksi kedua tadi.
Menteri Perang langsung duduk bersimpuh menyembah Raja. “Yang disebutkan saksi adalah fitnah belaka, Prabu! Tidak mungkin aku mengkhianati kerajaan ini! Hukum dia karena telah memberikan kesaksian palsu!”
Para menteri yang tertuduh pun ikut bersimpuh sembari berteriak. “Hukum dia, Prabu!”
Melihat beberapa petinggi kerajaan yang mulai bersandiwara, seakan tidak pernah berbuat salah, Purnawarman pun merasa kesal dan bangkit dari duduknya, lantas ia berseru kencang. “Bawa masuk semua barang buktinya!”
Sesudah ia berteriak begitu, para pasukan penggeledah berbondong-bondong membawa masuk ke dalam persidangan seluruh benda yang dapat dijadikan sebagai bukti kuat atas persekutuan busuk mereka. Purnawarman lalu turun dari singgasananya, untuk mendekati barang bukti yang berhasil didapatkan pasukan penggeledahnya.
“Kalian bilang jika saksi itu menyampaikan fitnah?” tanya Purnawarman pada para menteri yang masih duduk bersimpuh.
“Benar, Yang Mulia!” jawab mereka dengan kompak.
Purnawarman tertawa sinis menanggapi jawaban mereka, kemudian ia mengambil tumpukan surat yang dibawa oleh pasukan penggeledah, dan ia lemparkan semuanya dengan sekuat tenaga tepat di depan wajah mereka. “Bisa kau jelaskan, apa maksud dari surat ini?”
Para menteri tersebut langsung tercengang tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Dari mana Purnawarman bisa memiliki surat tersebut? Apakah dia mengambil dari balai kamar mereka secara diam-diam? Lalu lambat laun akhirnya mereka mengerti, bahwa perjamuan makan siang yang diadakan Ratungganara adalah acara pengecoh agar Purnawarman dapat menggeledah isi balai kamar milik mereka. Perlahan kebencian dan rasa dendam kepada Putra Mahkota beserta calon Permaisurinya mulai tumbuh di dalam hati mereka.
Purnawarman berdiri menghadap Dharmayawarman yang berada di singgasananya. “Yang Mulia, prajuritku menemukan barang bukti yang begitu faktual, yaitu kumpulan surat yang ditujukan pada Raja Indhraprahasta, dan surat-surat ini ditemukan di dalam balai kamar Menteri Perang, Menteri Kelautan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan Pimpinan Dewan Inti Kerajaan kubu kiri.”
Semua anggota kerajaan yang ikut persidangan ini sudah berkali-kali dibuat terkejut bukan main dengan hasil penyelidikan yang sungguh tidak disangka-sangka. Siapa yang dapat mengira jika bebeberapa petinggi kerajaan kubu kiri ternyata bermain kotor dan licik demi kekuasaan?
“Apa yang dikatakan oleh saksi kedua sama persis dengan tulisan tertera di dalam surat itu, mereka memang bekerjasama untuk merencanakannya. Bahkan mereka juga sudah mengincar untuk mencuri kapal hadiah, yang dikirimkan Dinasti Tang sebagai hadiah pernikahanku.” Purnawarman kembali memungut surat-surat yang ia lempar tadi, kemudian ia serahkan kepada Kepala Hakim untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk hasil persidangan.
“Dengan adanya kesaksian asli dari dua orang, serta ditambah dengan barang bukti yang menguatkan tuduhan. Maka dapat disimpulkan bahwa memang mereka dalang utama di balik kericuhan kemarin malam. Saya selaku Putra Mahkota, izin memberikan saran terkait hukuman yang pantas untuk mereka, yaitu dilepas seluruh jabatan dan gelar kebangsawanannya, lalu diasingkan jauh dari Kerajaan Tarumanegara, agar tidak ada lagi pengkhianat di Istana kita. Terima kasih.” tandas Purnawarman, selepas itu ia kembali naik ke singgasana duduk di atasnya.
“Setelah ini, pasti mereka akan menargetkanku untuk dibunuh…” celetuk Ratungganara.
“Aku akan melindungimu.” tukas Purnawarman menggenggam erat tangan perempuan itu.
Ratungganara mengangguk kecil. “Aku tahu, makanya aku tidak khawatir.”
Dharmayawarman memberi isyarat gestur tubuh pada Kepala Hakim, kalau ia menyetujui apa yang sudah disampaikan dengan rinci oleh Purnawarman. Sang Kepala Hakim pun mengangguk paham, mulai menuliskan kesimpulan di atas warkat yang akan ia bacakan sebentar lagi.
“Berdasarkan keputusan Raja, maka hasil persidangan hari ini adalah, penetapan terdakwa atas masalah penculikan penduduk, yaitu Menteri Perang, Menteri Kelautan, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan Pimpinan Dewan Inti Kerajaan kubu kiri, dinyatakan bersalah sepenuhnya. Adapun hukuman yang akan ditimpakan pada mereka adalah, pencopotan kekuasaan jabatan serta gelar kebangsawanannya secara tidak terhormat, lalu akan diasingkan ke desa terpencil yang jauh dari Kerajaan Tarumanegara.”
Kepala Hakim menyerahkan warkat tersebut kepada Raja Dharmayawarman, lalu dengan yakin Sang Raja menempelkan tanda cap kerajaan, yang menandakan bahwa keputusan sidang sudah final, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, lantas kembali menggulung warkat itu dan diberikan lagi kepada Kepala Hakim. Genderang gong pun ditabuh dengan keras, pertanda persidangan kerajaan hari ini telah selesai.
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Langkah kaki Purnawarman yang hendak menghampiri Ratungganara di balai kamarnya pun terhadang oleh seorang wanita paruh baya dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Lelaki itu mengernyitkan keningnya, sama sekali tidak ingat siapa orang di hadapannya. Ah, sayang sekali, ingatan milik Purnawarman asli belum sepenuhnya dapat ia rasakan. Lebih baik ia buru-buru pergi daripada kebingungan hendak bersikap bagaimana.
“Maaf, kau menghalangi jalanku.” ujar Purnawarman sembari berjalan menghindar.
Namun tangannya justru dicekal dengan kuat oleh wanita tua itu, seakan mencegah Purnawarman menjauh darinya. “Kau, telah menghancurkan hidupku. Kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja?” tantang wanita tua itu dengan nada yang penuh kebencian.
Purnawarman kembali dibuat kebingungan oleh sikap dari orang di hadapannya itu. Ia pun mencoba menerka-nerka, siapakah orang aneh itu? Mengapa ia terlihat begitu marah padanya?
Tak berselang lama, Purnawarman langsung mendapatkan jawabannya. Wanita paruh baya di hadapannya itu merupakan bibi tirinya, Indariwarman, yang menjabat sebagai Pimpinan Petinggi Kerajaan kubu kiri, tetapi baru saja dilengserkan dengan tidak terhormat karena ia ketahuan merencanakan konspirasi buuruk di belakang Raja.
“Aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri.” tekad Indariwarman penuh penekanan.
Purnawarman mengangkat kedua alisnya. “Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?”
Lelaki itu kemudian balas mencekik leher Indariwarman dengan kencang. “Seharusnya kau sadar, apa yang dapatkan sekarang adalah hasil dari upaya kejahatanmu. Kau dengan otak licikmu bekerja sama dengan musuh Kerajaan Tarumanegara demi mendapatkan kekuasaan, dan itu disebut sebagai pengkhianat. Kau tahu persis ‘kan, jika pengkhianat pantas mati membusuk?”
Indariwarman berusaha sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan Purnawarman dari lehernya. “Kau pikir, menjadi Putra Mahkota akan membuatmu lebih berkuasa? Uhuk-uhuk, justru kedudukan itu akan membuat singgasanamu menjadi rapuh, diperebutkan orang lain.”
Purnawarman mendorong kencang Indariwarman hingga membuat ia jatuh terjerembab di atas lantai. “Berhenti membual dan bersiaplah menerima hukumanmu.”
Sebelum pergi meninggalkan Indariwarman sendirian, lelaki itu menoleh terlebih dahulu. “Ingatlah sesuatu, aku tidak serapuh dan selemah yang kau lihat. Jadi berhenti meremehkanku, atau kau akan kembali merasakan penyesalan karena berani berurusan denganku.”
| 𝐓𝐇𝐄 𝐑𝐈𝐕𝐄𝐑 𝐎𝐅 𝐏𝐀𝐒𝐓 & 𝐅𝐔𝐓𝐔𝐑𝐄 |
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro