Kenyataan
"Sebenarnya siapa kau? Aku tidak pernah mendengar ras malaikat jatuh semenjak 50 tahun yang lalu. Siapa kalian sebenarnya?" tanya Jason saat mereka terbang menjauh dari pusat kota.
"Engkau tidak perlu tahu siapa kami. Kami bukanlah teman kalian, kami juga bukanlah musuh kalian. Kami merupakan pihak yang tidak memihak manapun, kami hanya ingin berbaur dengan manusia," jelas Kenanga.
"Lalu, untuk apa kau menolongku? Dan juga, bukankah kau Kenanga dari kelas 11-F?" sambungnya.
"Itu bukanlah urusanmu, juga aku berhutang padamu untuk hal ini. Kekuatan dan ingatanku kembali karena hasrat ingin menolong dirimu. Dan untuk yang terakhir, bisakah aku percaya padamu untuk diam?" ujar Kenanga.
"Kupikir bisa."
Suasana kembali hening saat Jason selesai berkata-kata, Kenanga masih fokus terbang ke tujuan.
"Kita pergi ke mana?" Jason memberanikan diri untuk bertanya.
"Menyembuhkan lukamu, senjata suci akan menghalangi penyembuhan ras iblis bukan? Aku bisa membantu menyembuhkanmu," balas Kenanga ketus.
"Terima kasih?" ujar Jason bingung harus bersikap seperti apa.
Keheningan kembali terjadi. Melihat hal itu, Jason hanya diam dan menikmati indahnya kota di siang hari. Mereka berhenti di pinggiran kota dekat sungai, dengan kasar Kenanga menurunkan tubuh Jason.
"Diamlah, biarkan aku menyembuhkan lukamu." Kenanga menyentuh punggung Jason. Cahaya emas muncul dari telapak tangan Kenanga, rasa hangat dan nyaman menyelimuti tubuh Jason. Luka-lukanya juga perlahan-lahan menutup.
"Kenapa ... kau baik sekali padaku? Apakah ada alasan tertentu?" tanya Jason curiga.
"Tidak, untuk sejauh ini. Aku sendiri tidak yakin apa alasanku untuk menolongmu," balas Kenanga tanpa melepaskan tangannya dari punggung Jason.
"Hei ... kau, gadis yang menabrakku saat itu kan?" tanya Jason lagi.
"Ya," jawab Kenanga dengan wajah tanpa ekspresi. "Aku ingin berkata sesuatu padamu .... Ikutilah kata hatimu, percayalah dengan dirimu sendiri. Karena kau lebih tahu dirimu lebih baik dari siapa saja."
"Atas dasar apa kau berkata ... seperti itu?" tanya Jason keheranan.
"Hatimu tidak sepenuhnya berisi kegelapan. Aku bisa melihat hatimu masih memiliki secercah cahaya, jangan biarkan siapapun mengendalikan dirimu, walaupun itu Kaisar Asmodeus yang kau hormati." Kenanga mengangkat tangannya dari punggung Jason dan menyimpannya di depan dada.
Jason menunduk dan memasang raut wajah penuh akan kesedihan. Ingatannya berputar saat kejadian 100 tahun yang lalu, kejadian yang merenggut orang-orang yang berharga baginya.
"Ibu, ayah, tubuh ... kenapa tubuh kalian dingin? Ka-kalian hanya tertidur kan? I-ini tidak mungkin...." Seorang iblis kecil terlihat berlutut di depan tubuh 2 orang iblis lainnya. Matanya berkaca-kaca melihat tubuh yang disebut 'ayah' dan 'ibu' itu terbujur kaku.
Disaat itulah, seorang iblis berjubah menghampirinya dan merangkulnya. Dia menenangkan iblis kecil itu dan membawanya menjauh. Iblis kecil itu hanya pasrah, kehilangan sosok orang tua membuatnya berharap dapat menyusul mereka.
"Hei, Nak. Siapakah namamu?" tanyanya saat sudah menjauh.
"Aku ... Jason Alexandria Rain. Tu-Tuan sendiri siapa?" Dia memberanikan diri bertanya identitas iblis misterius itu.
"Tuan? Hmph, aku adalah Kaisar Asmodeus, dan lagi aku adalah seorang perempuan!" Jubahnya tersibak, menampakkan sesosok wanita dibaliknya.
"Ma-maafkan saya, Nyonya. Ada keperluan apakah Nyonya dengan saya?" Jason sedikit ketakutan dan mundur beberapa langkah.
"Tidak ada, kebetulan Nyonya ini sedang berpergian dan melihatmu. Aku tidak akan berbasa-basi lagi, maukah kau bersumpah setia kepadaku? Bagaimanapun kau adalah ras dibawah perlidunganku, jika kau mau bersumpah setia padaku, aku akan menjamin keselamatanmu." Dia berhenti sejenak dan mengulurkan tangannya.
"A-apakah Nyonya bersungguh-sungguh? Sa-saya hanyalah iblis rendahan, saya tidak memiliki kualifikasi untuk melayani Anda." Jason terperangah tak percaya.
"Tentu saja. Tapi, kau bukanlah iblis rendahan, kau adalah iblis dengan ras Incubus. Ras dengan kemampuan bertarung, bertahan, dan kabur yang seimbang. Kau adalah ras yang hebat!" Asmodeus tersenyum dan sekali lagi mengulurkan tangannya.
"Ta-tapi, Nyonya-"
"Ya atau tidak, aku tidak suka berbasa-basi." Raut wajah Asmodeus menjadi serius, tak ada senyum lagi di wajahnya.
"Baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin!" Jason meraih tangan Asmodeus dengan jari-jari kecilnya dan melangkah mengikuti Asmodeus.
Jason menengadahkan kepalanya setelah ingatannya berhenti berputar. Matanya berkilat, menatap Kenanga dengan buas.
"Kau! Kau tidak memiliki berhak menyalahkan Nyonya Asmodeus!! Beliau yang menyelamatkanku, kau sendiri siapa?" Jason berteriak penuh kemarahan.
"Aku adalah malaikat jatuh Auriel, aku yang menyelamatkan dan menyembuhkanmu. Aku yang menyadarkanmu dari ikatan boneka milik Asmodeus," balas Kenanga-atau sekarang Auriel tanpa ekspresi.
"Bedebah sialan, jangan kau nodai nama Nyonya Asmodeus! Beliau merupakan orang yang baik, tidak mungkin dia melakukan hal-hal yang buruk!"
"Kau sudah dibutakan oleh kesetiaan, kesetiaan tak berujung. Kesetiaan yang menutup nuranimu, aku tahu kau tidak ingin dengan ini. Sebabnya cahaya masih ada di dalam dirimu, aku percaya padamu." Kenanga duduk di rerumputan dan memandang sungai.
Jason menghela napas dan ikut duduk di sebelah Kenanga, dia mengambil beberapa buah batu dan melemparkannya ke sungai.
"Aku tak yakin dengan perasaanku. Di satu sisi, aku tahu perbuatan yang kulakukan salah, merampas kesucian wanita-wanita. Di satu sisi, Asmodeus adalah penyelamatku. Aku bimbang, aku tidak ingin menusuk Nyonya Asmodeus dari belakang. Tapi aku juga tidak bisa seperti ini terus," kata Jason mengawali pembicaraan lagi.
"Kenapa tak kau utarakan saja isi hatimu? Jikalau dia benar-benar sosok yang baik, dia pasti akan paham. Berbeda jika dia merupakan sosok yang jahat, buktikanlah sendiri." Kenanga menoleh dan memberi senyuman hangat.
"Terima kasih atas saranmu, aku akan mencobanya lusa ...."
"Kalau begitu, tolong jaga tubuhku. Aku memaksakan diriku, energi kehidupanku sudah terpakai 3% untuk hari ini. Maaf merepotkanmu." Setelah berkata seperti itu, perlahan sayap Kenanga mengecil dan iris emasnya memudar. Ia kehilangan kesadarannya.
"Hngh, dimana ini?" gumam Kenanga sesaat setelah membuka matanya.
"Kenanga! Syukurlah kau baik-baik saja, aku khawatir banget tau waktu liat Jason bawa kamu kesini. Dia bilang kamu kecapekan." Seseorang berteriak kencang sekali saat menyadari Kenanga sudah siuman. Sontak dia memeluk tubuh Kenanga yang masih tergolek lemah.
"Grisa? Aku ... di kamar? Produk kecantikan yang kubeli di mana?" gumam Kenanga kebingungan.
"Sudah, sudah. Itu tidak penting untuk sekarang. Yang penting kamu baik-baik saja, aku sangat bersyukur kamu tidak kenapa-kenapa. Kamu baik-baik bukan?" tanya Grisa khawatir.
Kenanga tersenyum dan mengangguk pelan, dia lalu membalas pelukan Grisa. Dia lalu beranjak dari kasurnya dan berjalan ke jendela.
Kau yang membawaku ya. Jangan kau tutupi lagi ya, cahaya dan harapan dalam dirimu, batin Kenanga sembari menatap ke luar.
"Oh iya Kenanga, Jason tadi ninggalin nomor telepon miliknya. Dia berharap kamu kirim pesan atau telepon dia," kata Grisa sambil menyodorkan secarik kertas.
Kenanga mengambil kertas yang disodorkan oleh Grisa dan membukanya. Secarik kertas berisikan nomor telepon dan sebuah pesan.
Jadi seperti itu, kuharap dia sudah memikirkannya baik-baik. Karena walau bagaimanapun dia masih tetap seorang iblis, kata Kenanga dalam hatinya setelah selesai membaca pesan di kertas itu.
"Terima kasih, Grisa. Maaf ya soal make up pesananmu, barangnya ketinggalan semua," kata Kenanga meminta maaf ke Grisa.
"Santai saja, itu bukanlah masalah yang besar kok. Yang terpenting kamu baik-baik saja," jawab Grisa.
Kau dimana? Aku sudah sampai di tempat perjanjian kita. Cepatlah!
Sebentar, sebentar lagi aku sampai. Bersabarlah.
Kenanga mendengus kesal membaca pesan yang masuk. Dia menyimpan ponsel pintarnya di saku jaketnya.
"Hai, sudah lama ya? Maaf aku terlambat, tadi ada hal yang mendesak." Sebuah suara membuat Kenanga menoleh dan mendapati Jason sedang berjalan ke arahnya.
"Datang juga kau. Jadi, ada apa kau mengajakku kemari? Ada keperluan apa?" tanya Kenanga tanpa basa-basi.
"Bisa kau temani aku bertemu dengan Nyonya Asmodeus? Aku tidak berani jika pergi sendiri saja. Kuharap kau mau menemaniku." Jason menyilangkan tangannya di depan dada.
"Jika aku menolak? Apa yang akan kau lakukan? Kau tidak mungkin bukan menyerangku?" Kenanga sedikit menaikkan alisnya dan mencoba memprovokasinya.
"Aku akan membujukmu agar ikut, tentu dengan cara apapun," balas Jason sembari tersenyum.
Kenanga mengerutkan dahinya, kata 'dengan cara apapun' terkesan aneh untuknya. Apakah berarti dia akan menculikku? Atau dia akan mengambil sesuatu yang berharga dan mengancamku? Pikiran Kenanga penuh dengan spekulasi-spekulasi.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, aku tidak akan menculik atau mengancammu." Jason berjalan ke arah Kenanga dan merapatkan tubuh mereka ke dinding. "Hei, manis. Bagaimana rasa bibirmu? Apakah anggur? Ataukah cherry? Aku sangat penasaran dengan rasanya."
"Jangan macam-macam!! Berhenti bercanda!!" Kenanga menendang perut Jason dengan lututnya. Wajahnya memerah seperti tomat segar yang baru saja dipetik.
"Lihatlah wajahmu, memerah seperti kepiting rebus. Manis sekali," kata Jason memandangi wajah Kenanga.
Wajah Kenanga makin memerah menahan malu. Dia mendorong tubuh Jason menjauh dan berbalik.
"Kapan kita akan pergi? Jangan bilang besok?" tanya Kenanga gugup.
"Bukan, kita akan pergi dua minggu
lagi. Minggu depan aku ada janji dengan teman, jadi nggak bisa kalau minggu depan," kata Jason.
"Baiklah, kita bertemu di sini lagi, oke? Aku akan menunggumu jam 8 pagi di sini." Kenanga lalu berbalik dan pergi dari tempat itu.
Mentari pagi sudah bersinar terang, menyembul dari celah-celah kota. Kenanga terbangun karena cahaya mentari yang menyilaukan matanya.
Aku salah mengambil letak tempat tidur. Lebih baik aku memilih tempat milik Grisa dulu, tempat itu tidak terlalu dekat dengan jendela. Batin Kenanga kesal karena dia selalu terbangun berkat sinar matahari yang menerpa matanya.
"Hoaam." Kenanga menguap sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Pandangannya tertuju pada pemandangan pagi di kota. "Tapi enaknya di dekat jendela adalah pemandangan yang indah dan udara yang sejuk."
Kenanga lalu beranjak dari kasurnya dan membuka jendela lebar-lebar. Udara segar menyeruak masuk memenuhi kamarnya.
"Huah, segarnya udara di pagi hari. Hah, aku ingin waktu-waktu seperti ini lebih lama lagi. Tapi, apa daya, aku harus pergi ke sekolah." Kenanga lalu menutup kembali jendela dan sedikit berlari ke kamar mandi.
"Kenanga! Aku dulu yang pake kamar mandi, sekarang kan giliranku!!" Grisa berteriak saat melihat Kenanga akan memasuki kamar mandi.
"Eh, iya kah? Oke oke, sana buruan," balas Kenanga cepat.
Grisa dengan terburu-buru memasuki kamar mandi dan menghidupkan shower. Tanpa berlama-lama, Grisa mandi dengan cepat dan efektif. Selang beberapa saat, Grisa keluar dengan pakaian seragam yang sudah rapi.
"Ayo Kenanga, buruan!! Udah jam setengah 7 nih, ayo cepetan!!" Grisa sedikit berteriak menyuruh Kenanga cepat sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi.
Kenanga dengan terburu-buru memasuki kamar mandi dan mandi dengan cepat. Sekitar 10 menit kemudian, Kenanga sudah selesai mandi dan berpakaian.
"Ayo, Grisa. Udah jam berapa ini?? Kita lari aja nanti." Kenanga menggigit bibirnya saat melihat Grisa masih sibuk memakai sepatu.
"Udah, nih. Ayo buruan." Grisa berdiri dari posisi awalnya dan berlari ke arah sekolah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro