Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 9. FAELLEY

-Ethan

Setelah sempat beradu argumen cukup alot dengan Logan, aku berhasil membuat lelaki itu meyakinkan Jenna dan Anthia untuk tidak perlu mengikatku bak hewan persembahan di kereta. Selain kedua wanita itu yang duduk mendampingiku mengendalikan barisan leowolf, ia beserta para prajurit mengikuti di kanan kiri dalam wujud wolfera.

Jenna cukup banyak berceloteh mengingatkanku beberapa hal tentang apa yang boleh dan sebaiknya tak dilakukan selama berada di Faelley. Aku tak punya masalah dengan hal itu, selain menahan diri untuk tidak mengambil alih kendali dari Anthia yang mengendalikan laju leowolf seperti kereta keledai.

Entah sudah berapa lama, aku tergagap, membuka mata, mendengar suara Jenna yang memanggil seraya mengguncang-guncangkan tubuhku. Kukerjapkan mata beberapa saat sebelum menyadari ekspresi yang sulit kubaca di wajah wanita itu.

"Kebiasaan tidurmu sekarang kenapa malah mirip dengan Axel, saudaramu? Kau biasanya mudah dibangunkan, Ace," gerutu Jenna setengah mendesis. "Bangun dan waspadalah. Jaga mulutmu. Kita sudah hampir tiba."

Aku memilih tak menjawab itu. Mataku segera mengedar samar begitu sadar kereta telah membawa kami semua memasuki sebuah hutan yang terlihat sekilas agak mirip dengan gambar di buku dongeng si Kembar Bungsu.

"Jika tak bisa mengendalikan mulutmu, sebaiknya kau pejamkan saja mata sampai tiba di tempat yang aman," gumam Anthia. Ia menoleh ke Jenna. "Tutup matanya jika perlu dengan kain ikat pinggangku."

Mendengar itu, aku sontak memejamkan mata kembali. "Tak perlu! Kupastikan tak akan melihat apa pun sampai dapat izin untuk membuka mata."

Tak kudengar suara apa pun lagi dari mereka. Kereta terus melaju tanpa kata.

Sekitar beberapa menit kemudian, kereta pun berhenti secara mendadak. Terdengar suara bisik-bisik antara Jenna dan Anthia yang sempat berdebat soal apa sebaiknya aku dibawa dengan cara diikat atau tidak.

"Aku bisa mendengar kalian," cetusku pelan bernada sebal. "Aku bisa berjalan sendiri dan janji tidak akan kabur dari sini jika itu yang kalian cemaskan."

"Baiklah. Buka matamu, kita sudah sampai. Tutup mulut, ikuti saja arahanku," ujar Anthia.

Aku pun membuka mata kembali. Kukerjap-kerjapkan beberapa kali sampai pandanganku mampu melihat dengan jelas kini.

Hanya terlihat kabut putih menghadang, menghampar, menyelimuti pemandangan. Keningku berkerut, tetapi sedapat mungkin aku menahan mulutku untuk tidak mengucap komentar atau mengajukan pertanyaan.

"Kita akan berjalan masuk ke dalam kabut," ujar Anthia. "Hanya Jenna dan Ace yang boleh ikut. Yang lain tunggu saja di sini."

Anthia dan Jenna pun menggiringku memasuki kabut. Aku berusaha bersikap tenang meski sebenarnya dalam hati merasa sedikit kalut.

Apa yang akan terjadi? Benakku sibuk membayangkan penampilan makhluk di balik kabut penuh misteri.

Begitu melewati kabut, kegelapan seketika menyambut, seiring pendaran cahaya warna-warni dari berbagai penjuru seakan menyerbu. Namun, aku tak begitu peduli soal itu. Karena, mataku begitu terfokus pada satu sosok lelaki tampan yang terlihat tengah menunggu.

Aku terus mengamatinya tanpa kedip seraya mengerutkan kening. Suasana sekitar terdengar begitu hening dan terasa asing.

Anthia menghentikan langkah, begitu juga Jenna, menyisakan sedikit jarak antara kami dengan sosok lelaki cantik itu. Mau tak mau, aku pun turut menghentikan langkahku.

Kulihat mereka berdua kompak menundukkan kepala di depan sosok tersebut. Aku terus mengawasi lelaki cantik berpenampilan ala toko aksesoris dan batu perhiasan itu tanpa kedip dengan alis bertaut.

Tain, siapa dia?

Nixie, peri penyembuh. Dia sangat menyukai Axel.

Apa dia juga menyukai Ace?

Tain terdengar tertawa kecil. Tidak, justru sebaliknya, dia tak terlalu menyukai Ace.

Kenapa? Bukankah wajah Ace dan Axel sangat mirip?

Kau pernah mengusilinya.

Aku? Oh, maksudmu, Ace?

Ya.

Nixie terkesan sedikit terkejut saat menatapku meski matanya sempat terlihat berbinar. Aku diam mematung, sedikit tegang, seiring jantung yang berdebar.

"Kau lagi?"

Anthia dan Jenna sontak mengangkat kepala, saling memandang beberapa saat sebelum menatapku, lalu kembali beralih ke sosok itu sambil bertanya berbarengan, "Lagi?"

"Apa maksudmu, Nixie? Satu-satunya yang berwajah mirip dengan Ace hanya Axel. Apa dia ke sini juga?" buru Jenna.

Aku mengernyit. Axel ke sini? Untuk apa? Oh, tunggu. Apa itu berarti ....

Saudaramu.

Benar! Ternyata benar! Evan ada di tubuh Axel!

"Di mana dia?!" sergahku tanpa sempat berpikir lagi.

Nixie sontak memejamkan maat sesaat dengan ekspresi wajah seakan tengah kesal terhadap sesuatu sebelum kembali membuka dan menyorotkan tatapan tajam. Anthia dan Jenna buru-buru mencekal lenganku, seakan memberi isyarat agar aku diam.

"Kalian berdua pergilah. Aku perlu bicara berdua saja dengannya," ujar Nixie tanpa mengalihkan pandangan dariku.

Anthia dan Jenna menuruti perkataan Nixie tanpa banyak kata. Mereka pun dengan segera meninggalkan kami berdua begitu saja.

Masa bodoh! Bagiku, keberadaan Evan lebih penting.

"Di mana saudaraku?" buruku tak sabar.

Nixie berdecak-decak. "Ah, kau sungguh mirip dengan Axel." Ia mendekat sambil mengarahkan jemarinya ke wajahku. "Arogan, dingin, tampan. Wolfera kesayangan."

Aku sontak menarik mundur wajahku demi menghindari. Kulihat ada raut kekecewaan di wajah sang peri.

"Axel tak sekasar itu padaku." Ia tampak cemberut.

Itu cukup membuatku mual dan jijik. Teringat Evan, aku mencoba bersikap lebih sopan padanya.

"Maafkan aku, tapi aku sungguh perlu tahu soal ...."

"Evan?" Matanya mengerling penuh arti padaku.

Aku melebarkan mata. "Kau ... tahu? Evan memberitahumu?"

Nixie mendengkus. "Kau masih menyimpan batunya?"

Mulutku membuka. "Batu? Kenapa kau menanyakan itu?"

Sang peri mendesah. "Tak usah basa-basi denganku. Dan jangan coba-coba berbohong." Matanya menyorot tajam lagi padaku. "Adikmu sudah berjanji kalau kau akan memberikan batu itu padaku selama aku membantunya menjaga rahasia dan menemukanmu."

Dia pun lantas mengulurkan telapak tangannya yang membuka. "Mana?"

"Batu itu tidak ada padaku."

Nixie terlihat melotot. "Jangan bohong!"

Aku memberinya tatapan gusar. "Benar! Sungguh tidak ada. Hanya ada antingnya saja. Batunya tidak ada."

Sang peri mengamatinya tanpa kedip. "Baiklah. Kau berkata jujur. Jika demikian, aku memberimu waktu untuk menemukan batu itu dan menyerahkannya padaku."

"Kenapa kau menginginkan batu itu?"

"Bukan urusanmu," jawab Nixie sedikit enggan.

"Baiklah. Jika aku berhasil menemukan kembali batu mata antingku, akan kuserahkan kepadamu."

"Sepakat."

"Bagaimana dengan adikku?"

"Dia tentu saja ada di pack Axel. Memangnya kau berani menemuinya di sana?" Nixie terkekeh pelan.

Tain, apa maksudnya?

Jika ke sana, kau akan berhadapan dengan ayahmu. Kau paling takut padanya. Ibumu pun belum tentu akan mengizinkan kau pergi ke Hutan Utara.

"Aku bukan Ace. Aku tak takut pada siapa pun. Aku harus menemui adikku."

Nixie mengangkat bahu. "Urusanku hanya batu antingmu. Masalah lain, kau urus saja sendiri."

"Mengenai rahasia ...."

"Aman. Sepakat adalah sepakat. Demi Axel, aku tak akan membiarkan mereka mencelakai kalian." Nixie mengedipkan mata. "Aku menunggu batumu. Sekarang, pergilah."

*** 

Fiyuuuh akhirnya setelah cukup lama tertunda, saya bisa mulai update lagi. Jujur, semangat menulis saya menurun dari sejak beberapa bulan lalu. Doakan saja semoga saya bisa terus semangat menulis lagi, menyelesaikan cerita-cerita yang tertunda dan menghadirkan karya-karya terbaru saya selanjutnya. Okay?

Peluk hangat dari saya buat kalian semua yang masih setia menunggu cerita-cerita saya, terutama kisah petualangan si Kembar Kece ini. Jangan bosen mengikuti kisah mereka yaa. Maaciih <3

Selamat menikmati kisah ini <3

03/10/2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro