Chapter 41 - Kerajaan Aritoria: Mahkota Terakhir
Sesuai rencana, Ruby menginap di rumah ketua gilda yang berukuran besar seperti rumah milik bangsawan. Sementara para prajurit Ezze yang mengawal sang ratu berjaga di sekeliling bangunan rumah utama dengan penjagaan yang ketat. Hanya dua prajurit yang berjaga di depan kamar yang ditempati ratu.
Menjelang tengah malam, diam-diam Ruby dibawa melalui jalan rahasia tanpa diketahui prajurit-prajurit Ezze. Jalan rahasia yang terhubung dengan kamar yang ditempatinya langsung tembus menuju jalan di gang kecil yang gelap.
Sementara itu, kepala dayang Ruby yang sudah dibebaskan, berdiam di kamar untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu di luar dugaan. Kepala dayang yang tangguh itu tampak dalam kondisi baik.
Ruby diberikan jubah bertudung warna cokelat tua yang tidak mencolok mata dan tersamarkan dalam kegelapan malam. Sudah disiapkan pula sebuah kereta kuda yang berdiam di sudut jalan, satu blok dari area rumah ketua gilda. Ia menaiki kereta kuda yang tertutup tanpa mengetahui ke arah mana kereta kuda bergerak.
Tidak memakan waktu yang lama ketika kereta kuda akhirnya berhenti dan pintu dibuka dari luar. Tampak Thony sudah berdiri di depan pintu dan mengulurkan tangan, membantunya turun dari kereta kuda.
Ruby melihat sekeliling tempat di mana ia diturunkan. Sebuah rumah lain yang tidak kalah megah dibanding rumah ketua gilda, berdiri tegak di hadapannya. Namun, penjagaan di rumah tersebut jauh lebih ketat dengan tembok yang lebih tinggi. Bangunan rumah pun sedikit lebih luas. Udara terasa lebih asin sehingga Ruby yakin jika rumah tersebut lebih dekat dengan laut.
Ruby diarahkan Thony memasuki bagian depan rumah lebar itu dan keluar ke bagian belakang rumah, melewati taman indah, lalu berhenti di depan sebuah paviliun berpintu biru. Thony membuka pintu tersebut dan masuk lebih dulu diikuti Ruby.
Dua orang yang berdiri di ruang tamu paviliun mengagetkan Ruby, membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata.
"A ... Alex!"
Ruby segera berlari menghampiri sang adik yang dikiranya telah meninggalkan dunia.
"Kak Ruby!"
Alexandrite pun menghambur dan memeluk kakak yang lama tidak ia jumpai.
Kedua kakak beradik itu saling memeluk erat dan bersama-sama menumpahkan air mata kerinduan.
Ruby melepas pelukan dan meneliti adiknya dari atas sampai bawah. Tubuh adiknya kurus dengan kulit lebih gelap dari yang terakhir ia lihat. Hati Ruby perih mengingat perlakuan Khrush yang telah mati pada adiknya. Meski demikian, terpancar rona bahagia dari Alexandrite. Ia kembali memeluk adiknya tersebut.
"Aku sungguh-sungguh bersyukur kau masih hidup, Alex. Ini seperti mimpi!"
"Ada banyak yang ingin kuceritakan, Kak."
Alexandrite pun mengajak Ruby duduk di sofa panjang ruang tamu paviliun, sementara Thony dan Otto ikut duduk di sofa lain. Ia menceritakan semua yang terjadi padanya, termasuk keterlibatannya pada pemberontakan Zetaya hingga pernikahannya dengan Otto.
Sepanjang cerita, Ruby hanya mendengarkan dengan saksama.
Selepas Alexandrite selesai bercerita, Ruby lalu menoleh pada Otto dan sedikit menundukkan kepalanya.
"Aku sudah tahu jika kalian berdua saling tertarik satu sama lain. Terima kasih sudah tidak menyerah untuk menemukan Alex dan membuat Alex bahagia."
Otto tampak sedikit salah tingkah. "Saya melakukannya karena keinginan saya, Nona—ah, maksud saya Yang Mulia. Tidak perlu berterima kasih."
Ruby kembali memandang adiknya dengan tatapan murung.
"Aku ingin memberikanmu hadiah pernikahan. Tidak pantas rasanya di saat tubuhku dihiasi perhiasan, adikku justru tidak memilikinya sama sekali. Tapi aku tidak membawa sekeping uang pun saat ini dan aku tidak bisa memberikan sekadar cincin sederhana di tanganku. Raja Oukha akan bertanya-tanya apakah aku menggunakan perhiasan untuk sesuatu yang tidak diketahuinya."
"Raja yang tidak memercayai siapa pun ternyata. Sungguh berhati-hati dan licik," batin Thony.
Alexandrite tersenyum. "Tidak apa-apa, Kak. Justru aku tidak menyukai perhiasan. Satu-satunya saat di mana tubuhku dihiasi perhiasan adalah saat terkelam dalam hidupku."
Kata-kata Alexandrite merujuk pada saat ia dalam kuasa Khrush. Sebagai calon ratu, ia mendapatkan banyak perhiasan yang selalu dipakaikan oleh sang raja agar Alexandrite makin terlihat memesona.
Ruby tersenyum dan ia menundukkan kepala hingga dahinya bersentuhan dengan dahi adiknya.
"Kalau begitu hadiahku akan menyusul. Saat ini aku hanya bisa memberikan doa untuk kebahagiaanmu dan Otto."
"Terima kasih. Restu Kakak-lah yang sangat berarti untukku."
"Sudah pasti aku merestui kalian." Ruby kembali mengangkat kepalanya. "Kalau begitu apa yang akan kau lakukan setelah menikah?"
"Aku ingin mengetahui keadaan saudari-saudariku yang lain."
Ruby terdiam sejenak. "Apa yang akan kau setelah mengetahui keadaan mereka?"
"Jika mereka kesulitan, aku akan membantu mereka. Jika keadaan mereka semua baik-baik saja, aku akan berbahagia dan mungkin pergi dari tempat ini untuk memulai kehidupan baru bersama Otto. Kami sudah membicarakan kemungkinan pergi jauh ke tempat lain untuk memulai awal yang baru. Otto sangat ingin pergi tapi aku masih belum rela kalau tidak mengetahui keadaan saudari-saudariku."
Ruby tersenyum sedih. "Kalau begitu pergilah, Alex."
Kata-kata Ruby mengejutkan Alexandrite. Ia tidak menyangka kakaknya justru menginginkannya pergi.
"Apakah Kakak tidak berkenan dengan kehadiranku? Aku akan hidup dalam bayangan dan tidak akan mengganggu Kakak juga yang lainnya."
Ruby mencengkeram kedua lengan Alexandrite sambil menggelengkan kepala.
"Tidak, bukan seperti itu maksudku. Semua mengetahui jika kau telah mati. Itu adalah yang terbaik sehingga mereka tidak akan menjadikanmu tumbal, Al ...."
Tumbal?
Ketiga orang selain Ruby yang ada di ruangan menatap Ruby dengan penuh tanda tanya.
Ruby menjelaskan secara garis besar keadaan putri-putri Naz lain, termasuk penyebab kematian adik bungsu mereka dan kegunaan putri-putri Naz dalam perang yang akan datang. Alih-alih merasa sedih, sepanjang bercerita Ruby justru terlihat begitu murka. Tatapannya tajam dan penuh kebencian seolah-olah ia ingin mencabik-cabik beberapa nama jahat yang disebutkannya.
Alexandrite menutup mulutnya. Matanya membelalak, ia menatap Ruby seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Pearl dan Kak Phi ...."
"Aku akan menguliti mereka pelan-pelan! Bahkan jika mereka meminta kematian, aku tidak akan memberikannya!" kutuk Ruby dengan roman gelap yang membuat orang lain bergidik.
Alexandrite lantas mengutarakan keinginannya untuk membebaskan saudari mereka, Sapphire, yang langsung ditentang Ruby.
"Percuma. Sudah terlambat."
"Apa maksud kakak?!" tanya Alexandrite.
"Raja Sirgh masih merahasiakan hal ini karena ia sendiri pun tidak menyangka. Seminggu sebelum keberangkatanku ke pernikahan Emerald, aku dan Oukha mendapat kabar dari mata-mata kami di istana Kraalovna." Suara Ruby bergetar. "Phi telah tiada. Ia tidak sanggup bertahan lagi ketika biadab-biadab Tzaren itu berpesta atas tubuhnya selama tiga hari berturut-turut."
Alexandrite menatap tidak percaya. Sedetik kemudian ia berteriak histeris sebelum jatuh pingsan. Thony lantas menggendong Alexandrite dan membaringkannya di kamar paviliun.
Saat Otto akan memanggil tabib, Ruby menarik tangan suami adiknya itu.
"Dia hanya terguncang, Otto. Biarkan Alex istirahat."
"Tapi ...."
"Jawab pertanyaanku! Apakah kau akan melakukan apa saja untuk Alex?"
Otto mengangguk tanpa ragu.
"Apa kau rela dibenci olehnya demi keselamatannya?"
Otto kembali mengiakan. "Tidak masalah selama Al baik-baik saja."
Ruby kembali tersenyum sedih. "Bawalah Alex pergi sekarang. Setelah ia mengetahui keadaan mengenaskan saudari-saudarinya, Alex tidak akan mundur dan akan melakukan segala cara untuk membantu kami. Dia bisa bertindak ceroboh sehingga keberadaannya akan diketahui. Sekali Alex diketahui masih hidup, ia akan terseret dalam peperangan ini kembali. Aku yakin kau tidak ingin Alex dipermainkan para Tzaren itu lagi."
Otto terdiam.
Ruby menoleh pada Thony. "Apa kamu bisa mempersiapkan keberangkatan mereka berdua secepat mungkin?"
"Tentu. Ada kapal yang akan berlayar jauh ke utara dini hari ini."
"Aku berutang padamu, tolong sediakan bekal untuk mereka. Aku tidak menyiapkan apa pun saat ini."
"Tidak masalah. Aku tidak akan menganggap itu sebagai utang. Bagaimanapun, Otto juga merupakan saudara yang penting untukku."
"Kalau begitu, apa kamu juga memiliki obat bius yang dihirup?"
Thony berlalu sejenak dari paviliun. Ia kembali dengan sebuah botol kaca berwarna cokelat yang diberikan pada Ruby.
Ruby menuang cairan bening dari botol cokelat ke sapu tangannya ketika mendengar suara gumaman Alexandrite, tanda adiknya mulai sadar. Sapu tangan dengan obat bius itu di dekatkan pada hidung Alexandrite.
Pandangan Alexandrite masih samar-samar ketika kemudian ia mencium sesuatu yang aneh dan membuatnya kembali jatuh ke dalam kegelapan. Perlahan suara sang kakak terdengar menjauh.
"Tidurlah lagi Alex ... maafkan Kakakmu ini ... kau berhak bahagia ... pergilah ...."
***
Alexandrite terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Yang pertama ia lihat adalah suaminya, Otto. Pria itu memandanganya dengan tatapan khawatir lalu membantu Alexandrite duduk perlahan.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Otto sambil menuang segelas air yang diberikan pada istrinya.
Alexandrite mengurut keningnya. Ia tidak segera menjawab. Sebuah perasaan aneh menghampiri Alexandrite, ditatapnya keadaan sekitar. Ia berada di sebuah ruangan yang asing. Ruangan tersebut berukuran cukup kecil. Setiap sudut terbuat dari kayu dengan perabotan minim yang senada. Tempat tidurnya lebih sempit dibanding tempat tidur di paviliun rumah Thony. Terdapat pintu di sisi kanan dan jendela berukuran bulat di sisi berlawanan.
Sebuah guncangan besar membuat Alexandrite nyaris muntah.
"Di mana ini?" tanya Alexandrite sambil menutup mulutnya. Perutnya terasa seperti diaduk-aduk. Ia juga merasa begitu haus hingga mengambil gelas dari tangan Otto dan meminum air di dalamnya.
Otto tampak ragu saat akan menjawab. "Kapal."
Jawaban singkat yang membuat Alexandrite mengernyit heran. Ia kemudian teringat kejadian terakhir sebelum pingsan, percakapannya dengan sang kakak, Ruby.
Alexandrite segera bangkit dari tempat tidur. Ia limbung dan nyaris jatuh sebelum berhasil ditangkap Otto. Dengan terhuyung Alexandrite menuju jendela kecil di ruangan itu. Dari kaca jendela, hanya terlihat lautan biru berkelip yang memantulkan cahaya matahari.
Alexandrite menuju Otto, mencengkeram bagian dada baju suaminya.
"Mengapa kita ada di kapal?! Ke mana tujuan kapal ini?! Di mana Kak Ruby?!"
Otto memasang ekspresi merasa bersalahnya.
"Ratu Ruby dan kakakku menyuruh kita pergi dengan kapal yang paling siap berangkat ke negeri yang jauh."
"Apa?!" Alexandrite menatap tak percaya. Ia berteriak histeris. "APA YANG MEREKA LAKUKAN TANPA PERSETUJUANKU?!"
"Tenanglah, Al."
"Bawa aku kembali! Aku akan membantu saudariku yang lain!"
"Itulah ... yang kakakmu takutkan. Ratu Ruby takut kamu akan menerjang ke tempat saudarimu dan tertangkap. Dia khawatir akan keselamatanmu."
"Aku tidak peduli itu! Aku akan kembali! Jangan halangi aku!"
Alexandrite lantas berlari keluar dan Otto mengikutinya dari belakang. Ketidakseimbangan membuatnya beberapa kali menabrak dinding lorong kapal yang sempit. Ia bertanya ke beberapa orang dengan nada tinggi tentang di mana ruangan kapten kapal.
Begitu sampai ke ruangan yang dimaksud, sang kapten yang sudah beruban menyambut Alexandrite dengan senyuman. Tanpa basa-basi, Alexandrite mengungkapkan maksudnya.
"Tidak bisa, Nyonya. Kapal sudah berlayar beberapa hari. Kami akan rugi besar jika harus kembali," jawab sang kapten.
"Kalau begitu pinjami aku sekoci! Aku akan kembali sendiri!" Alexandrite masih tidak menyerah.
Sang kapten menjentikkan jarinya. Muncul empat orang awak kapal berbadan kekar dari pintu masuk, kemudian mereka mengepung Alexandrite.
"Saya mendapat pesanan untuk membawa Anda dan Otto sampai dengan selamat ke benua lain yang sedang kami tuju. Meski tanpa bayaran yang besar untuk permintaan itu, saya akan tetap memenuhi permintaan dari seorang kawan lama."
Tanpa disangka Alexandrite, Otto mendekapnya dengan erat dari belakang dan mengunci gerakannya. Lantas dua awak kapal memasang borgol dari lempengan besi pada kedua tangan Alexandrite.
"Apa-apaan ini?! Lepaskan aku!" Alexandrite berusaha meronta dalam pelukan Otto. Namun, ia yang baru sadar setelah sekian hari pingsan, tidak memiliki tenaga sama sekali untuk memberikan perlawanan yang berarti. "Otto, lepaskan aku!"
"Maaf, Al. Ini demi kebaikanmu."
"Permintaan itu juga diiringi perintah tegas untuk melakukan apa pun yang menghalangi Anda dari tindakan nekat. Ketidaknyamanan ini hanya sementara sampai kita tiba di tujuan." Sang kapten mengelus janggutnya yang memutih. Suaranya tiba-tiba berubah, dari ramah menjadi keras. "Dan tolong jangan berkeliaran, Nyonya! Perjalanan ini memakan waktu berbulan-bulan. Dalam waktu sepanjang itu, kapal bisa menjadi sangat berbahaya untuk wanita muda cantik seperti Anda."
***
Ruby masih berdiri di sebuah tebing dekat kota pelabuhan utama, memandangi cakrawala di mana kapal yang membawa adiknya pergi sangat jauh, perlahan menghilang dari pandangan. Cahaya jingga mulai terbit di ufuk, mengaburkan langit gelap yang sebelumnya mendominasi. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh dan meyakinkan dirinya bahwa itu adalah keputusan terbaik.
Di samping Ruby, Thony berdiri bersamanya sepanjang pagi dalam diam. Ketika kapal tidak lagi terlihat, Thony mengajak Ruby untuk kembali.
"Jangan khawatir, Yang Mulia. Kapten kapal itu adalah orang yang saya percaya. Saya sudah berpesan pada Otto untuk mengirimkan kabar ketika sampai di tujuan," ucap Thony sambil mengulurkan lengannya pada Ruby.
Ruby pun menyambut tangan tersebut dan bersama Thony melangkahkan kaki untuk kembali ke kota.
"Terima kasih sudah membantu. Sekalipun alasanmu membantu karena adikmu turut serta, aku tetap ingin mengucapkannya."
Thony hanya tersenyum. "Apa Yang Mulia masih ada kegiatan lain hari ini?"
"Tentu saja ada."
"Ah. Bolehkah saya tahu kegiatan apa?"
"Berbincang denganmu. Bukankah tujuanku datang ke kota ini untuk bertemu sang Ratu Lebah."
***
Ruby kembali ke rumah ketua gilda. Kepala dayangnya tampak tidak tidur semalaman, menunggu kedatangannya. Ruby pun beristirahat sejenak sebelum mempersiapkan diri untuk bertemu Thony di rumah ketua gilda agar aman dari pantauan prajurit pengawal ratu. Prajurit-prajurit dari Ezze yang mengawal Ruby merupakan orang-orang yang akan melaporkan setiap tindakan Ruby kepada bangsawan-bangsawan Ezze ataupun pada Oukha.
Akan tetapi, Ruby mendapatkan pesan jika Thony baru akan menemuinya tiga hari lagi sehingga ia hanya bisa berbincang dengan ketua gilda dan berkeliling kota pelabuhan pada jeda waktu pertemuannya dengan Thony.
Pada hari ketiga, seseorang menjemput Ruby seperti sebelumnya. Ia diarahkan untuk kembali melewati jalan rahasia yang tempo hari membawanya langsung keluar dari area rumah ketua gilda. Begitu banyaknya cabang di jalan rahasia membuat Ruby yakin ia akan tersesat apabila tidak didampingi. Namun, jalan rahasia yang dilewati kali itu justru berakhir di sebuah ruangan lain yang sepertinya terletak di bawah tanah.
Ruangan tersebut memiliki dua pintu kayu yang letaknya berseberangan, tidak memiliki jendela, dan bercat putih dengan diterangi banyak lentera sehingga mendapat penerangan yang cukup. Terdapat tiga buah sofa memanjang yang mengelilingi sebuah meja kayu berlapis pernis. Beberapa lemari pendek sederhana di sisi kanan dengan hiasan vas bunga dan gulungan kertas di atasnya.
Ruby pun masuk lalu duduk di salah satu sofa, sementara orang yang mengiringnya menunggu di luar.
Tidak lama kemudian, Thony masuk melalui pintu lain yang berlawanan dari arah Ruby datang. Namun, Thony tidak datang sendiri. Seorang tua berambut sepenuhnya putih dengan pakaian megah yang menyatakan status sosial tinggi datang bersama Thony. Orang tua itu bahkan terlihat lebih senior dari ketua gilda.
"Aku tidak menyangka kamu akan datang dengan orang lain. Apakah kamu akan memperkenalkannya?"
Thony mengarahkan satu tangannya ke orang tua tadi.
"Dia adalah bangsawan paling tua di Aritoria. Kepala dewan penasihat raja sekaligus Perdana Menteri Aritoria."
Bangsawan yang diperkenalkan Thony membungkukkan badannya.
"Suatu kehormatan untuk saya dapat bertemu dengan Ratu Ruby dari Ezze."
Ruby mengangkat tangannya sebagai tanda ia menerima salam dan ingin untuk menyudahi basa-basi perkenalan. Ia menoleh pada Thony.
"Mengapa kamu membawa bangsawan Aritoria? Apakah dia akan melaporkanku pada Raja Zakh?"
Thony tersenyum. Ia lantas memberikan bahasa tubuh yang mempersilakan perdana menteri untuk duduk di seberang Ruby, sementara Thony menyusul dengan duduk di sebuah sofa yang terletak di antara Ruby dan perdana menteri.
"Saya tidak berada di sisi Raja Zakh, Yang Mulia. Saya tidak bermaksud melaporkan Yang Mulia," jawab perdana menteri Aritoria sembari tersenyum ramah. Suaranya terdengar tegas, tidak seperti fisiknya.
Ruby menilai bangsawan tersebut mirip seperti Thony, mudah tersenyum tapi tidak mudah menebak arti di balik senyuman tersebut.
"Apakah Yang Mulia merasa jika banyak orang di istana Aritoria memandang Yang Mulia dengan pandangan aneh?" sambung Thony.
Ruby tersentak. Ia menegakkan tubuhnya. "Bagaimana kamu tahu?"
Perdana menteri lantas menyodorkan sebuah buku tebal bersampul hijau dengan motif dari emas di atas meja kayu yang memisahkannya dengan Ruby. Ia membuka halaman tertentu.
"Ini adalah satu-satunya buku silsilah keluarga kerajaan Aritoria dari dinasti sebelumnya. Saya sudah membakar buku salinan lain yang dimiliki oleh istana dan para bangsawan."
"Mengapa dibakar?" tanya Ruby sambil mencondongkan badan ke arah meja. Ia melihat dua halaman terbuka pada buku yang memuat gambar pohon keluarga dengan banyak cabang.
"Agar tidak ada orang Tzaren yang mengetahui gambar Pangeran Aritoria terdahulu," jawab perdana menteri.
"Ada apa dengan pangeran terdahulu?"
Ruby melihat sebuah nama di cabang pohon keluarga pada baris-baris akhir yang bergelar putra mahkota. Rupanya putra mahkota terakhir dinasti sebelumnya merupakan pangeran kedua tanpa tanggal kematian tercantum meski seluruh keluarga kerajaan Aritoria telah dihabisi. Sepertinya buku tersebut tidak dilanjutkan dengan keterangan baru. Sementara putra pertama raja terdahulu memiliki tanggal kematian.
"Apa Yang Mulia melihat pangeran pertama di garis keturunan terakhir dengan tanggal kematian?" lanjut perdana menteri.
Ruby mengiakan dan menyebut sebaris nama.
Perdana menteri lalu membuka beberapa halaman di belakang, melewati halaman-halaman lain yang memuat gambar dari setiap nama yang ada di pohon keluarga kerajaan. Tampaknya setiap anggota keluarga kerajaan memiliki halaman yang menjelaskan tentang diri mereka masing-masing. Perdana menteri lantas berhenti membalikkan halaman.
Ruby melotot pada gambar sketsa besar satu halaman penuh yang diperlihatkan padanya. Seorang pria muda tampan dengan rambut hitam sebahu yang sebagian diikat ke belakang sedang menatap tajam ke depan, seolah ingin menerkam siapa pun yang menggambar dirinya.
"Si ... siapa dia?" tanya Ruby yang masih terguncang.
"Pangeran pertama yang diumumkan telah meninggal. Sekarang Yang Mulia paham mengapa seisi istana memandang Yang Mulia dengan rasa penasaran? Ya, Yang Mulia amat sangat mirip dengan pangeran pertama dari dinasti terakhir Aritoria yang baru dimusnahkan. Saya yakin jika pangeran tersebut seorang wanita, beliau akan persis seperti Yang Mulia," jawab perdana menteri.
Ruby menutup mulutnya dengan tangan bergetar.
"Ba-bagaimana mungkin ...."
Perdana menteri lalu menjelaskan panjang lebar. "Saya rasa ini ada hubungannya dengan kejadian terdahulu. Dulu sekali pangeran pertama jatuh cinta pada anak pedagang asing. Tapi hubungan mereka ditentang istana sehingga pangeran pertama mundur dari posisi calon putra mahkota dan melarikan diri bersama anak pedagang asing ke Kota Suci. Raja Aritoria saat itu tidak bisa berbuat apa pun, karena beliau tidak bisa menyeret seseorang yang sudah menjadi penduduk Kota Suci. Beliau mengumumkan pada rakyat apabila pangeran pertama telah meninggal, sebelum akhirnya pangeran pertama kembali ke Aritoria dalam keadaan benar-benar telah meninggal.
"Kemudian diketahui jika pangeran pertama dibunuh. Terdapat banyak luka dalam di perutnya yang berarti pangeran ditusuk berkali-kali. Raja Aritoria terdahulu memohon kepada penguasa Kota Suci untuk melakukan penyelidikan terkait kematian putranya, tapi permohonan tersebut tidak pernah dikabulkan Naz. Naz hanya berkata jika kejahatan di Kota Suci akan dihakimi berdasarkan peraturan Kota Suci dan Naz mengeklaim jika penghakiman sudah dilakukan. Gadis dari anak pedagang asing yang kabur bersama pangeran pertama pun tidak pernah ditemukan hingga saat ini."
Ruby tersentak. "Jangan bilang ...."
Perdana menteri mengeluarkan selembar kertas yang terlipat. Terdapat sketsa lain, seorang gadis cantik yang sedang menatap kaku.
Meski itu merupakan sketsa lama, Ruby dapat mengenali wajah gadis muda tersebut. Tidak mungkin ia tidak mengenal ibunya sendiri. Wajah yang tidak begitu berubah meski menjadi semakin tua.
"Ini adalah sketsa yang dulu disebar untuk menemukan anak pedagang asing yang melarikan diri bersama pangeran pertama," terang perdana menteri.
Ruby nyaris tidak bisa bernapas. Meski dapat menebak, ia tidak ingin menerima tebakannya sendiri. Sudah lama ia bertanya-tanya mengapa keluarga Naz, selain Naz sendiri, dibatasi untuk sekadar berjalan-jalan di Kota Suci? Mereka harus izin pada Naz jika ingin keluar dari puri tempat tinggal keluarga Naz. Meski pada akhirnya banyak saudari-saudarinya yang kabur diam-diam dari puri untuk menjelajahi kota, tapi mereka akan dihukum berat apabila ketahuan. Bisa dibilang puri itu adalah sangkar bagi keluarga Naz.
"Apa Anda ingin bilang kalau ibu saya mengandung anak pria lain ketika menikah dengan Naz? Anda sadar itu merupakan penghinaan pada keluarga Naz?" Ruby berbicara dengan nada tajam.
Perdana menteri sedikit menundukkan kepalanya.
"Saya hanya menyampaikan kebenaran, Yang Mulia."
"Apa berdasarkan kebenaran Anda, Naz tahu tentang hal itu atau ibu saya menikah dengan menyembunyikan kenyataan tersebut?"
Perdana menteri diam sejenak. "Mengapa Yang Mulia tidak memikirkan kemungkinan lain?"
Ruby mengigit bibirnya.
"Apa menurut Yang Mulia, pangeran pertama yang merupakan calon putra mahkota kerajaan besar tidak pandai mempertahankan diri dan dapat dibunuh dengan mudah di Kota Suci jika itu adalah perkelahian satu lawan satu?" tanya perdana menteri lagi.
Hanya dengan melihat gambar sketsa di buku silsilah keluarga kerajaan Aritoria saja, Ruby dapat mengetahui wajah tegas berkarakter dan mata tajam pangeran berarti kemampuan sang pangeran cukup mumpuni. Sementara ia tahu dengan jelas apabila ibunya merupakan seorang wanita lemah lembut yang tidak menyukai kekerasan.
Ruby memijat keningnya. Ia lantas memilih untuk berkata frontal. "Jadi Anda bermaksud menyampaikan kemungkinan brutal jika Naz saat itu melakukan dosa besar dengan membunuh pangeran pertama demi merebut wanita dan hal itu tidak dilakukan dalam pertarungan yang imbang?"
Perdana menteri hanya diam. Ruby yang gusar pun bangkit dan berjalan ke sana kemari. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Keheningan justru membuat suasana menjadi tegang.
Ruby memandang setangkai mawar merah dalam vas bunga berwarna putih di atas salah satu lemari pendek. Ia meraih kuntum bunga, mengelus, lalu meremas hingga beberapa kelopak bunga terlepas dan bunga mawar itu menjadi hancur.
"Apa yang Anda inginkan dengan menyampaikan fakta tersebut?"
Perdana menteri ikut berdiri dan kembali sedikit membungkukkan badannya.
"Kami sepakat jika Yang Mulia adalah keturunan terakhir dinasti terdahulu. Kami akan membantu seandainya Yang Mulia ingin mengambil hak Anda."
"Kami?" Ruby menoleh pada perdana menteri. "Anda dan Thony?"
"Lebih dari itu."
Ruby menerka-nerka dalam kepalanya berapa banyak yang berpihak pada perdana menteri.
"Bagaimana dengan keinginan kalian? Apa kalian tidak menyukai raja baru kalian?"
"Yang Mulia Raja Zakh adalah orang yang kompeten juga cukup bijaksana. Sayangnya ... orang-orang Tzaren yang lain tidaklah seperti Raja Zakh, beberapa mulai menunjukkan keangkuhan dan menganggap kami lebih rendah. Sudah mulai bermunculan tindakan nepotisme yang dikhususkan untuk orang-orang berkepala merah. Ada banyak suara protes tentang pendatang asing yang langsung menempati posisi-posisi tinggi padahal kemampuan mereka tidak cukup layak. Jika bukan karena raja saat ini merupakan pemimpin yang baik, kemungkinan sudah banyak yang membayar tentara bayaran untuk menggulingkan kekuasaan. Sementara ratu saat ini pun tidak menjanjikan. Seandainya ada kemungkinan lain, seorang keturunan dinasti asli Aritoria yang mempunyai kecakapan meski ia seorang wanita, kami akan lebih memilih pilihan terakhir," jawab perdana menteri.
"Tapi Ratu Aritoria saat ini adalah adikku. Kalian ingin aku mengkhianatinya?" selidik Ruby.
Perdana menteri tersenyum. "Bukankah Yang Mulia sudah mengkhianati adik Yang Mulia? Kami mengetahui perihal Yang Mulia bekerja sama dengan Raja Oukha untuk memanfaatkan ketidakkompetenan ratu. Karenanya kami membiarkan begitu saja kepala dayang Ratu Jade berkeliaran menggunakan cap ratu untuk melakukan banyak hal yang akan merugikan ratu, meski beberapa bangsawan netral sudah mulai menyuarakan keberatan."
Ruby tidak terkejut. Sebelumnya, ia sendiri merasa heran. Tentunya bangsawan Aritoria cukup tajam untuk mengetahui jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan, tapi mengapa mereka tidak bergerak? Siapa sangka sebagian bangsawan membiarkan hal tersebut begitu saja untuk mempermudah jalannya mengacaukan kepemimpinan saat itu di Aritoria.
"Kami menyayangkan Yang Mulia bekerja sama dengan Raja Oukha. Tapi kami juga paham posisi sulit Yang Mulia. Sungguh luar biasa Yang Mulia bisa bertahan dengan baik dalam perang kekuasaan di antara raja-raja keturunan Tzaren, bukti jika Anda memiliki cukup kemampuan. Kami mendengar jika Yang Mulia mempunyai agenda tersendiri. Kami akan mendukung penuh untuk hal itu," lanjut perdana menteri.
Ruby tidak pernah menyangka sebelumnya, jika kuda-kuda perang yang ia butuhkan datang sendiri ke hadapannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro