Chapter 55 - Penyelamatan Ratu
Tarkh dan sebelas prajurit Ezze yang menyamar dengan mengecat merah rambut mereka akhirnya tiba di perbatasan Innist-Tzaren yang memiliki patahan besar berbentuk jurang. Tarkh yang lebih memahami wilayah Tzaren-lah yang memimpin rombongan tersebut.
Ketika sampai di pinggir sebuah jurang yang dalam dan berangin, Tarkh mengangkat tangannya yang memberi isyarat kepada rombongan untuk berhenti.
Tarkh menatap ke seberang jurang, sebuah padang rumput terlihat sejauh mata memandang tanpa ada satu pun pohon. Padahal hanya dipisahkan oleh sebuah lembah yang dalam dan sempit, tapi kondisi alamnya sudah berbeda dengan tanah wilayah Innist di mana Tarkh berada saat itu. Pinggiran Kerajaan Innist saja masih dipenuhi pepohonan rimbun, tanda dari kesuburan tanahnya.
"Dari sini kita akan meninggalkan kuda-kuda kita," kata Tarkh sambil turun dari kudanya lalu menaruh perbekalan, senjata, dan barang-barang penting di sebuah kain hitam. Ia kemudian mengikat kain tersebut melintangi punggungnya dengan simpul ikatan yang berakhir di dadanya. "Ini adalah daerah paling ekstrem di wilayah Tzaren sehingga jarang ada penjaga yang mau repot-repot berpatroli di sekitar area ini. Karena jarang ada orang yang lewat, maka daerah ini juga dipenuhi binatang buas yang berbahaya. Cepatlah bersiap! Aku akan meninggalkan siapa pun yang tidak sanggup mengikuti langkahku melintasi lembah ini!"
Kesebelas prajurit Ezze lantas mengikuti apa yang dilakukan Tarkh. Seperti seorang prajurit kelas atas yang sigap dan terlatih, secepat kilat mereka sudah mengemas apa yang dibutuhkan dalam kain yang terikat di punggung mereka.
Tarkh mengikat sebuah tali tambang pada salah satu pohon terdekat lalu melempar tali itu ke jurang. Ia menggunakan kain untuk melapisi bagian tali tambang yang bersentuhan dengan bibir jurang agar tidak tergesek yang bisa menyebabkan tali putus saat mereka gunakan.
"Jika kalian tidak pernah menuruni jurang securam ini, perhatikanlah caraku turun. Kita akan bergantian menggunakan tambang," tambah Tarkh. "Panjang tambang ini hanya sampai setengah dari tinggi jurang, tapi cukup membantu menghemat tenaga. Setelahnya bergantung pada kekuatan tubuh kalian untuk memanjat turun."
Tarkh kemudian melilit kakinya dan mulai menuruni tali tambang dengan cepat. Setelah sampai di ujung tali tambang, ia berteriak, "Satu orang turun!"
Tarkh melepas tambang lalu kembali memanjat turun dengan memanfaatkan permukaan dinding jurang yang tidak rata. Dengan berhati-hati ia memilih pijakan dan cengkeraman. Tidak berapa lama kemudian, satu persatu prajurit Ezze yang bepergian bersamanya muncul. Mereka memanjat turun dalam diam setelah tidak ada lagi yang berteriak menyuruh turun.
Tarkh menjadi yang lebih dulu sampai di dasar jurang. Dapat terlihat dari kecepatannya menuruni jurang bahwa ia sudah terbiasa melakukan hal itu.
Bagian bawah jurang dipenuhi bebatuan dalam berbagai macam ukuran yang menutupi permukaan tanah.
Tepat setelah prajurit Ezze pertama sampai di dasar jurang, tiba-tiba prajurit tersebut menghunuskan belati tepat di samping wajah Tarkh dan menghantam dinding jurang di belakang Tarkh.
Tarkh melotot. "Ap-apa yang kau—"
Prajurit tadi menarik belatinya, seekor ular hitam telah tertancap di ujung belati.
"Saya pikir Yang Mulia sudah memperingati untuk berhati-hati pada binatang buas," cetus si prajurit Ezze.
Tarkh memandang tajam pada prajurit Ezze di hadapannya. Ia tidak suka pada tatapan prajurit itu yang membuatnya tidak nyaman.
"Kuakui aku sedikit lengah," balas Tarkh. Ia lantas menoleh pada sepuluh prajurit Ezze lain yang satu per satu sampai di dasar jurang kemudian berseru. "Kita beristirahat sebentar di sini!"
Mereka kemudian membentuk lingkaran dan memakan perbekalan sebagai makan siang.
"Setelah ini kita akan memanjat tebing di depan. Sesampainya di atas, kita akan terus berjalan ke arah selatan. Nanti akan ada area dengan batu-batu besar, kalian tunggu di situ. Aku akan mencuri beberapa pakaian di desa terdekat," ucap Tarkh yang telah menyelesaikan makan siangnya.
"Mengapa kita berganti baju, Yang Mulia? Saya pikir lebih aman bepergian dengan pakaian tentara," tanya seorang prajurit Ezze.
"Kalian mungkin lolos dari kecurigaan saat menyelinap ke markas Tzaren di Kerajaan Bielinca karena prajurit di sana bercampur dari mana-mana. Tapi prajurit Tzaren sangat teritorial ketika berada di wilayah Tzaren. Mereka mengenal satu sama lain yang bertugas di daerah yang sama. Satu jenderal tidak mudah mengintervensi wilayah kekuasaan jenderal lain. Jika ada yang prajurit yang mempunyai urusan di tempat yang bukan area tugasnya, maka ia harus membawa surat jalan dan aku tidak menyiapkan itu saat ini. Lebih aman jika kita berpakaian ala rakyat biasa. Prajurit Tzaren mungkin kejam ke bangsa lain, tapi mereka mendahulukan kenyamanan bangsa kami sendiri. Mereka tidak mempersulit atau mencari keributan dengan rakyat Tzaren."
"Cih! Kebrutalan mereka sudah tersalurkan ke orang tidak berdosa lainnya hanya karena mereka berbeda warna rambut," batin seorang prajurit Ezze. Ia mati-matian menahan rasa tidak sukanya pada bangsa Tzaren demi menuntaskan misi.
"Jika kalian sudah selesai beristirahat, kita akan melanjutkan perjalanan," lanjut Tarkh.
Semua prajurit Ezze menyatakan jika mereka telah siap.
Kemudian Tarkh kembali memimpin rombongan. Ia memanjat dinding jurang yang berseberangan dengan dinding jurang yang tadi mereka lewati.
Perjalanan memanjat ke atas jurang jauh lebih sulit dari sebelumnya karena tidak ada tambang yang membantu setengah perjalanan. Kekuatan tubuh setiap orang di sana diuji melalui kemampuan memanjat mereka.
Mereka mulai memanjat bersama-sama dari titik yang berbeda-beda. Seperti yang bisa diduga, Tarkh mencapai bagian atas jurang lebih dulu. Ia membantu menarik prajurit-prajurit Ezze lain yang berhasil menyusulnya ke atas.
Tarkh mengakui dalam hati, kemampuan prajurit yang dikirimkan Ruby itu cukup mengagumkan. Mereka tidak mudah lelah, tidak banyak bicara, dan bisa menghadapi berbagai macam kondisi yang ada di lapangan. Tipikal prajurit khusus yang biasanya berada di sekitar penguasa.
Apakah mereka adalah prajurit pengawal Raja atau Ratu Ezze?
Tarkh segera menepis pikiran-pikirannya agar tidak membuang-buang waktu. Begitu orang terakhir sampai ke bagian atas jurang, ia segera mengajak mereka berlari ke arah selatan. Mereka bergerak cepat untuk menghindari kemungkin berpapasan dengan prajurit yang sedang berpatroli.
Begitu sampai di area berbatu yang disebutkan sebelumnya, Tarkh segera melepas bagian luar pakaian rajanya yang cukup mencolok lalu menyerahkannya ke seorang prajurit Ezze.
"Kubur bajuku. Kalian tunggu di sini, aku akan membawakan baju ganti," ucap Tarkh yang hanya tinggal memakai selapis pakaian di tengah udara dingin Tzaren. Ia menoleh ke dua prajurit lain. "Kau dan kau! Ikut denganku! Aku tidak mungkin membawa baju-baju itu sendiri."
Tarkh melanjutkan perjalanan ditemani dua prajurit Ezze. Ia amat mengenal wilayah kerajaannya dan yakin ada sebuah desa besar yang cukup dekat dari sana.
Benar saja, baru beberapa belas menit berjalan, Tarkh melihat rumah-rumah sederhana khas pedesaan yang dikelilingi pagar kayu untuk menjaga desa dari binatang buas. Ia segera menuju ke sana lalu memanjat pagar desa yang tidak terlalu tinggi diikuti dua prajurit Ezze.
Mereka mengendap-endap ke jemuran-jemuran penduduk desa dan mengambil baju laki-laki apa pun yang bisa didapatkan. Setelah jumlahnya cukup, mereka bertiga kabur dari desa tersebut lalu berlari secepat mungkin agar tidak terpantau penduduk desa.
Setelah kembali ke area berbatu, mereka berganti baju dengan baju khas penduduk Tzaren. Baju-baju itu tampak sedikit sesak karena mereka memiliki badan kekar ala prajurit.
Selanjutnya Tarkh mengajak untuk pergi ke arah selatan dengan berjalan kaki. Di tengah jalan, mereka mencuri beberapa kuda dari sebuah rombongan besar. Karena Kerajaan Tzaren sedang bersiap untuk perang, Tarkh telah menduga jika mereka akan menemui pemasok-pemasok kuda perang.
Saat melakukan aksi, mereka memakai topeng yang telah disiapkan dan berperilaku seperti pencuri. Mereka melumpuhkan pedagang kuda juga anak buah si pedagang, lalu kembali bergerak ke ibu kota yang terletak di tengah-tengah wilayah luas Kerajaan Tzaren.
Kuda-kuda Tzaren yang terkenal tangguh pun mampu memotong beberapa hari waktu perjalanan mereka untuk mencapai ibu kota Tzaren.
Saat mulai mendekati tujuan, mereka berhenti di sebuah rumah makan kecil di pinggir jalur menuju ibu kota pada jam makan siang. Terlihat beberapa pengelana dan penduduk sekitar memenuhi meja makan.
Tarkh yang memakai kain untuk menutupi sebagian wajahnya sedikit heran karena jika terdapat pengelana sebanyak itu yang menuju ibu kota, berarti terjadi sesuatu di sana.
Tarkh dan rombongannya segera duduk menyebar di beberapa meja yang tersisa karena tiap meja hanya memiliki empat kursi terpisah dan meja yang kosong tersebar di beberapa titik.
Saat sedang menunggu makanan datang, Tarkh mendengarkan percakapan dua orang pengelana yang juga baru datang dan duduk di meja dekat rombongannya. Pengelana-pengelana itu tampak seperti orang-orang yang terbiasa bekerja dari belakang meja.
"Sebentar lagi kita akan mencapai ibu kota." Seorang pengelana yang memakai syal usang di leher berbicara pada temannya.
Pengelana yang lain menyandarkan tubuhnya, tampak melepas lelah setelah perjalanan panjang. "Semoga kita mendapatkan peruntungan dari kudeta ini, jadi perjalanan kita tidak sia-sia. Aku letih sekali. Bepergian di wilayah Tzaren memang sulit jika tidak memiliki kuda. Kuda-kuda sudah habis terjual untuk perang, bahkan yang kurus pun sulit didapatkan," keluhnya.
"Semoga. Tapi setidaknya peluang yang terbuka lebih luas. Seharusnya ada banyak lowongan untuk petugas administrasi seperti banyaknya lowongan yang tersedia untuk prajurit, mengingat orang-orang dari pihak Jenderal Tengah dan simpatisan raja dibantai habis-habisan oleh kubu bangsawan."
Pengelana kedua yang berbicara pun bergidik. "Mengerikan sekali saat aku mendengar kudeta kali ini. Katanya tidak ada perlawanan, hanya ada pembantaian. Tidak ada pemimpin pula karena raja dan Jenderal Tengah sedang berada di kerajaan utara. Saat kudeta, hanya tersisa ratu yang mempertahankan istana. Apa yang bisa diharap dari ratu lemah tanpa pendukung itu?"
Pengelana bersyal usang tertawa. "Perdana menteri langsung mengambil alih kekuasaan dan menjadi raja yang baru, sedangkan Putri Kleih sementara ini mengisi posisi Jenderal Tengah. Betapa menyenangkannya melihat pemimpin Tzaren kembali pada orang kuat yang kompeten. Apakah kau tahu? Ratu—ah, maksudku mantan ratu, ditawan di penjara istana. Kudengar Putri Kleih yang memegang kendali atas hidup mantan ratu. Sepertinya mantan ratu tersebut akan dihabisi setelah melahirkan anak raja sebelumnya. Aku penasaran apa yang akan dilakukan Putri Kleih pada anak yang belum lahir itu?"
"Mungkin akan dihabisi juga. Tapi kalau memang begitu, mengapa tidak dibunuh sejak dalam kandungan saja?"
Kedua pengelana terdiam.
"Ah sudahlah," cetus pengelana bersyal usang. "Kita lihat saja nanti. Toh sebentar lagi mantan ratu akan melahirkan. Kita tidak perlu penerus takhta dari seorang wanita lemah. Semoga Putri Kleih membunuh anak itu."
"Oh, bicara tentang mantan ratu, aku pernah mendengar julukan dari penduduk ibu kota tentangnya saat berkunjung ke ibu kota beberapa bulan lalu."
Pengelana bersyal usang mendekatkan tubuh pada temannya. "Oh ya? Ada julukan untuk si mantan ratu? Apa itu?"
"Ratu penghibur! Hahaha! Sepertinya Putri Kleih akan membiarkan wanita tersebut hidup untuk menjadi penghibur setelah melahirkan. Kudengar mantan ratu sangat cantik sampai membuat raja kita sebelumnya menjadi seorang idiot. Siapa tahu jika berhasil menjadi petugas istana, aku akan mendapatkan kesempatan mencicipinya. Kapan lagi kita bisa merasakan tubuh seorang ratu? Huahaha!"
Kedua pengelana pun tertawa terbahak-bahak.
Dua pengelana yang mengejek dan menghina istrinya, membuat darah Tarkh mendidih. Wajahnya memerah dengan tangan yang menggenggam erat gagang pedangnya. Ia tidak menyangka ternyata rakyat kerajaannya sudah sejak lama berani berkata kotor tentang Taaffeite. Mengapa tidak ada laporan tentang itu? Bukankah setiap penghinaan terhadap keluarga raja selalu dilaporkan dengan hukuman yang tidak main-main?
Hampir saja Tarkh kehilangan kendali jika bukan karena seorang prajurit Ezze yang satu meja dengannya mencengkeram erat kedua lengan Tarkh dan dua prajurit lain mengacungkan belati di perutnya melalui bagian bawah meja makan mereka.
"Jangan bertindak gegabah! Jika Yang Mulia merusak rencana ini, kami tidak akan segan untuk menghabisi Anda. Kami tidak peduli pada hidup Yang Mulia. Kami hanya fokus pada misi dari ratu kami," bisik seorang prajurit Ezze yang duduk di samping Tarkh dengan nada tajam.
Tarkh gemetar karena menahan marah. Ia menarik dan mengembuskan napas dengan suara keras. Mereka benar. Semua akan kacau kalau aku berbuat onar di sini. Aku harus fokus menyelamatkan Taffeite. Dia pasti sedang ketakutan. Tapi ... betapa menyakitkannya harus merelakan dua orang berengsek itu yang telah seenaknya menghina kekasihku di depan mataku!
"Aku ... aku mengerti. Aku bisa menahan diriku," ucap Tarkh dengan terbata.
Dengan gerakan setenang mungkin ketiga prajurit Ezze yang duduk bersama Tarkh di meja yang sama menarik tangan mereka sambil memperhatikan reaksi lanjutan dari si mantan raja, kalau-kalau dia masih berniat untuk melampiaskan emosi.
Tarkh, raja yang selalu bertindak barbar, mau menahan emosinya? Heh ... pesona putri-putri Naz memang menarik. Seorang prajurit yang semeja dengan Tarkh tersenyum miring.
Selepas makan siang, mereka kembali melanjutkan perjalanan meski wajah dongkol Tarkh masih terlukis jelas di wajahnya.
Dari rumah makan tadi, tidak butuh waktu lama untuk mencapai dinding tebal yang memagari ibu kota dengan menggunakan kuda.
Akan tetapi, mereka tidak langsung memasuki gerbang ibu kota. Tarkh justru berbelok ke arah samping, menuju sebuah bukit landai di sebelah barat ibu kota. Daerah barat di luar ibu kota merupakan hutan yang tidak begitu rimbun dan ditumbuhi pepohonan-pepohonan yang biasa tumbuh di tempat dingin.
Tarkh terus mengarahkan kudanya dengan diikuti sebelas prajurit Ezze menuju ke suatu tempat yang tidak bisa diperkirakan arahnya karena mereka tidak melalui jalan setapak.
Tarkh pun berhenti di hadapan sebuah pohon tua yang tampak tidak jauh berbeda dari pohon-pohon lain di sekitar mereka. Ia turun dari kuda lalu meraba-raba tanah yang tertutup dedaunan mati di sekitar pohon itu.
Tarkh mengerjap seperti menemukan sesuatu dan mengerahkan tenaga untuk mengangkat sebuah papan tua yang sudah dipenuhi lumut. Di balik papan tersebut terdapat lubang yang gelap.
Tarkh pun menjelaskan. "Lubang ini merupakan jalur pelarian raja yang langsung tembus ke istana. Hanya raja dan calon penerus raja yang tahu tempat ini. Ikatlah kuda-kuda kalian lalu siapkan obor untuk penerangan!"
Kesebelas prajurit Ezze langsung melakukan apa yang dipinta.
Tarkh turun lebih dulu dan kembali memimpin jalan sambil memegang obor penerangan.
Lebar terowongan sempit itu hanya sebesar satu orang dewasa. Dinding-dindingnya ditahan oleh kayu. Jalurnya lurus meski terkadang berbelok. Karena gelap, jalur dalam terowongan yang panjang terasa seperti tidak berujung. Keheningan di dalam terowongan membuat mereka dapat mendengar suara napas satu sama lain.
Setelah beberapa puluh menit, Tarkh berhenti berjalan. Ia meraba-raba dalam kegelapan dan menemukan tuas yang dicarinya. Setelah menarik tuas tersebut, terdengar suara batu bergeser di hadapan mereka. Alih-alih cahaya, mereka justru disambut kegelapan lainnya.
Terowongan itu tembus lorong yang lebih pendek sehingga mereka harus sedikit menunduk ketika berjalan. Lorong tersebut berbau tajam dengan suara air menetes dan di ujungnya terdapat seberkas cahaya samar.
Tarkh menaruh obor di gantungan besi dekat batas terowongan lalu bergerak mencapai berkas cahaya di ujung.
Di ujung lorong pendek, terdapat penutup besi bulat seperti penutup saluran pembuangan yang sudah berkarat. Tarkh memutar dan mendorong penutup saluran tersebut ke samping. Ia menarik tubuhnya naik melalui lubang bulat yang telah terbuka dan membantu prajurit-prajurit Ezze lain untuk naik.
Mereka tiba di sebuah ruangan berbau apak juga berpenerangan minim berisi drum-drum kayu.
"Ini adalah gudang penjara. Seperti yang kalian pikir, jalur pelarian raja terletak di penjara istana agar ketika raja ditawan, ia memiliki kesempatan untuk lolos. Aku rasa Taaffeite ditempatkan di menara khusus untuk memenjarakan keluarga raja. Karena akan sangat mencolok jika kita bergerak bersama, aku hanya akan membawa tiga orang. Sisanya bertugas untuk menjaga ruangan ini. Bunuh jika ada orang lain yang mencoba masuk!" ungkap Tarkh.
Tiga di antara sebelas orang prajurit Ezze mengajukan diri mereka. Tiga orang itu adalah mereka yang makan satu meja dengan Tarkh di rumah makan di jalur menuju ibu kota, seolah-olah sebelumnya mereka sudah menetapkan siapa saja yang menempel pada Tarkh.
Tarkh bersama tiga prajurit Ezze menyelinap keluar melalui pintu kayu tua. Mereka disambut lorong panjang yang dipenuhi sel-sel berterali besi membentang di kanan dan kiri mereka dengan banyak obor yang menerangi lorong.
Tarkh menoleh untuk memastikan tidak ada penjaga yang sedang berpatroli. Ia lalu berlari tanpa suara ke arah kanan diikuti prajurit Ezze.
Mereka berempat berhenti di balik dinding pembatas ruangan yang menuju ke sebuah tangga yang melingkar ke atas. Namun, dengan segera mereka berpencar ke kanan dan kiri setelah mendengar beberapa langkah kaki yang menuruni tangga.
Ketika dua penjaga penjara melewati dinding pembatas ruangan, dengan segera mereka membunuh dua penjaga yang sedang berpatroli itu lalu menaruh mayat keduanya di sudut dinding.
Mereka berempat segera berlari menaiki tangga. Di ujung tangga terdapat seorang penjaga lain yang berdiri di depan pintu besi hitam.
Terjadi perkelahian tidak imbang antara penjaga penjara dengan empat orang terlatih yang dengan segera menghabisi si penjaga.
Tarkh pun mengambil kunci yang tergantung di pinggang penjaga pintu penjara. Ia membuka pintu besi di hadapannya. Sebuah ruangan temaram dari batu tanpa perabotan menyambut mereka.
Tampaklah seorang wanita berambut hitam dengan wajah kurus dan pucat berbaring pasrah dengan hanya beralaskan jerami. Ia terlihat kepayahan dengan tubuh penuh luka. Gaun putihnya yang penuh debu juga kotoran tidak dapat menyembunyikan perut besarnya.
"Fe!"
Tarkh segera berlari ke arah kekasihnya lalu memeluk wanita tersebut. Ia mengernyit ketika mendapati luka-luka yang terlihat di sekujur tubuh Taaffeite.
"Tarkh ... kau datang ...." Suara Taaffeite yang mengalir di sela bibirnya yang pecah terdengar parau. Tangannya menggapai pipi Tarkh kemudian ia meringis. "Ugh!"
"Kau baik-baik saja? Bagaimana bisa tubuhmu penuh luka seperti ini?" tanya Tarkh yang tampak sangat khawatir.
Hati Tarkh tersayat saat melihat kondisi Taaffeite yang menyedihkan. Padahal ia membawa Taffeite ke istananya agar bisa memiliki dan membahagiakan wanita itu.
Taaffeite tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja. Sepertinya sudah waktunya."
"Waktunya?" Tarkh mengernyit bingung.
Sebelum Taaffeite sempat menjawab, seorang prajurit Ezze mendekati mereka berdua.
"Salam pada Ratu Taaffeite. Saya dan rekan-rekan saya dikirim oleh kakak Anda, Ratu Ruby," ucap prajurit tadi.
"Kak Ruby?"
Si prajurit Ezze mengangguk. "Benar. Maafkan kelancangan saya. Tapi bisakah Yang Mulia bertahan sebentar lagi? Kita akan berpindah ruangan. Tidak aman jika berlama-lama di sini."
"Ah ... baiklah ...."
Taaffeite mencoba bangkit, tapi Tarkh segera menggendongnya. Mantan raja itu terlihat kuat menggendong seorang wanita lemah yang sedang hamil besar.
Mereka lantas menyusuri jalan kembali ke gudang penjara, beruntung tidak ada prajurit tambahan yang sedang berpatroli. Sepertinya prajurit yang terbantai saat kudeta telah mengurangi jumlah prajurit di istana secara drastis.
Tepat saat mereka memasuki gudang penjara, air ketuban Taaffeite pecah dan membasahi lantai di bawahnya. Taaffeite pun mulai mengerang, tanda akan mengalami kontraksi.
"Fe, apa yang—"
"Bawa ke lorong bawah, Yang Mulia!" seru seorang prajurit Ezze. "Ratu Taaffeite akan segera melahirkan. Tidak aman jika suaranya terdengar sampai luar."
Seorang prajurit Ezze lantas turun melalui lubang yang menuju ke lorong di bawah gudang tersebut. Ia membantu Taaffeite turun ke dalam lubang dan Tarkh pun menyusul diikuti dua prajurit lain.
Taaffeite ditidurkan di lantai lorong yang kotor. Keringat mulai membanjiri dirinya. Sejam kemudian Taaffeite mulai mengerang tidak karuan sambil menggigit kain yang ditaruh di mulutnya agar suaranya tidak terlalu terdengar hingga keluar lorong.
Tarkh yang melihat hal itu pun duduk bersimpuh sambil memegang tangan istrinya.
"Fe ... bertahanlah!"
Seorang prajurit segera membantu proses persalinan. Ia duduk di ujung kaki Taaffeite lalu sedikit menyibakkan gaun wanita itu.
"Hei!" seru Tarkh yang melihat hal tersebut.
Seorang prajurit lainnya lantas memegang pundak Tarkh. "Serahkan padanya. Dia tabib di kesatuan militer Ezze."
Tarkh terdiam. Ia kembali menatap Taaffeite yang kesakitan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dan ketidakberdayaan itu membuatnya kesal. Belum lagi kenyataan jika ratunya melahirkan anak mereka di tempat yang tidak layak, kotor, juga berbau busuk. Namun, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan Taaffeite.
"Aku di sini, Fe. Berjuanglah! Bertahanlah!"
Hanya itu yang Tarkh katakan berulang kali.
Kemudian terdengar suara bayi yang menangis seiring dengan tangan prajurit Ezze yang membantu persalinan terlihat dari balik gaun yang menutup kaki Taaffeite yang mengangkang. Ia membersihkan dan membungkus si bayi lalu memberikan bayi yang masih merah tersebut pada Tarkh.
"Selamat, Yang Mulia."
Dengan tangan gemetar, Tarkh berhati-hati menarik bayi dengan rambut tipis berwarna merah itu ke dalam pelukannya. Matanya berkaca-kaca dengan takjub ketika melihat anak dari istri tercintanya. Senyum lebar terlukis di wajahnya. Hatinya terasa dipenuhi oleh kebahagiaan. Ia segera menoleh pada Taaffeite.
"Fe, lihatlah anak laki-laki ki—"
Tarkh membeku melihat Taaffeite yang hanya diam memejamkan mata.
"Fe .... Fe! Fe apa kau mendengarku?!"
Tabib prajurit lantas memeriksa kondisi Taaffeite. Sejurus kemudian ia menggelengkan kepalanya dan memasang wajah sedih.
Ketakutan membanjiri diri Tarkh. Ia meraung-raung memanggil nama Taaffeite.
"Tidak! Fe! Bukalah matamu! Fe—"
Sedetik kemudian Tarkh merasakan sebuah besi dingin menembus tubuhnya lalu anak dalam pelukannya kembali diambil tabib prajurit yang tadi membantu persalinan.
Tarkh yang sedang terduduk menoleh ke atas. Tampak wajah dingin salah satu prajurit Ezze yang sedikit membungkuk dan menatapnya dari atas kepalanya. Prajurit Ezze tersebut tersenyum miring.
"Ka-kau .... Apa yang kau ...."
"Bagaimana rasanya berpisah dari anak dan istrimu?" tanya prajurit itu.
"Siapa sebenarnya kau?!" tanya Tarkh sambil memuntahkan darah.
"Kita memang tidak pernah bertemu. Aku tidak tahu apakah kau masih mengingat namaku atau tidak. Tapi ingatkah kau ketika mengirimkan mayat bayi laki-laki ke seorang Jenderal Ezze yang dalam perjalanan kembali ke ibu kota Ezze?"
Tarkh terdiam sejenak, mencoba mengingat sesuatu. Tidak lama kemudian, ia membelalak.
"Jenderal Rozz ...," gumamnya.
Jenderal Rozz tersenyum lebih lebar lagi.
"Baguslah jika kau mengingatku," balas Jenderal Rozz sambil menjambak rambut lalu memaksa pandangan Tarkh ke arah bayi berambut merah yang baru lahir. Ia berbisik tajam di samping telinga Tarkh. "Kau tahu, Ratu Ruby merencanakan kematianmu dan menawarkan padaku kesempatan untuk balas dendam padamu. Ratu Ruby hanya meminta adiknya diselamatkan tapi Beliau tidak peduli pada anak yang dikandung adiknya. Sekarang, katakan padaku ... kau ingin anakmu dibunuh dengan cara yang sama seperti kau membunuh anakku atau kau ada ide lain? Bagaimanapun, kalian berdua tidak akan selamat."
Di tengah napasnya yang semakin sulit, tangan Tarkh menggapai-gapai ke arah anaknya.
"Maafkan aku! Kumohon! Ambil saja nyawaku tapi jangan anakku!" seru Tarkh sambil tangannya mengarah pada bayi yang berada dalam cengkeraman tabib prajurit Ezze.
Tabib prajurit itu menempelkan sebuah belati ke dada anak Tarkh.
Jenderal Rozz tertawa terbahak-bahak. Tangannya menjambak rambut Tarkh dengan lebih keras lagi.
"Kau pikir aku akan menurutimu? Apa saat itu istriku juga meminta hal yang sama sepertimu? Aku yakin iya. Istriku sangat menyayangi anak kami lebih dari nyawanya sendiri. Dan apa responsmu pada permintaannya, hah?! Kau membunuh dua orang yang paling aku cintai di dunia ini! Sekarang terima balasanmu! Bunuh anak itu!"
Tabib prajurit melayangkan belatinya ke udara lalu bergerak cepat hendak menusuk bayi dalam dekapannya.
Tarkh yang ketakutan sampai mengeluarkan teriakan yang begitu nyaring. "TIDAK!"
Di saat yang sama, Jenderal Rozz mengiris leher Tarkh hingga memuncratkan darah segar dan melempar tubuh si mantan raja ke lantai lorong. Tarkh menggelepar beberapa saat lalu tidak bergerak lagi.
Hidup seorang mantan raja yang sempat menguasai seluruh kerajaan di dataran itu berakhir di lorong selokan yang kotor dalam keadaan menyedihkan.
Jenderal Rozz yang masih belum puas, menginjak-injak mayat Tarkh untuk melampiaskan segala emosi yang tertahan. Setelah ia kelelahan, Jenderal Rozz berlutut sambil menangis dan menggeram kencang.
"Istriku! Anakku! Tenanglah kalian di alam sana! Aku sudah membalaskan dendam kalian! Arghh!"
Prajurit-prajurit lain, baik yang berada di lorong yang sama dan yang menunggu di gudang penjara di atas lorong, hanya terdiam sebagai bentuk simpati pada pemimpin mereka.
Sang jenderal muda menangis tersedu-sedu hingga puas. Kemudian prajurit lain turun ke dalam lorong. Mereka memberikan tepukan hangat di pundak Jenderal Rozz.
"Apa yang akan kita lakukan pada anak ini?" tanya tabib prajurit. Ia ternyata hanya berpura-pura menusuk bayi berambut merah dalam pelukannya. Saat belati akan menusuk si bayi, ia membelokkan arah pisau. Semua dilakukan agar Tarkh mati dalam keadaan berduka dan ketakutan.
Jenderal Rozz menyeka matanya yang merah. Ia lalu melihat ke arah bayi yang disodorkan padanya, bayi yang menangis kencang karena keributan di sekitarnya. Ia menatap nanar pada anak Tarkh itu.
"Adikku akan segera melahirkan. Jika kalian sampai sebelum dia melahirkan, bantulah persalinannya. Jika kalian sampai setelah dirinya melahirkan, aku mohon hargai keputusannya untuk membawa serta anaknya. Taaffeite pasti tidak menginginkan jika ia selamat sendirian. Tapi jika adikku mati karena melahirkan, bunuh anak itu!"
Itulah pesan Ruby pada Jenderal Rozz.
Jenderal Rozz mengambil belati yang tersarung di pinggangnya. Ia menatap lekat-lekat pada bayi di hadapannya. Tangannya sudah teracung ke udara, bersiap menghabisi nyawa tak berdaya tersebut.
Akan tetapi, Jenderal Rozz menjatuhkan belatinya. Ia tidak sanggup membunuh anak itu. Mata besar si bayi mengingatkannya pada anak laki-lakinya yang telah lama tiada. Rasanya seperti ia membunuh anaknya sendiri jika menghabisi bayi tak berdosa di depannya.
"Aku ... tidak ... bisa ...," gumam Jenderal Rozz.
Para prajurit yang bersama si jenderal tersenyum dan beberapa di antara mereka kembali menepuk pundak Jenderal Rozz.
"Jenderal kami memang memiliki sisi lembut."
***
Para prajurit Ezze membiarkan mayat Tarkh untuk membusuk di lorong selokan di bawah gudang penjara, tapi mereka membawa mayat Taaffeite keluar melalui terowongan.
Sesampainya di hutan sebelah barat ibu kota Tzaren, tempat di mana lubang yang terhubung dengan jalur terowongan berada, mereka membuat kuburan sederhana untuk Taaffeite di hutan itu. Mereka memakamkan putri Naz tersebut tepat di samping pohon yang dekat dengan lubang karena tidak mungkin membawa-bawa tubuh yang telah mati dalam perjalanan.
Setelah mengucapkan doa singkat, mereka menaiki kuda mereka untuk memulai perjalanan lagi.
"Bersiaplah! Kesulitan perjalanan kembali kali ini bergantung pada apakah orang-orang itu mampu melaksanakan rencana atau tidak. Kita berangkat!" seru Jenderal Rozz sambil merapikan kain yang membungkus bayi yang terikat di tubuhnya.
Alih-alih menuju utara untuk menyusuri jalur kedatangan sebelumnya, mereka justru mengarah ke timur wilayah Kerajaan Tzaren.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro