Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tragedi II

"Hahaha, hanya seginikah kemampuanmu, pak tua? Ini bahkan tidak cukup untuk pemanasan!"

Iblis itu hanya tersenyum remeh memandang tubuh seorang pria sepuh yang sudah tergeletak tak bernyawa. Luka bekas cakaran terlihat menganga di dadanya, luka lebam terlihat membiru di beberapa bagian.

"Cih, lebih baik aku pergi ke arah utara. Aku merasakan banyak energi kehidupan disana, sepertinya lezat." Lidahnya sedikit menjulur menjilat bibir bagian atasnya. Nafsu membunuh terpancar dari sorot matanya.

Iblis itu mengepakkan sayapnya yang berbentuk seperti sayap kelelawar berwarna hitam, membawanya ke langit malam. Sementara itu, sesosok anak kecil terlihat berlarian menembus gelapnya malam. Pepohonan yang menjulang tinggi dan malam yang semakin gelap tak melambatkan kecepatannya berlari. Napasnya sudah terputus-putus, keringat sudah bercucuran membasahi tubuhnya.

"Guru, semoga kau selamat. Aku akan mencarikan bantuan untukmu!" Sosok itu berkata lirih.

Cahaya-cahaya terang terlihat beberapa meter di depannya. Bersaing dengan gelapnya malam, merebutkan kuasa atas malam hari.

"Syukurlah, aku sudah sampai."

Sosok itu memacu langkahnya menyusuri kota, mencari-cari seseorang yang dirasanya dapat membantunya. Anak itu berhenti di sebuah bangunan megah, dua orang penjaga terlihat menatap anak kecil itu dengan tatapan heran. Bagaimana tidak? Tubuhnya sekarang penuh dengan luka, napasnya terputus-putus, di gendongannya ada anak kecil lain yang tergolek lemas.

"Tuan-Tuan sekalian, mohon selamatkan guru hamba. Guru hamba sedang melawan sesosok iblis, mohon sekiranya Tuan dapat membantu guru hamba!" Suaranya bergetar, tangannya mengepal kuat. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya, dia sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang, yang dia pedulikan sekarang adalah keadaan gurunya.

"Adik kecil, ada apakah gerangan hingga adik kecil berlarian?" Sebuah suara yang lembut namun tegas terdengar menyusuri telinganya. Sontak anak yang dipanggil 'adik kecil' itu mendongakkan kepalanya.

"Tuan pemburu! Mohon selamatkan guru hamba, Guru Zhu!" pintanya lagi.

"Apa! Apa yang terjadi, Mak! Di mana lokasinya?!" Raut wajahnya yang tenang sekarang berubah menjadi panik.

Bersamaan dengan itu, suara menggelegar terdengar dari pusat kota. Teriakan-teriakan pun terdengar dari sumber suara tersebut.

"Tolong! Ada iblis!"

"Lari!"

"Ibu!"

Sang pemburu yang mendengar hal itu sontak menengok ke arah sumber suara, jarak antara markas pemburu dengan sumber suara hanya berjarak beberapa langkah saja.

"Apa? Iblis? Kenapa markas pusat tidak memberi tahu?? Ataukah iblis itu baru menunjukkan batang hidungnya sekarang?"

Sosok itu kembali masuk ke dalam bangunan itu dan keluar dengan pakaian pemburu dan sarung tangan berwarna emas.

"Nak, kau mau ikut atau tetap di sini? Jika kau mau ikut taruhlah temanmu di dalam. Kutunggu disini," tanyanya.

"Izinkanlah saya ikut, senior. Saya ingin memastikan apakah itu iblis yang menyerang Guru Zhu atau bukan."

Anak kecil itu masuk ke dalam 'markas' pemburu iblis dan meletakkan temannya di sofa. Dia tersenyum sejenak sebelum keluar dan berdiri di sebelah pemburu yang baru saja dikenalnya.

"Mari."

Pemburu itu melesat menuju ke pusat suara. Anak kecil itu berlari mengikuti gerak pemburu tersebut. Hanya dalam sepersekian menit, mereka sudah sampai di pusat kota. Anak kecil itu terduduk lemas mendapati sosok yang tengah berdiri di sana.

"Guru ... tidak tidak tidak! Guru pasti baik-baik saja kan? Iblis itu iblis lain kan? Ahahaha, ya! Itu pasti iblis lain, tidak mungkin guru akan kalah. Huwaaaa!" Anak kecil itu menangis meraung-raung, sosok guru yang sudah dianggap seperti ayah bagi dirinya sendiri telah dibunuh oleh iblis di depannya.

"Ah, kau adalah murid dari pria tua yang tadi lari ya. Maaf saja, gurumu terlalu lemah untuk pemanasanku," kata iblis itu dengan enteng saat menyadari ada 2 sosok yang menatapnya.

"Kau!" Pemburu yang dari tadi diam sekarang sudah berjalan pelan ke arah iblis itu. Raut wajahnya menampakkan amarah yang meluap-luap.

Dalam beberapa menit, dua sosok itu sudah berhadap-hadapan. Iblis itu hanya menyeringai kecil sebelum kembali diam.

"Keparat! Beraninya kau membunuh orang lain! Akan kupastikan jiwamu dipasung di neraka tanpa pernah kembali!"

Setelah berkata demikian, pemburu itu melakukan pukulan ke arah ulu hati iblis itu. Dengan santai, iblis itu mundur kebelakang menghindari serangannya.

"Tapak Dewa : Tapak Angin Malam."

Pemburu itu hanya diam saat serangannya dihindari. Kakinya memasang kuda-kuda yang dilanjutkan dengan 3 serangan tapak yang semuanya mengarah ke jantung.

"Aih, kau sama saja dengan pria tua yang kulawan di hutan tadi. Sama-sama lemah."

Iblis itu hanya bergerak seadanya, namun ketiga serangan dari pemburu itu berhasil dengan mudah dipatahkan.

"Kau kira aku sudah serius? Haha, saatnya aku menjadikanmu bubur!! Tapak Dewa : Sabetan Matahari Emas."

Pemburu itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan merapatkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan. Dalam sekali kedipan mata, tangannya sudah melesat mengincar dada iblis biadab itu.

"Kau pikir hanya serangan sederhana seperti ini dapat mengalahkanku? Kau sungguh bodoh, melawan iblis sepertiku dengan tangan kosong. Setidaknya pemburu iblis lain menggunakan senjata seperti pedang." Iblis itu mengangkat kedua tangannya dan menyilangkannya di depan dada untuk menghadangnya.

Iblis itu tersenyum penuh kemenangan, sedangkan pemburu iblis itu hanya diam melanjutkan serangannya. Saat sabetan itu menyentuh tangannya, tiba-tiba saja tangan yang menghadangnya sudah terputus. Melihat hal itu, iblis itu hanya menatap lekat-lekat sebelum memasang wajah kecut.

"Argh! Bagaimana bisa, bagaimana bisa? Sarung tangan itu, sarung tangan itu!" Iblis itu berteriak kesakitan sembari memegang tangannya yang sudah buntung sebelah.

"Kau akhirnya sadar juga, sarung tangan ini merupakan salah satu dari 100 senjata suci terkuat. Namanya adalah Sarung Tangan Matahari. Saat kau memakainya, sabetanmu akan setajam pedang, pukulanmu akan sekuat gada, dan serangan tapakmu akan sekuat 5 pukulan orang dewasa."

"Ba-bagaimana bisa!! A-aku harus kabur!" Iblis itu berbalik kebelakang dan mencoba kabur, tapi semua sudah terlambat. Satu pukulan telah mendarat dengan mulus di punggungnya, menghempaskannya beberapa meter ke depan. Tulang belakangnya sudah patah, hidupnya sudah berakhir.

"Beristirahatlah dalam damai ...."

Pemburu itu membungkuk pelan sebelum berbalik menghampiri anak kecil yang ditemuinya. Anak kecil itu sudah tak sadarkan diri semenjak melihat sosok iblis yang telah membunuh gurunya.

"Semoga dirimu kuat, Nak ...."

Satu bulan telah berlalu semenjak kejadian di pusat kota. Zhu telah mendapatkan pemakaman yang layak. Sedangkan anak kecil itu, masih terpukul dengan kenyataan yang ada. Batinnya terguncang, dunianya serasa kosong. Dia memutuskan mengurung diri di rumah pemburu yang menolongnya.

"Tristan, mari kita ke tempat peristirahatan terakhir guru .... Kau tidak hadir saat pemakamannya, jadi marilah kita kesana sekarang." bujuk pemburu yang menolongnya tempo hari.

"Tuan Azure, baiklah. Biarkan saya berganti pakaian sejenak." Tristan memandang sejenak mata biru pemburu yang membantunya tempo hari.

Azure hanya tersenyum kecut dan berbalik. Azure menyenderkan kepalanya ke dinding, kejadian demi kejadian terus berputar di kepalanya selama sebulan. Hatinya tersentuh akan ketulusan dari Tristan, dia berencana ingin mengadopsi anak itu.

"Tuan, mari berangkat." Tristan keluar dari kamarnya setelah satu bulan lamanya. Rambut pirangnya tersisir rapi, matanya yang seperti safir melengkapi kulitnya yang putih.

"Baiklah."

Azure berjalan mendahului Tristan, yang diikuti olehnya dengan langkah kakinya yang kecil. Mereka menuruni tangga dan berjalan ke arah pintu depan.

"Tristan, tunggu sebentar. Biar saya ambilkan motor terlebih dahulu di garasi." Azure berlari kecil setelah berkata seperti itu. Tristan hanya menurut dan mematung di depan pintu rumah Azure.

Tak lama berselang, suara motor menderu-deru memecah kesunyian dalam batin Tristan yang mematung sekian menit. Tristan lalu naik dan duduk di belakang Azure.

"Siap?"

"Ya."

Azure melajukan motornya menembus hiruk-pikuk kota. Kendaraan-kendaraan pribadi berlalu lalang melewati jalanan, salip-menyalip dengan kendaraan Azure. Selang beberapa saat, mereka sampai di sebuah pemakaman.

"Yak, kita sampai." Azure memarkirkan motornya tak jauh dari pemakaman.

"Disinikah tempatnya, Tuan?"

"Ya."

Tristan menatap sebentar ke arah gerbang pemakaman sebelum menatap kembali wajah Azure. Azure hanya tersenyum dan menggandeng tangan Tristan masuk, mereka berjalan ke sebuah nisan.

"Disinilah makam gurumu, Tristan."

Tristan lalu menatap lekat-lekat makam yang masih baru itu. Dia bersimpuh dan mengelus pelan batu nisan yang terukir nama gurunya.

"Guru, beristirahatlah dengan tenang. Lepaskanlah beban yang tergantung di pundakmu selama ini. Ya, guru. Guru sudah bebas sekarang."

"Kematian adalah hal yang paling dekat dengan kita, selalu setia mengintai dimanapun kita berada. Sedangkan yang paling jauh adalah nafsu. Begitu banyak nafsu-nafsu duniawi yang jika diikuti tak akan ada habisnya.

"Guru, kini guru telah bebas dari belenggu nafsu. Arungilah samudra di alam surga sana, lihatlah saat murid ini menjadi orang yang berguna guru. Murid akan melanjutkan beban yang guru pikul, aku memutuskan untuk mendaftar menjadi calon pemburu iblis." Air matanya jatuh saat selesai mengucapkan kata terakhirnya. Satu beban telah terlepas dari dirinya, sekarang tekadnya sudah mantap. Matanya menunjukkan semangat yang membara.

"Tristan ...." Azure berkata lirih mendengar kata-kata anak di depannya.

"Tuan, maaf merepotkan Tuan. Tapi, apakah Tuan bersedia mengangkat saya menjadi anak angkat tuan?" Tristan bangkit dari posisinya dan berbalik menatap ke wajah Azure. Tatapan yang menyiratkan amarah dan semangat.

"Tentu, aku baru saja ingin mengutarakan hal itu padamu." Azure tersenyum tipis dan memeluk anak yang baru saja diangkatnya menjadi bagian dari keluarganya.

Tristan tersenyum lebar dan memeluk balas ayah angkatnya itu. Sosok guru sekaligus ayahnya sekarang telah menjadi bagian dari masa lalu. Bersedih memanglah boleh, tetapi janganlah terlalu berlarut. Menutup diri juga boleh, tetapi janganlah terlalu lama.

Pandanglah masa depan yang masih panjang di depanmu. Buanglah hal-hal yang menyurutkan semangatmu di masa lalu. Kelak, kau akan dapat bangkit dari kesedihan dan kembali menatap penuh semangat.

Seperti halnya Tristan, jiwanya memanglah terguncang 1 bulan lalu. Namun, dia percaya. Bahwa Tuhan merencanakan hal yang lebih baik untuknya di masa depan. Tristan kembali tersenyum, melupakan sejenak kesedihan yang membekas di hatinya.

"Mari kita pulang, aku akan mengurus suratnya sesegera mungkin."

Mereka bergandengan tangan berjalan keluar dari pemakaman. Matahari bahkan bersembunyi dalam gulungan awan karena malu, hangatnya sangat kurang dibandingkan Azure dan Tristan yang tersenyum lebar. Sungguh, keluarga kecil yang sangat bahagia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro