Kejatuhan
"Auriel, kemarilah. Lihatlah, hewan apa ini?" Seorang wanita dengan sayap putih besar terlihat menunjuk ke arah seekor hewan.
"Kelinci!!" Seorang gadis kecil menyahuti perkataan dari ibunya tersebut dengan wajah berseri-seri.
"Pintar sekali, gadis kecil Ibu." Sang Ibu mengelus pelan kepala gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang.
"Kalian, saatnya makan siang!!" Seseorang berteriak keras, membuyarkan kehangatan dari ibu dan anak.
Mereka berdua bertatapan sejenak lalu terbang ke arah sumber suara itu. Mereka bertiga adalah malaikat yang tinggal 15.000 Km di atas daratan, tujuh pulau yang mengapung merupakan tempat tinggal mereka.
Sang gadis kecil terbang dengan tertatih-tatih, sayapnya belum dapat difungsikan dengan benar. Melihat hal itu, ibu dari gadis kecil hanya tersenyum, dia menggendong si putri kecil di punggungnya.
"Ibu, kenapa sayap ibu sangat besar. Apakah aku bisa memiliki sayap sebesar ibu nanti?" tanyanya dengan wajah polos.
"Tentu saja, Sayang. Jika kamu sudah menjadi malaikat dewasa, pasti sayapmu akan tumbuh menjadi besar. Memang ada apa, Sayang?" tanya perempuan itu.
"Aku ingin terbang menyusuri dunia, Bu. Pasti ada banyak hal-hal hebat kan, Bu?" jelas gadis itu dengan antusias.
"Ya, Nak...." Wajahnya yang cerah tiba-tiba menjadi redup. Andai kau tahu, bahwa kaum kita tidak bisa pergi bebas dari pulau-pulau ini. Pergi ke dunia yang dihuni oleh suatu kaum bernama manusia. Katanya dalam hati.
Mereka kembali dalam diam, menikmati hamparan kapas putih yang terpampang di depan mereka. Sebuah bangunan yang megah terlihat menjulang tinggi berlatarkan birunya langit. Terlihat sekitar seribu lebih makhluk bersayap berkumpul memadati bangunan itu. Bagaimana tidak? Sekarang merupakan waktu bagi para malaikat itu untuk makan siang, piring-piring telah disiapkan, makanan telah tersaji di atas meja yang memanjang.
"Ibu, apa menu dari makanan kita hari ini?" tanya gadis kecil itu dengan wajah polos.
"Ibu tidak tau, tetapi kita tentu tidak akan dan tidak bisa memakan daging. Karena kita dilarang untuk membunuh makhluk hidup selain iblis," jelasnya kepada putri kecilnya.
"Auriel, bangun. Ada apa, Auriel? Kenapa kamu mengigau?" Sebuah suara membangunkan seorang wanita yang sedang menjelajah di alam mimpi.
"Tidak apa, hanya teringat akan masa kecil," balasnya. "Ngomong-ngomong apakah sudah waktunya bergantian jaga, Raizel?"
"Ya."
"Baiklah, aku pergi dulu." Gadis itu berdiri, meninggalkan ranjangnya yang sudah mulai rapuh. "Tolong titip rumahku ya, Raizel."
Auriel terbang ke arah pulau paling ujung, tempat di mana portal teleportasi yang menghubungkan daratan tempat manusia dan malaikat. Setiap lima tahun sekali, akan ada pemberkatan yang dilakukan oleh Sang Malaikat Agung, Mael kepada pahlawan. Pahlawan itu kelak akan membasmi iblis-iblis yang ada.
"Tuan Mael, saya sudah sampai." Auriel berlutut di depan seorang malaikat pria yang sudah berdiri di depan portal.
"Baiklah, Auriel. Seperti biasa, aku akan berpatroli ke arah kanan, yang lain ke arah kiri. Kita melakukan ini agar tidak ada iblis yang kemari," jelas Tuan Mael lagi, memang seperti ini tiap berpatroli.
"Kerjakan, Tuan Mael."
Auriel dengan segera melesat menyusuri sisi kiri dari pulau itu. Hal-hal kecil pun tak luput dari pandangannya. Sesaat setelahnya, netra matanya menangkap siluet seseorang yang sedang berlari di antara pepohonan.
"Siapakah dia?"
Auriel dengan cepat menukik ke depan siluet itu. Membuat orang itu sedikit terkejut dan mundur ke belakang 3 langkah.
"Siapa kau? Ada keperluan apa kau datang kemari, iblis?" Auriel bertanya dengan tegas kepada iblis itu.
"A-aku hanya tersesat saja, izinkan aku kembali. Maafkan aku telah memasuki pulau ini tanpa izin," jelas iblis itu.
"Pendusta, matilah kau hari ini!!" Auriel mengambil pedang yang tergantung di pinggangnya dan mengarahkannya ke langit. "Wahai sang cahaya, wujudkanlah cahaya harapan kami semua. Musnahkanlah kegelapan-kegelapan yang menyiksa, tusukkanlah pedang cahayamu. Sword of Light!!"
Selang 3 detik, 5 lingkaran sihir warna emas muncul di langit. Netra Auriel yang awalnya berwarna biru, berubah warna menjadi emas, pertanda bahwa dia sedang mengaktifkan kekuatannya. 5 buah pedang perlahan-lahan muncul dari lingkaran sihir itu, bergerak cepat turun ke arah daratan, menghantam apa saja yang menghalangi jalannya.
"Matilah, iblis jahat!!!" Auriel dengan cepat menurunkan pedang dan mengacungkannya ke arah iblis itu.
Pedang-pedang itu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah iblis itu, menusuknya di beberapa bagian. Darah segar merembes keluar dari luka tusukan.
"Uagh, ke ... napa?" Kata-kata itulah yang terakhir terucap dari mulut sang iblis. Tubuhnya ambruk ke arah samping, genangan darah terbentuk karena darahnya yang terus mengucur tanpa henti.
"Auriel, ada apa? Apakah kau baik-baik saja? Aku melihat lingkaran sihir warna emas, yang pasti itu adalah milikmu!!!" teriak seseorang dari kejauhan.
"Ah, Tuan Mael. Saya baik-baik saja, hanya saja ada seekor iblis yang menyusup tadi. Namun, saya sudah membasminya, tuan," jelas Auriel.
"Kupikir ada apa."
Mael dengan segera terbang menuju ke arah Auriel. Ditatapnya mayat iblis itu, tangan kanannya diangkat dan diacungkan ke mayat itu.
"Sihir suci : pemurnian."
Cahaya putih terlihat keluar dari telapak tangan Mael. Mayat dari iblis itu bercahaya lalu perlahan-lahan hilang bak ditelan Bumi.
"Maafkan aku sudah merepotkanmu, Tuan Mael. Saya memang belum dapat menggunakan sihir suci," kata Auriel sembari membungkuk.
"Tak apa, memang sihir suci tergolong sulit untuk dipelajari. Tetapi aku yakin, 2 bulan lagi kau pasti dapat menggunakannya, bakatmu memang tidak dapat diragukan." Mael berjalan menghampiri Auriel dan menepuk pundaknya pelan.
"Terima kasih, Tuan."
"Baiklah, cukup untuk hari ini. Silahkan kau pergi istirahat terlebih dahulu. Sepertinya sudah tidak ada iblis lagi di sekitar sini," perintah Mael.
"Baik, Tuan. Terimakasih." Auriel menunduk dan segera berbalik, terbang menuju ke pulau utama untuk makan siang.
Bangunan-bangunan terlihat menjulang tinggi, menantang sang angin yang dengan setia terus menerpanya. Malaikat-malaikat terlihat berlalu lalang memenuhi pulau itu, melakukan berbagai aktivitas selayaknya dilakukan oleh manusia.
"Auriel, kau sudah selesai?" Sebuah suara terdengar, membuat Auriel menoleh ke arahnya.
"Ah, Nael. Sudah, Tuan Mael sudah memperbolehkanku istirahat."
Nael merupakan saudara kembar dari Mael. Tetapi, hubungan mereka bisa dibilang tidak harmonis. Bagaimana tidak? Mael dan Nael hampir tidak pernah bersama, Mael selalu sibuk mengawasi portal, sedangkan Nael sibuk mengurusi toko kue milik mendiang neneknya.
"Dasar, kakak selalu saja seperti itu. Jarang-bahkan tidak pernah istirahat mengawasi portal itu. Jika tidak dikirimi makanan, sudah dipastikan bahwa dia tak akan makan," gerutu Nael menghadapi sikap kakaknya itu.
"Hahaha, bukankah kau sudah terbiasa ya, Nael?" tanya Auriel sembari tertawa kecil.
"Bagaimana tidak? Aku tidak pernah bertatap muka dengannya sejak umur 8 tahun, dia dilatih dengan keras oleh ayah di tempat yang jauh," gerutu Nael kesal.
"Baiklah baiklah, ngomong-ngomong, apakah kau sudah makan siang?" tanya Auriel.
"Belum, bagaimana kalau kita pergi bersama? Aku bosan makan sendirian," balas Nael kepada Auriel.
"Boleh."
Mereka berdua melesat terbang menuju ke kantin di pusat pulau. Beratus-ratus malaikat terlihat memenuhi kantin kecil itu. Ratusan malaikat itu terbagi menjadi 5 antrian, Nael dan Auriel memilih untuk mengantri di barisan ke 3.
"Selanjutnya!!" teriak salah seorang malaikat yang telah selesai melayani salah seorang malaikat lainnya yang kelaparan.
"Huft, selalu saja seperti ini," gerutu seseorang di belakangnya.
"Ya, tidak pernah sekalipun tidak ramai. Pasti kantin ini selalu ramai, padahal sekarang baru 15 menit semenjak jam makan siang," balas seseorang menimpali perkataan orang itu.
Nael dan Auriel bertatap-tatapan sejenak dan terkekeh pelan. Mereka kembali fokus agar antrian mereka tak direbut. Setelah menunggu hampir 20 menit, giliran mereka tiba juga akhirnya.
"Aku pesan 1 porsi ya, Bibi," pinta Auriel.
"Aku juga, Bibi," sambung Nael.
"Baiklah, tunggu sebentar. Bibi siapkan terlebih dahulu." Wanita yang sudah cukup berumur itu terbang ke belakang, mengambil lauk pauk yang tersedia dan menatanya dalam satu wadah. "Ini makanan kalian siang ini, selamat menikmati," kata wanita itu sembari menyodorkan dua buah piring yang penuh dengan makanan.
"Terima kasih, Bibi." jawab Nael dan Auriel serempak.
"Humm, enak sekali ya, Nael?" tanya Auriel kepada Nael yang sedang makan dengan lahap.
"Hum, aku setuju denganmu. Masakan Bibi Nathaniel memang lezat." Nael menjawab pertanyaan Auriel sembari sibuk menjilati piring tempatnya makan.
"Oh ya, Nael. Apakah kamu pernah merasakan memakan daging?" tanya Auriel penasaran.
"Tentu belum, kita tidak diperbolehkan membunuh makhluk hidup selain iblis." Nael menjawab pertanyaan Auriel terheran-heran. "Memang kenapa?"
"Ah, tidak ada ...."
Auriel menengadahkan kepalanya dan menatap lekat-lekat langit yang biru. Lalu, gadis penghayal itu memejamkan matanya sejenak. Menikmati hembusan angin yang menerpanya.
"Seandainya aku bisa memakan daging sekali saja, aku tidak akan pernah menyesal apapun risikonya," kata Auriel pelan.
"Auriel ... jangan bilang, kamu ... mau berburu dan membunuh binatang?" Nael menatap mata Auriel lekat-lekat. Menanyakan sesuatu yang membuat Auriel terkejut setengah mati.
"Aku ... juga tidak yakin. Di satu sisi, aku ingin merasakan daging. Di satu sisi, aku tidak dapat membunuh binatang...." Mata Auriel sedikit berkaca-kaca.
"Aku tahu perasaanmu, kita semua juga ingin memakan daging. Tetapi, aturan dari 'Nya' melarang kita semua untuk membunuh binatang...." Nael memeluk gadis bersayap itu dalam-dalam, membagi kehangatan dirinya pada gadis itu.
Auriel tak dapat menahan tangisnya lagi, bulir-bulir air mata menetes jatuh membasahi pakaian kedua insan itu. Auriel menangis kencang di pelukan Nael siang itu, mencurahkan segala isi hatinya pada pria bersayap itu.
"Dah, Auriel. Aku kembali bekerja dahulu." Nael melambaikan tangannya pada gadis itu.
"Ya, Nael. Selamat bekerja." Auriel membalas lambaian tangan Nael dengan antusias.
Auriel mengepalkan tangannya kuat-kuat setelah melihat sosok pria itu perlahan-lahan menjauh.
"Aku harus mendapatkan daging, bagaimanapun caranya," tekad Auriel.
Auriel dengan segera melesat ke arah hutan di selatan kota. Di hutan itu, banyak sekali terdapat hewan-hewan yang katanya enak untuk dimakan. Tekad Auriel sudah bulat, dia akan memakan daging apapun risikonya.
"Aku mendapatkanmu, kelinci kecil!!" Auriel menarik pedangnya dari sarungnya yang masih tergantung di pinggangnya.
Dengan cepat Auriel menebas kepala kelinci itu. Darah segar muncrat dari bekas tebasan kelinci itu.
"Ah, ada apa ini? Sa-sayapku!! Kenapa sayapku menghitam??? Tolong aku!!" Auriel sangat panik, karena sayap putihnya tiba-tiba berubah menjadi hitam.
"Auriel, kau telah melakukan perbuatan dosa. Atas perbuatanmu, kau akan dijatuhi hukuman. Tinggallah engkau selamanya di dunia manusia. Kekuatanmu akan dikunci, jikalau kau memakainya, maka energi kehidupanmu akan dikuras sebesar kekuatan yang kau pakai." Sebuah suara bergema di telinga Auriel. Dia merasakan kekuatannya yang meluap-luap sirna tanpa bekas.
"Baiklah, aku terima hukumanku. Kirimkan saya segera ... Tuan Penguasa."
*~*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro