Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 34 - Kerajaan Ezze: Pernyataan di Pernikahan

Tamu-tamu undangan hadir dari berbagai penjuru, baik dari luar kerajaan maupun dari Kerajaan Ezze sendiri. Mereka telah memenuhi tempat acara yang diberi nama Aula Pilar Istana Ezze, Aula tanpa atap di salah satu sudut istana dengan banyak pilar mewah sebagai representasi kekayaan istana. Aula tersebut hanya dipakai untuk upacara-upacara penting saja, seperti pernikahan Raja dan Ratu Ezze.

Sinar matahari hangat menyinari sore yang cerah itu, menambah keceriaan suasana yang semakin ramai.

Para Tzaren bersaudara bersama Raja Sirgh berkumpul, sementara putri-putri Naz yang lain ikut membentuk kelompok sendiri.

"Aku yakin Kak Ruby akan tampil cantik!" seru Taaffeite dengan semangat.

"Benar. Kak Ruby selalu memikirkan segala sesuatunya dengan detail, pasti gaunnya juga akan diperhatikan saksama," sambung Jade.

"Gaun dengan detail ya ...." Tampaknya Lazuli memikirkan sesuatu. Entah mengapa ia yakin pernikahan sang kakak tidak akan menjadi sekadar pernikahan biasa.

"Apa yang kau pikirkan, Laz?" tanya Jade begitu melihat adiknya tenggelam dalam pikiran.

"Ah, bukan apa-apa." Lazuli menoleh ke samping dengan cepat. "Siapa pria di belakang Kak Emerald?"

Semua lantas menoleh ke arah Emerald yang tampak sangat jauh berbeda dari yang terakhir mereka temui saat pemakaman Pearl.

Tubuh Emerald jauh lebih berisi dan kelihatan sangat sehat. Rona wajah yang berseri-seri membuatnya terlihat lebih bersinar, memancarkan kecantikan yang lama tertutupi penyakit. Di belakang putri kelima Naz itu, berdiri sigap seorang pria tampan dengan rambut cokelat terang dan berbadan tegap.

"Perkenalkan. Kesatria pribadiku, Einz." Emerald tampak tersipu saat memperkenalkan kesatrianya.

"Wah, kau punya kesatria pribadi? Dia tampan juga," celetuk Lazuli.

Akan tetapi, kesatria bernama Einz itu bergeming dengan perkataan Lazuli dan menundukkan badannya untuk memberi hormat. Pria pendiam yang fokus hanya pada majikannya.

Tiba-tiba trompet dibunyikan dari arah pintu masuk istana. Semua tamu menoleh dan mendapati Oukha sebagai pemimpin tertinggi Ezze memasuki Aula Pilar dengan pakaian resmi kerajaan yang ditutup jubah kebesaran raja berwarna merah dan berhiaskan ornamen emas. Sebuah mahkota besar dipasang di kepalanya, penuh dengan batu-batu rubi yang mencolok. Raja Oukha melangkah tegas menuju altar dengan wajah yang tersenyum lebar.

Tidak lama kemudian, mempelai wanita menyusul masuk. Ruby memakai gaun mewah berwarna emas dan jubah merah senada dengan Raja Oukha. Gaun tersebut seperti gambaran dari kekayaan dan kecintaan Ezze akan seni. Gaun khas Ezze yang bagian luarnya terbuat dari dua macam kain, yakni sutra dan kain tenun dengan benang emas. Permata-permata ditaburi dengan presisi. Mahkota emas yang unik tersemat di kepala gadis yang akan menjadi ratu itu.

Siapa pun yang melihat dapat mengetahui betapa Ruby memiliki aura agung seperti ratu, berbeda dengan saudari-saudarinya yang saat pernikahan masih memiliki aura damai dan hangat seorang putri Naz.

Ruby melangkah menuju altar dengan langkah tegas dan kepala tegak memandang lurus ke depan. Ekspresi wajahnya dingin. Tidak ada perasaan canggung ataupun malu terlukis di tindak tanduknya meski menjadi pusat perhatian.

Ketika Ruby sampai di altar, Oukha dan Ruby seperti pasangan yang saling melengkapi. Seorang raja yang bersikap santai dan sering tersenyum berpasangan dengan seorang ratu yang berwajah juga bersikap tegas.

Upacara pernikahan pun berjalan lancar.

Setelah pernikahan yang diikuti penobatan ratu usai, Oukha membimbing ratu barunya turun dari altar dan pergi keluar dari Aula Pilar tersebut diikuti para tamu undangan.

Saat melewati barisan raja-raja berdarah Tzaren, Ruby menoleh lalu menatap tajam ke arah mereka. Sebuah tatapan mengancam yang hanya diberikan pada musuh.

Tidak ada yang tahu pasti siapa yang Ruby lihat dengan begitu tajam, tapi Raja Sirgh sempat bergidik sekilas.

"Sialan! Tiba-tiba aku merasa resah hanya dengan seorang wanita lemah? Sepertinya tadi aku terlalu banyak minum!" umpat Raja Sirgh dalam hati.

Raja dan Ratu Ezze diikuti tamu-tamu berjalan melewati koridor istana berkarpet tebal yang diterangi lilin-lilin merah beraroma bunga di sepanjang jalan. Beberapa prajurit penjaga yang berpakaian lengkap berdiri sigap mengawal koridor itu.

Di ujung koridor terdapat pintu raksasa menuju sebuah ruangan besar yang didekorasi indah. Ruangan tersebut bernuansa emas dengan sedikit sentuhan merah. Makanan-makanan ditaruh pada meja yang bertingkat-tingkat. Sofa-sofa dengan kelambu dari kain emas disediakan di beberapa sudut. Terdapat patung emas di tengah-tengah ruangan yang mengeluarkan wine dari tangannya, jatuh menuju piramida gelas yang diatur sedemikian rupa di bawah patung tersebut. Pelayan-pelayan wanita dalam balutan sehelai kain ringan berwarna serupa warna kulit, berdiri sigap di beberapa titik.

Ketika seluruh tamu telah sampai di aula mewah yang digunakan sebagai tempat resepsi dan perjamuan tersebut, kedua Raja dan Ratu Ezze menghilang untuk mengganti baju mereka dengan baju khusus resepsi.

Para tamu undangan dipersilakan memulai pesta lebih dulu dan menikmati pesta yang diisi makanan-makanan enak juga pertunjukan-pertunjukan seni khas Ezze. Ada tarian-tarian, musik-musik eksotis, hingga atraksi-atraksi yang jarang terlihat di kerajaan lain. Suasana begitu meriah hingga bisa membuat para tamu larut dalam irama pesta.

Sesuai budaya Ezze, raja dan ratu baru akan kembali ke pesta di penghujung perjamuan saat mengumumkan pernikahan ke rakyat. Resepsi di hari pertama itu hanyalah satu dari sekian banyak rangkaian perayaan pernikahan raja yang dilaksanakan seminggu penuh.

Di suatu sudut dengan sofa-sofa yang dihiasi banyak bantal berwarna merah ....

"Aku kaget sekali ketika Ratu Ruby menoleh tiba-tiba!" cetus Rakha. Ia menghela napas sambil bersandar. Sesungguhnya ia ingin mengatakan jika sang ratu terlihat mengerikan, tapi hal itu terdengar tidak sopan.

"Sungguh berbeda dengan adik-adiknya," lanjut Zakh yang selalu melontarkan kalimat singkat.

"Ratu menoleh pada siapa?" tanya Tarkh yang seperti gumaman. Ia merasakan kegelisahan akan tatapan Ruby. Seperti ada sesuatu yang sebenarnya tersirat dari gerak-gerik sang ratu.

"Pada kita semua? ... Sepertinya," sambung Azkhar dengan mulut penuh makanan. Makanan Ezze yang lezat sangat jauh berbeda dengan makanan di kerajaannya sehingga Azkhar berusaha menyantap sebanyak mungkin hidangan sambil memperhatikan tamu-tamu wanita yang menarik perhatiannya.

"Hei, Raja Azkhar. Siapa yang bersama ratumu?" tanya Sirgh.

"Kekasi .... Eh ... uhuk, maksudku pengawal pribadinya." Azkhar lantas terbatuk-batuk. Ia nyaris melontarkan sebuah fakta. Namun, tentu saja sudah terlambat. Saudara-saudara Azkhar melihatnya dengan pandangan aneh.

"Kau membiarkan calon ratumu memiliki kekasih?" tanya Zakh.

Azkhar tampak salah tingkah. "It-itu .... Ah, aku pikir ...."

"Oh, kau bisa berpikir?" sindir Tarkh.

"Bu-bukankah kewajibanku hanya menjadikannya ratu? Aku tidak menyukainya dan ia tidak menyukaiku. Wa-wajar kan kami punya kekasih masing-masing?" Azkhar mencoba membela diri meski ia gemetar ketakutan di bawah tatapan kakak tertuanya, Tarkh.

"Dan kau mengizinkan hal itu? Atau jangan-jangan kau memang mencarikan pasanganmu kekasih lain?" Tarkh mengurut keningnya.

"A-aku lihat ada yang menyukai Emerald, jad-i kubilang padanya un-untuk jadi kekasih Emerald saja dan sepertinya Emerald juga menyukainya. Aku tidak ingin gadis itu bergelayut manja dan mengemis cintaku!"

Tarkh menepuk kepalanya, tidak menyangka adiknya bisa berpikir rendah begitu. Tarkh memang tahu kedua adiknya yang kembar memiliki persamaan: sama-sama senang bermain dengan banyak wanita. Namun, ia tidak menyangka Azkhar setidak suka itu hingga membiarkan Emerald mempunyai kekasih intim lain, bukti jika adiknya tidak akan menyentuh Emerald. Meski ia lebih terkejut mendapati seorang putri Naz bisa bertindak nakal begitu.

"Kau menyodorkan calonmu pada laki-laki lain?! Kau sudah gila?! Aku sakit kepala melihat kelakuanmu dari hari ke hari. Sesuka kau saja! Tapi pastikan kau memperlakukannya dengan baik dan jangan lupakan kewajiban untuk membuat keturunan!"

Azkhar mengernyit seakan ingin muntah mendengar kalimat terakhir kakaknya, tapi ia segera mengangguk begitu melihat ekspresi mengerikan Tarkh.

Bunyi trompet terdengar kembali, tanda kedua pemimpin kerajaan itu akan memasuki ruangan. Semua tamu pun berdiri sambil memandang ke arah pintu aula resepsi.

Selain tamu dari kerajaan Ezze sendiri, semua memandang bingung pada Raja dan Ratu Ezze yang memasuki ruangan.

Kedua pemimpin Kerajaan Ezze memakai pakaian yang tidak biasa digunakan pada pesta resepsi pernikahan, pakaian serba hitam bergaya khas Ezze dengan hiasan berukir emas.

Hiasan yang sangat mencolok terletak pada punggung sang raja dan kedua bahu sang ratu. Siapa pun yang dibekali pendidikan bangsawan akan mengetahui dengan pasti jika itu adalah ukiran dari lambang militer Ezze, lambang kedua setelah lambang kerajaan yang sering berkibar di panji-panji perang.

Para Raja keturunan Tzaren memandang Raja dan Ratu Ezze dengan berbagai pikiran yang berkecamuk.

"Apa maksud Oukha?!" batin Tarkh.

"Sepertinya ada sesuatu yang tidak kusadari sedang terjadi," pikir Zakh.

"Hah! Dasar bocah sialan! Berani sekali dia mengibarkan bendera perang lebih dulu!" maki Sirgh dalam hati. "Tidak mungkin bocah itu menumpahkan darah di pernikahan ini. Dia tentu tahu dengan pasti, pihak Putri Kleih yang akan mendapatkan keuntungan jika dia bergerak sekarang."

Meski meyakini pikirannya, tanpa bisa dicegah Sirgh memegang gagang pedang hiasan yang tergantung di pinggangnya, pedang yang sebenarnya lebih dari sekadar pedang aksesori pakaian raja. Pedang itu setajam pedang perangnya tapi berukuran lebih pendek dan terasa lebih berat dengan banyaknya ukiran emas juga permata yang tidak penting.

Sementara itu para bangsawan Ezze memandang tamu dari kerajaan lain sambil berbisik-bisik dan melirik dengan pandangan aneh.

"Terima kasih untuk semua yang sudah hadir pada pesta pernikahan ini! Tidak ada hari yang lebih membahagiakan bagi saya selain saat ini," seru Oukha dengan suara lantang, memecah suasana. Di wajahnya terlukis senyum berseri-seri laksana seorang pengantin yang memang sedang berbahagia, kontras dengan pakaian yang ia kenakan. "Sekarang mari kita menuju balkon untuk mengumumkan pernikahan bahagia ini pada rakyat Ezze!"

Yang dimaksud Oukha adalah sebuah tradisi pernikahan raja dan ratu di Ezze, di mana pernikahan keluarga raja akan diumumkan di balkon khusus.

Kompleks istana Ezze terletak di tanah yang lebih tinggi dari ibu kota, tepatnya pada sebuah tebing di pinggir ibu kota. Ada salah satu balkon istana yang menghadap ke alun-alun kota. Letaknya cukup rendah untuk bisa disaksikan rakyat dari alun-alun dan balkon itu menjadi tempat pengumuman penting yang disampaikan langsung oleh raja. Biasanya raja menggunakan balkon khusus tersebut untuk mengumumkan pernikahan keluarga kerajaan, atau mengumumkan kelahiran putra mahkota, hingga memberi semangat ketika perang.

Saat digunakan untuk pengumuman pernikahan raja, maka rakyat kerajaan akan memberikan reaksi terkait pernikahan tersebut. Apabila rakyat mendukung pernikahan, maka mereka akan terlihat memenuhi alun-alun. Namun, apabila rakyat kecewa pada pernikahan sang raja, maka akan sedikit yang datang.

Meski kondisi tersebut tidak murni merupakan gambaran dukungan rakyat karena sering ada campur tangan bangsawan Ezze. Campur tangan itu dilakukan kelompok bangsawan ketika mereka ingin menyampaikan ketidaksukaan pada pernikahan raja yang ditentang mayoritas bangsawan. Bagaimanapun, para bangsawan punya kuasa untuk menghalangi atau memaksa rakyat mendatangi alun-alun saat pernikahan raja.

Kedua Raja dan Ratu Ezze pun mendatangi balkon pengumuman tersebut diikuti para tamu undangan. Sebuah balkon luas dengan prajurit yang berjaga di banyak sisi. Ketika sang raja dan ratu mendekati pinggir balkon hingga dapat terlihat jelas dari alun-alun kota di bawah, terdengar seruan membahana yang menggetarkan udara.

Para rakyat di alun-alun berkumpul, membentuk lautan manusia hingga tampaknya tidak ada yang tinggal di rumah. Tangan mereka teracung ke udara dan seruan dukungan terdengar dari semua rakyat yang hadir.

"Hidup Raja! Hidup Ratu!"

***

"Apa maksudmu, Oukha?"

Tarkh menyeret adiknya ke sebuah balkon kecil saat pesta perjamuan pernikahan baru usai. Pandangannya melekat saksama pada baju pernikahan raja yang baru menikah itu.

"Ada apa, Kak? Kau seperti melihat hantu." Oukha melepas pegangan kakaknya.

Tarkh menarik kerah baju Oukha. "Tidak mungkin kau bercanda dengan pernikahanmu. Baju hitam dan lambang militer .... Kau ingin berperang?"

"Tenanglah, Kak. Aku memang tidak sembarangan memilih baju pernikahan. Untuk baju upacaranya merupakan pilihan para bangsawan Ezze. Sedangkan baju resepsi, memang aku yang memilih. Hitam merupakan bukti kalau aku masih merupakan orang Tzaren. Darah Tzaren mengalir di darahku dan aku tidak akan merupakan akarku."

"Dan lambang militer itu?"

"Sebagai peringatan. Setelah kejadian Kak Khrush yang menjadi gila dan dihabisi bangsa di kerajaan yang ia pimpin sendiri, aku ingin membuat pernyataan. Sebuah penegasan jika ada yang berulah seperti Kak Khrush maka orang itu akan berurusan denganku ... dengan aku yang sudah memiliki dukungan militer Ezze." Oukha tersenyum lebar.

Tarkh terdiam. Ia memandang Oukha dengan penuh keraguan. Sebagian dari dirinya ingin memercayai adiknya tersebut. Bagaimanapun, banyak saran dan strategi yang diusulkan Oukha yang membuat dirinya memenangkan beberapa peperangan saat perang besar. Di sisi lain, ia khawatir sang adik memiliki rencana di belakangnya, entah itu rencana yang baik atau yang merugikannya.

Tarkh mengembuskan napas keras. Ia mengurut keningnya sambil bersandar pada dinding. Entah mengapa rasanya seperti ia tertinggal di belakang dalam banyak hal. Apakah yang dikatakan Oukha benar? Apa hanya itu maksudnya?

"Kau tahu kan, aku menganggapmu adikku yang kupercaya. Karenanya aku memberimu kerajaan kaya ini," lanjut Tarkh kemudian.

"Aku tahu, Kak. Aku berterima kasih untuk itu. Jika aku seperti Kak Khrush, aku sudah membantai saudara-saudaraku yang hadir di sini tanpa perlu mengumumkan perang. Dengan dukungan Ezze, hal itu bisa kulakukan. Lalu aku tinggal pergi ke Tzaren untuk mengeklaim takhta. Tapi nyatanya aku tidak melakukan semua hal itu."

Tarkh terdiam sejenak, membenarkan kata-kata adiknya. Namun, seperti masih ada ganjalan di hatinya yang tidak bisa ia jelaskan sendiri.

"Bagaimana dengan putri Naz—ah, maksudku ratumu, Ratu Ruby. Wanita yang ... tatapannya membuatku tidak tenang."

Oukha tertawa kecil. "Hahaha! Jangan bilang kau takut pada Ruby, Kak. Sekilas dia memang tampak begitu dingin, tapi Ruby bukanlah bangsawan yang memiliki keluarga pelindung atau pendukung. Tanpa status putri Naz-nya, dia bukanlah siapa-siapa. Bahkan posisi Naz saja masih kosong dan Kota Suci masih menutup diri."

Adalah aturan Kota Suci, ketika posisi Naz kosong dan penerusnya masih belum dewasa, maka pintu kota akan ditutup. Tidak ada yang boleh masuk ataupun keluar sampai seorang Az siap menjadi Naz yang baru.

"Benar .... Masih butuh beberapa tahun sampai Az kecil menjadi seorang Naz." Tarkh mengangguk-angguk.

Oukha menepuk punggung sang kakak. "Beristirahatlah, Kak. Pesta pernikahanku masih berlangsung beberapa hari lagi. Nikmati saja pertunjukan seni dan makanan Ezze yang tidak akan kau temukan di Tzaren!"

***

Masing-masing tamu undangan dari kerajaan lain diberi paviliun mewah dalam kompleks istana yang cukup berdekatan satu sama lain sebagai tempat beristirahat selama mereka menghadiri pesta.

Paviliun Lazuli bersebelahan dengan paviliun untuk tamu rombongan Kerajaan Innist. Dari kejauhan, Lazuli memandang aneh saat melihat sang kakak, Emerald, yang masuk ke kamar ditemani si kesatria pribadi. Ia pun mengendap-endap di malam yang temaram, mendekati paviliun kakaknya tersebut dengan memutar melewati bagian belakang paviliun yang dipenuhi semak-semak agar tidak terlihat oleh prajurit Kerajaan Innist yang sedang berjaga di area depan paviliun.

Lazuli memasang telinga di dekat jendela yang memiliki celah. Terdengar suara-suara aneh dari dalam kamar Emerald.

"Aku tidak menyangka seorang putri Naz akan menguping kakaknya yang sedang melakukan hubungan intim."

Sebuah suara berat di belakang Lazuli mengagetkan gadis itu.

"Ah ... Raja Sirgh." Lazuli sulit mengenali sosok besar dalam kegelapan jalan setapak di bagian belakang paviliun-paviliun tamu asing, tetapi ia hafal suara Raja Sirgh. Sosok yang dikatakan oleh kakaknya, Ruby, untuk diwaspadai. "Hubungan intim?"

"Menurutmu untuk apa laki-laki dan wanita dewasa masuk ke kamar yang sama?"

"Saya pikir wajar. Bukankah dia adalah pengawal pribadi kakak?"

Sirgh tertawa mengejek. "Sudah kuduga. Putri Naz memang terlalu lugu, meski tidak kusangka ada yang liar juga."

Lazuli mengerti yang dimaksud sang raja, tapi ia tidak nyaman dengan pria itu sehingga dirinya hanya diam. Lazuli dapat merasakan tatapan yang meneliti tubuhnya dari atas ke bawah.

"Berapa umurmu?" tanya Sirgh.

"Empat belas saat pernikahan saya dengan Raja Rakha nanti."

"Ah ... belum waktunya. Aku bisa menunggu," gumam Sirgh yang dapat didengar jelas oleh gadis di hadapannya.

"Maksud ... Yang Mulia?"

Raja Sirgh melangkah ke samping Lazuli yang membuat gadis itu sedikit bergidik. Ia terlihat begitu kecil di samping sang raja. Tangan kasar Raja Sirgh menyentuh pundaknya. Lazuli menoleh ke atas dan melihat sepasang mata memandangnya tajam, tatapan serupa mata hewan buas yang biasanya hanya ia lihat di ilustrasi buku.

"Tenang saja. Aku tidak suka menyentuh kuncup bunga yang belum mekar."

Sirgh meninggalkan Lazuli yang termenung menatapnya. Ia tertawa dan berbicara sendiri dalam hati. Hahaha! Aku dengar dia adalah anak yang cerdas. Ternyata putri Naz tetaplah putri Naz, terlalu lugu menghadapi dunia. Bodohnya aku merasa gelisah dengan wanita bernama Ruby itu hanya karena pandangan tajam yang singkat. Wanita itu tahu apa? Dia sudah pasti sekadar bidak Oukha. Ck! Bocah Oukha itulah yang harus cepat diatasi!

***

Pernikahan Raja dan Ratu Ezze dirayakan seminggu lamanya. Namun, para tamu asing biasanya sudah dapat pulang pada hari ketiga tanpa menyinggung pemilik acara. Barulah di hari ketiga itu, Lazuli mempunyai alasan untuk bertemu empat mata dengan Ruby karena acara pada hari kedua masih padat dengan banyak tamu yang lalu-lalang menemui sang kakak. Ia bertemu pada siang hari di kamar ratu karena malam harinya ada rangkaian acara lain.

"Aku senang kau mengunjungiku, Lazuli!"

Suara penuh semangat Ruby tidak bisa ia tahan lagi setelah menyuruh semua dayangnya keluar ruangan. Hanya tinggal dirinya dan adiknya di kamar yang mewah itu. Kamar khas pengantin Ezze dengan dihiasi kain-kain juga mawar merah yang memberi kesan sensual.

Lazuli memandang kasur sang kakak yang tampak rapi.

"Jangan berpikir aku menghabiskan waktu yang intim dengan Raja Oukha. Kau masih kecil tapi pikiranmu sudah dewasa sekali," goda Ruby.

Wajah Lazuli memerah. "Hei, sebentar lagi aku akan menikah juga!"

Ruby tertawa dan mengajak Lazuli duduk di sofa yang jauh dari tempat tidur di kamarnya yang besar. Ia menuangkan Lazuli teh rempah khas Ezze.

"Wah! Harum sekali!" Lazuli menyesap tehnya dengan perlahan.

"Tentu saja. Ini salah satu minuman andalan Ezze."

"Kakak mengetahui dengan baik tentang Ezze."

"Aku belajar banyak, mau tidak mau, jika ingin bertahan. Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ruby. Ia tahu adiknya yang cerdas itu tidak mungkin datang sekadar berbasa-basi.

"Apakah Kakak tahu kalau Kak Emerald dengan kesatrianya ...." Lazuli bingung memilih kata-kata apa agar tidak terdengar vulgar.

"Ah ... instingmu tajam juga. Sudah kuduga dari adikku yang pintar."

Lazuli tersentak. Ternyata Ruby sudah tahu perihal Emerald.

"Bagaimana Kakak tahu?"

"Aku yang menyuruhnya." Jawaban singkat Ruby kembali mengagetkan Lazuli.

"Bagaimana Kakak bisa menyuruhnya melakukan hal tidak bermartabat seperti itu?" Ucapan Lazuli yang tajam membuat Ruby mengernyit.

"Laz ... kita sudah kehilangan martabat kita sejak diseret dari puri Naz. Aku sudah bilang perang akan dimulai. Kemungkinan besar akan dimulai dari daerah tengah daratan, entah Kerajaan Bielinca atau Innist. Keadaanmu jauh lebih baik dibanding Emerald, karenanya aku memutuskan membantu Emerald lebih dulu. Apalagi semenjak kematian Pearl, aku sadar betapa mudahnya nyawa kita dihilangkan oleh mereka. Dibanding mengkhawatirkan martabat, aku lebih memilih untuk memikirkan keselamatan kita semua."

"Memangnya apa hubungan antara perilaku Kak Emerald dengan keselamatannya?"

"Laki-laki itu sudah tergila-gila pada Emerald. Dia akan menjadi perisai Emerald di saat yang lain dengan mudah melempar Emerald ke musuh demi keselamatan mereka masing-masing."

Lazuli terdiam. Ia menatap sedih tehnya sambil menyeruput dengan perlahan. Dalam pikirannya terjadi pertarungan antara moral yang tertanam di kepalanya selama ia tumbuh baik di Kota Suci dengan logikanya yang mengutamakan pemikiran rasional tanpa dipengaruhi norma.

Ruby tahu, bocah di hadapannya memang cerdas tapi minim pengalaman. Lazuli tidak akan sadar betapa berbahaya kondisi para putri Naz karena gadis itu belum mengalami sendiri kejadian yang kritis. Meski begitu, Ruby tidak ingin adiknya berada dalam kondisi seperti itu.

Ruby pun melanjutkan. "Selama Emerald baik-baik saja, itu sudah cukup untuk saat ini. Aku justru melihat Emerald menjadi jauh lebih bahagia. Sepertinya kesatrianya orang yang baik."

Lazuli lantas teringat pada malam ia mengendap-endap di dekat paviliun kakaknya.

"Ah, ada kejadian lain yang ingin kusampaikan."

Lazuli pun menceritakan pertemuan dengan Raja Sirgh. Dirinya yang memiliki ingatan kuat dapat menceritakan setiap kata dan perilaku Raja Sirgh pada malam itu.

Ruby membanting gelas keramiknya hingga terdengar bunyi keras yang mengagetkan Lazuli.

"Bedebah sialan itu! Berani-beraninya dia terang-terangan mengincarmu!"

Suara tajam yang keluar dari mulut Ruby membuat Lazuli terperangah. Sejak kapan Kak Ruby bisa berkata kasar seperti itu?

"Mengincarku? Untuk apa?"

Ruby menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

"Aku tidak bisa menyampaikan padamu dengan jelas. Bukankah sudah kubilang, aku hanya akan membicarakan segala sesuatunya dengan orang yang berpartisipasi pada rencana Raja Oukha. Terima kasih atas kedatanganmu, Laz. Aku akan memberi tahumu apa yang boleh kusampaikan setelah mendiskusikan ini lebih dulu dengan Raja Oukha. Kau kembalilah dulu."

Setengah kecewa, Lazuli pamit undur diri. Ia ingin ikut dalam rencana yang melibatkan kakaknya tersebut, tapi tidak mungkin ia mau terlibat setelah syaratnya adalah berani membunuh pasangannya. Ia merasa tidak sanggup membunuh Rakha, raja yang sangat polos itu.

***

"Hmmm ... jadi dia menemui salah satu adikmu semalam?" tanya Oukha.

"Ya. Apakah itu berarti target Raja Sirgh selanjutnya adalah Lazuli?" tanya Ruby balik. Ruby segera menemui Oukha setelah pertemuannya dengan Lazuli.

Sang raja saat itu sedang berada di kamarnya sendiri dan berpakaian setengah telanjang usai semalaman berpesta sampai mabuk bersama beberapa wanita, entah bangsawan atau wanita penghibur.

Ruby bahkan tidak merasa perlu repot-repot cemburu atau sakit hati ketika di hari pernikahannya, suaminya tidur dengan banyak wanita lain.

Oukha tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia itu licik. Perilakunya bisa berarti dua hal. Pertama, bisa saja Sirgh sengaja membiarkan kita tahu agar kita berpikir bahwa itu pancingan sehingga tetap berfokus pada Kerajaan Innist, padahal ia memang akan menyerang Kerajaan Bielinca terlebih dahulu. Atau kedua, Sirgh tidak peduli jika adikmu memberitahu perihalnya karena menganggap reaksi kita bukan ancaman dan tetap menjalankan rencananya memulai perang dari Kerajaan Innist, seperti yang terlihat dari gerak-geriknya."

Ruby terdiam, tampak tenggelam dalam pikirannya. Ia membiarkan Oukha menunggu apa yang akan dirinya utarakan.

Oukha sendiri sudah terbiasa dengan sifat Ruby yang lebih banyak berpikir dibanding berbicara. Gadis itu bertindak dengan efisien, berbicara seperlunya, dan terkesan misterius. Sungguh jauh berbeda dengan wanita-wanita manja yang menjadi seleranya.

Oukha senang apabila bekerja sama dengan gadis tegas seperti Ruby, tapi ia tidak dapat membayangkan tidur dengan orang yang dingin seperti itu. Sebaliknya, ia sangat bergairah tidur dengan gadis lembut yang manja, tapi tidak akan tahan bekerja sama dengan gadis yang ia anggap tidak kompeten dan lemah hati.

"Apakah memungkinkan ...," ucap Ruby tiba-tiba yang membuat Oukha kembali fokus dari pikirannya yang sedang berkelana. "... Menyerang Kerajaan Innist dan Bielinca bersamaan?"

Oukha menyandarkan badannya di kursi sambil memutar-mutar gelas anggurnya.

"Secara militer, tidak. Prajurit yang ada tidak akan cukup menyerang dari dua arah. Tapi bisa saja menyerang dengan cara lain."

"Cara lain? Contohnya?"

"Membunuh langsung pimpinan tertinggi tiap kerajaan. Dan cara paling cepat adalah saat pernikahan raja-ratu yang baru di mana kita semua berkumpul. Tinggal tiga pernikahan lagi yang tersisa. Kita harus bersiap sedini mungkin, Ruby."



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro