Chapter 40 - Kerajaan Aritoria: Ratu Lebah
Setelah mendapat izin dan akomodasi dari Zakh, Ruby langsung menuju kota pelabuhan utama Aritoria keesokan harinya. Padahal hari itu baru hari keduanya di istana Aritoria.
Bukan tugas dari Oukha yang membuat Ruby bergegas seperti itu, tapi sesuatu terjadi pada kepala dayangnya, Ellise. Ellise diculik ketika sedang mencari tahu tentang siapa orang yang paling berkuasa di antara gilda-gilda tentara bayaran. Ellise adalah orang yang berhati-hati dan cekatan. Ruby yakin kepala dayangnya itu menemukan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui.
Alih-alih Ellise yang kembali membawa informasi, justru sebuah surat diberikan melalui seorang pelayan istana Aritoria pada penghujung sore di hari kedatangannya. Surat tersebut berbunyi:
Jangan mencari sesuatu di luar kapasitas Anda.
Hal yang bahkan luput dari mata emas.
Dayang Anda akan kami kembalikan.
Jika Anda setuju, akan kami kembalikan dalam lima hari.
Jika mengikuti nama Anda, sarang lebah akan sangat menarik.
Terutama takhta sang ratu lebah.
Surat itu merupakan ujian untuk Ruby. Perihal larangan, dayangnya, dan pengembalian si dayang dituliskan dengan kalimat jelas. Apabila Ruby bukanlah orang yang sanggup menebak arti kata-kata kiasan dalam surat, maka fokusnya tertuju pada pengembalian si dayang. Ia tinggal menunggu dayangnya dikembalikan dalam waktu lima hari. Namun, jika Ruby adalah orang yang patut diperhitungkan, maka tentunya Ruby dapat menebak maksud lain yang dituliskan pada surat.
Ruby menyadari kata-kata kiasan di dalam surat tersebut.
'Mata emas' berarti keluarga kerajaan dan berarti pula jika keluarga kerajaan sebelumnya tidak tahu kalau ada sosok yang mengendalikan seluruh gilda dalam bayangan.
'Mengikuti nama' berkaitan dengan batu permata rubi yang terkenal kekerasannya setelah berlian. Maksudnya adalah apabila Ruby masih keras kepala dalam menemukan orang yg dicarinya.
'Sarang lebah' adalah kota pelabuhan utama Aritoria yang menjadi pusat tentara bayaran di Kerajaan Aritoria. Julukan itu hanya terkenal di kalangan tertentu saja.
'Takhta sang ratu' adalah markas gilda tertentu di mana sosok orang yang menguasai gilda-gilda tentara bayaran berada.
Ruby harus bergegas karena perjalanan dari ibu kota Aritoria menuju kota pelabuhan utama berjarak dua hari dengan kereta kuda disertai iring-iringan prajurit, begitu pun sebaliknya. Memang lebih cepat jika ia berkuda sendiri. Namun, dengan banyak mata mengawasi, mustahil seorang ratu yang tidak didampingi dayang pribadi menyelinap pergi selama lima hari tanpa membuat kehebohan. Dalam lima hari dayangnya akan dikembalikan ke ibu kota, yang berarti dayangnya akan dikirimkan kira-kira pada hari ketiga, sehingga Ruby harus bergegas pergi sejak hari pertama agar dirinya tidak berselisih jalan.
Akan tetapi, kalimat terakhir dalam surat masih menjadi teka-teki. Ia tidak tahu pasti markas gilda yang dimaksud.
Ruby pun segera mendatangi kepala dayang Ratu Aritoria. Ia tahu jika kepala dayang adiknya itu adalah salah satu orang Oukha. Ruby menyampaikan isi surat misteriusnya.
Kepala dayang ratu tampaknya juga sudah melakukan perintah Oukha tersebut dan gagal, sehingga Oukha menyuruh Ruby untuk melakukan tugas yang sama: mencari siapa orang yang bisa mengendalikan gilda-gilda tentara bayaran.
"Dari hasil penyelidikan kami, ada tiga gilda besar yang kami curigai sebagai tempat sosok penggerak gilda itu berada," ucap Kepala Dayang Iris. Ia kemudian memberikan nama tiga gilda besar Aritoria.
Sesampainya di kota pelabuhan utama, Ruby bahkan tidak beristirahat terlebih dahulu. Ia langsung mendatangi satu persatu markas utama dari gilda-gilda besar yang disebut oleh Kepala Dayang Iris.
Dua gilda yang didatanginya tidak memberikan hasil. Tidak ada yang aneh dan mencurigakan. Ketua gilda di gilda pertama adalah orang yang berapi-api dan sembrono, tentunya bukan sosok yang bisa mengendalikan gilda dari balik layar. Ketua di gilda kedua yang didatanginya adalah sosok licik yang seolah bisa menipu setiap saat dan sangat berotak dagang. Namun, Ruby tahu keserakahan seperti itu akan berakhir dengan perang antar gilda. Padahal gilda-gilda saat itu tidak tampak bersatu tapi juga tidak berperang satu sama lain yang berarti ada sosok berkepala dingin yang mengendalikan semua gilda.
Ruby pun sampai di markas gilda ketiga. Ia menatap bangunan berlantai tiga dengan atap datar di hadapannya, berharap informasi yang berhasil dikumpulkan orang-orang Oukha sejauh itu benar. Jika tidak, ia akan mulai meragukan semua informasi dari pihak Oukha.
Ruby diantar menuju ruangan ketua gilda ketiga begitu penjaga pintu melihat Ratu Ezze datang berkunjung.
Ruby memasuki sebuah ruangan berpintu persegi dengan dua daun pintu, satu-satunya pintu yang terlihat paling besar dan paling mencolok di lantai ketiga markas tersebut.
Sosok di dalam ruangan ketua gilda adalah pria paling tua dibanding dua ketua gilda sebelumnya. Ketua gilda ketiga itu berwajah tegas dengan banyak keriput, rambut berpotongan pendek yang sudah memutih, ditambah janggut dan kumis lebat sewarna rambut. Sosok yang terlihat bijaksana disertai pengalaman hidup yang panjang. Sosok berwibawa seperti itu tentu saja paling sesuai sebagai orang yang mengendalikan gilda-gilda besar dari balik layar. Namun, Ruby berpikir lain meski ia telah yakin di gilda tersebutlah takhta sang ratu lebah berada.
Ketua gilda ketiga bangkit dari tempat duduknya dan mempersilakan Ruby untuk duduk di sofa panjang yang biasa digunakan untuk menjamu tamu dalam ruang kerja. Ia menuangkan Ruby teh impor berkualitas tinggi.
"Suatu kehormatan bagi saya bisa menjamu Ratu Kerajaan Ezze. Ada apa gerangan sehingga Yang Mulia datang ke tempat kumuh seperti ini?" sambut ketua gilda.
Ruby yang sudah menyamankan diri di sofa, tidak langsung menjawab. Ia meneliti ketua gilda tersebut dengan tatapan menyelidik.
"Aku mencari seseorang."
"Seseorang ya ...." Ketua gilda mengelus janggutnya yang memutih. "Siapa yang Yang Mulia cari?"
"Ratu Lebah."
Ketua gilda terdiam sejenak. "Ratu Lebah? Apakah itu sebuah gelar atau julukan seseorang? Atau sebuah barang?"
"Julukan dari seorang pengecut yang hanya berani di belakang layar."
Jawaban tajam Ruby tampaknya membuat ketua gilda sedikit terkejut.
"Saya tidak menyangka putri Naz bisa berkata seperti itu."
"Aku seorang ratu sekarang. Jangan menyamakanku dengan putri Naz lain yang tidak bisa meninggalkan identitas lama mereka!" Tatapan Ruby menyipit.
Sebuah kalimat satire. Ruby bahkan menyindir adiknya yang merupakan ratu di kerajaan yang sedang ia kunjungi.
Meski tersenyum, mata ketua gilda tampak terguncang dengan apa yang baru didengarnya. Sebuah isyarat keterkejutan lain yang samar dan menghilang dengan cepat.
"Maafkan ketidaksopanan saya. Apakah Yang Mulia ingin kami mencarikan orang tersebut? Jika iya, apakah Yang Mulia memiliki ciri khusus lain yang bisa membantu kami?"
Ruby mengakui pengendalian diri si ketua gilda dalam bersikap. Memang, tidaklah banyak yang bisa membuat terkejut seorang sepuh dengan banyak pengalaman hidup.
"Apakah Anda bisa berpedang?" Ruby justru bertanya hal yang tidak menjawab pertanyaan ketua gilda.
"Saya sudah tua, tapi saya masih bisa memainkan pedang meski dalam waktu sebentar."
"Apakah Anda bisa menulis?"
Ketua gilda mulai mengira-ngira arah pertanyaan Ruby. "Saya bisa menulis juga, Yang Mulia. Tapi saya lebih sering menyuruh juru tulis saya dalam surat menyurat. Saya hanya menandatangani saja."
"Selain juru tulis tersebut, siapa lagi yang bisa Anda serahkan perihal surat menyurat atau keputusan lain?"
"Wakil ketua gilda ini."
"Saya ingin bertemu dengan keduanya, wakil gilda dan juru tulis Anda."
Ketua gilda tersenyum. Ia menyuruh pelayan di luar untuk memanggil kedua orang yang dimaksud Ruby.
Tidak lama kemudian, masuklah dua orang laki-laki. Satu juru tulis berusia muda yang tampak tertutup dan satu yang diperkenalkan sebagai wakil ketua gilda, seorang laki-laki paruh baya yang terlihat tegas dan tenang seperti versi muda dari ketua gilda.
Ruby memperhatikan kedua orang yang baru masuk dengan saksama.
"Apakah wakil ketua gilda adalah anak Anda?"
"Penglihatan Yang Mulia tajam sekali. Ya, dia adalah anak saya. Bukankah wajar jika anak sendiri dipersiapkan sebagai penerus? Karenanya, saya memilihnya menjadi wakil ketua gilda saya. Dia cukup kompeten untuk hal itu," jawab ketua gilda sambil tersenyum.
Ruby balas tersenyum pada ketua gilda.
"Apakah ada ruangan kosong di markas ini? Aku ingin meminjamnya."
"Saya bisa menyiapkannya. Apakah Yang Mulia ingin menanyakan sesuatu pada mereka berdua secara pribadi?"
"Tidak."
"Lantas ... apakah saya boleh tahu tujuan Yang Mulia memakai ruangan?"
"Aku lelah. Aku tidak beristirahat sama sekali selama perjalanan dari ibu kota ke kota pelabuhan ini. Sebelum kemari pun, aku telah mengunjungi beberapa gilda."
"Saya bisa mencarikan penginapan berkualitas tinggi jika Yang Mulia berkenan."
Ruby tertawa kecil. "Dan melewatkan kesempatan bertemu Ratu Lebah? Tidak, tidak. Aku ingin beristirahat di sini. Aku tidak akan beranjak keluar dari markas ini sampai Ratu Lebah menemuiku."
"Mohon maaf, Yang Mulia. Tapi sedari tadi saya tidak mengerti tentang Ratu Lebah yang Yang Mulia maksud. Kami juga takut tidak bisa membuat tempat ini layak untuk ditinggali seorang ratu. Apalagi banyak prajurit bayaran yang berkumpul di sini. Kami khawatir dengan keselamatan Yang Mulia."
"Prajurit ya .... Itu tambahan yang bagus. Kau tahu, Raja Ezze tidak menyentuhku sama sekali hingga saat ini. Kupikir aku bisa mencari kehangatan dari prajurit-prajurit di bawah sana. Aku melihat sepintas ada yang memiliki fisik cukup menarik." Ruby menyandarkan kepalanya ke satu lengan dan bersikap santai. Pandangannya lalu beralih ke anak ketua gilda. "Penampilan anak Anda juga cukup baik. Apa dia bersedia menemani ratu yang kesepian ini?"
Anak ketua gilda sontak menghindari tatapan Ruby. Ia seperti berusaha menjaga sikap agar tidak salah tingkah.
"Yang Mu—"
"—Cepat siapkan ruangan dan laki-laki untukku!" potong Ruby. Ia tersenyum miring. "Aku akan menikmati waktuku sampai Ratu Lebah datang. Tenang saja, aku punya waktu yang cukup luang hingga perang nanti dimulai."
Kalimat terakhir Ruby membuat ketiga laki-laki di dalam ruangan terdiam dan menatap waspada padanya.
***
Ruby memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya di sofa ruang kerja ketua gilda sembari menunggu ruangan lain yang sedang disiapkan untuknya. Tidak ada siapa pun di ruangan tersebut selain dirinya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara seseorang masuk ke dalam ruangan.
"Saya dengar Yang Mulia membutuhkan seorang laki-laki untuk menemani."
Ruby membuka matanya. Alisnya bertaut sejenak ketika melihat siapa yang berbicara. Kemudian ia tertawa.
"Hahaha! Sungguh kejutan yang tidak disangka! Pantas saja kamu mempersiapkan sosok lain untuk menggantikan tempatmu. Duduklah."
Laki-laki yang masuk tadi melangkahkan kakinya dan duduk di sofa lain yang paling dekat dengan sofa Ruby.
"Ini sangat menarik! Apa hubunganmu dengan Komandan Otto?"
"Saya saudara kembarnya," jawab Thony tanpa ragu.
"Ah ... aku baru mengetahui jika Komandan Otto mempunyai kembaran."
"Yang Mulia tidak meragukan kata-kata saya?"
"Kamu begitu mirip secara fisik."
"Apakah tadi Yang Mulia mengira saya adalah Otto?"
"Untuk detik pertama, iya. Tapi kamu begitu berbeda."
"Apakah karena lengan saya yang masih utuh?"
"Tidak hanya itu. Sorot mata kalian jauh berbeda. Sorot mata Otto begitu jernih. Kamu sebaliknya, penuh ambisi dan kejam." Ruby tersenyum. "Apakah Komandan Otto ada di Aritoria?"
Ketika Thony akan menjawab, Ruby memotong dan melanjutkan kata-katanya.
"Jangan katakan ia berada di Kota Suci, karena aku tidak akan percaya lagi padamu jika aku tidak mendapatinya di Kota Suci dalam waktu dekat ini."
Thony terdiam lalu tersenyum. "Ya. Otto ada di Aritoria dan sudah mundur dari posisi komandan tentara Kota Suci. Saat ini dia bekerja untuk saya."
Ruby sudah menduga hal itu. "Kalau begitu siapa namamu?"
"Nama saya Thony, Yang Mulia."
Ruby tersenyum. "Senang bertemu denganmu, Thony. Sungguh pertemuan yang menarik."
Thony balas tersenyum. "Saya pun merasa terhormat bisa bertemu dengan Yang Mulia. Kalau boleh tahu, bagaimana Yang Mulia mengetahui perihal Ratu Lebah?"
"Aku hanya menganalisis seperti biasa. Ada tiga gilda besar hasil pantauan mata-mata Raja Ezze. Kupikir kamu sudah mengetahui jika gildamu menjadi salah satu gilda yang dicurigai sebagai takhta Ratu Lebah. Kamu pasti mempersiapkan ketua gilda sejak lama, sementara wakil gilda palsu baru dipersiapkan. Ketua gildamu sungguh sempurna untuk sosok yang terlihat bisa mengendalikan seluruh gilda yang ada, dia berpengalaman dan disegani. Tapi terlalu sempurna bagiku hingga seperti bagian dari perencanaan yang matang. Sementara anaknya yang menjadi wakil gilda palsu memiliki tangan halus tanda jarang memegang pedang, bertolak belakang dengan ketua gilda. Padahal jika ingin menyatukan seluruh gilda, maka orang itu harus memiliki kemampuan tinggi, baik secara pemikiran maupun kemampuan berpedang. Jika tidak memiliki kemampuan berpedang yang bagus, posisinya akan cepat disingkirkan ketua gilda lainnya."
Thony sedikit terkejut. "Nalar yang bagus. Tapi apakah hanya itu yang membuat Yang Mulia yakin ketua gilda ini bukanlah Ratu Lebah?"
"Kesalahanmu yang membuatku yakin."
"Kesalahan?" Thony mengangkat kedua alisnya.
"Wakil ketua gilda itu," terang Ruby dengan santai. "Ketua gilda sudah sangat tua. Andaikan ketua gilda ini seorang Ratu Lebah, ia seharusnya menyiapkan penerus. Tapi mengapa penerus yang dipersiapkan seperti itu? Dari situlah aku bertanya-tanya, mengapa ketua gilda memakai wakil gilda palsu jika bukan karena wakil gilda ini tidak ingin tampil di hadapanku? Lantas ... untuk apa seseorang yang hanya setingkat wakil gilda bersembunyi?"
Ruby tetap tersenyum. Mereka lalu hanya saling menatap dalam waktu lama.
Thony tidak menyangka jika putri Naz yang ia temui itu sangat berbeda dari putri Naz yang menjadi Ratu Aritoria dan putri Naz yang baru-baru saja menikahi adiknya.
Ruby benar-benar serupa ratu. Sikapnya tanpa ragu. Kepercayaan dirinya begitu tinggi, berbanding terbalik dengan putri-putri Naz yang dibesarkan dengan kerendahan hati. Penilaian dan pengamatannya tajam. Bahkan kehadirannya bisa membuat orang lain merasa tidak nyaman.
"Apakah Anda akan menyampaikan perihal saya pada Raja Ezze?" tanya Thony yang memecah keheningan.
"Tergantung."
Thony memberikan tatapan bertanya-tanya.
Ruby melanjutkan. "Tergantung ke mana arahmu dalam perang yang akan datang dan apakah kamu memiliki ambisi yang lebih besar dibanding menguasai seluruh gilda tentara bayaran dari balik layar."
Thony terdiam sejenak, menimbang-nimbang akan membalas seperti apa. "Jadi Anda ingin menarik saya ke kubu Anda?"
"Ya. Aku ingin menarikmu ke kubu Raja Ezze."
"Kubu Raja Ezze ya ...." Thony mengelus dagunya. "Lantas di mana kubu Ratu Ezze?"
"Bukankah tidak adil jika aku menjawab lebih lanjut sementara kamu tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya?"
Thony tersenyum. "Tentunya dalam perang, saya mengutamakan Kerajaan Aritoria seperti yang sedari dulu dilakukan gilda-gilda tentara bayaran Aritoria. Ke mana Aritoria berpihak, kami akan mendukung. Sulit untuk mengubah tradisi turun-temurun. Bagaimanapun, kami harus menjaga kestabilan tempat kami bernaung."
"Bagaimana dengan ambisimu?"
"Harus sejauh apa saya menjelaskan rasa haus saya?"
"Entahlah ... mungkin sejauh apa yang sempat diraih Raja Tarkh saat perang besar."
Sekilas muncul kilatan hasrat pada mata Thony yang disadari Ruby.
"Bagaimana saya yang rendah ini bisa memimpikan hal sebesar itu?"
"Karena aku yang seorang wanita lemah ini pun memimpikan hal yang sama denganmu."
"Bukankah Yang Mulia sudah menjadi ratu? Jika Raja Ezze memenangkan perang ini, dengan sendirinya Yang Mulia juga akan mencapai posisi lebih tinggi lagi."
Ruby mencondongkan tubuhnya ke arah Thony. "Jika posisiku seaman itu, aku tidak akan berada di sini. Berlari ke sana-kemari melaksanakan perintah Raja Ezze seperti boneka yang sedang dimainkan. Meski sudah menjadi ratu, aku masih menjadi kaki tangan Raja Ezze untuk bertahan hidup. Aku punya visi lain tentang sosok ratu seperti apa yang kuinginkan."
"Sepertinya saya bisa menebak sosok ratu seperti apa yang diinginkan Yang Mulia. Tapi Yang Mulia tahu kan bagaimana pendapat semua kerajaan di dataran ini tentang ratu sebagai pemimpin tunggal?"
Ruby bangkit dari sofa dan berdiri di depan Thony. Ia sedikit menunduk sambil satu tangannya bertumpu di sandaran sofa dan tangan lainnya mengelus wajah pria di hadapannya. Suaranya makin mengecil.
"Tentu saja. Karenanya aku membutuhkan raja baru. Yang akan mengizinkanku untuk setara dengannya."
"Apakah Yang Mulia tidak takut jika raja yang dipilih Yang Mulia ternyata sama saja dengan raja lainnya?"
Thony menatap mata Ruby yang berada di jarak yang begitu dekat. Ia bahkan bisa merasakan embusan napas Ruby di kulitnya.
"Itu adalah pertaruhanku. Siapa pun tidak masalah selama bukan kepala merah. Orang-orangku sangat membenci raja berkepala merah," bisik Ruby di samping telinga Thony.
"Saya bisa saja menjual rahasia Yang Mulia pada Raja Ezze."
"Dan kamu akan mengubur ambisimu. Semua Tzaren hanya menjual janji-janji. Pada akhirnya mereka menginginkan bangsa mereka sendiri yang berada di puncak. Raja Ezze pun menjanjikan banyak hal padaku, tapi aku tahu aku hanyalah bidak baginya yang akan dibuang setelah semua keinginannya tercapai. Kamu juga bukanlah seorang Tzaren. Posisi apa pun yang dijanjikan Raja Ezze jika kamu menjual rahasiaku padanya, hanya akan berakhir dengan kepalamu yang digantung. Raja Ezze itu sangat tidak menyukai pengkhianat. Pada awalnya, ia akan menjamu pengkhianat yang berubah haluan dengan memihak dirinya, tapi akan disingkirkannya tidak lama kemudian."
Thony mengambil tangan Ruby yang menyentuh wajahnya lalu mencium punggung tangan tersebut.
"Itu adalah keputusan besar Yang Mulia. Izinkan saya memikirkannya terlebih dahulu. Tapi sebelumnya, saya mempunyai hadiah untuk Yang Mulia karena berhasil menemukan Ratu Lebah ini."
Ruby menegakkan badannya. "Hadiah?"
"Ya. Saya yakin prajurit kerajaan yang menemani Yang Mulia adalah orang-orang Raja Ezze, bukan? Pergilah bersama ketua gilda ke rumahnya. Jika Yang Mulia berstirahat di sana, maka mereka akan beranggapan Ratu Lebah adalah ketua dari gilda ini. Tengah malam nanti, saya akan diam-diam menyelundupkan Yang Mulia ke rumah saya."
"Apakah hadiah itu ada di rumahmu?"
Thony tersenyum. "Sampai jumpa nanti malam, Yang Mulia."
"Sebelumnya ... bisakah kamu mengembalikan dayangku? Dia adalah orangku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro