Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 74 - Sejarah Sang Ratu (1)

Putra Mahkota Aritoria saat itu, Pangeran Saizan III, menyadari perubahan yang terlihat sangat jelas pada putra pertamanya, Pangeran Qazhan.

Pangeran Qazhan yang awalnya pendiam nan bijaksana, berubah menjadi seseorang yang penuh emosi dan labil. Ia mendadak sering mangkir dari pertemuan-pertemuan keluarga raja. Tugas-tugas kerajaannya pun banyak yang tidak dikerjakan. Ia juga sering menghilang entah ke mana. Bahkan pernah tidak ada kabar dari sang pangeran selama seminggu penuh sampai membuat seisi istana panik.

Keluarga raja berusaha untuk memaklumi kelakuan Pangeran Qazhan, menganggap pangeran sedang dalam masa gejolak darah mudanya.

Akan tetapi, kesabaran keluarga raja sampai pada batasnya ketika pangeran yang sudah berusia delapan belas tahun saat itu, menunda pernikahan dengan tunangannya, seorang gadis bangsawan yang merupakan anak salah satu menteri. Kemudian di tahun berikutnya, Pangeran Qazhan memutuskan pertunangan secara sepihak tanpa pemberitahuan ke keluarga raja.

Diam-diam Putra Mahkota Saizan III mengirim orang untuk menyelidiki tentang putranya.

Ternyata belakangan Pangeran Qazhan sering menemui anak perempuan seorang saudagar dari negeri jauh. Gadis muda bernama Jasmine tersebut telah lama tinggal di ibu kota Aritoria untuk mengurus kantor dagang ayahnya yang ada di daratan tersebut.

Jasmine memiliki rambut gelap yang indah, kulit putih bak porselen, dan mata hijau seperti sebagian keluarga Raja Aritoria. Dia tergolong cerdas, gerakannya anggun, bahkan sifatnya pun ramah kepada siapa saja tanpa memandang status sosial.

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan pertama kali mereka bertemu, tahu-tahu saja Pangeran Qazhan telah jatuh cinta pada si gadis.

Keluarga kerajaan bukannya menentang hubungan Pangeran Qazhan dan Jasmine. Mereka berkata pada Pangeran Qazhan bahwa sang pangeran bisa tetap menikahi gadis impiannya setelah menikahi mantan tunangannya.

Akan tetapi, Pangeran Qazhan menolak. Di matanya hanya ada Jasmine seorang. Ia tidak ingin menikahi yang lain. Ia bahkan rela meninggalkan gelar pangerannya.

Karena sifat keras kepala pangeran, raja saat itu akhirnya mencoba menimbang-nimbang tentang kemungkinan mengangkat anak perempuan saudagar tersebut untuk menjadi istri sah, alih-alih selir.

Meski demikian, Putra Mahkota Saizan III adalah orang yang bijaksana. Ia menghentikan niat sang raja dan mengusulkan untuk memeriksa lebih jauh lagi tentang si gadis sebelum mengambil keputusan.

Akhirnya penyelidikan dilakukan lagi, dengan lebih saksama. Istana menyogok beberapa orang yang bekerja pada kantor saudagar milik ayah Jasmine dan pekerja kasar di rumah Jasmine. Putra mahkota juga menyelundupkan orang di sekitar Jasmine, memata-matai si gadis, hingga menyelidiki orang-orang yang melakukan kontak dengan Jasmine.

Hasil penyelidikan sementara menyatakan bahwa meski anak seorang saudagar besar, Jasmine adalah gadis pekerja keras. Ia gadis yang lemah lembut, tapi juga cukup ambisius. Ia memiliki tujuan untuk mengambil alih usaha ayahnya. Kedekatannya dengan Pangeran Qazhan ternyata bermula saat sang pangeran mendatangi pesta penyambutan utusan dari kerajaan asal Jasmine. Jasmine sebagai perwakilan saudagar yang berasal dari kerajaan sang utusan pun turut hadir di sana.

Awalnya, semua tentang Jasmine terlihat normal. Sampai kemudian, salah seorang pelayan di rumah Jasmine menawarkan informasi penting yang ditukar dengan emas. Pelayan itu tidak sengaja melihat nona rumahnya memberikan sesuatu yang berasal dari botol kaca berbentuk segitiga pada minuman Pangeran Qazhan. Namun, ia masih diam karena ragu dan mencoba memperhatikan gerak-gerik nonanya lagi. Lama-lama, kecurigaannya pun terbukti, Jasmine selalu menuangkan sesuatu dari botol segitiga kaca setiap bertemu sang pangeran.

Akhirnya si pelayan memberanikan diri untuk mencuri botol tersebut, lalu kabur dan memberikannya pada pihak kerajaan.

Setelah memastikan isi dari botol misterius, mantan pelayan Jasmine diberikan imbalan yang sangat pantas. Namun, ketika suruhan raja ingin menjemput Jasmine di rumahnya, gadis itu telah kabur bersama Pangeran Qazhan. Mungkin ia menyadari ada yang berkhianat di rumahnya setelah mendapati botol kaca berbentuk segitiganya menghilang.

Para prajurit kerajaan mencari di seantero wilayah Aritoria. Poster-poster bertuliskan 'Dicari Hidup atau Mati' dengan sketsa Jasmine disebarkan ke mana-mana. Namun, tidak ada yang melaporkan keberadaannya.

Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya ada orang yang melaporkan keberadaan Pangeran Qazhan dan Jasmine. Ternyata mereka kabur ke Kota Suci Verhalla, bahkan telah menikah dan menjadi penduduk di sana.

Hal itu membuat situasi makin rumit karena kekuasaan raja sekalipun tidak bisa memaksa Naz untuk menyerahkan penduduk Kota Suci, meski penduduk tersebut adalah seorang kriminal besar.

Akan tetapi, pihak Aritoria tidak pernah berhenti berusaha. Mereka melakukan cara yang halus seperti mengirimkan pesan pada Pangeran Qazhan sampai menyelinapkan orang untuk membujuk pangeran.

Semua sia-sia, Pangeran Qazhan tidak ingin kembali. Ia tidak mau mendengar apa pun yang dikatakan keluarganya tentang Jasmine. Ia juga menolak menemui ayahnya yang datang sendiri ke Kota Suci.

Tepat pada saat keluarga kerajaan ingin menyerah dan melepas Pangeran Qazhan, sang pangeran dikirim kembali dari Kota Suci ... dalam bentuk mayat.

Keluarga Raja Aritoria kemudian berduka selama berminggu-minggu. Mereka menangisi salah satu anggota keluarga mereka yang tadinya seorang pemuda yang cemerlang, nyaris tanpa kekurangan, tapi kembali pada mereka dalam keadaan tak lagi bernyawa.

Raja Aritoria lantas menuntut Naz agar membiarkan penyidik dari Aritoria mencari pelaku pembunuhan pangeran mereka, tapi Naz menolak. Naz beralasan jika pelakunya sudah ditemukan dan dihukum berdasarkan peraturan Kota Suci. Naz juga mengatakan jika Jasmine telah menghilang tanpa jejak.

Padahal keluarga raja tahu dengan pasti bahwa pada waktu sekitar kematian Pangeran Qazhan hingga saat mereka melayangkan tuntutan, tidak ada pelaku yang ditangkap dan tidak ada hukuman berat yang dilaksanakan di Kota Suci.

Putra Mahkota Saizan III pun menyelidiki penyebab kematian putranya. Berdasarkan hasil penyidik istana, Pangeran Qazhan mati kehabisan darah akibat luka tusukan yang banyak jumlahnya. Terdapat memar pula di sekujur tubuh pangeran yang diakibatkan oleh orang bertenaga kuat. Ia lantas menyadari jika bukan Jasmine yang membunuh anaknya, melainkan orang lain. Bahkan mungkin pembunuhnya tidak hanya satu orang karena Pangeran Qazhan merupakan salah satu kesatria berpedang terbaik di Aritoria.

Meski Raja Aritoria melayangkan protes keras terkait tanggapan Naz, tapi Naz tetap bergeming. Hal itu menjadikan hubungan antara Kerajaan Aritoria dan Kota Suci Verhalla merenggang.

Raja Aritoria kemudian amat bersedih akan kematian cucu tersayangnya. Ia mengurung diri hingga berminggu-minggu lamanya, meratapi kepergian sang pangeran. Ia juga mengutuk ketidakmampuannya sebagai raja untuk membalas kematian cucunya. Raja pun makin lama makin lemah lalu dirinya mulai sakit-sakitan.

Hanya dua tahun berselang, Raja Aritoria mangkat dan digantikan oleh Putra Mahkota Saizan III, ayah dari Pangeran Qazhan.

Saizan III yang baru menjadi raja itu lebih berkepala dingin dibanding Raja Aritoria sebelumnya. Ia memang menangisi kematian putranya, tapi dirinya lebih memilih mengubur kesedihan dengan pekerjaan yang menumpuk. Menumpuknya pekerjaan raja diakibatkan mendiang ayahnya yang mengabaikan pekerjaan dan lebih memilih berduka.

Beberapa tahun kemudian, sebuah bisikan sampai ke telinga Raja Saizan III. Sang raja lantas berangkat ke Kota Suci Verhalla. Untuk pertama kalinya setelah insiden kematian Pangeran Qazhan, ada keluarga kerajaan Aritoria yang mengunjungi Kota Suci.

Pada suatu pagi yang cerah, Naz dan Raja Saizan III bertemu sambil bertukar kata di aula Puri Naz dalam situasi yang menegangkan. Siapa pun yang hadir di sana tahu jika keduanya saling menyindir dengan kata-kata sopan juga saling melempar senyum palsu. Ketegangan itu pun berlanjut hingga keesokan harinya. Karena kereta kuda Raja Saizan III rusak, lantas ia harus beristirahat di Kota Suci sampai kereta kudanya selesai diperbaiki. Padahal, umumnya keluarga kerajaan mana pun yang berkunjung ke Kota Suci akan beristirahat di kastil Benteng Utara Bielinca yang memiliki akomodasi memadai untuk keluarga raja.

Meski Naz mencoba menawarkan kereta kuda, tapi Raja Saizan III menolak dengan sombong.

"Maaf, Naz. Tapi saya tidak terbiasa menaiki kereta kuda yang berkualitas rendah. Bagaimanapun, saya sudah tua. Kereta kuda saya dibuat khusus untuk saya, kursinya sangat empuk dan tidak banyak guncangan di sepanjang jalan. Lebih baik Anda membiarkan saya tidur di pelataran Puri Naz daripada saya harus menaiki kereta kuda yang Anda punya. Saya harap Anda tidak tersinggung. Hahaha!"

Semua yang hadir dapat merasakan jika Naz memanglah tersinggung sekalipun tetap berusaha tersenyum. Baru kali itu ada raja yang berani melemparkan kata-kata setengah merendahkan pada Naz. Naz menahan diri dari membalas raja di hadapannya agar hubungan kedua wilayah tidak bertambah tegang. Apalagi Raja Saizan III tergolong raja dengan kepribadian kuat, licik, dan cerdas, yang didukung oleh kerajaan yang sangat kaya.

Karena tidak ada tempat tinggal yang layak di Kota Suci untuk seorang Raja, akhirnya Naz mengizinkan Raja Saizan III untuk tinggal di salah satu kamar di Puri Naz, sementara para prajurit pengiringnya diizinkan berkemah di pelataran puri.

Ketika hari sudah menjelang sore, seseorang dengan pakaian pendeta muda mengetuk kamar sang raja yang dijaga oleh dua pengawal raja di kedua sisi pintu bagian luar. Asisten raja langsung membukakan pintu. Begitu pendeta tersebut masuk, pintu kamar segera ditutup.

"Ini saya, Yang Mulia. Saya membawa anak itu," ucap pendeta yang baru masuk.

Raja Saizan III lantas membalikkan badannya, menghadap ke si pendeta. Pandangannya turun ke kaki pendeta dan mendapati ada anak kecil berdiri tegap di sana.

Anak kecil itu berusia sekitar lima tahun. Ia memiliki rambut hitam legam, mata berwarna hijau, dan berparas cantik. Dia adalah anak yang keberadaannya dibisikkan ke telinga raja sehingga raja terpaksa pergi ke Kota Suci untuk memastikan dengan mata kepala sendiri.

Raja Saizan III mendekat ke anak kecil tadi dengan langkah perlahan. Ia seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya berkaca-kaca, meski ia menahan diri untuk tidak terisak. Ketika dirinya berlutut agar bisa melihat lebih jelas wajah si anak, sontak asisten raja, pendeta, dan orang lain yang sedang berada di ruangan pun ikut berlutut karena tidak ada yang boleh berdiri lebih tinggi dari raja.

"Tidak salah lagi! Siapa pun yang melihat pasti akan percaya. Dia adalah anak Qazhan! Cucuku! Parasnya ... garis wajahnya ... sungguh mirip seperti Qazhan ketika masih kecil! Siapa namamu, Nak?" tanya Raja Saizan III dengan suara bergetar.

"Ruby."

Si anak menjawab datar. Ia tampak tidak mengetahui jika di hadapannya adalah seorang raja.

Raja Saizan III segera menarik Ruby kecil ke dalam pelukannya. Raja yang keras, berwibawa, dan disegani banyak orang itu menangis. Air matanya tumpah hingga membasahi baju Ruby.

"Oh ... cucuku. Suatu keajaiban aku bisa menemukanmu. Sungguh ... aku sungguh bersyukur bisa bertemu denganmu. Seseorang mengabarkan jika Qazhan memiliki anak yang diakui sebagai anak Naz. Awalnya aku tidak percaya, sampai aku melihatmu sendiri."

"Naz ...." Ruby bergumam.

Raja Saizan III melepas pelukannya. "Iya. Naz, orang yang mengaku sebagai ayahmu."

Ekspresi bocah di hadapan raja lantas berubah. Ia seperti marah tapi dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak boleh memanggil Naz dengan sebutan ayah," ungkapnya kemudian.

Semua orang di ruangan selain si pendeta terkejut.

"Bagaimana Naz memperlukanmu, Nak?" tanya sang raja.

"Naz sering ngomong kasar dan memukulku."

Ruby lantas mengulurkan telapak tangan kecilnya yang terluka. Ada bekas merah yang memanjang di sana, seolah terhubung dari tangan kanan ke kiri. Telapak tangan mungil itu pun tidaklah mulus.

"Tadi siang tanganku dipukul pakai kayu karena ketahuan ambil makan di dapur. Padahal aku lapar sekali, belum makan dari kemarin. Aku harus pel lantai puri baru bisa makan," lanjut Ruby dengan nada bergetar. Bersamaan dengan itu, terdengar suara dari perut Ruby.

Asisten raja segera mengambil roti dan buah dari atas meja di dalam ruangan, lalu memberikannya pada gadis kecil yang kelaparan tersebut.

"Aku boleh makan?" tanya Ruby yang matanya terpaku pada makanan di hadapannya. Air liur menetes dari mulutnya.

"Ambillah," jawab sang raja. "Semua untukmu."

Mata Ruby pun berbinar. Ia duduk di lantai lalu mengambil sepotong roti di tangan kanannya dan sebuah apel di tangan kirinya. Ia meneliti makanan di tangannya dengan tatapan takjub lalu makan dengan lahap.

"Wah ... rotinya enak. Biasanya baunya aneh dan ada bintik hitamnya. Buahnya juga belum jadi cokelat.  Enak. Ini enak. Terima kasih, Tuan." Ruby menyempatkan diri bersujud di kaki asisten raja. "Naz bilang aku harus sujud ke orang-orang yang kasih aku makan."

Asisten raja lantas panik. "Itu adalah makanan Tuan di hadapanmu," ucapnya sambil menoleh ke arah raja.

Ruby segera bangkit lalu pindah bersujud ke arah sang raja.

Air mata Raja Saizan III tumpah. Badannya berguncang hebat. Tangannya terkepal kuat hingga nyaris berdarah. Hatinya sakit melihat cucunya diperlakukan hina dan tidak layak, padahal cucunya masihlah sangat kecil.

Seluruh orang di kamar itu termangu melihat pemandangan menyedihkan di depan mereka. Bagaimanapun, Ruby adalah keturunan mulia dari sebuah kerajaan yang kaya, tapi bocah tersebut justru hidup menyedihkan. Seorang keturunan raja tidak seharusnya bersujud pada setiap orang yang memberinya makan.

"Bangunlah," ucap Raja Saizan III dengan suara bergetar. Ia tidak memedulikan jika ekspresi wajahnya tidak lagi terkontrol.

"Kenapa Tuan nangis?" tanya Ruby dengan polosnya.

"Karena kau tidak seharusnya sujud pada siapa pun."

"Tapi nanti kalau tidak sujud, tidak dapat makan lagi."

"Aku yang akan mengatur makananmu. Tapi kau tidak boleh bilang kepada siapa pun kalau kau dapat makanan dari seseorang."

"Rahasia?"

Raja Saizan III mencoba tersenyum meski air mata masih membasahi pipinya. Ia menaruh tangannya di kepala Ruby lalu mengelus rambut kasar dan tidak terawat si bocah.

"Iya. Rahasia. Kalau bilang ke orang lain, makananmu akan diambil Naz."

"Kalau begitu aku tidak akan bilang siapa-siapa."

Raja Saizan III kembali memeluk cucunya. Ia berusaha untuk tidak memeluk terlalu kuat, khawatir akan menyakiti tubuh kurus dan ringkih cucunya. Namun, ia segera dihampiri oleh pendeta.

"Maaf, Yang Mulia. Nona Ruby harus kembali ke kamarnya. Biasanya Nona Ruby tidak dipedulikan oleh Naz dan bebas ke mana saja selama tidak keluar dari puri. Tapi karena kedatangan Yang Mulia ke puri, Nona Ruby dikurung di kamar. Saya khawatir ada yang mengecek ke kamarnya," ucap si pendeta.

Akhirnya Raja Saizan III melepas pelukan dan berdiri.

Karena diberi tahu jika ia harus kembali ke kamar, Ruby memakan roti dan apel di tangannya dengan terburu-buru.

Setelah makan, Ruby berdiri untuk mengikuti sang pendeta. Saat mereka sedang melangkah pergi mendekati pintu kamar, Ruby berhenti lalu menoleh kembali ke arah sang raja.

"Apa nama Anda, Tuan?"

"Aku? Namaku adalah Saizan."

"Tuan Saizan. Aku akan balas makanannya nanti. Aku pasti keluar dari puri ini. Kalau aku keluar, aku akan ceritakan tentang Tuan Saizan yang baik ke mana-mana."

Perkataan dari bocah polos tersebut membuat Raja Saizan III makin terharu. Air matanya meleleh lagi. Ia ingin membawa cucunya kabur saat itu juga, tapi sang raja dengan pemikiran panjangnya tahu kalau itu bukan keputusan terbaik.

Keesokan harinya, saat kereta kuda raja selesai diperbaiki dan ia harus kembali lagi ke Kerajaan Aritoria, sang raja menahan diri agar tidak menebas kepala Naz yang ada di hadapannya. Ia bahkan berusaha untuk tidak menyindir Naz lagi karena khawatir jika Naz kesal, Naz akan melampiaskan kemarahan pada cucunya.

Sepanjang perjalanan pulang, Raja Saizan III terus memaki-maki Naz. Ia bahkan telah meninggalkan keyakinannya pada agama saat itu juga karena amat membenci Naz, seorang pemuka agama dan disebut-sebut sebagai perwakilan Ahurz di dunia.

Begitu raja sampai ke istananya di Aritoria, ia segera mengumpulkan beberapa orang penting yang bisa dipercayanya. Yang hadir kemudian di ruang kerja sang raja adalah Perdana Menteri Elmer, pangeran kedua sekaligus calon putra mahkota yang bernama Arne, dan Zach.

Zach adalah ketua dari jaringan gilda tentara bayaran. Semua orang hanya tahu jika tentara bayaran Aritoria terdiri dari banyak gilda yang independen, padahal sebenarnya gilda-gilda Aritoria terjalin dalam satu jaringan raksasa. Perihal tersebut hanya diketahui petinggi-petinggi gilda dan keluarga kerajaan Aritoria.

Jaringan gilda Aritoria memiliki ketua yang diganti secara berkala. Pemilihan ketua jaringan gilda tentara bayaran Aritoria tidaklah melalui cara normal. Ketua jaringan gilda dipilih sejak mereka masih muda lalu dididik dengan keras, tidak hanya fisik tapi juga otak yang ditempa. Karena jaringan gilda Aritoria yang berusia ribuan tahun tidak akan bertahan jika pemimpinnya hanya mengandalkan otot.

Perdana Menteri Elmer, Pangeran Arne, dan Zach duduk melingkar di sebuah meja bundar berkursi empat. Sementara sang raja sedang berdiri di jendela ruang kerja sambil menatap matahari senja yang sinarnya membuat lautan seolah dialiri emas yang berkilauan.

"Aku menemukan cucuku. Seorang anak perempuan. Anak dari Qazhan."

Perkataan sang raja membuat kedua orang lainnya tersentak. Sedangkan Zach, yang membisikkan perihal Ruby pada sang raja, hanya diam.

"Di mana tuan putri, Yang Mulia?" tanya perdana menteri.

"Di bawah siksaan Naz." Sang raja lantas menceritakan pertemuan dengan cucunya di Puri Naz saat ia datang ke Kota Suci.

Ungkapan marah dan simpati lantas terlontar dari meja bundar. Namun, sang raja tidak terlalu peduli pada ucapan-ucapan itu. Ada hal lain yang membuatnya memanggil mereka.

"Sudah sejak lama kita memiliki beberapa penyusup yang menyamar sebagai pendeta di Kota Suci. Salah satunya berhasil bertugas di Puri Naz. Aku sudah menyuruhnya untuk selalu mengabari perkembangan Ruby dan memberi makan Ruby secara sembunyi-sembunyi. Aku harap Ruby dapat bertahan hingga mencapai usia yang cukup untuk pergi dari sana," ucap raja.

"Mengapa Yang Mulia tidak membawanya diam-diam saja? Saya bisa menyuruh orang untuk melarikan Putri Ruby, kita bisa besarkan dia secara rahasia. Naz tidak akan dapat menuduh kita tanpa bukti," celetuk Zach.

Raja menggelengkan kepalanya. Ia membalikkan badan dan ikut duduk di kursi yang menghadap meja bundar.

"Naz generasi ini berbahaya. Dia agresif, licik, dan jauh lebih rakus dari Naz sebelumnya. Penyebab perang di Selat Khazan antara Ezze dan Tzaren yang baru-baru ini pecah, adalah bisikan provokatif dari pendeta istana Ezze. Semua karena Tzaren berulang kali melobi jumlah sumbangan yang harus disetor untuk Kota Suci. Tzaren merasa nilainya terlalu besar, padahal mereka baru mengalami gagal panen. Sementara Naz tidak peduli akan hal itu. Naz kemudian murka dengan Tzaren yang akhirnya menurunkan jumlah sumbangan secara sepihak."

"Apakah karena takut jika Naz akan membuat rencana licik untuk Aritoria sehingga Ayah tidak berkenan membawa Ruby?" tanya Pangeran Arne.

Raja kembali menggelengkan kepala. "Bukan itu yang kukhawatirkan."

"Lantas?"

"Ketamakan Naz suatu saat akan memicu hal yang lebih buruk lagi dan membuat daratan ini jatuh ke dalam hal mengerikan yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Aku sudah memikirkan berbagai skenario di kepalaku. Kemungkinan terburuknya adalah perang besar yang melibatkan seluruh kerajaan."

Perdana menteri mengangguk-angguk. "Jika itu terjadi, tempat teraman adalah Kota Suci."

"Kalau begitu sampai kapan Yang Mulia akan membiarkan Putri Ruby di sana?"

"Sampai dia dewasa. Pada saat itu aku akan menawarkannya kesempatan untuk pergi dari daratan ini. Aku tidak akan memaksanya pergi." Raja tersenyum sedih. "Dia anak yang berkarakter kuat, sama seperti ayahnya. Hanya ada keburukan jika memaksa anak yang seperti itu."

"Apakah Ruby akan mendapat pendidikan dari Naz?" tanya Pangeran Arne.

Raja menghela napas. "Aku meragukannya. Tapi aku bisa meminta pendeta kita untuk mengajarkannya sedikit."

"Kalau begitu saya akan membantunya untuk itu. Saya memiliki kenalan tentara kota di Kota Suci yang bisa menyelundupkan saya dengan menyamar sebagai tentara kota. Saya bisa sesekali mengajarkannya. Selama Ruby bisa membaca dan menulis, saya tinggal memberikannya buku-buku bagus. Jika dia seperti Kak Qazhan, maka anak itu pasti cukup cerdas untuk belajar sendiri lebih dalam," lanjut Pangeran Arne.

Raja menoleh pada anak keduanya, calon terkuat untuk menjadi putra mahkota. Berbeda dengan Qazhan yang selalu tampak mendominasi, pangeran yang satu itu murah senyum dan ramah, membuat orang cenderung menurunkan kewaspadaan jika tidak tahu perangai pangeran yang sebenarnya. Tentu dirinya tahu dengan pasti anaknya tersebut tidaklah remeh seperti kelihatannya.

"Kudengar Naz generasi sekarang tidak suka membaca, perpustakaan Puri Naz pasti sepi."






***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro