Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 - Azkhar

Azkhar langsung melempar surat yang baru ia baca ke perapian di dekatnya. Terdengar bunyi berderak dari kayu bakar yang makin menghitam dilalap api. Kayu bakar itu menghangatkan ruangan rekreasi raja yang cukup mewah dengan lantai berlapis karpet beludru ungu dan kursi-kursi putih berbantal empuk berwarna senada karpet.

"Si egois itu! Dia meminta bantuan setelah memberikanku kerajaan yang paling miskin? Huh ... yang benar saja!"

"Surat tentang apa itu, Yang Mulia?" tanya bangsawan di hadapan Azkhar yang memiliki perut tambun.

"Surat yang tidak penting dari orang yang merasa paling penting terkait orang yang tidak ada penting-pentingnya sama sekali," jawab Azkhar sekenanya sambil membuang satu kartu di tangan ke atas meja bundar kecil yang sudah penuh dengan kartu-kartu. Ia lalu mengambil wine dari meja bundar lain yang sedikit lebih tinggi.

Azkhar sedang bermain kartu bersama tiga bangsawan yang membantu perang sipil Innist. Mereka adalah bangsawan berperut tambun, bangsawan berkumis tipis, dan bangsawan berbadan ceking. Mereka yang awalnya adalah bangsawan rendahan lantas menaiki puncak bangsawan tertinggi dengan menjadi kaki tangan Tzaren saat perang besar.

Tiga bangsawan di hadapan Azkhar pura-pura tertawa. Padahal jelas sekali mereka tidak paham apa yang dimaksud Azkhar.

"Ah! Saya menang!" seru seorang bangsawan dengan kumis tipis sembari memperlihatkan kartunya.

"Sialan!" umpat Azkhar sambil membanting kartu ditangannya. "Aku kalah banyak hari ini!" gerutunya kesal.

"Yang Mulia, Anda berkali-kali menang sebelumnya. Ini hanya kekalahan kecil," hibur bangsawan lain yang berbadan amat ceking.

"Yah ... aku sering menang. Kurasa surat itu memang pembawa sial. Satu kali lagi!"

"Ini sudah larut malam, Yang Mulia. Saya rasa putri-putri Naz membutuhkan Yang Mulia malam hari ini," tolak bangsawan berperut tambun.

"Yang Mulia tidak akan fokus. Yang Mulia sudah minum cukup banyak," tambah bangsawan yang lain.

"Ini hanya wine," balas Azkhar.

Ketiga bangsawan berpandangan dan menahan tawa melihat pemuda yang baru saja diangkat menjadi raja mereka dengan wajah yang jelas sudah berwarna merah.

"Lagi pula putri-putri Naz yang diberikan kepadaku hanyalah seorang bocah dan perempuan sakit-sakitan. Sial! Tidak ada menariknya sama sekali! Aku amat sangat terganggu di malam hari karena mereka ditempatkan di samping kamarku! Bocah itu selalu menangis dan kakaknya selalu terbatuk. Benar-benar pasangan yang sempurna! Cih!"

"Maksud Yang Mulia ... Nona Pearl dan Nona Emerald?"

"Aku tidak peduli nama mereka. Lebih baik aku mendapatkan putri tertua Naz, tapi Oukha malah mengambilnya. Sialan! Mau dia apa sih?! Aku tahu dengan jelas putri tertua Naz bukan selera Oukha sama sekali!" geram Azkhar hampir berteriak. Namun, ketiga bangsawan di hadapannya tidak merasa terganggu ataupun takut. Mereka yang berusia hampir separuh abad sudah berpengalaman menghadapi emosi meledak-ledak seorang raja.

"Apakah Yang Mulia menyukai wanita yang lebih tua?" Bangsawan berkumis tipis lanjut bertanya.

Azkhar terdiam dan menatap bangsawan itu dengan tatapan sayu. Diamnya Azkhar memberikan pernyataan tersendiri bagi ketiga bangsawan yang mulai memikirkan sesuatu di benak mereka masing-masing.

"Tenang saja, Yang Mulia. Anda raja di sini. Yang Mulia dapat memperoleh apa pun yang diinginkan, termasuk wanita mana pun. Bukankah Raja Tarkh hanya memberi mandat untuk menjadikan salah satu dari putri Naz sebagai ratu? Yang Mulia masih bisa mengambil selir yang sesuai selera Anda. Besok saya akan mengenalkan Yang Mulia pada salah satu putri saya," tambah bangsawan paling kurus. Ia melihat peluang yang ditunggu-tunggunya. Semakin dekat dengan raja baru berarti posisinya di istana makin kuat. Selama itu banyak bangsawan bertanya-tanya seperti apa selera wanita Raja Azkhar. Raja itu tidak terlihat tertarik sama sekali pada dua putri Naz yang luar biasa cantik.

"Apa dia akan memenuhi seleraku?"

"Dia baru saja menjadi janda, tanpa anak. Suaminya mati di perang sipil sebelumnya."

Mata Azkhar tampak berbinar saat itu juga.

"Saya juga akan mengenalkan salah satu anak saya, Yang Mulia," cetus bangsawan berperut tambun. "Tenang saja, dia tahu caranya bersenang-senang. Dia juga amat lihai bermain kartu."

"Besok saya akan bawa keponakan saya, Yang Mulia," sahut bangsawan berkumis tipis, tidak mau kalah. "Dia sedikit lebih tua daripada Yang Mulia dan terkenal paling cantik di ibu kota."

Azkhar tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Kalian bahkan lebih mengerti aku dibanding kakakku. Baiklah, perkenalkan padaku semuanya! Besok aku akan mengadakan pesta minum teh di istana. Aku mungkin tertarik pada salah satu dari mereka dan kalian mungkin akan mendapat hadiah."

Seringai muncul di wajah ketiga bangsawan bagai serigala yang menemukan mangsa. Raja Azkhar, raja muda yang manja dan egois itu, masih bersikap kekanak-kanakan di usianya yang menjelang dua puluh tahun.

"Saya harap putri-putri Naz tidak keberatan."

"Keberatan? Oh, apa kalian tidak tahu? Mereka sudah kuungsikan di menara teratas istana ini. Berkat itu tidurku jadi lebih nyenyak."

Perasaan iba sepintas tebersit di pikiran ketiga bangsawan yang segera ditepis mereka. Mereka tahu menara teratas adalah tempat paling tidak terawat di istana. Namun dengan tersingkirnya putri-putri Naz, justru mempermudah jalan mereka mengambil hati sang raja baru meski tahu yang akan menjadi ratu tetaplah salah satu putri Naz. Namun ... apalah arti sebuah gelar jika kau tidak berkuasa sedikit pun atasnya?

***

Apa yang disebut cantik ternyata jauh dari ekspektasi Azkhar tentang wanita yang akan dibawa ketiga bangsawan tinggi, teman main kartunya. Wanita-wanita yang dikenalkan padanya bahkan tidak secantik wanita-wanita Tzaren yang keras, apalagi jika ingin dibandingkan dengan putri-putri Naz.

"Harusnya aku tahu kerajaan miskin seperti ini tidak akan memiliki wanita cantik!" batin Azkhar frustrasi pada pesta minum teh sore itu.

Dari segi umur ketiga wanita yang diperkenalkan memang sesuai keinginan Azkhar, lebih tua beberapa tahun darinya. Namun dari segi fisik ....

Di hadapan Azkhar saat itu berdiri wanita kurus ceking, mirip ayahnya yang seorang bangsawan bertubuh sangat kurus dengan bola mata seperti akan mencuat. Di kanan wanita kurus tersebut adalah seorang wanita bertubuh gemuk persis seperti ayahnya yang berperut tambun. Lalu di kiri wanita kurus adalah wanita lain yang bertubuh paling ideal tapi wajahnya berbentuk aneh dan selera berpakaiannya pun cukup norak.

Azkhar tidak tahan harus berlaku manis pada wanita yang tidak disukainya. Hampir saja ia mengucapkan sumpah serapah pada mereka yang terus berusaha menempel padanya, jika bukan karena pintu ruang pesta minum teh tiba-tiba terbuka. Seorang prajurit kurus masuk dan menghampiri Azkhar.

"Yang Mulia, ada sesuatu terjadi di gerbang timur. Kedatangan Yang Mulia ditunggu di sana," lapor prajurit tersebut dari pintu masuk. Bangsawan-bangsawan yang memenuhi ruang pesta minum teh sontak saling menoleh dan berbisik akan apa yang mungkin terjadi.

"Baiklah. Aku akan menuju ke sana. Siapkan kereta kudaku!" Azkhar bergegas melepaskan diri dari ketiga wanita bangsawan yang menjengkelkannya. Dalam hati ia senang terjadi sesuatu di gerbang sehingga dapat pergi dari pesta minum teh yang sia-sia itu tanpa harus memaki semua orang.

Dari balik kaca jendela kereta kuda, Azkhar menatap jalan-jalan ibu kota yang kotor dengan penduduk berpakaian kotor pula. Curah hujan yang tinggi membuat jalanan sering becek dan selokan tergenang, menguarkan bau tengik yang sering membuatnya ingin muntah. Udara kota yang berbau busuk itu bahkan menembus kereta kuda yang ditutup Azkhar rapat-rapat.

Azkhar mengernyit melihat anak-anak kecil berlarian di pinggir jalan dengan tubuh kurus tak terawat dan penuh lumpur. Rasanya lebih baik ia kembali menjadi pangeran di Tzaren daripada seorang raja di kerajaan termiskin di antara kerajaan lainnya. Azkhar tidak dapat membayangkan keadaan kota-kota lain jika ibu kotanya saja sudah semenderita itu.

Kereta kuda pun berhenti di gerbang timur ibu kota yang tampak rapuh. Azkhar yakin jika tentara Tzaren menyerbu, gerbang tersebut akan bisa ditembus dengan mudah. Ia tidak percaya kerajaannya, Kerajaan Innist, menggunakan kayu setipis itu untuk gerbang ibu kota.

Seluruh prajurit yang menjaga gerbang timur berdiri tegak dan memberi hormat begitu Azkhar keluar dari kereta kuda. "Apa yang terjadi?" tanyanya pada mereka.

"Sebelah sini, Yang Mulia." Seorang penjaga gerbang mengarahkan Azkhar menuju bangunan kecil di samping menara pengintai. Azkhar mengikutinya masuk ke dalam bangunan yang tampak kumuh tersebut.

Di dalam bangunan, duduk seorang pria lusuh yang hanya mengenakan celana dari bahan kasar dan warnanya sudah bercampur dengan warna tanah. Terdapat banyak bercak hitam di tubuhnya seperti jelaga. Rambut keritingnya tampak tidak pernah dicuci. Ia meringkuk di dipan panjang, gemetaran dengan sebuah selimut tipis yang kasar.

"Ada apa dengan pria tua ini?"

"Lapor, Yang Mulia. Pria ini adalah petani dari desa di timur yang dekat dengan perbatasan Zetaya. Keluarganya dibunuh oleh bandit-bandit Zetaya. Akhir-akhir ini para bandit tersebut semakin sering muncul di daerah timur. Kabarnya sudah dua desa habis dijarah dan dibakar. Pria ini satu-satunya yang selamat di sana."

Azkhar mengernyit. Ia tidak pernah mendapatkan laporan tentang bandit Zetaya di kerajaannya. Ia mengira Kerajaan Innist seperti Kerajaan Tzaren yang memiliki cukup tentara di perbatasan. "Apa tidak ada yang menjaga perbatasan timur?"

Prajurit itu menunduk. "Maaf. Kami kekurangan pasukan. Jenderal berkata jika ia tidak dapat menambah pasukan lagi."

"Pasti kekurangan dana untuk biaya tentara, dasar kerajaan miskin," gerutu Azkhar dalam hati lalu lanjut bertanya, "memangnya ada yang bisa dijarah bandit-bandit itu?"

Azkhar yakin desa itu pasti sangatlah miskin dibandingkan ibu kota yang sudah terlihat menyedihkan.

"Daerah timur merupakan daerah pertanian, Yang Mulia. Para bandit itu biasanya hanya menjarah hasil pertanian. Namun, mereka bertindak lebih jauh kali ini," jawab prajurit itu lagi.

"Api ... api ...." Suara serak si pria tua terdengar. Ia menjambak rambutnya. Pandangannya menatap nanar ke depan. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri dan memeluk kaki Azkhar. "Yang Mulia ... tolong ...."

"Sial! Lepaskan kakiku!" Dalam satu tendangan keras si pria tua melepaskan pelukannya dan terlempar.

Azkhar melihat celananya, terdapat bercak tanah bercampur abu di sana. Ia mengumpat kesal. "Penjarakan pria tua itu! Sialan! Celanaku jadi kotor!" Dengan langkah mengentak, Azkhar membalikkan badan kembali ke arah kereta kuda.

Prajurit yang tadi melapor mengejarnya. "Maaf, Yang Mulia, bagaimana dengan bandit-bandit Zetaya?"

"Suruh jenderal mengurus para bandit itu! Aku harus mengganti celanaku! Aku tidak mau terkena penyakit setelah disentuh pria kotor tadi!" balas Azkhar, meninggalkan prajurit tersebut terpaku di tempatnya.

***

"Baik, Yang Mulia. Akan saya kerjakan."

Bangsawan berperut tambun yang merupakan bendahara kerajaan undur diri setelah mendapatkan arahan dari Azkhar. Sang raja memanggilnya perihal bantuan keuangan yang diminta Jenderal Innist untuk mengirim pasukan ke timur. Sang bendahara dipanggil karena awalnya tidak mau mengeluarkan uang untuk biaya pasukan dengan alasan tidak cukup banyak dana yang tersisa.

Setelah pria berperut tambun menutup pintu ruang kerja Azkhar, terdengar suara ketukan lain.

Azkhar menghela napas keras. "Siapa lagi kali ini?" tanyanya dengan sedikit berteriak.

Masuk seorang prajurit penjaga pintu ruang kerja raja yang kemudian menunduk dalam sebagai tanda hormat. "Maaf, Yang Mulia, utusan dari Kerajaan Ezze datang menghadap."

"Ezze? Mau apa si Oukha?" batin Azkhar, mengingat saudara kembarnya yang lebih beruntung mendapatkan kerajaan yang amat kaya seharusnya tidak ada urusan dengannya.

"Suruh dia masuk!"

Kemudian masuklah seorang wanita cantik yang amat memesona, tipe wanita yang selalu diimpikan Azkhar. Wanita itu berparas cantik, berkulit putih bersih, dengan rambut pirang bergelombang yang tergerai indah. Bulu matanya lentik dan bibirnya diberi pewarna merah menyala. Azkhar menaksir umurnya sekitar sepuluh tahun lebih tua.

"Tu-tutup pintunya!" perintah Azkhar pada penjaga pintu yang langsung melaksanakan perintahnya.

Wanita itu tersenyum pada Azkhar dan mendekat hingga ke depan meja kerja raja. Gerakan gemulainya pun menarik mata sang raja.

"Salam kepada Raja Azkhar," kata si wanita dengan sedikit menunduk. "Saya membawa surat dari Yang Mulia Raja Oukha."

"Eh .... Uh .... Baiklah, berikan surat itu."

Wanita utusan tersebut lantas memutari meja dengan gerakan perlahan dan duduk mengangkang di pangkuan Azkhar tanpa izin. Seandainya hanya seorang wanita jelek yang bukan utusan kerajaan saudaranya, Azkhar akan murka dan memutus kepala si wanita karena berlaku tidak pantas.

"Kau ... kau bisa memberikan suratnya dan silakan duduk di kursi itu," lanjut Azkhar dengan tangan mengarah pada kursi yang tadi diduduki bendahara kerajaannya.

Wanita utusan tertawa genit. "Tapi sayalah surat itu, Yang Mulia."

Azkhar menatap bingung. "Maksudnya?"

Wanita berparas cantik itu lantas membuka ikatan bajunya dan menurunkan kain yang melilitnya.

Napas Azkhar sontak memburu melihat tubuh mulus di pangkuannya.

"Yang Mulia harus membacanya sendiri."

Si wanita lalu bersandar ke meja di belakangnya. Azkhar pun dapat melihat tulisan-tulisan di perut utusan Ezze tersebut yang ditulis dengan tinta merah gelap.

Bagaimana wanita dari kerajaanku? Mengagumkan? Aku dikelilingi wanita cantik seperti itu setiap hari. Wanita-wanita Ezze memang luar biasa!

Kau iri? Tenang saja, kau bisa memiliki beberapa wanita Ezze dan sedikit emas jika setuju untuk bekerja sama denganku. Aku tahu keuangan kerajaanmu yang sama menyedihkannya dengan putri-putri Naz yang diberikan padamu. Perjanjiannya akan dibisikkan oleh utusanku.

Azkhar menatap bingung. "Kerja sama apa? Perjanjian apa?"

Dengan masih tersenyum, wanita berambut pirang Ezze membisikkan sesuatu di telinga Azkhar.

"Oukha gila! Dia gila!" respons Azkhar begitu selesai mendengar kata-kata si wanita.

"Gila ataupun tidak, bukankah Yang Mulia akan diuntungkan?" balas si wanita sambil membuka kancing kemeja lalu meraba-raba dada Azkhar.

Azkhar mendesah pelan. "Tap-tapi ... jika Kak Tarkh tahu, dia akan membunuhku."

"Raja Tarkh tidak akan tahu. Raja Oukha akan bermain dengan rapi. Ia juga mendapatkan bantuan dari calon ratunya, Nona Ruby. Tidakkah Yang Mulia menginginkanku? Aku sudah lama tidak mendapatkan kehangatan," bisik si wanita dengan sedikit desahan di telinga Azkhar.

Napas Azkhar semakin memburu, nalarnya perlahan-lahan menghilang. "Eh ... Ruby?"

"Ssstt ... saya tidak akan memberikan penjelasan lanjutan di sini. Bagaimana jika di kamar Yang Mulia?" tanya si utusan wanita sambil mengecup pelan bibir raja muda di hadapannya.

Azkhar tidak dapat menahan dirinya lagi. Lama tidak menyentuh wanita, membuatnya tidak tahan terhadap godaan. Ia menggendong wanita tersebut menuju kamarnya. Tidak menghiraukan keterkejutan prajurit-prajurit, para pelayan, bahkan beberapa bangsawan yang berpapasan dengannya di sepanjang koridor.

Azkhar bergumam sambil melumat bibir utusan Ezze dalam gendongannya. "Oukha sialan! Ia tahu benar kelemahanku!"



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro