Chapter 53 - Kerajaan Kraalovna: Mahkota Sang Martir
"Di mana putri Naz?" teriak seseorang dari bangku penonton arena pertandingan umum.
Satu pertanyaan yang menarik itu lantas menjadi pemicu untuk orang lain melontarkan pertanyaan-pertanyaan serupa. Riuh rendah suara penonton bergaung dari sana sini.
Thony bertanya-tanya dalam hati, apakah provokator yang mengarahkan perhatian rakyat Kraalovna adalah bawahan Putri Freyja atau bagian dari keluarga tiga menteri tinggi Kraalovna?
Eris menepuk pundak Thony. "Kau mendapatkan panggungmu," ucapnya pelan.
Thony tersenyum. Ia mendekati wasit yang memiliki suara lebih keras dari pada dirinya sehingga dirasa lebih mampu untuk menjangkau kursi penonton.
"Katakanlah pada penonton jika putri Naz akan hadir di sini sebentar lagi," kata Thony pada wasit pertarungan pedang.
Wasit itu lantas menatap bingung. Ia sendiri belum pernah melihat putri Naz semenjak gadis tersebut sampai di istana Kraalovna. Namun, ia memenuhi perkataan Thony dan segera menghadap penonton.
"Putri Naz akan hadir sebentar lagi. Dimohon ketenangannya!" seru wasit.
Bukannya menjadi tenang, pertanyaan-pertanyaan yang terlontar hanya berubah sedikit menjadi bisikan-bisikan keras. Namun, setidaknya perhatian para penonton terpaku pada lapangan.
Tidak lama kemudian, alih-alih gadis dengan rambut hitam yang merupakan warna rambut putri Naz, yang muncul justru seseorang berambut perak panjang yang dikuncir ke belakang. Ia keluar dari ruang tunggu peserta pertandingan pedang dan turun menuju lapangan dalam pakaian serba hitam dengan jubah senada yang berkibar diterpa angin.
Para penonton yang duduk di dekat sana, terkejut melihat siapa yang tiba-tiba menampakkan diri.
"Pu-Putri Fryeja?!" Bahkan wasit pertandingan tampak kehilangan kata-kata.
Sudah jelas apabila kenyataan bahwa keturunan raja terakhir dinasti Kraalovna masih hidup hanya diketahui beberapa pihak.
"Umumkan kehadiranku!" perintah Putri Freyja yang berjalan mendekati wasit. "Sampaikan jika kali ini aku datang sebagai wakil putri Naz."
"Ap—"
Sang wasit hendak bertanya lebih lanjut, tapi tatapan tajam Putri Freyja membungkam kata-kata yang nyaris keluar dari mulutnya.
"Kau akan mengerti nanti. Tiru kata-kataku! Ucapkan dengan lantang!"
Wasit melirik sekilas ke kursi peserta di mana Perdana Menteri Kraalovna duduk. Sang perdana menteri yang sedang menatap ke arahnya mengangguk seakan mengerti apa permintaan si tuan putri.
Para bangsawan tinggi sudah tahu tentang ini rupanya. Wasit pun menghela napas panjang. Ia menghadap ke arah penonton yang mengitarinya.
"Saudara-saudariku bangsa Kraalovna!" seru wasit dengan suara sekeras yang ia bisa, menarik perhatian semua orang di arena pertarungan umum itu. "Sambutlah keturunan raja terdahulu: Putri Freyja!"
Muncul berbagai macam reaksi di bangku penonton. Ada yang makin mendekat ke arah lapangan untuk melihat lebih jelas sosok sang putri, ada yang berbisik-bisik dengan bingung, tapi tidak sedikit yang berseru menyambut Putri Freyja.
"Hidup Putri Freyja!"
Entah siapa yang berteriak. Namun, seruan yang sama terdengar dari berbagai sudut meski tidak lantas membuat semua orang menyambut Putri Freyja dengan semangat.
Putri Freyja mengangkat tangannya dan melambai, membuat beberapa orang yang antipati pada raja baru makin berteriak mengelu-elukan namanya.
"Tiru kata-kataku!" bisik Putri Freyja pada wasit pertarungan pedang yang telah berada di sampingnya. Ia pun mengucapkan kata-kata yang diulang oleh wasit dengan suara keras.
"Wahai bangsa Kraalovna! Aku adalah Putri Freyja, satu-satunya keturunan Raja Kraalovna terdahulu yang lolos dari pembantaian keluarga raja. Selama ini aku bersembunyi demi bertahan hidup dan itu bukanlah hal yang membanggakan. Sebagai keturunan raja juga seorang kesatria wanita, kabur merangkak dalam kegelapan sangatlah memalukan. Tapi berkat itu aku selamat dan mendapatkan seorang kawan baru, dia adalah Nona Sapphire, putri kedua dari Naz terakhir. Aku berdiri di sini tidak hanya sebagai keturunan raja terdahulu, tapi juga sebagai perwakilan dari Nona Sapphire. Aku bertemu dengannya tidak dalam kondisi yang menyenangkan. Saat itu kami benar-benar dalam posisi hina. Meski demikian, bahkan dengan kondisiku yang menyedihkan, aku bisa berkata kondisi Nona Sapphire jauh lebih mengenaskan. Sangat mengenaskan hingga dia berulang kali memintaku untuk membunuh dirinya."
Terdengar gumaman terkejut juga bisikan-bisikan lain dari arah bangku penonton begitu mendengar kata-kata Putri Freyja yang diulang oleh wasit dan beberapa petugas di lapangan. Karena kalimat terakhir itu, mereka menjadi takut apabila raja mereka ikut melakukan kejahatan seperti yang menimpa putri Naz lain di Kerajaan Zetaya, sebuah kenyataan mengerikan yang telah menyebar di seantero dataran.
Wasit sampai harus memberi kode agar terompet tanduk dibunyikan, memberi tahu penonton agar kembali tenang sehingga ia bisa melanjutkan kata-kata Putri Freyja dengan suara yang bisa terdengar lebih jelas.
"Seperti yang kalian ketahui, seorang putri Naz bernama Nona Alexandrite yang dikirim untuk Raja terakhir Kerajaan Zetaya bunuh diri di hari pernikahannya. Semua itu tidak lain karena penyiksaan dan pelecehan yang diterimanya dari si raja tiran yang telah mati. Tapi perlu kalian semua ketahui, apa yang dialami Nona Alexandrite belum apa-apa dibanding penderitaan Nona Sapphire."
Kekhawatiran sebagian besar penonton mulai terwujud. Bahkan para bangsawan Kraalovna yang hadir tampak begitu terkejut karena mereka pun tidak menyangka putri Naz akan diperlakukan sangat kejam.
Wasit kembali meniru kalimat demi kalimat yang disampaikan Putri Freyja untuk disuarakan kembali dengan lebih lantang.
"Kita adalah bangsa Kraalovna yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria! Istana kerajaan kita seharusnya menjadi tempat paling terhormat di dataran ini! Tapi apa yang telah diperbuat raja keturunan Tzaren itu di sini? Ia dan orang-orangnya telah menodai kehormatan Kraalovna! Mereka menyiksa seorang putri Naz melebihi apa yang bahkan dilakukan seseorang di rumah pelacuran! Raja membuat istana menjadi tempat yang hina! Perlakuan orang-orang berambut merah itu begitu menjijikan sampai-sampai aku ingin memenggal mereka satu persatu!"
Para penonton terdiam diserang kenyataan yang begitu brutal. Mereka bisa melihat emosi yang menguar dari tiap sisi Putri Freyja yang begitu berapi-api. Sang putri sangat marah hingga suaranya bergetar dan wajahnya memerah.
"Tapi aku juga membenci diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk kawanku itu. Aku bahkan tidak berani memenuhi keinginannya untuk terlepas dari penyiksaan-penyiksaan yang ia alami setiap hari. Aku tidak sanggup membunuhnya. Aku tidak bisa mengkhianati nilai kesatria yang kuanut untuk tidak menyakiti seseorang yang bukan lawan dan juga bukan pendosa. Sampai akhirnya, Nona Sapphire menyerah di tengah penyiksaan kejam yang sedang ia alami saat itu."
Putri Freyja lalu menepuk tangannya sekali.
Kemudian, enam orang berambut perak dengan pakaian serba hitam seperti orang berkabung keluar dari ruang tunggu peserta. Mereka menggotong peti berwarna putih yang diletakkan di hadapan Putri Freyja.
"Raja Sirgh ingin menghapus bukti kebiadabannya dengan diam-diam membuang mayat Nona Sapphire di tengah hutan, jauh dari selatan ibu kota. Kami menemukan jejak penguburannya dan menyelamatkan yang tersisa dari Nona Sapphire. Inilah yang membuatku memutuskan untuk keluar dari persembunyian lalu menyebarkan kebusukan raja itu."
Para penonton di arena pertarungan membelalak dan para wanita menutup mulut tanda terkejut. Sejenak mereka seperti lupa bernapas. Keheningan yang singkat tersebut ditimpali kegemparan beberapa saat kemudian.
"Apakah yang ada di dalam peti benar-benar putri Naz?!"
"Oh, tidak! Murka Ahurz akan menghampiri kita!"
"Apa yang sudah dilakukan Tzaren-Tzaren gila itu?!"
"Ini benar-benar mengerikan!"
"Biadab! Seharusnya aku tahu Tzaren hanya akan mengirimkan orang-orang berengsek!"
"Akan kupenggal raja laknat itu!"
Berbagai hujatan, caci maki, hingga ungkapan kengerian dilontarkan di sana sini. Para penonton, baik bangsawan maupun rakyat biasa, menunjukkan kemarahan mereka. Mereka seolah ingin menyusul Raja Sirgh yang baru pergi menuju perang dan menghajar raja tersebut seperti yang dilakukan pemberontak Zetaya pada raja keturunan Tzaren di sana.
Putri Freyja tidak menyia-nyiakan melodi kemarahan yang sudah berhasil dimulainya. Ia memberi isyarat pada seorang bawahannya yang tadi mengangkat peti. Pria itu pun menuju ke seberang ruang tunggu peserta pertandingan lalu membuka pintu gerbang arena pertarungan yang terbuat dari kayu tebal.
Dari balik gerbang, masuklah puluhan orang berambut merah juga perak yang tidak memakai alas kaki dan dirantai dengan rantai tebal yang terikat satu sama lain. Mereka digiring ke tengah lapangan oleh banyak bawahan Putri Freyja yang berpakaian ala penduduk biasa. Meski menundukkan kepala, mereka dapat merasakan kemurkaan yang terpancar dari orang-orang yang berada di undakan-undakan area penonton.
Putri Freyja melanjutkan orasinya yang digaungkan kembali oleh wasit.
"Mereka adalah para penyiksa Nona Sapphire sekaligus kaki tangan Raja Sirgh! Aku sangat malu mengakui bahwa ada bangsa Kraalovna yang ikut melakukan kebejatan serupa! Mereka membuang kehormatan mereka sendiri dengan berbuat hal-hal rendahan seperti itu!"
Kemarahan penonton pun tidak bisa dibendung lagi begitu para pelaku yang bersalah dihadirkan di hadapan mereka.
"Bunuh mereka!"
"Dasar orang-orang menjijikan!"
"Memalukan! Kalian akan membusuk di neraka!"
"Bakar! Aku tidak ingin darah kotor mereka mengotori tanah kita!"
"Beri aku kesempatan untuk menghabisi bangsat-bangsat itu!"
Tiba-tiba ada yang melemparkan batu ke seorang Tzaren yang berdiri di tengah lapangan hingga membuat kepala orang tersebut terluka dan berdarah. Tidak lama kemudian, banyak batu-batu lain yang dilemparkan sekuat tenaga pada orang-orang di lapangan. Entah siapa yang menyuplai batu sebanyak itu ke area penonton.
Putri Freyja, Eris, Thony, dan wasit pun mundur ke pinggir arena karena para penonton tidak lagi bisa dikontrol.
Pelaku-pelaku kejahatan yang terjalin dengan rantai tebal pun panik melihat kemarahan penonton yang membabi buta. Mereka mencoba keluar dari arena pertarungan umum melalui gerbang kayu yang tadi mereka lewati. Sia-sia saja, gerbang telah ditutup dan dikunci dari luar. Sementara bawahan Putri Freyja berjaga di pinggir lapangan arena untuk menghalau mereka yang mencoba kabur ke area penonton. Para kaki tangan Raja Sirgh tersebut panik, mereka berlarian ke sana-kemari lalu terjatuh karena masih terikat satu sama lain. Mereka saling menarik atau menyeret karena ketakutan.
Teriakan penonton berubah menjadi alunan nada yang bersatu dalam irama yang mencekam. Orang waras mana pun akan merasa ngeri ketika mendengar mereka berseru:
"Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
***
Karena belum resmi menjadi anggota kerajaan, Sapphire tidak bisa dimakamkan di pemakaman keluarga raja. Namun, ia mendapatkan pemakaman megah di rumah ibadah terbesar di ibu kota Kraalovna.
Seluruh penghuni ibu kota turun ke jalan untuk mengiringi kepergian terakhir seorang putri Naz. Banyaknya pelayat yang hadir bisa dibandingkan dengan pemakaman seorang raja. Mereka menumpahkan kesedihan dalam bentuk air mata yang mengalir deras dari mata-mata yang bengkak.
Langit pun tampak mendung, seolah ikut bersedih terhadap sebuah jiwa suci yang melayang setelah dinodai tangan-tangan kotor.
Pendeta utama Kraalovna yang memimpin upacara pemakaman menyampaikan pidato terakhir dengan suara lirih yang menyayat hati.
"Hari ini Kraalovna berduka. Tidak hanya Naz, kini putrinya pun ikut menyusul Naz yang sudah lebih dulu pergi ke sisi Ahurz. Kita mungkin tidak mengenal Nona Sapphire dengan baik, tapi kita masih mengingat betapa bahagianya kita mendapatkan calon ratu dari keluarga Naz. Itu adalah sebuah kehormatan, sayang beberapa pendosa menginjak-injak kehormatan tersebut. Sebagai pendeta yang berasal dari Kota Suci, saya mengetahui dengan pasti betapa terhormatnya keluarga Naz. Sudah pasti putri-putri beliau pun berbudi luhur dan berperangai baik. Tapi apa yang sudah menimpa Nona Sapphire ...."
Sang pendeta utama Kraalovna tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia memijat kedua matanya sambil menangis sesenggukan. Badannya oleng dan ditahan pendeta-pendeta lain yang berdiri di kanan kirinya.
Kesedihan pendeta utama pun menyebar ke seluruh pelayat yang hadir. Terdengar isak tangis dan ratapan dari banyak arah.
Setelah sedikit menguasai diri, pendeta utama melanjutkan pidatonya.
"Mari bersama-sama mengirimkan doa yang akan menemani Nona Sapphire di perjalanan abadinya."
***
Setelah pemakaman Sapphire, Putri Freyja mengambil alih istana kemudian mengeklaim takhta Kraalovna. Suatu perkara yang tidak sulit setelah nama raja sah tercoreng. Rakyat tidaklah menolak sang putri dan golongan bangsawan juga memberikan dukungan penuh. Bagaimanapun, tidak ada yang menginginkan seorang raja yang kejam untuk memimpin mereka, apalagi jika raja tersebut adalah keturunan asing.
Putri Freyja lalu mengadakan rapat mendadak. Namun, sebagian dewan penasihat raja yang baru adalah kaki tangan Raja Sirgh sehingga mereka ditangkap dan dieksekusi mati, meski terdapat dua anggota dewan penasihat yang lolos karena sedang ikut pergi berperang bersama raja.
Oleh karena itu, untuk mengisi jabatan yang kosong, Putri Freyja mengundang anggota dewan penasihat raja lama yang menjabat pada kepemimpinan ayahnya dahulu.
Sebelum duduk di kursi yang melingkari meja marmer berbentuk lingkaran, para bangsawan yang kekuasaannya kembali pun mengucapkan terima kasih serta mengikrarkan janji setia pada penguasa baru.
Akan tetapi, ada yang berbeda pada pertemuan itu. Kursi jenderal telah terisi dan orang yang mengisi adalah Eris, putri dari Perdana Menteri Kraalovna.
Semua orang yang hadir di rapat mencoba tidak berkomentar tentang hal tersebut. Mereka menilai kondisi masih terlalu tidak stabil untuk mempermasalahkan posisi jenderal yang tadinya dianggap kosong karena jenderal yang sedang pergi berperang berpihak pada Raja Sirgh. Ada masalah yang lebih darurat untuk dibahas. Mereka yakin Putri Freyja mempunyai pertimbangan tersendiri ketika memilih Eris sebagai jenderal wanita pertama yang dimiliki Kraalovna semenjak kerajaan itu berdiri.
"Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat atas Yang Mulia yang berhasil menyelamatkan diri dan kembali duduk di takhta yang menjadi hak Anda," ucap perdana menteri selaku ketua dewan penasihat raja. "Langsung saja pada intinya. Apa yang ingin Yang Mulia lakukan sekarang? Kami masih memanggil Anda sebagai Tuan Putri karena raja yang sah belum digulingkan. Raja Sirgh bahkan masih memimpin lima puluh ribu bala tentara. Saat ini raja belum tahu kondisi istana, tapi cepat atau lambat, berita akan sampai ke telinganya. Meski rakyat sudah tidak ingin menganggap beliau sebagai raja, tapi tetap saja ... lima puluh ribu prajurit itu ...."
Putri Freyja tersenyum dan kepercayaan dirinya terpancar. Ia tentu sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.
"Karena itulah, aku bergabung dengan Ratu Ruby dari Kerajaan Ezze."
"Ratu Ruby ...." Seorang bangsawan mengelus dagunya yang dipenuhi janggut perak. "Bukankah ratu tersebut sedang bersiap-siap perang melawan dua kekuatan besar? Apakah Yang Mulia memilih untuk berpihak pada beliau karena Ratu Ruby adalah satu-satunya pilihan? Posisinya dalam perang sepertinya tidak cukup baik."
Bangsawan lain ikut berceletuk. "Apakah kita bisa berharap pada putri Naz yang tiba-tiba menjadi ratu?"
"Jika kalian bertemu langsung dengannya, aku yakin pendapat kalian mengenai Ratu Ruby akan berubah," balas Putri Freyja. "Sejujurnya sebelum mengenal Ratu Ruby, aku tidak memiliki harapan sama sekali untuk mengambil alih takhta. Apa yang bisa dilakukan seorang tuan putri yang kehilangan kekuasaan? Semua yang aku lakukan hingga saat ini adalah arahan dari Ratu Ruby. Ia memiliki perhitungan yang gila untuk semua yang telah, sedang, dan akan terjadi."
Eris tersenyum lebar mendengar penuturan Putri Freyja mengenai Ruby. Gejolak emosi yang berlindung di balik wajah yang dingin itu bahkan bisa dirasakan ayahnya yang duduk di meja yang sama dengannya.
"Semua yang Yang Mulia lakukan?"
Seorang bangsawan di sebelah kiri Putri Freyja tampak terkejut. Ia tidak percaya putri Naz yang dibesarkan dengan kerendahan hati dan nilai-nilai agama yang kuat bisa memikirkan cara untuk mengambil alih kekuasaan.
"Dan yang akan kita lakukan setelah ini," lanjut Putri Freyja. Ia menjentikkan jarinya, lalu seorang petugas istana mendekati meja pertemuan sambil membawa setumpuk dokumen.
Petugas tersebut membagikan beberapa lembar kertas untuk setiap dewan penasihat raja yang hadir.
"Itu adalah petunjuk dari Ratu Ruby untuk langkah selanjutnya yang harus kita lakukan," tambah Putri Freyja.
Kening semua dewan penasihat raja berkerut ketika membaca dokumen di tangan mereka dan membolak-balik tiap halaman dengan antusias.
"Ini ...." Seorang bangsawan yang memakai baju biru di dekat Putri Freyja membelalak melihat apa yang ditulis di atas kertas. "Rencana seperti ini ...."
"Itu belum semuanya. Aku tidak bisa memberikan rencana lebih detail lagi karena aku belum yakin pada kepatuhan kalian." Putri Freyja menyeringai dengan tangan yang membuka di atas meja. "Nah ... bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian akan mengikutiku bergabung dengan Ratu Ruby?"
***
Ruby memandang dua surat di atas meja di hadapannya. Satu adalah gulungan surat berisi berita pengambilalihan takhta yang sukses dilakukan di ibu kota Kraalovna beserta beberapa penjelasan tambahan dari Putri Freyja, satu adalah sebuah surat beramplop dari Kerajaan Innist yang belum ia buka.
Ruby tidak menduga adiknya di Kerajaan Innist mengirim surat lebih cepat dari perkiraan. Ia berharap apa yang tertulis di surat bukanlah sesuatu yang dapat merusak rencananya.
Dengan sedikit tidak sabar, Ruby membuka lilin penyegel amplop dengan lambang Ratu Innist. Ia membaca dengan saksama apa yang tertulis di sana. Tidak lama kemudian, badan Ruby bergetar. Kemarahannya memuncak yang dapat terlihat dari matanya yang melotot tajam pada surat di tangannya. Kenangan-kenangan buruk pun melintasi pikirannya.
Ruby memukulkan genggaman tangannya ke meja kerja lalu melempar sebuah vas bunga di dekatnya, memberikan sedikit kegaduhan di tengah kesunyian ruang kerja sementaranya. Terdengar suara pengawal dari luar ruangan yang menanyakan keadaan sang ratu.
"Aku baik-baik saja. Jangan ada yang masuk!" seru Ruby agar pengawalnya tidak mendobrak masuk.
Ruby menyandarkan tubuh sambil mengatur napasnya. Ia berusaha menenangkan diri terlebih dulu agar bisa membalas surat dengan tangan yang stabil.
Setelah merasa emosinya lebih terkendali, Ruby segera mengambil kertas baru kemudian menuliskan kata-kata singkat sebagai surat balasan untuk adiknya, Emerald.
Oh, Emerald. Aku ingin sekali bergabung denganmu, tapi aku tidak bisa meninggalkan tempatku saat ini. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan padanya. Aku letakkan pembalasan dariku di tanganmu. Aku percaya padamu dan aku menghargai keputusanmu. Tapi jangan lupa, kau membawa dendam seluruh saudari kita!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro