Chapter 76 - Percakapan Dua Ratu
"Kau adalah anak yang disebut penerus Zach itu?" tanya Eris sambil memandang Thony.
Malam telah menggantikan langit senja ketika Thony selesai bercerita.
Thony hanya mengangguk.
"Karena kau sekarang adalah Jenderal Runezan, lantas siapa yang menjabat menjadi ketua jaringan gilda?"
"Itu masih menjadi tugasku, sampai aku menetapkan penerus baru. Sebaiknya kau tidak sembarangan menyebut tentang jaringan gilda. Nyawamu bisa tiba-tiba hilang jika menyebarkannya."
Eris menyeringai. "Dari mana kau mendapatkan cerita sedetail itu?" tanyanya lagi.
"Ketua gildaku saat ini, Zach, bercerita padaku setelah aku menggantikannya menjadi ketua jaringan gilda-gilda Aritoria. Apakah kau ingat Putra Mahkota Arne menulis buku di akhir ceritaku? Itu adalah catatannya mengenai orang tua Ratu Ruby hingga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Ratu Ruby. Aku juga membaca buku tersebut. Tentu buku itu telah diserahkan pada Ratu."
Eris manggut-manggut. "Sekarang aku paham mengapa Ratu Ruby memakai nama kedua orang itu sebagai nama kerajaan. Mereka ternyata adalah orang-orang yang banyak membantu Ratu di masa lalu tanpa mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya."
"Yah. Ratu adalah orang yang mengingat kebaikan juga keburukan orang lain dan memberi balasan yang setimpal."
"Dan aku tidak menyangka ternyata Naz sebusuk itu!"
Meski sepanjang cerita Thony ia selalu terkejut, tapi Eris tidak berekspresi. Eris kemudian merasa jika dirinya sedikit mirip dengan sang ratu. Mereka berdua sama-sama wanita yang berdasarkan logika dan tidak bisa mewujudkan ekspresi secara spontan, jauh berbeda dibanding wanita kebanyakan. Namun, perbedaan keduanya adalah Ruby belajar memakai topeng ekspresi sehingga lebih mudah memanipulasi kesan, sedangkan dirinya tidak. Karenanya, ia pun tampak lebih kejam.
"Itu alasan Ratu Ruby membongkar kebusukan Naz. Agar orang-orang tidak mencoba menghidupkan kembali agama Naz melalui putri-putri Naz yang masih hidup. Ia juga tidak ingin saudari-saudarinya diperlakukan sebagai objek untuk meneruskan garis keturunan Naz."
Eris kemudian menyadari sesuatu. "Tunggu! Ramuan yang diminumkan pada pangeran pertama apakah ...." Kata-kata Eris menggantung.
"Ya. Itu ramuan yang sama dengan ramuan yang diminum Raja Sirgh. Kau sudah lihat efeknya pada Raja Sirgh. Hanya dua hari mengonsumsi, Raja Sirgh berubah menjadi bodoh dan membiarkan dirinya dikendalikan emosi. Bagaimana menurutmu ketika Pangeran Qazhan meminumnya selama dua tahun? Beliau saat itu tak ubahnya seperti budak Jasmine alias Nyonya Naz."
"Dari mana Jasmine memperoleh ramuan itu?"
"Dari kerajaan yang jauh di utara. Pihak Kerajaan Aritoria menduga Jasmine pertama kali meminumkannya pada Pangeran Qazhan saat pesta penyambutan utusan dari kerajaan utara, kerajaan asal Jasmine. Dan itu juga membuka kemungkinan bahwa utusan kerajaan tersebut ikut terlibat."
"Apa tujuan mereka?"
Thony mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena ingin mengacaukan atau melemahkan Kerajaan Aritoria. Ratu Ruby pun sedang menyelidiki hal itu."
"Menyelidiki?"
"Ya. Jika hasilnya tidak baik, ada kemungkinan kita harus mengasah pedang lagi."
Thony dapat melihat seringai mengerikan yang membuat Eris tampak haus darah.
"Beri tahu aku tentang penyelidikan itu!"
"Tidak, Eris. Kau sudah bertanya melebihi perjanjian. Sekarang giliranmu untuk bercerita."
Eris menghela napas. "Hah! Apa boleh buat."
***
Saat ibu kota masih terletak di ibu kota Bielinca, tepatnya sebelum eksekusi besar-besaran bangsa Tzaren yang tersisa dari perang besar, Ruby mengambil istirahat sehari dari pekerjaan yang menumpuk pascaperang.
Ruby sendirian di rumah kaca istana Bielinca yang dipenuhi berbagai macam tanaman eksotis dari negeri jauh dan tidak memperbolehkan siapa pun masuk ke dalam rumah kaca. Ia duduk di atas kursi taman berwarna putih. Di depannya ada meja senada dengan dua kursi lain. Di atas meja telah tersedia sebuah papan catur yang disinari oleh matahari daerah utara yang hangat.
Ruby memakai gaun khas Ezze yang terdiri dari kain-kain sutra ringan berwarna hijau berpotongan terbuka yang cocok di cuaca hangat Bielinca. Mahkota berhiaskan batu rubinya berkilau, membuatnya terlihat seperti bidadari yang terjebak di antara tanaman-tanaman rumah kaca.
"Saya membawanya, Yang Mulia," ucap Eris yang datang dari belakang Ruby. "Saya juga telah memastikan bahwa tidak ada orang lain di dalam rumah kaca selain kita bertiga."
"Bagus," ucap Ruby tanpa menoleh. Hanya mereka berdua yang diizinkan Ruby berada di rumah kaca. "Duduklah di hadapanku, Putri Kleih."
"Aku bukan lagi seorang putri," balas Kleih. Namun, ia tetap duduk di kursi kosong di hadapan Ruby.
Kleih yang saat itu mengenakan baju tahanan, tampak kontras dengan penampilan sang ratu.
"Lepas rantainya."
Tanpa banyak bertanya, Eris melepas rantai di tangan Kleih lalu ia berdiri di belakang Ruby.
"Apa maumu Ratu?" lanjut Kleih.
Ruby menaruh sebuah botol kecil dari kaca dengan cairan ungu di dalamnya ke atas papan catur.
"Aku mau memberimu pilihan. Kau ingin mati dengan cara apa? Di hadapanmu ada sebotol racun yang bisa membuatmu mati seketika dalam waktu tiga puluh menit setelah meminumnya dan di belakangku ada Eris dengan pedangnya."
"Dua-duanya memberikanku kematian yang cepat. Tapi racun memberiku tiga puluh menit tambahan." Kleih lantas melirik ke papan catur yang tergeletak di atas meja. Buah-buah caturnya masih berantakan. "Kau ingin bermain catur bersamaku?"
"Ya. Bermain caturlah denganku," jawab Ruby sambil menatap lurus wanita berambut merah di hadapannya.
Kleih menopang dagunya dengan kedua tangan. "Apa yang kudapat dengan bermain bersama Anda? Hanya tiga puluh menit tambahan hidup?"
Ruby mengambil sesuatu dari kursi di dekatnya yang tertutup oleh kain beludru merah. Ia menaruhnya di atas papan catur lalu menyibak kain beludru yang menutupinya.
Terdapat sebuah mahkota besar yang terbuat dari emas, tampak sangat mewah dengan ukiran rumit dan berhiaskan banyak permata. Sinar matahari membuatnya berkilau dengan sangat indah.
Mata Kleih membesar. "Itu ...."
"Mahkota Raja Tzaren," sambung Ruby. "Aku akan membiarkanmu memakainya selama kau bermain catur bersamaku."
Kleih tertawa terbahak-bahak, kemudian menghela napas. "Baiklah. Tidak ada ruginya juga. Toh apa pun yang kupilih hanyalah kematian."
Tanpa ragu, Kleih meminum botol kecil di hadapannya. "Tidak ada rasanya ternyata," ucapnya lagi.
"Itu racun khusus yang bisa membunuh keluarga raja yang sudah kebal pada racun biasa."
Ruby menjentik jarinya, lalu Eris memakaikan mahkota di kepala Kleih.
"Bagaimana penampilanku?"
Ruby mengambil cermin seukuran seukuran buku dari kursi tempat ia menyimpan mahkota lalu mengarahkannya pada Kleih.
"Kurasa mahkota itu cocok sekali di kepalamu, seolah memang dibuat untukmu. Kau benar-benar Ratu Tzaren yang bersinar," komentar Ruby.
Bersamaan dengan itu, Eris mengatur buah catur untuk ratunya dan Kleih.
Kleih menatap takjub pada cermin. Tangannya bergetar ketika meraba mahkota di kepalanya. Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah.
Kleih tertawa kecil. "Terima kasih, Yang Mulia. Ah ... menyedihkan sekali. Aku meraih cita-citaku di akhir masa hidupku."
Ruby menaruh cermin lalu menggerakkan satu buah caturnya lebih dulu sebagai pihak putih.
"Panggil saja aku Ruby. Bukankah saat ini kita sama-sama seorang ratu? Sejujurnya ... andaikan kau tidak menyakiti adikku, Taaffeite. Aku akan membiarkanmu hidup. Sayang sekali seseorang yang berbakat sepertimu mati begitu saja."
Kleih menggerakkan pion caturnya. "Kalaupun kau membiarkanku hidup, aku tidak ingin hidup. Tujuan hidupku adalah menjadi Ratu bangsa Tzaren. Jika bangsaku musnah, aku tidak punya tujuan lagi."
Ruby kembali menggerakkan pionnya.
"Ada sebagian kecil bangsamu yang berhasil kabur lewat laut saat pembantaian besar-besaran Tzaren. Entah mereka pergi ke mana."
Kleih mengangguk-angguk lalu menggerakkan buah caturnya.
"Semoga mereka bisa hidup dengan baik di tanah yang baru. Ah, jangan mengira aku menyesal sudah menyakiti adikmu itu. Dia sungguh tidak pantas menjadi ratu."
Ruby terkekeh. "Dia memang tidak memiliki bakat menjadi ratu. Hatinya terlalu lembut. Tapi ... itulah kelebihannya. Kebaikannya bisa membuat orang-orang keras tergugah. Kalau didasarkan pada kepantasan, memang kaulah yang cocok menjadi ratu, Kleih."
Kleih mengangkat kedua alisnya. "Aku tidak menyangka akan mendengar itu darimu."
Ruby memakan salah satu buah catur Kleih.
"Kau berbakat, jauh lebih berbakat dibanding Tarkh sebagai seorang pemimpin. Kau wanita yang cerdas dan berkepala dingin. Karenanya aku penasaran, mengapa bukan kau yang menjadi ratu? Mengapa Tarkh tidak memilihmu? Lalu aku mendengar kisahmu dari jenderal wanitamu." Ruby berdecak. "Tidak kusangka Tarkh seberengsek itu."
"Dia memang berengsek! Laki-laki yang tidak tahu balas budi! Beraninya dia mengkhianatiku! Aku rasa otaknya pindah ke bagian bawah tubuhnya. Karena ukuran bawahnya kecil, maka akalnya pun kecil."
Ruby dan Kleih tertawa bersama mendengar kata-kata tersebut.
"Tarkh sudah mati." Kata-kata Ruby kemudian menghentikan tawa Kleih.
"Aku sudah menduga itu. Tidak mungkin Tarkh yang sombong tidak muncul selama perang. Apa yang terjadi?"
Ruby lantas menceritakan tentang kematian Tarkh. "Dia mati di selokan bawah tanah istana Tzaren."
Kleih menghela napas. "Itu kematian yang mudah untuknya. Sayang sekali. Padahal aku sudah memikirkan ribuan cara yang lebih baik untuk menyiksanya sampai mati."
Kleih menggerakkan satu buah catur.
"Haha! Apa boleh buat. Salah satu bawahanku ingin membalas dendam langsung padanya. Ah, sebaiknya kau berhati-hati. Aku nyaris melakukan sekakmat," cetus Ruby. Ia kemudian terdiam sejenak dengan buah catur di tangan yang belum ditaruh di atas papan catur. "Menurutku ... tidak hanya Tarkh yang berkhianat padamu, hidup pun mengkhianatimu. Kecemerlanganmu ditutupi oleh orang-orang rendahan di sekitarmu yang meremehkanmu. Aku sungguh-sungguh bersimpati padamu, Kleih. Kau tidak layak diperlakukan seperti itu, kau pantas mendapatkan penghargaan yang lebih."
Kleih ikut terdiam. Air matanya menetes meski bibirnya tersenyum. "Terima kasih ... Ruby," ucapnya dengan suara bergetar.
Mungkin itulah kata-kata Ruby yang paling menyentuh Kleih. Penghargaan atas kerja kerasnya yang tidak pernah dihargai orang-orang disekitarnya telah membuat hati Kleih menghangat.
"Kau juga seorang pemimpin perang yang luar biasa. Andaikan jumlah pasukan kita sama saat kita berhadapan di selatan Bielinca, kau mungkin bisa menang," lanjut Ruby lagi sambil menggeser satu bidak catur.
Kleih tertawa sedih tanpa menyeka air matanya. Ia memakan salah satu buah catur putih. "Ahaha! Yah ... itu adalah hal yang bisa kuunggulkan darimu. Aku juga memiliki jenderal dengan kemampuan yang luar biasa dan prajuritku pun telah bertarung dengan sangat baik. Mereka pantas dibanggakan. Andaikan aku tidak meremehkanmu sedari awal, aku yakin aku bisa melakukan yang lebih baik lagi. Aku terlambat mengakui kemampuanmu. Kau memanglah keturunan Dinasti Aritoria yang berbakat. Kau layak menjadi seorang ratu, Ruby. Ratu pertama yang menyatukan seluruh kerajaan di daratan ini."
Ruby tersenyum lebar. "Terima kasih atas pujianmu. Aku sendiri harus berkutat di catatan dan sejarah peperangan untuk perang besar kemarin. Bagaimanapun, itu adalah perang pertamaku. Aku tidak pernah meremehkanmu ataupun Sirgh sedari awal. Meski akhirnya aku menyerah soal taktik di medan perang dan kuserahkan hal itu pada Eris dan Thony."
Kleih menoleh pada Eris dan menunjuk si jenderal dengan buah catur berbentuk kuda di tangannya. "Kau! Kau jenderal yang luar biasa! Kau berhasil menipuku di perang terakhir."
Eris tersenyum tipis, lebih seperti seringai. "Itu pujian yang berarti untuk saya. Anda pun seorang pemimpin perang yang hebat."
Kleih kembali pada Ruby. "Lalu bagaimana nasib Sirgh? Aku kehilangan jejaknya. Bagaimana pula nasib Oukha dan prajurit Tzaren yang menjadi tawanan perang?"
Sambil tetap bermain catur, Ruby lantas menceritakan tentang Sirgh dan pasukannya, lalu menceritakan akhir dari kisah hidup mereka.
"Saat sebagian prajuritku memutuskan untuk mendatangi Sirgh dan prajuritnya yang putus asa di pantai Selat Khazan, prajurit Tzaren di sana sedang bertarung satu sama lain. Si pemenang memakan tubuh yang kalah karena kelaparan hebat yang mereka derita. Prajuritku terguncang melihat pemandangan mengerikan itu. Mereka lantas membunuh sisa prajurit Tzaren yang masih hidup. Mereka mendapati Sirgh berada di antara mayat dengan tubuh terburai yang sudah membusuk. Banyak daging Sirgh yang hilang. Tampaknya dia menjadi salah satu orang yang dimakan di awal kanibalisme prajurit Tzaren."
"Akhir yang pantas untuknya," komentar Kleih.
Ruby pun melanjutkan kata-katanya. "Oukha dan selirnya akan digantung di depan rakyat nanti bersama petinggi perang Tzaren lainnya, termasuk kedua jenderalmu. Sementara sisa prajurit Tzaren, akan diberikan pada bangsa Innist agar mereka dapat membalaskan dendam mereka.
Kleih terdiam. Ia membayangkan akhir dari prajuritnya yang mungkin tidak akan mendapatkan perlakuan manusiawi. Sama seperti bangsa Zetaya yang telah menghabisi bangsa Tzaren tanpa ragu, bangsa Innist pun memendam kebencian ratusan tahun pada Tzaren.
'Uhuk!'—Kleih muntah darah.
"Ah ... sepertinya waktuku akan segera habis," ucap Kleih sambil melihat darah di tangannya. Ia memandangi Ruby dan tersenyum lebar. "Sekali lagi. Terima kasih, Ruby. Aku menyukai pembicaraan kita. Jika ada kehidupan setelah kematian, kuharap kita bisa kembali berbincang bersama. Semoga kali itu kita bertemu dalam kondisi di mana hidup tidak lagi mempermainkan kita dengan kejam."
"Semoga," balas Ruby singkat sambil ikut tersenyum. "Sebaiknya saat itu kau tidak sesempurna sekarang. Kau terlalu sempurna sampai nasib harus memberimu banyak cobaan agar sinarmu tidak terlalu terang."
Air mata Kleih kembali menetes ketika dirinya menutup matanya yang terasa berat. "Itu ... kalimat yang ... tidak pernah ku ... pikirkan se ... belumnya ...."
Kleih perlahan-lahan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi taman. Napasnya mulai semakin pelan. Kepalanya pun lunglai dan tangannya terkulai lemas di samping tubuhnya.
Ruby lantas memandang lama papan catur. Ketika ia yakin Kleih telah tiada, tangannya menggerakkan satu buah catur putih. Dengan buah catur itu ia menjatuhkan catur raja berwarna hitam.
"Sekakmat," gumam Ruby.
Ruby ikut menyandarkan tubuhnya dan menatap ke langit cerah yang dapat terlihat dari atap rumah kaca. Ia merasakan kedamaian singkat di tengah waktunya yang selalu sibuk pascaperang yang melibatkan seluruh kerajaan di daratan itu.
Setelah terdiam cukup lama, Ruby memanggil Eris yang hanya menyaksikan dalam diam ketika kedua ratu di depannya berbincang.
"Ya, Yang Mulia," jawab Eris.
"Tetaplah di sisiku, Eris. Sesungguhnya aku tidak memercayai siapa pun, termasuk dirimu. Tapi aku akan segera menikah. Seiring berjalannya waktu, mungkin aku akan tergila-gila pada pasanganku sehingga aku berubah menjadi wanita bodoh. Jika suatu saat orang yang bersanding denganku akan mengkhianatiku, bunuhlah dia. Kau tidak perlu menunggu izin dari ratu yang sedang terbutakan cinta. Pasanganku mungkin akan terus mencintaiku sampai akhir, mungkin juga tidak. Sekalipun dia mencintaiku, itu bukan jaminan dia akan setia padaku. Karena di dunia ini, cinta adalah sesuatu yang paling kuat sekaligus paling rapuh."
Eris terdiam sebelum menjawab. "Saya mengerti, Yang Mulia."
***
Thony tertawa setelah Eris selesai bercerita. Saat itu, malam telah semakin larut.
"Mengapa kau tertawa? Kau tidak tersinggung jika ratu menyuruhku untuk membunuhmu?" cetus Eris.
Tawa Thony berubah menjadi senyuman lebar, seolah ia terlihat begitu bahagia dan tidak bisa menutupinya.
"Oh, Eris. Itu akan terjadi kalau aku mengkhianatinya. Apakah kau tidak menyadari arti dari kata-kata ratu? Ratu takut akan jatuh cinta padaku. Kalau takut, berarti sebenarnya Ratu mulai memiliki perasaan padaku. Bagaimana mungkin aku tidak senang?"
Eris tertegun. "Aku benar-benar tidak mengerti cinta."
"Apakah kau sendiri tidak akan menikah, Eris?"
Eris mengangkat kedua bahunya. "Yah ... aku mungkin akan menikah nanti untuk berkembang biak. Bagaimanapun, aku perlu seorang penerus."
"Pfft ... berkembang biak?" Thony tertawa terpingkal-pingkal. "Kau benar-benar dingin. Kurasa isi hatimu itu kosong."
"Aku tidak peduli pendapatmu." Eris bangkit. Ia turun dari atap menara ke atap istana.
"Kau mau ke mana?" seru Thony yang masih duduk di atas menara.
Eris hanya mengangkat tangannya lalu melangkah di kegelapan malam, memasuki istana.
Thony kemudian menyandarkan tubuhnya di atap menara. Ia menatap langit malam bertabur bintang yang seolah tak berujung, sambil sesekali menyesap birnya. Kemudian, Thony teringat kembali pada kenangan masa remajanya.
***
Saat itu, Thony dan banyak remaja tentara bayaran yang umurnya mirip dengannya dideretkan di suatu ruangan besar yang mirip arena bertarung. Lalu seorang laki-laki tampan berwajah ramah mendatangi mereka bersama dengan Zach, ketua jaringan gilda tentara bayaran.
"Sudah semua?"
"Sudah, Yang Mulia Pangeran," jawab Zach.
Laki-laki yang ternyata adalah seorang pangeran itu lantas menatap dengan penuh selidik pada setiap pemuda yang dibariskan di sana.
"Kita mulai ujiannya," ucap pangeran setelah selesai meneliti wajah para pemuda.
Lantas selama berhari-hari, Thony dan pemuda tentara bayaran lain saling bertarung pada pertarungan satu lawan satu yang brutal. Mereka tidak dapat berhenti bertarung sebelum lawan yang sedang mereka hadapi mati.
Itu merupakan pertarungan mematikan Thony yang pertama semenjak menjadi tentara bayaran. Ia memang tahu jika akan bertarung untuk suatu posisi di tentara bayaran yang masih dirahasiakan. Namun, ia sendiri tidak tahu jika dirinya dan rekan-rekannya akan bertarung sampai mati seperti itu.
Thony tidak peduli lagi pada entah posisi apa yang akan didapatkan pemenang. Ia hanya ingin hidup. Ia tidak ragu-ragu ketika harus membunuh rekan yang pernah dekat dengannya atau rekan yang sangat baik padanya.
Thony sudah bertekad akan mengeluarkan kemampuan terbaiknya hingga akhir napasnya.
Sampai beberapa hari kemudian, dengan tubuh yang penuh luka dan darah, tangan Thony diangkat ke atas oleh Zach.
"Kita menemukan pemenangnya, Yang Mulia!"
Lalu Zach membawa Thony untuk menghadap pangeran.
Sang pangeran meneliti wajah Thony dengan saksama.
"Untunglah tidak ada luka pedang pada wajahnya. Siapa namamu, Nak?"
"Thony, Yang Mulia," jawab Thony sambil mengatur napas.
"Kau bukan berasal dari daratan ini, ya? Apakah itu nama aslimu?"
Thony menggelengkan kepala. "Nama asli saya Anthony. Saya membuang suku kata di depannya untuk membuang masa lalu saya."
"Ah, aku mengerti. Baiklah Thony, apakah kau tahu tujuan dari semua ini?"
"Bukankah untuk sebuah posisi di tentara bayaran?"
"Tidak sesederhana itu." Sang pangeran lantas memperlihatkan sehelai kertas. Terdapat lukisan seorang bocah perempuan di sana. "Aku melukis keponakanku. Bagaimana menurutmu?"
Tangan Thony yang berlumuran darah membuatnya tidak berani memegang benda milik seorang pangeran. Ia lalu berusaha memandang sedekat mungkin.
"Cantik ... dan dingin." Entah mengapa Thony berkata dengan jujur.
Sang pangeran tertawa. Ia kembali menatap Thony.
"Apakah kau mau bersanding dengannya?"
Thony terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Ber ... sanding? Apakah Yang Mulia ingin saya menjadi pengawal pribadi keponakan Anda?"
"Tidak. Bersanding ... maksudku ... kau akan menikahinya."
Thony terkejut. Tidak mungkin keturunan mulia dari seorang raja menikahi bocah miskin yang asal-usulnya tidak jelas seperti dirinya. Baik di kerajaannya yang lama maupun di daratan tempatnya memulai hidup baru, itu adalah mimpi yang tidak berani dimimpikan oleh seorang rakyat jelata. Karenanya, Thony mengira pertanyaan sang pangeran adalah pertanyaan jebakan yang dibuat untuk mengetahui sejauh apa ia berani berpikiran kurang ajar pada keluarga kerajaan.
Thony segera membungkukkan badan. "Saya tidak pantas untuk keponakan Yang Mulia."
Sang pangeran tertegun. Sontak ia kembali tertawa terbahak-bahak.
"Ahaha! Kau anak yang tahu diri. Aku menyukaimu. Berdirilah dengan tegak, Nak."
Thony langsung menegakkan tubuhnya. Ia mendapati sang pangeran tersenyum padanya.
"Aku akan memberikanmu lukisan keponakanku. Pikirkanlah dengan baik apakah kau mau menjadi pasangan keponakanku di masa depan. Jika kau tidak mau, aku akan mencari calon lain. Jika kau mau, maka bersiaplah. Kau akan dilatih dengan sangat keras oleh kawanku, Zach. Karena aku membutuhkan seseorang yang sangat pantas untuk menjadi pasangan keponakanku yang berharga."
Selepas pertemuan dengan sang pangeran, Thony pun kembali ke kamar kecilnya di salah satu sudut kumuh di kota pelabuhan utama. Sambil berbaring, ia perlahan menatap lukisan kecil dari sang pangeran.
Lukisan itu menggambarkan seorang bocah perempuan berambut gelap yang duduk membaca buku, tampak begitu serius hingga tidak menyadari jika dirinya sedang dilukis. Terlepas dari iming-iming akan menikahi putri keturunan raja, Thony mengagumi bocah dalam lukisan. Ia menyukai wajah dingin si bocah yang sepertinya akan tegar diterpa berbagai badai kehidupan. Bocah dalam lukisan bisa dipastikan akan tumbuh menjadi gadis yang cantik. Namun, menurut Thony bocah tersebut tidak hanya sekadar cantik, tapi juga memancarkan aura yang misterius.
"Apakah aku benar-benar bisa menjadi pasanganmu?" gumam Thony. Ia terus memandangi lukisan di tangannya hingga malam menjadikan kamarnya gelap gulita.
***
Setelah menyetujui permintaan dari sang pangeran di pertemuan selanjutnya, Thony menerima gemblengan keras dari Zach. Tubuh dan otaknya dipaksa untuk bekerja melampaui batas.
Thony diajari teknik berpedang, penggunaan berbagai macam senjata, dan strategi perang. Targetnya adalah ia harus mengalahkan Zach, hal yang nyaris mustahil mengingat dirinya baru belajar berpedang setelah sampai di daratan itu. Apalagi Zach adalah salah satu ahli pedang terbaik di seantero tentara bayaran.
Thony pun tidak hanya berlatih fisik, ia juga diajari menulis dan membaca, suatu kemampuan yang mahal bagi rakyat miskin sepertinya. Setelah lancar, Thony harus belajar ratusan hal baru yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Hal-hal asing seperti tata krama, sejarah, dan lain sebagainya menjadi makanan sehari-hari. Jika ia diberi pertanyaan lalu salah menjawab, maka ia akan dicambuk juga tidak diberi makan.
Akan tetapi, Thony tidak pernah mengeluh. Ia terus melaksanakan pelatihan yang diajarkan padanya meski hari-hari terasa sangat berat. Setiap selesai pelatihan, tubuhnya saat itu akan terasa sangat sakit untuk digerakkan dan otaknya akan sulit memikirkan hal lain. Thony selalu kembali ke kamarnya ketika malam telah sangat larut. Ia akan merayap untuk sekadar mencapai dipan lusuhnya lalu tangannya akan meraba di kegelapan malam, mencapai lukisan yang ia pajang di dinding kamarnya.
Lukisan tersebut telah begitu dihafal oleh Thony. Ia hafal di mana letak bibir, mata, dan bagian lain dari bocah di dalam lukisan. Ia dapat meraba rambut si bocah meski dalam kegelapan malam. Lukisan tersebut menjadi penguatnya di hari-hari pelatihan yang serupa penyiksaan.
"Tunggulah. Aku akan menjadi orang yang pantas untukmu."
Itu adalah kata-kata yang Thony ucapkan setiap malam. Sebuah ucapan selamat tidur bagi bocah dalam lukisan yang belum pernah ia temui sekali pun. Namun, Thony yakin si bocah telah ditakdirkan untuknya. Ia dengan sadar mengakui obsesi yang muncul dalam dirinya.
***
Thony kembali dari khayalannya masa lalunya ketika birnya tumpah dari botol di tangannya, membasahi bagian dada baju hitam yang ia kenakan. Ia lantas terduduk dan tertawa sendiri. Lalu pandangannya beralih ke satu jendela di sisi istana yang bisa terlihat dari atap menara tempatnya memandang langit malam. Senyum mengembang di wajah Thony.
"Mari kita lihat, siapa yang cintanya bertahan lebih lama, Ratuku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro