Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 42 - Malam-Malam Panas

"Saya akan membahas kesepakatan ini dengan beberapa pihak. Saya harap Yang Mulia berkenan untuk tinggal cukup lama di Kerajaan Aritoria agar rencana ini dapat disusun dengan lebih terperinci," ucap perdana menteri.

"Tenang saja. Aku tidak memiliki batasan waktu khusus terkait jangka waktu berkunjung ke Aritoria kali ini," balas Ruby.

"Kalau begitu saya permisi dulu, Yang Mulia. Ada banyak pihak yang menunggu kabar dari saya."

Perdana menteri Aritoria pun pergi melalui pintu yang sama dengan pintu kedatangannya.

Ruby akhirnya tinggal berdua bersama Thony di dalam ruangan.

"Aku pikir lorong di bawah sini hanya jalan rahasia biasa di rumah ketua gilda," ucap Ruby.

"Jalan rahasia yang Yang Mulia lewati sebelumnya hanyalah bagian kecil dari jalur bawah tanah kota pelabuhan. Jalur bawah tanah ini terhubung ke hampir semua sudut kota pelabuhan," jawab Thony sambil mengulurkan tangannya pada Ruby. "Bolehkah saya membawa Yang Mulia berjalan-jalan?"

"Tidak masalah. Kepala dayangku akan mengurus hal lain selama aku pergi."

Ruby pun memegang lengan Thony.

Thony lalu membimbing Ruby melewati pintu yang sebelumnya dilewati perdana menteri. Siapa sangka jalan di dalam lorong tersebut lebih terang dibanding jalan yang sebelumnya ia lewati untuk menuju ruang pertemuan tadi. Beberapa obor dipasang pada jarak-jarak tertentu, memantulkan cahaya keemasan pada dinding jalan rahasia.

Thony dan Ruby berjalan bersama di jalan bawah tanah itu, jalan yang cukup untuk dilalui dua orang dewasa. Terdapat banyak jalan bercabang di sana, entah menuju ke mana saja. Ruby pun menjadi yakin apabila jalur bawah tanah tersebut bisa dibandingkan dengan kerumitan jalan di atas tanah kota besar pelabuhan utama.

"Bagaimana kamu bisa menghafal rute yang banyak dan terlihat sama ini?" tanya Ruby.

"Hampir semua orang-orang penting Aritoria hafal rute ini, Yang Mulia. Ibu kota Aritoria pun memiliki jalan bawah tanah seperti ini. Bahkan kami harus menjelajahi jalan bawah tanah ini dalam kegelapan dan meraba setiap sudut. Jika Yang Mulia sadar, hanya jalan yang kita lewati yang diterangi obor."

"Ah .... Jadi karena itu jalan di persimpangan lain terlihat gelap gulita. Apa kamu sengaja menyalakan obor di jalan yang kita lewati karena akan mendatangkan perdana menteri?"

"Tidak. Obor ini khusus untuk Yang Mulia. Saya khawatir Yang Mulia akan merasa tidak nyaman dalam kegelapan dengan udara sesak di bawah tanah. Perdana menteri tentunya orang yang dapat menjelajahi jalan bawah tanah sekalipun tanpa penerangan."

"Artinya kamu yakin aku akan mengikutimu kemari."

Thony tertawa kecil. "Saya yakin Yang Mulia tidak akan menolak sesuatu yang rahasia seperti ini."

Ruby tersenyum tipis. "Kamu mulai mempelajariku rupanya."

"Tentu saya harus mempelajari Yang Mulia terkait penawaran Yang Mulia sebelumnya."

"Apa kamu akan menjawab sekarang?"

"Saya pikir saya sudah mendapatkan keputusan. Saya juga telah mendiskusikan ini dengan petinggi-petinggi gilda lain dan mereka setuju meski perlu upaya lebih untuk meyakinkan beberapa di antara mereka."

"Itu waktu yang cukup singkat. Hanya butuh tiga hari untuk bertemu dengan petinggi gilda lain hingga mendatangkan perdana menteri."

"Saya menyuruh pembawa pesan terbaik saya untuk memberikan surat langsung ke perdana menteri sebelum beliau tidur dan meminta perdana menteri langsung menuju ke kota pelabuhan apabila beliau setuju dengan isi surat. Kami tidak memerlukan birokrasi rumit seperti di pemerintahan sehingga saya bisa bergerak cepat dan efisien. Saya akan memberikan jawaban saya begitu kita sampai tujuan."

Jalan di lorong yang mereka lewati pun mengarah naik dengan tangga dari batu yang dipahat rapi. Terdapat dinding batu di ujung jalan. Thony menarik tuas yang tidak begitu terlihat oleh mata, kemudian dinding batu dihadapan mereka bergerak ke samping. Sebuah ruangan persegi berdinding putih tanpa furnitur dan jendela menyambut mereka. Hanya ada dua pintu di seberang ruangan dan di dinding sebelah kiri.

Thony lalu mengarahkan Ruby ke pintu di seberang ruangan. Ia membuka pintu yang menampakkan tangga melengkung dari batu yang memutari pilar besar hingga ke atas. Mereka lalu menaiki tangga tersebut. Tidak ada pintu, jendela, atau ruangan lain di sepanjang tangga.

Tangga itu berakhir di sebuah ruangan tanpa pintu yang memiliki jendela kaca di semua sisi sebagai dinding. Terdapat tempat tidur mewah berlapis sutra, karpet mahal di sekitar tempat tidur, sofa-sofa lebar di dekat jendela, dan bantal-bantal empuk tersebar di seluruh ruangan tersebut.

Ruby melepas pegangannya dari tangan Thony. Ia mendekati jendela. Tampaknya mereka berada di sebuah bangunan tinggi. Ruby dapat melihat jelas pemandangan kota di bawah dan laut yang seolah tidak berujung, berkilauan diterpa cahaya matahari senja.

Ruby memandang takjub. Matanya berkeliaran memandangi setiap sisi yang ditampilkan jendela. Suasana begitu dramatis karena matahari mulai tenggelam dan langit berubah jingga.

"Di mana ini?"

"Ini adalah puncak menara tertinggi, bagian dari penginapan yang saya miliki di pusat kota dan letaknya cukup dekat dengan rumah ketua gilda. Tempat ini sering saya datangi untuk memantau keadaan kota dari atas atau untuk mencari pencerahan."

Thony membiarkan Ruby menikmati pemandangan beberapa saat sebelum ia mengambil satu lengan Ruby dan mencium punggung tangan tersebut.

Ruby lalu mengalihkan perhatiannya pada Thony.

"Yang Mulia ... saya menerima permintaan Yang Mulia."

"Apa kamu siap dengan segala risikonya?"

Thony tersenyum. Wajahnya yang bergaris tegas terlihat makin memesona dengan cahaya senja.

"Kita tidak akan mencapai hasil besar jika takut dengan risikonya. Jika menang, saya akan mencapai pencapaian terbesar dalam hidup saya. Jika kalah pun saya tidak sendirian, Yang Mulia akan menemani saya menuju kehancuran. Sudah lama diketahui jika bangsa Tzaren berambisi untuk mendapatkan tanah di utara, sehingga pihak Aritoria sendiri setuju untuk melakukan sesuatu. Karena keturunan Tzaren mana pun yang memenangkan perang nanti, hasilnya akan sama saja bagi bangsa selain Tzaren."

"Benar. Jika kamu mendukungku menjadi penguasa, aku akan memberimu apa pun yang kamu inginkan. Bahkan jika kamu mau menjadi raja sekalipun."

Tiba-tiba Thony tertawa. "Yang Mulia ... mungkin karena Anda sering menghabiskan waktu bersama Raja Ezze, Yang Mulia makin terlihat seperti raja itu."

"Aku tidak—"

"Ssttt ...." Thony menempelkan satu jarinya pada bibir Ruby. Tindakan yang sangat tidak pantas untuk seorang ratu. Namun, siapa yang dapat menghakimi di tempat yang hanya ada mereka berdua seperti saat itu? "Yang Mulia menjual janji. Persis seperti Raja Ezze."

Ruby menggigit bibirnya. "Bukankah ini pertaruhan? Kita baru akan memetik hasilnya ketika sudah mencapai tujuan."

"Saya tidak menyukai pertaruhan. Saya menganggap ini bantuan saya untuk Yang Mulia. Karena itu saya menginginkan uang muka."

"Aku tidak memiliki harta apa pun. Bahkan jika permata dari anting di telingaku hilang, Raja Ezze akan menginterogasiku habis-habisan."

Saat itu juga, wajah tenang Thony menghilang digantikan ekspresi penuh kelicikan dan pandangan yang begitu mendominasi. Senyumnya berubah menjadi seringai seperti binatang buas.

Ruby akhirnya melihat wajah asli dari ratu lebah, seorang budak pelarian yang bisa menguasai kekuatan tempur terbesar di sebuah kerajaan kaya dalam usia begitu muda.

Tangan kasar Thony bergerak dari bibir lalu mengelus pipi Ruby. Tangannya kembali ke dagu sang ratu, membuat Ruby mendongak. Ia mendekati wajah Ruby yang lebih pendek darinya hingga hidung mereka bersentuhan dan kedua pasang mata tajam yang penuh dominasi itu saling menatap.

"Yang Mulia-lah uang muka itu. Saya menginginkan sesuatu dari Yang Mulia yang belum dimiliki siapa pun. Kebebasan Yang Mulia dimiliki Raja Ezze. Hati Yang Mulia dimiliki putri-putri Naz. Pemikiran Yang Mulia dimiliki diri Yang Mulia sendiri. Kalau begitu ...." Thony mengeluarkan sebilah belati kecil lalu memutus ikatan di gaun Ruby dan melepas gaun dengan mudah dari tubuh putih itu. Ia tidak berhenti sampai Ruby tidak mengenakan sehelai kain pun. "Saya dengar Raja Ezze tidak pernah tidur di kamar Yang Mulia."

Ruby tidak merasa gentar meski sudah mendapatkan perlakuan tidak senonoh seperti itu.

"Jadi kamu menginginkan tubuhku sebagai uang muka?"

"Apakah Yang Mulia tidak berkenan memberikannya? Saya tidak bisa memaksa." Thony memungut pakaian-pakaian Ruby dan menyodorkan pada sang ratu.

Ruby menatap gaunnya sendiri dengan dingin. Ia masih tidak bergerak.

"Apa kamu tidak menginginkan uang muka dalam bentuk lain?"

Thony kembali mendekatkan wajahnya. Wajah aslinya masih sama meski terlihat sesekali hasrat membara di matanya.

"Saat ini tidak ada hal lain yang menarik bagi saya."

"Kalau aku tidak berkenan, apa perjanjian kita akan batal?"

"Tidak. Tapi Yang Mulia akan berhubungan dengan perdana menteri dan perdana menteri yang akan menghubungi saya. Hasilnya akan sama saja, hanya jalur informasinya yang berbeda."

Ruby terdiam sejenak. "Kalau begitu tidak masalah jika aku menolak."

"Baiklah kalau itu keputusan Yang Mulia. Saya akui saya kecewa."

Thony baru akan memasangkan pakaian Ruby, tapi Ruby menepis tangannya.

"Buka bajumu!" perintah Ruby dengan nada datar.

Kalimat balasan yang tidak diduga Thony. Ia mengerjapkan matanya. "Eh?"

Ruby merebut pisau belati dari tangan Thony. Ia merobek kancing baju dan kain yang melilit celana Thony. Baju dan celana Thony dilepasnya hingga terjatuh ke lantai.

"Aku menginginkan pertukaran yang adil dan setara. Jika kamu sudah melihat tubuhku, maka aku pun harus melihat tubuhmu."

Thony terdiam. Ia kehilangan kata-kata.

Ruby melihat tubuh telanjang Thony dari atas ke bawah. Badan pria itu kekar dengan banyak bekas luka. Ia menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak buruk."

Tangan Ruby lalu menjelajahi bekas-bekas luka dan otot-otot yang terbentuk di badan Thony. Tangan halusnya lanjut menuju bagian paling intim hingga membuat Thony merintih kecil.

"Tampaknya jauh lebih baik dibandingkan Raja Ezze." Ruby lanjut berkomentar.

"Yang Mulia ... pernah ... menyentuh milik ... Raja Ezze?"

Thony mencoba mengendalikan diri untuk tidak langsung menerjang gadis tanpa busana di hadapannya. Napasnya makin tidak teratur.

"Tidak. Ia hanya pernah memaksaku menontonnya berhubungan dengan banyak wanita. Sungguh pemandangan yang tidak menarik."

Ruby menarik tangannya dan berjalan ke tempat tidur. Ia duduk dengan santai di tempat tidur sambil menatap Thony.

"Apa kamu tidak ingin membalas sentuhanku? Kalau tidak, berarti aku berutang pa—"

Kata-kata Ruby terputus begitu Thony menerjang cepat, membuatnya berada di bawah, dan dengan buas menciumnya.

Berulang kali Ruby berusaha mendorong Thony karena kesulitan bernapas, tapi Thony menahan kedua tangannya.

Thony melepas ciumannya setelah beberapa saat dan membiarkan Ruby mengambil napas dalam-dalam.

Thony memandang Ruby yang berada di bawahnya dengan seringai licik. Ia menikmati wajah panik dan setiap tarikan napas Ruby yang tidak teratur.

"Dengan segala kepercayaan diri itu, ternyata Yang Mulia benar-benar tidak berpengalaman."

Ruby menyipitkan matanya. "Jangan menggodaku! Aku akan melampauimu dalam hal ini!"

Thony tertawa lebar. Ia kemudian menciumi bagian-bagian tubuh Ruby yang membuat Ruby menggelinjang. Ia menyukai betapa sensitif tubuh sang ratu.

Ruby menggigit bibir agar erangannya tidak keluar dan mencoba mengatur reaksinya. Ia tidak ingin larut dalam irama Thony begitu saja.

"Kalau begitu biar saya mengajari Yang Mulia sampai Yang Mulia bisa melampaui saya. Tidak perlu menahan diri dan nikmati saja agar Yang Mulia bisa belajar dengan baik."

***

Ruby tersadar dengan sekujur tubuh yang terasa nyeri. Malam telah turun dan yang menerangi ruangan hanyalah cahaya dari bulan. Begitu Ruby membuka mata, ia mendapati mata tajam Thony yang menatapnya sangat lekat dan dekat.

Thony bersandar pada satu tangannya di samping Ruby. Ia memandangi Ruby sambil menyeringai.

"Yang Mulia baik-baik saja?"

Ruby mengernyit. "Entahlah. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa jatuh tertidur."

"Yang Mulia pingsan."

"Pingsan? Aku?"

Ruby menatap Thony dengan tatapan tidak percaya.

"Ya. Di tengah pembelajaran panas kita, Yang Mulia kehilangan kesadaran begitu saja. Saya tidak menyangka tubuh Yang Mulia bertolak belakang dengan pemikiran kuat dan keras Yang Mulia." Thony meraba tubuh Ruby yang membuat Ruby tersentak kecil. "Begitu rapuh dan sensitif."

Ruby mendesah kencang ketika Thony kembali mencumbu tubuhnya. Entah mengapa Ruby menyukai tindakan kasar juga seringai dari wajah asli Thony. Semua itu membuatnya sangat bergairah.

"Pembelajaran kita masih belum selesai, Yang Mulia. Saya ... saya belum puas," ucap Thony di tengah tarikan napasnya dan ia lanjut menikmati tubuh Ruby yang sempat tertunda.

Ruby berulang kali meminta istirahat. Ia tidak bisa tidur sama sekali di sisa malam itu karena Thony akan mengajaknya bercumbu lagi setiap Ruby terlihat kembali tenang.

Thony baru berhenti saat fajar mulai menyingsing. Ia menggendong Ruby yang kelelahan lalu mendekati dinding kaca untuk menikmati pemandangan.

"Indah bukan, Yang Mulia?"

Ruby memandang kota juga laut dari balik kaca dengan mata berat.

"Hmm ... iya. Indah ...," jawab Ruby yang serupa gumaman.

Sedetik kemudian Ruby menyandarkan kepalanya ke dada bidang Thony dan tertidur.

***

Ruby terbangun. Ia mendapati dirinya sudah berada di ruang pertemuan bawah tanah, tempat di mana ia bertemu dengan perdana menteri dan Thony. Bajunya telah dipasangkan kembali padahal seingatnya tali-tali bajunya dipotong oleh Thony semalam.

Ruby berusaha duduk. Ia ternyata ditidurkan di sofa panjang dalam ruangan itu.

"Bawahan saya sudah memperbaiki baju Yang Mulia. Tenang saja, tidak ada yang menyadari perubahan pada baju Yang Mulia. Perhiasan Yang Mulia tidak berkurang satu pun. Riasan dan model rambut Yang Mulia juga sudah ditata kembali," ucap Thony yang duduk di sofa dekat Ruby sambil tersenyum dengan suara ramah.

Ruby menatap Thony. Pria itu sudah kembali memasang ekspresi juga senyuman ringan. Jauh berbeda dengan sosok buas, licik, dan berbahaya yang memeluknya semalaman.

"Kamu suka dengan uang mukamu?" tanya Ruby. Suaranya terdengar serak.

Thony menuang cairan kehijauan ke gelas keramik. Ia berpindah ke sisi Ruby dan membantu sang ratu meminum cairan tersebut.

"Ini bagus untuk kebugaran Yang Mulia. Yang Mulia juga perlu minum yang cukup setelah kehilangan banyak cairan semalam."

Nyaris saja Ruby tersedak mendengar kata-kata Thony. Namun, pria itu hanya tersenyum ramah seolah tidak ada yang terjadi.

Thony mendekatkan bibirnya ke samping telinga Ruby yang membuat Ruby sedikit bergidik.

"Saya sangat menyukai uang mukanya, Yang Mulia. Saya akan melakukan sebaik mungkin sesuai dengan pembayaran yang saya terima," bisik Thony.

Ruby sontak berdiri dan bergegas menuju pintu keluar. Ia tidak ingin ekspresi kacaunya terlihat.

"Yang Mulia ...," panggil Thony saat tangan Ruby meraih gagang pintu.

Ruby menoleh.

"Saya akan menjemput Yang Mulia lagi besok. Hari ini silakan Yang Mulia beristirahat," lanjut Thony dengan senyum lebar.

Ruby mengernyit. "Lagi?!" serunya dengan suara keras.

"Bukankah Yang Mulia ingin mahir dalam hal ini dan mengalahkan saya?" balas Thony dengan ceria.

Ruby tidak membalas. Ia langsung keluar dari ruangan lalu membanting pintu, meninggalkan Thony yang tertawa sendiri di dalam ruangan.

"Ahaha! Duh, bagaimana ini ... sepertinya aku tertarik pada hal yang berbahaya," gumam Thony sambil menyeringai.

Saat Ruby keluar ruangan, orang yang sebelumnya mengarahkan jalan menuju ruang pertemuan bawah tanah ternyata masih berada di sana. Setelah mendapati Ruby muncul dari balik pintu, tanpa sepatah kata dan tanpa menoleh, pria bertudung itu kembali memimpin jalan menuju kamar sang ratu di rumah ketua gilda. Ruby terkejut ketika mendapati kepala dayangnya telah menunggu dengan sigap.

"Apa kau berjaga semalaman, Ellise?"

"Tidak, Yang Mulia. Seseorang dari gilda mengatakan pada saya untuk beristirahat. Dia bilang Yang Mulia akan menghabiskan malam di tempat lain." Kepala dayang ratu mengamati tuannya. "Apa Yang Mulia baik-baik saja? Yang Mulia terlihat letih."

Ruby tidak menjawab. Ia justru menyuruh kepala dayang menyiapkan air untuk mandi dan berpesan jika hanya si kepala dayang yang boleh membantunya membersihkan diri.

Barulah saat membantu sang ratu melepas baju, kepala dayang menyadari apa yang terjadi semalam. Tubuh Ruby dipenuhi noda, bagai tanda kepemilikan.

"Sebaiknya bekas-bekas ini hilang sebelum Izelle kembali," gerutu Ruby. Ia berharap dayang dari pihak Oukha tidak melihat noda di tubuhnya.

"Saya tidak berpikir Raja Oukha akan peduli pada urusan intim Yang Mulia," cetus kepala dayang.

"Oukha tidak peduli pada apa yang terjadi di tubuhku selama aku masih baik-baik saja. Tapi dia peduli pada orang yang melakukan sesuatu padaku. Oukha takut aku akan dikendalikan orang lain selain dirinya. Aku khawatir dia keberatan kalau aku tidur dengan Ratu Lebah untuk melancarkan perjanjian," balas Ruby sambil merilekskan tubuhnya di bak mandi.

Atas permintaan Thony, Ruby tidak memberitahu siapa pun, termasuk pada kepala dayang kepercayaannya, tentang siapa sebenarnya sang ratu lebah. Orang-orang di sekitar Ruby masih beranggapan jika ratu lebah adalah ketua gilda.

***

Keesokan harinya, ketua gilda memanggil Ruby dan menjamunya di sebuah ruangan. Hanya ada mereka berdua di sana. Sinar matahari sore mulai turun, mengganti warna yang menerangi ruangan.

"Apakah Anda membawa kabar dari Tuan Thony?" tanya Ruby tanpa basa-basi.

Ketua gilda tersenyum ramah. "Ya, Yang Mulia."

"Aku harus menolaknya," lanjut Ruby dengan datar.

"Thony mengatakan jika Yang Mulia ingin menghapus bekasnya, silakan naik ke kereta kuda yang akan saya siapkan."

Ruby menghela napas. Ruby merasa kesal karena Thony mengetahui jika ia akan bingung dengan hal itu. Ia pun setuju.

Ruby menaiki kereta kuda yang disiapkan ketua gilda. Kereta kuda itu tampak sederhana, tidak seperti kereta kuda untuk seorang ratu. Meski demikian, Ruby tidak mempermasalahkan hal tersebut dan tetap menaiki kereta kuda.

Tiba-tiba seorang prajurit Ezze mendatangi Ruby dan berbicara dari pintu kereta kuda yang belum ditutup.

"Maaf, Yang Mulia. Tapi kami harus tetap menemani Yang Mulia ke mana pun!"

Ruby menatap bingung.

"Yang Mulia berkenan mengunjungi 'Kebun Duri' dan akan pergi diam-diam. Tentu saja iring-iringan prajurit Ezze akan mengumumkan jika Ratu Ezze mendatangi tempat seperti itu," kata ketua gilda yang entah dari mana sudah berada di dekat pintu kereta kuda.

Kebun Duri? Ruby baru mendengar nama tersebut.

"Tapi kami akan dihukum berat jika meninggalkan Yang Mulia Ratu!" Prajurit Ezze masih bersikeras.

"Kalau begitu, bagaimana jika pengawal ratu berganti baju dengan baju biasa? Kami akan menyiapkan bajunya. Cukup beberapa prajurit yang paling bisa diandalkan untuk menemani ratu ke sana. Meski kereta kuda ini terlihat sederhana, tapi memiliki lambang gilda kami. Di kota ini, tidak ada orang yang berani mengusik kereta kuda gilda kami," balas ketua gilda dengan ramah.

Prajurit Ezze pun memandang Ruby untuk meminta persetujuan.

"Lakukanlah. Tugas utama kalian kan melindungiku, tidak peduli bagaimana caranya," ucap Ruby.

Sekitar enam orang prajurit Ezze berganti pakaian hingga serupa tentara bayaran dengan tudung untuk menutupi rambut keemasan mereka. Bersama beberapa prajurit gilda, mereka mengiringi kereta kuda sederhana yang dinaiki Ruby.

Kereta kuda berhenti di sebuah gerbang besar yang memiliki tembok tinggi. Begitu gerbang terbuka, di dalam terdapat bangunan lebar berlantai dua dengan taman-taman dan kolam-kolam indah. Kereta kuda kembali berjalan mengelilingi bangunan menuju bagian belakang.

Ruby mengintip dari jendela. Ia melihat banyak laki-laki di bangunan yang melihat keluar. Laki-laki yang ada di sana terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Baru kali itu Ruby mendatangi satu tempat khusus yang dihadiri banyak bangsa yang berbaur.

Begitu kereta kuda berhenti di bagian belakang, seorang laki-laki berkulit gelap dan berambut perak dengan pakaian mewah membukakan pintu dan menyambut Ruby.

"Suatu kehormatan bagi saya bisa menyambut Yang Mulia."

Ruby melihat ke sekeliling. Di bagian belakang bangunan begitu sepi, nyaris tidak ada orang dan penjaga hanya terlihat jauh di sudut. Berbeda dengan bagian depan dan samping bangunan yang dipenuhi banyak pria.

"Yang Mulia tidak perlu khawatir. Pintu belakang ini adalah jalur khusus untuk tamu-tamu penting. Tidak ada yang akan mengenali Yang Mulia," tambah laki-laki berkulit gelap tadi.

Seorang prajurit Ezze berpakaian ala tentara bayaran mendatangi laki-laki tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Kami harus memeriksa keamanan ruangan dan pria penghibur Yang Mulia terlebih dahulu!"

Si lelaki berkulit gelap tersenyum dan mengajak masuk beberapa prajurit melalui sebuah pintu berbentuk setengah lingkaran. Tidak lama kemudian mereka keluar. Salah satu prajurit mendekat lalu menundukkan kepala pada Ruby.

"Ruangan sudah kami periksa, Yang Mulia. Silakan nikmati waktu Yang Mulia. Kami akan menunggu di luar," ucap prajurit Ezze tersebut.

Masih dengan rasa penasaran, Ruby memasuki ruangan dipandu laki-laki berkulit gelap dan berambut perak yang menyambutnya tadi.

Di balik pintu masuk terdapat lorong yang cukup mewah. Lorong itu dipenuhi lukisan dan Ruby menyadari jika lukisan di sepanjang lorong menggambarkan adegan-adegan intim.

Di ujung lorong terdapat dua helai kain panjang berwarna merah yang menjuntai ke bawah sebagai pemisah dengan ruangan selanjutnya.

"Saya sampai di sini, Yang Mulia. Tuan Thony sudah menunggu," kata lelaki berkulit gelap sambil menundukkan kepala dan menyibakkan sedikit salah satu kain untuk mempermudah Ruby lewat.

Ruby melewati kain pemisah ruangan dan tiba di lorong lain yang lebih kecil dengan kain-kain berwarna merah muda yang menjuntai tiap beberapa langkah hingga tembus ke ruangan lain. Sebuah ruangan berwarna merah dengan sentuhan emas yang memiliki furnitur serta tempat tidur mewah menyambutnya.

Alih-alih Thony, Ruby justru mendapati seorang laki-laki muda duduk dengan tenang di salah satu kursi berlengan.

"Di mana Tho—"

Belum sempat Ruby menyelesaikan kata-katanya, sepasang tangan mendekap Ruby dari belakang.

"Apakah Yang Mulia mencari saya?" bisik Thony di telinga Ruby.

Ruby menoleh dan memelototi Thony. "Hentikan! Ada orang lain di ruangan!"

"Siapa?"

Saat Ruby kembali menoleh ke laki-laki muda yang duduk tadi, laki-laki itu telah menghilang.

"Tenang saja, Yang Mulia. Tidak ada yang akan mengganggu kita."

Thony pun melampiaskan hasratnya kembali pada Ruby bahkan sebelum mereka mencapai tempat tidur.

Ruby membenci kondisinya tersebut dan membenci perasaan dikuasai seperti itu. Namun, ia tidak bisa berbohong jika dirinya mulai menyukai apa yang dilakukan Thony pada tubuhnya.

Meski demikian, Ruby masih belum dapat menandingi stamina Thony. Setelah beberapa saat berlalu, Ruby meminta istirahat dengan napas tersengal dan badan bergetar.

Thony tertawa. "Baiklah, Yang Mulia. Sepertinya kali ini sampai di sini saja."

"Hahhh .... Kali ini?" Ruby memandang sengit Thony yang memeluknya sambil duduk.

"Apakah Yang Mulia tidak berkenan melakukannya lagi?" balas Thony dengan seringai licik wajah aslinya yang hanya ditampilkannya saat bersama Ruby.

"Aku datang karena kamu bilang akan dapat menghilangkan noda-noda di tubuhku. Tapi kamu malah menambahkannya."

Thony kembali tertawa.

"Maaf saya menipu Yang Mulia agar Yang Mulia mau menemui saya. Bekas itu butuh waktu untuk menghilang. Bisa jadi dayang Yang Mulia yang satu lagi kembali sebelum bekas itu hilang. Jadi, bukankah lebih baik jika Yang Mulia membuat alibi lain?"

"Kau tahu tentang dayangku selain Kepala Dayang Ellise?"

"Tentu saja. Gilda-gilda mengawasi banyak hal tentang orang-orang penting. Tentu kedatangan seorang ratu asing dan apa yang dilakukan sang ratu akan menarik perhatian. Dayang itu melakukan hal-hal dengan cukup mencolok. Berbeda dengan dayang Yang Mulia yang sempat kami culik."

"Ah, ternyata orangnya Oukha itu cukup bodoh."

"Oh, apakah dia dayang dari pihak raja? Pantas Yang Mulia menyuruhnya untuk tugas-tugas jauh."

Ruby terdiam dan mengatur napasnya lagi.

"Mengapa kita bertemu di sini?"

"Bukankah sudah saya bilang: untuk membuat alibi lain."

"Alibi? Memangnya ini tempat apa?"

"Ini adalah rumah bordil milik saya yang khusus menjajakan laki-laki. Rumah bordil ini adalah satu-satunya di seluruh daratan di mana para wanita bisa memuaskan diri mereka dan memilih pria yang mereka inginkan sesuai selera." Terdengar nada bangga dalam suara Thony.

Ruby belum pernah mendengar hal itu.

Rumah bordil yang menjual laki-laki? Pantas saja para prajurit Ezze mendengarkan kata-kata ketua gilda. Rumah bordil ini pasti terkenal. Pengawal ratu mana yang ingin ratunya ketahuan berkunjung ke rumah bordil? Jadi maksud Thony adalah ia ingin agar Oukha mengira noda di tubuhku berasal dari laki-laki di rumah bordil, bukan dari ratu lebah.

"Apakah tempat ini banyak dikunjungi?"

Thony terkekeh. "Tempat ini tidak pernah sepi, Yang Mulia. Pelanggan rumah bordil ini datang dari berbagai penjuru daratan hingga pedagang-pedagang asing, baik pria maupun wanita-wanita terhormat."

Ruby tersenyum miring. "Kalau begitu perkenalkan padaku laki-laki paling terkenal di sini."

Thony meraih rambut Ruby dan menciumnya, lalu memandang Ruby tajam.

"Laki-laki paling laris di sini pun tidak akan bisa menandingi saya, Yang Mulia."

"Kamu percaya diri sekali." Ruby tertawa.

Thony menidurkan Ruby. "Tampaknya stamina Yang Mulia sudah kembali. Bagaimana jika kita melanjutkan yang tadi?"

Begitulah, Ruby menghabiskan malam-malamnya selama berada di Aritoria bersama dengan Thony. Bahkan ketika Ruby kembali ke ibu kota, Thony menyusul ke ibu kota dan selalu menemukan cara untuk membuatnya bertemu lagi dengan pria itu diam-diam.

Pada suatu malam, saat tengah beristirahat dari sesi panas, percakapannya dengan Thony mengusik Ruby.

"Apakah Yang Mulia memercayai dayang-dayang Yang Mulia?"

"Tidak ada yang kupercayai selain Ellise, kepala dayangku yang kamu culik tempo hari."

"Mengapa Yang Mulia memercayai dia?"

"Dia adalah mata-mata yang sudah sejak lama ditanam dinasti Kraalovna terdahulu di istana Ezze. Dia juga yang menghubungkanku dengan seseorang yang penting di Kraalovna tanpa diketahui Raja Ezze."

Thony mengangkat sebelah alisnya.

"Apakah orang penting itu adalah salah satu yang akan mendukung rencana Yang Mulia?"

Ruby mengiakan. "Tapi aku tidak bisa memberi tahumu sekarang karena eksistensinya sendiri berbahaya. Aku akan menanyakan padanya terlebih dahulu."

Eksistensinya berbahaya? Apakah dia adalah seorang keturunan raja yang selamat dari pembantaian dinasti-dinasti?

"Berarti kesetiaan kepala dayang itu terletak pada seseorang yang penting di Kraalovna?"

Ruby terdiam. Sebuah kekhawatiran yang sebenarnya lama ia rasakan diutarakan dengan gamblang.

"Apa yang ingin kamu sampaikan?"

Thony mengelus pipi Ruby.

"Jangan percaya pada siapa pun, Yang Mulia ... bahkan pada saya sekalipun. Musuh yang terlihat jelas jauh lebih baik dibanding kawan yang abu-abu. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan partner Yang Mulia di Kraalovna itu buruk. Tapi jika saya boleh memberi saran ...."



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro