Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 72 - Penyatuan Wilayah

Penyatuan Kerajaan Bielinca

Pada kejadian di aula singgasana istana Bielinca, Ruby dinobatkan langsung menjadi Ratu Aritoria dan diakui sebagai keturunan Raja Aritoria terdahulu saat itu juga.

Sedangkan Lazuli, adik Ruby yang merupakan Ratu Bielinca, mengundurkan diri dan menyerahkan kerajaannya untuk menjadi bagian dari kekuasaan kakaknya. Keputusan itu pun tidak mendapatkan pertentangan dari bangsawan Bielinca yang baru mengetahui jika Ruby yang mereka dukung ternyata tidak memiliki darah Naz sama sekali.

Bagaimanapun, Bielinca tengah sekarat sejak pembantaian besar-besaran bangsawan dari Kubu Pengrajin yang baru saja musnah. Prajurit Bielinca pun tidak tersisa banyak setelah perang besar, menjadikan keamanan Bielinca rapuh. Apalagi para bangsawan menaruh harapan akan nasib mereka di tangan Ruby. Semua faktor-faktor tersebut membuat bangsawan Bielinca menyetujui penyatuan dua kerajaan.

Di sisi lain, bangsawan Bielinca paham akan ambisi sang ratu. Daripada mereka bergabung melalui jalur kekerasan, lebih baik mereka mendukung Ruby.

Karena Bielinca tidak menyulitkannya ditambah bantuan dari bangsawan Bielinca dan perlindungan yang mereka lakukan untuk adik ratu, Ruby pun menjanjikan banyak hal baik terkait jabatan pada mereka.

Setelah Kerajaan Bielinca resmi bergabung dengan Aritoria, Ruby memindahkan pusat pemerintahan sementaranya di ibu kota Bielinca sambil menunggu ibu kota yang baru siap.

***

Penyatuan Kerajaan Kraalovna

Setelah penobatan Ruby, Putri Freyja datang ke ibu kota sementara Ratu Ruby di ibu kota Bielinca. Ia membawa serta para bangsawan tinggi Kraalovna bersamanya. Mereka datang untuk menjawab surat dari sang ratu baru tentang proposal penyatuan wilayah Kraalovna menjadi bagian wilayah kekuasaan Ruby.

Rapat yang membahas penyatuan wilayah itu berlangsung selama berminggu-minggu. Sebagai kerajaan yang merdeka dan masih kuat berdiri sendiri setelah perang besar terakhir, Kraalovna menginginkan banyak hal untuk tetap menjadi wewenang mereka jika mereka bersedia bersatu di bawah kepemimpinan Ratu Ruby.

Salah satu di antara banyak hal yang diinginkan bangsawan tinggi Kraalovna adalah Putri Freyja dan keturunannya akan menjadi penguasa tetap wilayah Kraalovna dengan jabatan setingkat gubernur selama wilayah mereka masih bersatu dengan wilayah kekuasaan Ratu Ruby.

Wilayah Kraalovna sendiri disetujui akan menjadi provinsi baru dengan nama yang sama. Para bangsawan Kraalovna juga menginginkan hukum dan peraturan Provinsi Kraalovna mengikuti hukum dan peraturan Kraalovna yang sudah ada. Namun, pusat pemerintahan Ratu Ruby dapat menambahkan aturan yang belum ada di aturan lama Kraalovna. Kalaupun ada aturan tambahan dari pusat yang berbeda dengan yang sudah ada, maka hal itu akan diperundingkan dalam rapat terpisah.

Meski sedemikian menuntut, Kraalovna sangat menerima persyaratan dari pihak Ratu Ruby untuk mengizinkan penduduk wilayahnya berbaur dengan bangsa lain. Orang-orang dari berbagai bangsa dapat tinggal tanpa kesulitan di wilayah Kraalovna, begitu juga sebaliknya, dan tidak boleh ada pelarangan untuk pernikahan campur antar bangsa.

Setelah melalui berbagai formalitas, diskusi, perdebatan, dan rangkaian panjang yang tertulis, Kraalovna akhirnya menyatakan diri sebagai bagian dari Ratu Ruby.

***

Penyatuan Kerajaan Innist

Emerald, Ratu Innist yang sempat kabur ke wilayah Kraalovna melalui jalur Ezze dengan pengawalan pasukan khusus tentara bayaran Aritoria, akhirnya dapat kembali selepas perang besar. Ia langsung dijemput oleh kekasihnya, Einz, di ibu kota Kraalovna.

Alih-alih kembali ke Innist, Emerald yang ditemani oleh Einz justru menuju ke ibu kota sementara sang kakak. Tanpa basa-basi, ia menyerahkan stempel Raja Innist begitu mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Ruby.

"Aku tidak ingin menjadi ratu lagi. Aku muak dengan segala urusan kekuasaan ini," ucap Emerald dengan nada yang tidak bisa dibantah.

Ruby tersenyum. "Aku menghargai keinginanmu, Em. Adakah hal lain yang bisa kulakukan untukmu?"

Emerald menoleh pada Einz, lalu kembali menatap kakaknya dengan senyum lebar.

"Apakah Kakak berkenan menjadi wali untukku? Aku dan Einz ingin segera menikah. Kami berencana hidup sederhana saja. Meski harta di rumah Jenderal Innist telah habis dirampas Tzaren, tapi hasil rampasan perang yang Kakak bagikan untuk Einz sudah cukup bagi kami untuk memulai hidup baru."

Ruby tersenyum mengiakan. Namun, hal itu memunculkan pertanyaan lain di benaknya.

Dengan apa aku menikahkan Emerald? Agama Naz tidak lagi di hatiku sejak lama dan yang tersisa dari agama tersebut hanyalah sejumlah kecil pendeta.

Karena Emerald tidak lagi ingin menjadi penguasa Innist, maka wilayah Innist akan disatukan bersama wilayah pusat pemerintahan Ruby yang baru.

***

Penyatuan Kerajaan Ezze

Sementara itu, Kerajaan Ezze menolak bersatu di bawah Ratu Ruby. Mereka tidak bersedia jika harus dipimpin oleh seorang wanita dan lebih memilih untuk mengangkat senjata jika sang ratu ingin memakai jalur kekerasan. Mereka juga menarik seluruh pasukan yang sempat berperang di bawah Ratu Ruby pada perang besar melawan Tzaren.

Karenanya, Ruby mempersiapkan perang sipil di sana. Dari balik bayangan, Ruby mengobarkan revolusi para pekerja wanita yang ia persenjatai. Revolusi itu dipimpin oleh Mia, dayang dari Ratu Innist, seorang mantan pekerja kasar wanita Ezze yang juga pernah menjadi tuan putri di kerajaan tersebut.

Ruby sudah memperhitungan tentang Mia sejak pertama ia mengetahui tentang wanita itu. Ia butuh seseorang yang pernah di atas dan pernah berada di titik terendah untuk menjadi pemimpin Ezze yang baru. Mia juga cocok sebagai lambang gebrakan sosial di Ezze yang sudah lama dikenal sebagai kerajaan yang berbahaya untuk para wanita.

Mia yang karismatik dan penuh strategi berhasil memimpin para pekerja kasar wanita dan budak-budak rumah bordil di Ezze untuk mengadakan revolusi. Jumlah mereka sangatlah banyak, lebih banyak dari penduduk merdeka Ezze.

Mia juga mendorong para wanita yang tertindas di rumah-rumah untuk berani keluar mendukung perjuangannya. Ia menjanjikan apabila dirinya berhasil melakukan revolusi, maka hidup wanita di Ezze akan lebih baik dari sebelumnya.

Sebagian besar wanita di Ezze takut untuk mendukung Mia secara terang-terangan. Mereka yang berani mendukung revolusi akan disiksa oleh keluarga mereka yang laki-laki, bahkan bisa sampai dibunuh. Darah wanita Ezze yang tumpah justru seperti menambah minyak di api revolusi yang sudah semakin besar hingga ke pelosok Ezze.

Ruby juga mengirimkan seribu pasukan khusus tentara bayaran Aritoria untuk membunuhi para bangsawan di Kerajaan Ezze secara diam-diam. Kematian bangsawan Ezze pun di kemudian hari hanya dicatat sebagai efek dari revolusi.

Dengan tidak adanya kepemimpinan ditambah efek dari perang besar yang baru saja terjadi, para prajurit Ezze tidak berdaya menahan gelombang revolusi. Apalagi kemudian Ratu Ruby mengirimkan pasukan dari Kraalovna untuk membantai prajurit Ezze yang mencoba melawan pengambilalihan wilayah Ezze.

Pertama kalinya dalam sejarah Kerajaan Ezze, para wanita yang dibuang dari masyarakat dapat menduduki istana dan mendiami rumah-rumah mewah yang penuh darah.

Mia mempersembahkan kunci istana dan kunci gudang harta kerajaan pada Ruby. Dengan jasanya, ia pun diangkat Ruby menjadi gubernur di wilayah Ezze yang telah menjadi bagian dari kekuasaan Ratu Ruby dengan nama Provinsi Ezze.

***

***

Penyatuan Kerajaan Tzaren dan Penyatuan Wilayah Zetaya (1)

Setelah menghabisi setiap bangsa Tzaren di seantero wilayah Kerajaan Tzaren, Luthe yang memimpin bangsa Zetaya pun kembali ke ibu kota Tzaren untuk menduduki ibu kota sambil menjarah rumah-rumah di sana. Besarnya ibu kota Tzaren kontras dengan sedikitnya sisa bangsa Zetaya. Bahkan sepertinya setiap kepala bangsa Zetaya bisa menghuni satu rumah bagus di ibu kota Tzaren dan rumah di sana masih akan tersisa.

Luthe mengajak orang-orang sebangsanya untuk membersihkan ibu kota dari mayat dan darah agar mereka bisa mendiami rumah di sana dengan lebih nyaman.

Seorang anak bertubuh kurus mendatangi Luthe lalu bertanya dengan polosnya, "Untuk apa kita membersihkan kota ini, Tuan? Apakah kita akan tinggal lama di sini?"

Luthe terdiam. Ia teringat ketika dirinya akhirnya setuju untuk bergabung dengan Ratu Ruby. Semua karena petinggi tentara bayaran Aritoria yang berkata:

"Jika kau bergabung dengan Ratu Ruby, kau akan mendapatkan persenjataan dan bantuan prajurit untuk pembalasan dendammu pada bangsa Tzaren. Ratu Ruby menyerahkan semua keputusan di tanganmu, apakah kau akan mengampuni bangsa Tzaren atau menghabisi semua dari mereka. Setelahnya bangsa kalian akan diberi hadiah besar."

Luthe tidak tahu hadiah apa yang akan diberikan untuk bangsanya, tapi baginya bisa membalaskan dendam bangsa Zetaya yang sudah menderita di tangan bangsa Tzaren berpuluh-puluh atau mungkin beratus-ratus tahun sendiri merupakan merupakan hadiah yang besar. Kalaupun mengikuti keinginan serakahnya, ia ingin sang ratu membantu perbaikan wilayah Zetaya.

"Aku tidak tahu," jawab Luthe. Ia mengelus kepala bocah yang tadi bertanya dengan tangan kekarnya. "Tapi setidaknya kau tidak ingin tidur di samping mayat yang membusuk, kan? Sepertinya kita akan tinggal lama di ibu kota ini dibanding kota-kota lainnya. Jadi, maukah kau membantuku membersihkan kota?"

Akhirnya anak itu pun mengangguk lalu kembali menyeret mayat bocah yang kira-kira seukuran dirinya. Anak tersebut tidak merasa terganggu dengan mayat di sekitarnya. Selama berada di bawah penindasan Raja Khrush yang singkat, ia telah terbiasa tidur di antara mayat, beberapa mayat bahkan merupakan mayat keluarganya.

Luthe menghela napas. Ia sadar akan butuh waktu yang sangat lama bagi bangsanya untuk sembuh dari trauma yang berkepanjangan. Pembantaian terhadap bangsa Tzaren memang memuaskan kebencian dalam hati mereka, tapi setelahnya mereka merasa kosong, bagai boneka tanpa jiwa yang melakukan kegiatan harian yang sama hanya agar napas mereka masih tersambung esok hari.

"Luthe."

Luthe menoleh ke belakang.

Seseorang berambut cepak mendekati Luthe. Ia adalah laki-laki yang tiba-tiba bergabung di pembantaian bangsa Tzaren bersama beberapa orang dan menyatakan dirinya adalah mantan Jenderal Kerajaan Ezze yang bernama Rozz.

Rozz berhenti dua langkah dari Luthe sambil menggendong bayi berambut merah. Hanya bayi itulah satu-satunya orang berambut merah yang tidak mereka bunuh. Jika bukan karena Rozz mengatakan bahwa bayi tersebut adalah keturunan Naz yang dilahirkan oleh putri Naz dengan mengorbankan nyawa, bangsanya mungkin akan membunuh bayi tak berdosa itu tanpa ragu.

"Ada apa?"

"Bersiaplah. Ratu Ruby memanggil kita ke ibu kota."

***

Perjalanan ke ibu kota Bielinca dari ibu kota Tzaren merupakan perjalan panjang yang membutuhkan waktu beberapa hari, apalagi mereka perlu beristirahat karena membawa bayi.

Luthe pernah mengunjungi kota-kota besar dan maju di berbagai kerajaan selama ia menjadi seorang pangeran dulu, tapi beberapa orang Zetaya yang saat itu berangkat bersamanya mungkin hanya pernah melihat kota kecil yang miskin nan suram di kerajaan mereka. Karenanya, Luthe tidak heran ketika pengawal-pengawalnya memandang takjub pada bangunan-bangunan kokoh di Kerajaan Tzaren atau rumah-rumah indah di ibu kota Kerajaan Bielinca, seperti saat itu.

Rombongan Luthe dan Rozz pun sampai di istana Bielinca.

Luthe dan Rozz lalu diarahkan oleh seorang dayang untuk bertemu Ratu Ruby di aula singgasana. Sementara bawahan keduanya diarahkan oleh dayang yang lain untuk menuju ruang tunggu sambil menikmati jamuan yang sangat mewah di sana.

Selama perjalanan menuju ke tempat sang ratu, Luthe dapat menyadari jika Rozz menjadi semakin tegang. Ia yakin semua ketegangan itu berasal dari bayi yang dililit ke dada sang mantan jenderal. Luthe tahu bahwa sekalipun Rozz membenci bangsa Tzaren, pria yang telah bersama cukup lama dengan si bayi pasti tidak akan tega jika bayi tersebut mendapatkan akhir yang mengenaskan. Berdasarkan cerita-cerita dan laporan-laporan selama perang besar, ia yakin sang ratu akan tega menghabisi bayi yang telah membuat adik ratu meninggal.

Mereka akhirnya sampai di depan sebuah pintu ganda besar. Kedatangan mereka diumumkan bersamaan dengan terbukanya pintu ganda menuju ke sebuah aula megah. Terdapat satu singgasana di panggung pendek yang diduduki oleh seorang wanita bermahkota. Di sekeliling singgasana terdapat banyak orang yang duduk di kursi tanpa lengan, baik pria maupun wanita.

Luthe dan Rozz berjalan hingga ke depan singgasana dan berlutut di hadapan Ruby.

"Salam untuk Yang Mulia Ratu Ruby," ucap keduanya secara serentak.

"Bangunlah."

Luthe dan Rozz pun bangkit.

Luthe melirik ke arah Ruby. Awalnya, Luthe mengira Ruby adalah wanita seperti Alexandrite yang keras kepala tapi tetap memancarkan kepolosan. Namun, begitu bertatapan dengan sang ratu, Luthe menyadari jika khayalannya selama itu salah. Wajah dingin, mata tajam, dan aura yang mendominasi milik ratu sangat jauh berbeda dibanding Alexandrite. Ia merasa mereka tidak mirip sedikit pun meski sama-sama cantik juga berambut gelap. Mendadak dirinya diserang ketakutan, takut jika salah berbuat di hadapan ratu muda tersebut.

"Apa ada sesuatu di wajahku, Tuan Luthe?"

Ucapan Ruby menyadarkan Luthe dari pikirannya. Ia lekas-lekas membungkukkan badan.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya teringat akan Nona Alexandrite ketika melihat Yang Mulia."

"Aku pun mendengar tentangmu dari Alex. Sejujurnya aku ingin memberi hadiah dan membahas mengenai bangsamu lebih dulu. Tapi ...." Ruby menoleh pada Rozz. "Apa yang ada di pelukanmu, Tuan Rozz?"

Keringat mendadak mengalir deras dari permukaan kulit Rozz. Ia melepas kain yang melilit tubuhnya lalu mengeluarkan bayi yang tadinya tertutup kain. Bayi itu ia tunjukkan pada sang ratu seperti seseorang yang sedang memberi persembahan.

Seisi aula mendadak dipenuhi suara berbisik. Mereka menebak-nebak tentang bayi berambut merah yang dipegang Rozz sebelum terdiam melihat ekspresi ratu mereka yang mengeras.

"Ceritakan padaku!" perintah Ruby.

Rozz lantas menceritakan tentang penyelundupan mereka ke dalam istana Tzaren, tentang kondisi fisik mantan Ratu Taaffeite yang penuh luka dan lemah saat ditemukan, tentang kelahiran bayi, hingga tentang kematian kedua orang tua si bayi.

Ruby terdiam. Ia tampak berduka sampai menutup matanya dengan tangan. Pundak dan tangannya bergetar hebat.

Meski demikian, tidak ada yang berani mendekat untuk memastikan apakah sang ratu menangis atau tidak.

Sudah menjadi aturan di daratan itu, apabila raja atau ratu berduka di depan umum, maka yang dapat menghibur hanyalah pasangan resmi mereka. Duka yang ditunjukkan oleh penguasa kerajaan adalah saat-saat paling lemah mereka di depan umum. Jika ada selain pasangan raja atau ratu yang menghibur mereka, sama saja dengan pernyataan jika orang itu lebih kuat sehingga dapat menghibur raja atau ratu yang sedang lemah dan tentunya bisa juga diartikan penghinaan kepada raja atau ratu.

Ruby menegakkan duduknya kembali dan menurunkan tangannya. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kuat-kuat.

Luthe terkesan akan bagaimana ratu muda tersebut bisa dengan cepat menguasai emosi.

Ruby berdeham sebelum melanjutkan. Ia berkata dengan dingin, "Bunuh anak itu!"

'DEG!'—Apa yang dikhawatirkan Rozz terwujud. Ia memang sudah mengiranya, tapi masih ada setitik harapan di lubuk hatinya jika sang ratu tidak akan tega menyakiti bayi yang tidak berdosa, apalagi bayi tersebut tidak lain merupakan darah daging dari adik ratu sendiri.

"Y-Yang ... Mulia ...."

"Ada apa?" Sanggah Ruby yang melihat keraguan pada diri Rozz. "Bukankah akhirnya kau bisa membalas dendam? Tarkh telah membunuh anakmu dan kau pun dapat membunuh anak Tarkh."

Rozz perlahan menurunkan bayi yang dia angkat hingga sejajar dengan perutnya.

Lalu Rozz menatap wajah si bayi yang selalu tenang, seolah-olah tahu kalau kedua orang tuanya tidak akan ada untuk melindunginya. Bahkan dalam keadaan seperti itu pun, si bayi tidak menangis.

Tangan mungil bayi tersebut menggapai-gapai wajah Rozz, wajah akrab yang menemaninya setiap hari.

Rasa sesak menekan dada Rozz. Giginya bergeretak. Ia mengambil pisau dari pinggangnya dengan tangan bergetar lalu mendekatkan pisau pada bayi di tangannya.

Apa yang aku lakukan? Inikah yang aku mau? Sanggupkah aku membunuh bayi ini?

Pertentangan batin dirasakan oleh Rozz, membuatnya ragu untuk bertindak.

Ruby baru akan meneriakkan perintah lagi sebelum ia disela oleh sebuah suara.

"Hentikan!"

Lazuli yang tadinya duduk di belakang Ruby bangkit dari kursinya dan berjalan ke depan. Ia mengambil bayi berambut merah dari tangan Rozz yang bergetar. Direngkuhnya bayi tersebut ke dalam dekapannya.

"Apa yang kau lakukan, Lazuli?" tanya Ruby dengan kening mengerut.

Lazuli lantas berlutut di hadapan sang ratu. "Maafkan aku, Kak. Aku mohon padamu jangan bunuh anak ini. Bagaimanapun, dia anak Kak Fe."

"Dia juga anak Tarkh, pria yang membuat seantero daratan ini jatuh dalam kegelapan."

"Aku lebih memilih untuk menganggap dia anak Kak Fe."

"Anak Fe? Apa kau tidak lihat warna rambutnya lebih menyerupai siapa?"

"Rambutnya serupa dengan Rakha. Seandainya Rakha tidak mati, mungkin di masa depan kami akan memiliki anak yang mirip seperti ini," balas Lazuli. Memori tentang Rakha yang terlintas saat ia menyebut mantan kekasih mudanya itu membuat Lazuli meneteskan air mata. Ia berkata dengan suara bergetar, "Tolong Kak .... Kalau Kakak tidak menerimanya, izinkan aku merawatnya."

Ruby mengeraskan rahangnya. "Kau tahu aku tidak mungkin melakukan itu, kan? Apa kata yang lain jika aku membiarkan hidup satu rambut merah hanya karena anak dari saudariku? Memangnya kau pikir anak itu akan hidup dengan aman dan tumbuh dengan nyaman di daratan ini? Fisiknya akan membuat orang lain menatapnya benci. Jangan harap aku akan melindunginya dari orang-orang!"

Lazuli terdiam sejenak. Ia lalu menghapus air mata dengan lengan gaunnya. Lazuli menegakkan kepala dan menatap lurus pada kakaknya.

"Kalau begitu aku akan membawanya pergi jauh dari daratan ini."

Sorot mata Lazuli menyiratkan ketegasan jika ia tidak akan mengubah pendiriannya.

Ruby mendesah. "Apa kau ingin meninggalkanku sendirian, Lazuli?"

"Aku yakin Kakak tidak akan melakukan apa yang para Raja Tzaren itu lakukan. Kakak tidak akan mengurungku di tanah ini demi keegoisan Kakak, kan? Aku akan pergi ke kerajaan yang jauh. Anggap saja aku sedang belajar ke negeri asing. Jika Kakak tidak mengizinkanku, berarti anak ini hidup di sini. Jika Kakak bersikeras membunuhnya, maka aku akan menyusul nasibnya."

"Kau mengancamku, Laz?"

"Tergantung jawaban Kak Ruby. Apakah Kakak mendorongku untuk menjadi seperti Kak Alex atau Kak Jade."

'DEG!'—Ruby tertegun begitu nama Jade disebut. Jade adalah adiknya yang hingga saat itu berubah menjadi seperti boneka tanpa jiwa.

Jade hanya menatap kosong ke depan dan tidak berekspresi. Ia hanya bengong seharian. Matanya tidak lagi bersinar. Bibirnya tidak lagi tersenyum. Suaranya tidak lagi terdengar.

Ruby melihat ke langit-langit aula yang berukir indah. Jade adalah salah satu kegagalan rencana Ruby yang disesalinya. Ia tidak ingin adiknya yang lain bernasib sama. Ruby menarik napas dan memejamkan mata sejenak, menimbang apa yang sebaiknya ia putuskan.

"Aku dengar ... jauh di utara, ada beberapa kerajaan yang menerima banyak penduduk asing. Berbagai warna kulit, rambut, dan mata diterima di sana. Aku ingin membuat daratan ini seperti benua itu," ucap Ruby. Pandangannya kembali pada Lazuli. "Pelajarilah budaya, sosial, dan sistem pemerintahan mereka, Laz. Pergilah ke sana."

Mata Lazuli kembali berkaca-kaca. Ia menundukkan kepalanya. "Terima kasih, Kak!"

Lazuli lantas izin untuk undur diri dari aula tersebut lebih dulu.

Ruby menoleh pada Rozz. "Apakah rencanamu setelah ini, Tuan Rozz?"

"A ... tidak ada, Yang Mulia."

"Adikku membutuhkan pengawal untuk pergi ke negeri yang jauh. Jika kau berkenan menjadi kepala pengawalnya, maka susul dia sekarang. Jika tidak, tinggallah di aula ini bersama Tuan Luthe."

Rozz terdiam. Perlahan ia mengepalkan tangannya dan menundukkan kepala.

"Kalau begitu saya undur diri, Yang Mulia."

Ruby tersenyum tipis melihat punggung Rozz yang pergi menghilang keluar aula.





***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro