Tragedi
"Auriel, jiwamu akan kupindahkan ke wadah seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Identitasmu akan berubah, nama barumu adalah Kenanga Alfryzia. Pakailah nama barumu dengan bangga!" ujar seseorang dengan tegas.
"Baiklah, Tuan Penguasa. Mohon segera kirim hamba, hamba tidak ingin malaikat-malaikat lain melihat kesalahan hamba," ucap Auriel masih dalam posisi berlutut.
"Bersiaplah."
Orang itu mengangkat tangan kanannya dan menempelkan jari telunjuknya ke dahi Auriel. Cahaya emas bersinar terang, bersamaan dengan sebuah bola putih transparan yang keluar dari dahi Auriel.
"Nah, pergilah."
Sosok itu mengibaskan tangan kirinya, membuat bola putih itu terhempas dengan cepat ke arah dataran tengah, dunia tempat manusia tinggal.
Sementara itu, di suatu tempat di dataran tengah ....
"Sayang, anak kita sudah lahir. Lihatlah matanya yang berkilau, sama denganmu," ujar seorang wanita kepada suaminya.
"Tentu, dia juga cantik sepertimu," balas pria itu sembari mengelus pipi sang istri.
"Apakah kamu sudah menyiapkan nama untuknya, sayang?" tanya si wanita.
"Ya, tentu saja. Putri kita cantik seperti bunga, bagaimana dengan Kenanga Alfryzia?" Pria yang masih terbilang muda itu memandang penuh arti ke arah bayi mungil di dekapan istrinya.
"Nama yang indah, aku setuju," sambung istri dari pria itu.
Tangis bayi yang tiba-tiba memecahkan suasana bahagia pasangan yang baru saja mendapatkan keturunan.
"Ada apa, malaikat kecil ibu? Apakah kamu haus, hm?" Wanita itu mencolek pelan hidung putrinya, "sayang, lebih baik kamu keluar dulu. Si kecil haus, aku akan menyusuinya dulu."
"Baiklah, jaga dirimu, ok. Aku akan mengurus administrasi dulu."
Sesaat setelah sosok pria itu pergi, bola putih transparan muncul dan bersinar terang di atas bayi mungil itu. Sontak ibu dari bayi tersebut menarik si kecil ke dalam dekapannya.
Tak peduli dengan yang dilakukan wanita itu, bola putih itu melesat masuk ke tubuh si bayi. Yang tentu saja membuat si ibu terkejut dan menangis.
"Dean, ada apa? Kenapa kamu menangis?" teriak seseorang dari balik pintu dengan cemas, dihampirinya istri tercintanya itu. "Aku mendengar kamu menangis, ceritakanlah padaku."
Tangisnya sedikit mereda, Dean menguatkan hatinya dan mulai menceritakan hal yang baru saja dialaminya. Tangisnya kembali pecah saat ditengah-tengah bercerita.
"Aku tahu itu berat, Dean. Tapi, sepertinya itu sudah menjadi takdir dari Kenanga. Kita hanya bisa berpasrah pada Tuhan," ucap suaminya saat Dean telah selesai bercerita.
Dipeluknya dalam-dalam istri terkasihnya itu dalam lengan kokohnya. Diciumnya kening dari istrinya untuk menenangkannya. Punggung si wanita pun diusapnya pelan.
"Bagaimana aku bisa tenang, Rio! Sebuah bola putih transparan tiba-tiba memasuki tubuh Kenanga. Aku takut, aku takut ada hal-hal buruk menimpanya." Tangis Dean kembali pecah, menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.
"Tenanglah, Dean. Tenang, tarik napasmu dalam-dalam, Tuhan pasti memiliki rencana tersendiri untuk masa depan Kenanga." Pria bernama Rio makin mengencangkan pelukannya pada istrinya itu.
Malam itu, pasangan suami istri itu hanya dapat pasrah akan takdir yang menerpa mereka. Mereka hanya bisa menangis dan berdoa pada Tuhan.
Sementara itu, di suatu daerah terpencil di belahan dunia. Seorang pria yang sudah lumayan berumur tampak sedang memeragakan beberapa gerakan bela diri. Tubuhnya yang sudah renta lantas tak menyurutkan semangat mengajarnya, beberapa murid terlihat antusias dengan apa yang diajarkan gurunya.
"Bagaimana? Apakah kalian sudah paham?" tanya sesosok pria renta itu dengan nada rendah, namun tegas.
"Paham, Guru!" balas sekitar 5 orang dengan serempak.
"Bagus! Pelajari sampai kalian bisa, 2 hari lagi guru akan melakukan latih tanding!" Sosok pria paruh baya itu berkata dengan tegas namun berwibawa. Pembawaannya yang lembut di satu sisi, dan tegas di sisi lainnya membuat dirinya menjadi sosok yang dikagumi oleh banyak orang, tak luput dari murid-murid yang diajarnya.
"Baik, Guru! Kami tak akan mengecewakan guru!" Seorang pria muda terlihat sangat bersemangat. Matanya terlihat membara, penuh dengan jiwa muda.
Pria sepuh yang dipanggil guru itu pun tersenyum sejenak, sebelum berbalik memasuki tempatnya beristirahat.
"Tristan, kemarilah." Lelaki tua itu menyuruh seorang pria kecil masuk saat menyadarinya sedang mengintip.
"Baik, Guru ...." Pria yang dipanggil Tristan itu masuk dan bersimpuh di depan gurunya.
"Bangunlah, tak perlu seperti ini. Apakah pria tua ini boleh memberikan sedikit nasihat padamu?"
"Tentu saja, Guru."
Pria tua itu terkekeh sejenak, sebelum mengalihkan pandangannya ke langit-langit rumah.
"Tahukah kamu, Tristan. Iblis dan manusia sejatinya adalah 2 makhluk yang berbeda namun memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki arogansi dan nafsu yang besar.
"Iblis penuh dengan kesombongan yang membara, dan manusia penuh dengan keangkuhan yang nyata. Menatap dunia seakan berada di genggamannya.
"Sejatinya, hanya 20% dari manusia yang tidak tergoda dengan hal-hal duniawi. Memfokuskan diri untuk mengabdi kepada Sang Pencipta dan sesamanya. Sedangkan sisanya, dibutakan oleh nafsu dan mengejar kepuasan duniawi. Tristan, guru berharap banyak padamu .... Kamu adalah sesosok yang memiliki kepedulian yang tinggi, kamu selalu bergerak dengan hati dan pikiran, bukan hanya dengan nafsu semata."
Tristan menatap lekat-lekat wajah gurunya, kerutan di dahinya menandakan bahwa dia tidak memahami sama sekali apa yang dikatakan oleh gurunya.
"Kau tak perlu memahaminya sekarang, simpanlah perkataan pria sepuh ini di benakmu. Kelak, itu pasti akan berguna untukmu."
"Baik, Guru Zhu!" Tristan membungkuk memberi hormat pada guru terkasihnya itu.
"Tristan, guru tau engkau memiliki dendam pada para iblis. Seluruh orang di desa asalmu dibantai oleh iblis, termasuk kedua orang tuamu. Jangan biarkan dendam bergelora di dadamu, penuhilah gelora di dadamu dengan harapan dan kejujuran.
"Andai saat itu pemburu iblis tidak singgah dan melawan iblis itu, guru tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada dirimu. Beruntung pemburu itu juga mengadopsi dan mendaftarkanmu ke pelatihan."
Tristan hanya dapat mengepalkan tangannya erat-erat. Sel-sel otaknya kembali menelusuri bayang-bayang masa lalu.
"Maafkan murid, Guru .... Murid sedang tidak ingin membahas perihal kedua orang tua murid. Murid tau murid lancang, maafkan murid," katanya. Suaranya sedikit bergetar, menahan amarah yang memburu.
"Maaf, guru membahas hal itu lagi. Tristan, bukankah sudah 4 tahun kamu disini? Bulan depan engkau sudah menginjak usia 13 tahun bukan?" tanya Zhu memastikan.
"Betul guru, murid akan menginjak usia 13 tahun bulan depan," balasnya.
"Jaga dirimu baik-baik, Tristan. Engkau akan lepas dari tanggung jawab guru bulan depan. Selama itu, jadilah kuat! Maka engkau dapat menegakkan keadilan dan menumpas keburukan, guru menaruh harapan besar pada dirimu." Guru yang sudah uzur itu beranjak dari kursinya dan menatap langit malam dari jendela.
"Kalau begitu, murid izin pergi terlebih dahulu, Guru. Murid berterima kasih atas nasihat dari guru." Tristan menunduk hormat beberapa saat dan berbalik pergi, meninggalkan kediaman gurunya.
"Aku berharap banyak padamu, Tristan ...."
Hari demi hari, minggu demi minggu. Bulan telah berganti, membuka secarik kertas baru bagi beberapa orang. Menyegarkan ulang orang-orang dari rutinitas demi rutinitas. Tak terasa, Kenanga sudah berumur 1 bulan. Kedua orang tuanya juga tak begitu peduli akan 'isi' dari Kenanga. Yang ada hanyalah secercah kehangatan dan kasih sayang dari orang tua pada anaknya.
Sebuah suara tangisan terdengar menggema dari sebuah ruangan di suatu bangunan bertingkat.
"Iya, sayang. Ada apa? Apakah kamu haus? Atau kamu buang kotoran?" Seorang wanita berlari tergopoh-gopoh ke arah bayi itu. "Oh oh, sayang. Rupanya kamu buang air ya, cup cup. Ibu ganti popokmu dulu, ya."
Perempuan itu tersenyum tipis sebelum melepas popok yang terpasang rapi di antara kedua paha. Dia menatap sebentar bayi mungilnya dan memasangkan popok baru.
"Dean sayang, ada apa, hm? Apakah Kenanga haus?" Suara berat seorang pria terdengar cukup keras, diikuti bunyi langkah kaki yang mendekat.
"Tak apa, Rio. Kenanga hanya buang air saja, kamu kembali saja ke ruang kerjamu." Wanita bernama Dean itu membalas perkataan Rio sembari sibuk memakaikan setelan pakaian ke Kenanga.
"Baiklah, aku kembali kerja dulu."
Sungguh keluarga kecil yang harmonis, tidak ada pertengkaran maupun permusuhan. Yang ada hanyalah keharmonisan dan kehangatan, cukup membuat beberapa pasang mata menatap iri.
Berbeda situasinya dengan sebuah pondok pelatihan di suatu tempat. Keadaanya kacau balau, darah berceceran dimana-mana.
"Kalian, segeralah lari! Biar guru tahan iblis itu!" Pria renta terlihat berdiri tertatih-tatih sembari membawa sebuah pedang yang masih tersarung.
"Bagaimana kami semua dapat meninggalkan guru sendirian di sini?! Sedangkan kita semua tahu, bahwa itu merupakan iblis kelas menengah muda!" Seseorang berteriak dengan suara yang bergetar, air mata berlinang membasahi pipinya. Masih hangat di ingatannya saat iblis merangsek masuk di pesta perayaan ulang tahunnya.
"Jangan membantah, Tristan! Larilah bersama Julius ke kota, disana carilah markas cabang organisasi Pemburu Iblis. Percayalah pada gurumu ini, pria sepuh ini mantan pemburu senior bintang 2." Pria uzur itu menarik pedang itu dari sarungnya, seketika aura suci terpancar dari pedang itu. Pedang berwarna emas dengan gagang berhiaskan batu mulia yang sudah direndam dengan air suci selama 5 hari berturut-turut membuatnya menjadi berbahaya bagi iblis.
Melihat hal itu, Tristan hanya mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menggendong adik seperguruannya lari ke arah kota.
Melihat kedua muridnya sudah pergi, pria tua itu tersenyum pahit dan memasang kuda-kuda.
"Biarkan pria tua meladenimu, iblis! Matilah kau, monster biadab!" teriak Zhu sembari melesat ke arah iblis itu. Pertarungan tak terelakkan lagi.
"Huh, manusia rendahan! Beraninya kau berkata seperti itu, kupastikan dirimu menjadi makanan penutup dariku."
Suara dentingan dua benda logam terdengar keras. Pedang melawan lengan dan cakar sekeras baja, manakah yang menang?
"Manusia rendahan sepertimu ingin melenyapkanku? Kau terlalu tua untuk melakukan itu, lihatlah kerutan di wajahmu, hahaha." Iblis itu melakukan pukulan ke arah dada Zhu.
"Aku tau ini tak akan mudah, tapi jangan remehkan pria tua ini." Zhu mengelak kesamping dan melepaskan beberapa tebasan ke arah leher.
Pukulan dari iblis itu meleset dan mengenai udara kosong. Bersamaan dengan itu, pedang dari Zhu mengenai leher iblis itu dan menimbulkan sayatan yang tak begitu dalam.
Aku sudah memakai segenap kemampuanku tapi hanya segini? Sepertinya umur memang berpengaruh banyak. Zhu kembali memasang posisi dan kembali melancarkan serangan. Serangan demi serangan mendarat mulus di tubuh iblis itu, namun efeknya hanyalah seperti menggelitiknya.
"Hanya ini yang kau mampu, pak tua? Kalau begitu biar aku yang menyerang sekarang!"
Iblis itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melakukan gerakan seperti mencakar yang diarahkan ke Zhu. Mendapati itu, Zhu hanya bisa pasrah saat cakar yang tajam mengoyak tubuhnya.
"Tristan ... Julius .... Maafkan guru, guru hanya bisa melindungi kalian sampai sini saja ...."
Darah segar mengalir deras dari 3 luka sayatan di dadanya. Pandangannya memburam dengan kulit yang perlahan menjadi pucat.
"Jadi seperti ini rasanya kematian, tak buruk ...," ucapnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro