Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 30 - Kerajaan Innist: Pesta

Meski dicap sebagai kerajaan miskin, bangsawan-bangsawan Innist terkenal suka mengadakan pesta. Mereka bisa mengadakan pesta untuk berbagai macam alasan, seperti saat itu: menyambut utusan dari Kerajaan Tzaren.

Makanan-makanan mewah dihidangkan dan anggur-anggur terbaik dikeluarkan. Meski pesta itu tergolong pesta sederhana, tapi bangsawan-bangsawan hadir dengan pakaian terbaik mereka dihiasi perhiasan-perhiasan mencolok.

Utusan Tzaren berkeliling memandang tamu-tamu pesta yang hadir. Ia mentertawai mereka dalam hati.

Mengapa selera berbusana bangsawan-bangsawan Innist norak sekali?
Duh, kain apakah yang gadis itu gunakan untuk gaunnya? Sungguh terlihat murahan!
Bagaimana bisa seorang pria mengenakan kalung berbandul besar seperti itu? Memangnya dia raja?
Perpaduan warna yang luar biasa norak!
Aku rasa gaun itu terlalu pendek untuk potongan tubuhnya.
Siapa yang menyarankan wanita tua itu untuk mengenakan gaun seperti gadis muda yang akan debut di pergaulan kelas atas?
Hei! Bukankah sikap itu keterlaluan untuk ditujukan pada seorang gadis kecil di pesta?
Rakyat biasa saja tahu perhiasan itu tidak cocok untuk gaun yang ia kenakan!

"Hah! Benar-benar! Aku tidak tahan! Apa mereka tidak punya kelas etika dan berbusana untuk diajarkan pada para bangsawan? Memangnya di kerajaan ini tidak ada satu pun penata rias yang normal? Tidak heran kerajaan mereka terus terpuruk. Mereka sungguh terbelakang dan tidak berbudaya!" gerutu utusan Tzaren dalam hati.

Dengan setengah menahan diri untuk tidak keceplosan mengumpat, utusan Tzaren tetap berkeliling. Ia kemudian menemukan putri Naz sedang berbincang dengan seseorang. Ia pikir orang itu adalah Raja Azkhar. Namun, wajah lain yang kemudian terlihat olehnya.

"Bukankah laki-laki itu anak yang sering disebut anak haram Jenderal Besar Innist? Kudengar ia baru naik kelas setelah saudaranya yang merupakan penerus keluarga menjadi cacat. Apa hubungan mereka?" batin utusan Tzaren.

Seorang laki-laki mendekati utusan Tzaren. "Apa kabar, Tuan? Saya sudah mendengarnya! Terima kasih atas bantuan luar biasa dari Tzaren."

Mau tidak mau sang utusan tersenyum dan berbasa-basi dengan pria yang tercium aroma anggur yang cukup kuat dari mulutnya.

"Apa yang Anda perhatikan dari tadi?" tanya bangsawan berperut tambun itu sambil mengikuti arah pandang utusan Tzaren.

"Bukan apa-apa. Saya pikir akan menemukan Raja Azkhar saat melihat putri Naz."

Alis bangsawan Innist itu terangkat begitu mendapati putri Naz yang masih berbincang dengan anak Jenderal Besar Innist.

"Ah ... mereka berdua! Tampaknya di pesta ini aku mendengar gosip baru tentang mereka. Anda tahu? Gosip seputar bangsawan berputar dengan cepat di pesta-pesta seperti ini."

"Apakah itu gosip yang menarik?"

"Gosipnya masih baru hari ini diperbincangkan, jadi saya tidak tahu kebenarannya. Tapi sepanjang hari ini banyak yang melihat mereka berdua jalan bersama di taman dan di pesta pun mereka selalu bersama. Sebenarnya apa yang dilihat putri Naz dari anak buangan Jenderal Besar? Lihatlah! Wajahnya yang campuran itu buruk sekali!"

Utusan Tzaren tidak bisa setuju dengan pendapat bangsawan Innist di sampingnya. Bahkan ia pun menganggap wajah si anak Jenderal Besar Innist tersebut merupakan wajah paling tampan yang hadir di pesta. Ia menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan standar orang-orang di Innist.

"Entah selera mereka buruk atau hanya sekadar membenci anak campuran itu? Yah ... aku pun akan membenci anak campuran Tzaren. Contohnya saja ... calon pewaris takhta yang sedang dikandung Ratu Tzaren," batin utusan Tzaren sambil menggertakkan giginya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah kelak anak dari raja-raja keturunan Tzaren di kerajaan lain akan dibenci oleh orang-orang di kerajaan yang sedang mereka pimpin?

Setelah pamit melepaskan diri dari bangsawan Innist berperut tambun, utusan Tzaren tersebut mendatangi putri Naz yang sedang asik bercengkerama dengan anak Jenderal Besar Innist. Pergerakan sekecil apa pun dari Raja Azkhar dan putri Naz harus ia laporkan pada orang-orang di kubunya, kubu Putri Kleih.

"Suatu kehormatan bagi saya bisa menemui putri Naz di pesta ini. Saya harap saya tidak mengganggu," ucap utusan Tzaren setelah menyela pembicaraan keduanya. Ia menyadari tatapan tidak suka dari anak Jenderal Besar Innist.

"Tidak apa-apa, Tuan," balas Emerald sambil tersenyum meski dalam hati ia mengungkap kebenciannya melihat seorang rambut merah dengan wajah licik.

"Saya belum menyampaikan ucapan bela sungkawa atas kematian saudari Anda."

Sejurus kemudian mendung menghiasi wajah Emerald.

"Ucapan Anda sudah membuat Nona Emerald sedih. Sungguh tidak sopan!" hardik Einz.

Utusan Tzaren sedikit terkejut. Setahunya anak kedua Jenderal Besar Innist itu termasuk orang yang tidak peduli pada sekitarnya. Bahkan ada isu anak tersebut akan memberikan kepala sang Jenderal Besar jika diminta pada revolusi sebelumnya. Namun, saat itu si anak Jenderal Besar bertindak seperti orang yang sensitif.

"Aku baik-baik saja, Einz. Terima kasih atas ucapannya, Tuan."

"Ah, saya minta maaf atas ucapan saya yang sudah menyakiti hati Nona. Saya dengar pernikahan Anda dengan Raja Azkhar juga ditunda akibat insiden itu." Si utusan menduga ia akan melihat ketidaksukaan atau protes lainnya, tapi wajah keduanya justru terlihat santai.

"Bukankah itu bagus?" cetus Einz. Utusan Tzaren lantas menoleh heran padanya hingga Einz pun melanjutkan. "—Bagus untuk pemulihan Nona Emerald. Tidak baik langsung menikah sesaat setelah kematian saudarinya."

"Apa yang dikatakan Einz tepat sekali. Oh, Tuan ... tampaknya saya akan kembali ke kamar segera. Saya letih sekali. Saya harap Anda tidak keberatan saya permisi lebih dulu," lanjut Emerald sambil sedikit membungkuk untuk memberi salam.

"Ah ... baiklah. Oh ya, di mana saya bisa menemukan Raja Azkhar? Saya tidak melihat Yang Mulia sedari tadi."

Emerald lantas menoleh ke atas, ke arah balkon di lantai dua. Dari tempat mereka berdiri, dapat terlihat jejeran sofa lantai dua yang menghadap ke aula di lantai satu. Salah satu sofa terlihat disesaki beberapa orang. Pusat dari orang-orang tersebut adalah Raja Azkhar yang sedang bermanja-manja dengan banyak wanita.

"Bodoh sekali bocah itu! Bisa-bisanya di tempat terbuka seperti ini ...," batin utusan Tzaren yang terperangah tidak percaya.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Einz, bisakah kau mengantarkanku ke kamar?" Emerald tersenyum pada Einz.

Einz membalas senyum tersebut dan menawarkan tangannya. "Tentu saja, Nona."

Mereka pun berlalu meninggalkan utusan Tzaren yang masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.

"Benar-benar pasangan yang kacau! Mereka terang-terangan saling tertarik pada orang lain! Hahaha! Putri Kleih akan tertawa mendengar ini," batin si utusan yang tertawa geli di dalam hati.

***

"Tidak ... tidak ke kamar," ucap Emerald pada Einz sambil mengarahkannya berbelok ke lorong lain.

Einz menatap bingung. "Saya pikir Anda ingin istirahat."

"Aku ingin melepaskan diri dari pesta saja. Bagaimana kalau kita ke sungai hutan berburu?"

"Pilihan yang bagus."

"Kau mau menemaniku? Tapi saat ini bulan purnama tidak tampak, mungkin akan sedikit gelap."

"Saya akan membawa lentera."

Mereka pun menuju ke tempat mereka pertama kali bertemu, sungai di hutan berburu. Aliran sungai yang mengalir menjadi musik tersendiri di malam yang sunyi itu. Keadaan sekitar lebih gelap dibanding saat terakhir mereka bertemu karena bulan yang tertutup awan.

"Anda ingin duduk?" tanya Einz.

"Ya. Apakah kau bisa mencarikan tempat yang cukup nyaman?"

Einz yang membawa lentera pun berjalan beberapa langkah menuju sebuah batu besar dengan rumput yang tampak rata dengan tanah di dekatnya. Emerald menduga tempat itu sering digunakan Einz untuk duduk menyendiri di sana.

"Di sini cukup nyaman digunakan untuk bersandar."

Sebelum Emerald duduk, Einz memberikan mantelnya untuk melindungi Emerald dari udara malam.

"Terima kasih."

"Saya merasa bersalah tidak melakukannya saat pertama kita bertemu di sini. Saya dengar Nona jatuh sakit keesokan harinya."

Emerald tertawa kecil.

"Bukan salahmu. Tubuhku memang sedari kecil rentan terhadap penyakit." Ia duduk bersandar di batu besar yang ditunjukkan tadi. "Duduklah di sampingku."

Einz pun menurutinya.

Mereka berdua tenggelam dalam keheningan yang panjang dan saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Emerald menyukai keheningan itu, membuatnya bisa sejenak melupakan dunia yang sedang menggila di sekitarnya.

Sementara Einz menggunakan keheningan tersebut untuk meredakan debaran di dadanya. Bagaimanapun juga ia sedang berdua bersama gadis yang amat ia inginkan di suatu tempat yang temaram.

Emerald menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin yang segar memenuhi paru-parunya. "Kau tahu, Einz? Aku tidak pernah keluar semalam ini semenjak aku lahir."

Einz menoleh, memperhatikan wajah Emerald dengan saksama. Einz belum berkomentar karena sepertinya gadis itu akan melanjutkan sebuah kisah.

Emerald pun melanjutkan. "Sejak kecil aku selalu sakit-sakitan dan menyusahkan banyak orang. Duniaku seolah terbatas hanya di kamarku. Sedangkan dunia luar hanya bisa kupandang melalui kaca jendela kamarku. Saat itu aku iri dengan saudari-saudariku yang bebas berjalan ke sana-kemari.

"Pernah suatu ketika, seorang adikku menceritakan tentang bunga-bunga yang baru ditanam di taman kota dan membuatku sangat ingin melihatnya. Adikku ingin memetik bunga tersebut untuk diperlihatkan padaku, tapi di Kota Suci dilarang merusak tanaman kecuali untuk pemeliharaan atau dalam keadaan terdesak. Aku pun menyelinap di saat aku merasa cukup sehat. Dengan perasaan berdebar karena akan melihat taman kota yang belum pernah sekali pun kulihat bercampur perasaan cemas karena takut ketahuan, aku berhasil keluar diam-diam dari Puri Naz.

"Aku berlari menyusuri kota sekalipun napasku terasa hampir putus. Kubiarkan kakiku melangkah ke mana pun karena aku bahkan tidak tahu di mana persisnya taman-taman di Kota Suci. Ketika aku berhasil menemukan salah satu taman, pemandangan yang sangat indah terhampar melebihi imajinasiku. Bunga-bunga beragam warna terlihat di penjuru taman kota yang kudatangi, bangku-bangu taman dari batu, tanaman-tanaman yang dirangkai membentuk gerbang dan pagar tanaman, hingga kupu-kupu yang sesekali hinggap terlihat begitu bersinar di mataku.

"Tapi saat itu aku menyadari sesuatu. Sebuah perasaan yang masih terasa hingga detik ini. Saat itu aku merasa benar-benar hidup. Ketika kulitku bermandikan cahaya matahari, ketika aku berbenturan dengan orang-orang di jalan, ketika napasku terasa pendek akibat berlari ... semua itu menjadikan aku merasa sangat hidup. Seolah-olah belasan tahun yang kuhabiskan di kamar hanyalah mimpi buruk yang panjang. Aku pun memutuskan untuk tetap tinggal hingga malam, karena aku ingin tahu seperti apa kondisi kota di malam hari.

"Sayangnya pelarian itu berumur pendek. Tentara kota segera menemukanku dan menyeretku kembali ke Puri Naz meski saat itu aku sudah menangis, meronta-ronta agar dibiarkan sebentar lagi. Tapi kondisiku yang terkenal penyakitan, membuat mereka tidak memedulikan permohonanku. Ibuku lantas memarahiku habis-habisan begitu sampai di Puri Naz.

"Anehnya, keesokan harinya aku tidak sakit sama sekali. Badanku memang terasa nyeri, tapi aku tidak demam seperti biasanya. Aku pikir itu adalah pertanda jika kondisiku akan lebih baik apabila lebih sering berada di luar. Namun, ibuku menolak ide tersebut. Ibu malah makin memperketat pengawasanku. Aku bagai tahanan di rumah sendiri. Saat itu aku benar-benar marah dan merutuki semuanya. Aku berdoa pada Ahurz bahwa aku akan menukar apa pun, termasuk keluargaku, agar aku bisa lebih bebas dari kondisiku saat itu. Kurasa ... Ahurz akhirnya memenuhi permintaanku. Sekarang aku lebih bebas! Lihatlah! Aku bahkan bisa keluar di malam hari dan berjalan sesuka hati di taman! Hal-hal yang sangat ku inginkan sedari dulu ...."

Einz tampak panik melihat bulir-bulir air mata menetes dari mata Emerald.

"Tapi ... apakah harga untuk permintaanku itu? Bukankah ini terlalu mahal? Keluargaku tercerai berai, ayah juga saudariku mati mengenaskan, dan aku hanyalah alat untuk mencegah pemberontakan. Ka-kalau saja bisa memilih ... aku lebih baik tetap berada di kamarku di Puri Naz dengan tetap bisa melihat senyum keluarga lengkapku." Tangis Emerald pun pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan badannya berguncang seiring irama tangisannya.

Einz mendekap Emerald ke dalam pelukannya.

"Apa aku juga punya andil atas kemalangan yang menimpa keluargaku? Apakah karena aku meminta sesuatu berlebihan? Atau karena aku berkenan membuang keluargaku demi sebuah keinginan konyol? Aku sungguh-sungguh merasa bersalah! Bahkan aku selalu menyalahkan diriku sendiri atas kematian adikku! Aku menganggap remeh sebuah doa, padahal aku adalah seorang putri dari Naz!"

Einz ikut tersiksa karena ia tidak punya pengalaman menghibur seseorang. Dulu Einz merasa tidak perlu mempelajari cara bersimpati pada seseorang, tapi sekarang ia amat membutuhkannya. Ia tidak tahu apa yang harus diucapkan, takut jika salah berkomentar justru akan membuat gadis itu makin sedih. Karenanya, Einz hanya terdiam dan memeluk erat Emerald.

"Semua ini adalah hukuman dari Ahurz! Seharusnya aku yang lebih menderita! Tapi mengapa keluargaku terkena imbas yang lebih berat?! Mengapa?!" Emerald berteriak histeris di dalam dekapan Einz.

***

Einz menggendong Emerald dalam pelukannya mulai dari tepi sungai hingga istana. Emerald tertidur setelah lama menangis. Mungkin akibat kelelahan, gadis tersebut jatuh tertidur dengan cepat. Einz tidak menyangka jika Emerald seringan itu. Kekuatan tubuhnya yang terbentuk dari latihan-latihan keras di kemiliteran, membuatnya tidak merasa lelah sedikit pun ketika harus menggendong Emerald kembali ke kamarnya.

Einz makin berdebar dalam perjalanan menuju kamar Emerald. Bukan karena tatapan penuh tanda tanya dari prajurit-prajurit dan pelayan-pelayan yang berpapasan sepanjang perjalanannya ataupun bisik-bisik bangsawan yang tidak sengaja ia temui meski seharusnya mereka tidak berada di jalur menuju kamar keluarga kerajaan, tapi karena gadis yang berada dalam gendongannya. Setiap sentuhan membuatnya sesak karena harus menahan keinginan tidak pantas yang muncul dalam pikirannya.

Langkah Einz terhenti di dekat pintu kamar Emerald, kamar yang ia ketahui setelah bertanya pada beberapa pelayan yang memandangnya tidak suka.

Di depan kamar sudah ada Raja Azkhar yang tampak sedikit mabuk sedang bersandar di dinding. Raja itu melirik sekilas pada Emerald lalu tatapannya beralih ke Einz.

Tadinya Einz pikir akan menjadi masalah besar jika ia menggendong calon istri sang raja di depan raja itu sendiri. Namun ....

"Hahhh ... jadi dia bersamamu ya? Aku sudah khawatir setelah beberapa pelayan mengatakan ia menghilang dan belum kembali ke kamar," ucap Raja Azkhar sambil menggaruk-garuk kepalanya seperti sedang menahan kesal.

"Maafkan saya, Yang Mulia." Einz sedikit menundukkan kepalanya.

"Bicara apa kau? Justru aku yang harusnya berterima kasih. Aku jadi tidak perlu repot-repot mengurus Emerald. Ke depannya aku serahkan dia padamu."

Einz mengernyit. "Maksud Yang Mulia?"

"Sudah jelas, kan? Kami saling tidak tertarik satu sama lain dan Emerald bukan tipe yang mau dekat dengan sembarang orang. Bahkan dia benci berada di sekitarku. Jika Emerald membiarkanmu berada di sampingnya, berarti dia memilihmu. Selamat ya!" Raja Azkhar menepuk pundak Einz.

"Yang Mulia ...."

"Sssttt. Aku tidak peduli dengan urusan kalian. Tapi aku akan sangat berterima kasih jika kau mau membantu 'menyenangkan' Emerald. Selama ini aku sedikit merasa bersalah karena mengabaikan dia di saat aku bersenang-senang sendiri. Tapi syukurlah ada dirimu. Sekarang bawa saja dia ke kamar dan bahagiakan dia. Jangan khawatir, kau mendapat izinku." Raja Azkhar pun berlalu dengan santai sambil bersenandung ria, meninggalkan Einz yang terpana. Ia menyempatkan mengetuk pelan kamar Emerald.

Sebelumnya, Einz ragu jika Raja Azkhar akan tersinggung ketika ia mendekati Emerald. Einz memang tahu sang raja tidak tertarik pada putri Naz yang dipasangkan untuknya, tapi tetap saja ada kemungkinan raja itu tidak suka pasangannya bersama orang lain sembarangan.

Seorang pelayan membuka pintu kamar dari dalam dan kaget mendapati putri Naz yang dia layani berada dalam pelukan seorang laki-laki yang terkenal tidak begitu disukai di kalangan bangsawan.

"Ah ... silakan. Tempat tidur Nona Emerald sudah saya siapkan." Pelayan itu membuka kedua daun pintu lebar-lebar dan menyingkir dari jalan masuk.

Einz masuk lalu meletakkan Emerald di atas tempat tidur.

"Kalau tidak ada urusan lain, pergilah!" ucap Einz saat melihat pelayan tadi masih mematung di depan pintu.

Pelayan tersebut tersadar dari pikirannya dan terburu-buru keluar sambil menutup pintu.

Einz pun ditinggalkan hanya berdua dengan gadis pujaannya.

"Argh! Mengapa aku menyuruh pelayan tadi keluar? Sekarang bagaimana ini? Bahaya sekali hanya berdua saja begini!" batin Einz kalut. "Apa sebaiknya aku keluar dan memanggil pelayan itu lagi untuk menemani Emerald?"

Baru saja Einz hendak melangkah untuk melaksanakan apa yang ia pikirkan, Emerald bergumam pelan. Sepertinya gadis itu tengah bermimpi.

Einz lantas memandangi Emerald yang sedang tertidur pulas. Ia terdiam sebentar.

"Tidak .... Cukup seperti ini saja aku sudah bahagia," batin Einz.

Einz pun mengambil kursi lalu menaruhnya di samping tempat tidur Emerald. Ia duduk memandang gadis itu. Diraihnya tangan Emerald dan digenggamnya erat.

"Semua ini seperti mimpi. Tiba-tiba saja aku menginginkan dirimu meski kita baru pertama bertemu. Tiba-tiba saja kau menerimaku masuk dalam kehidupanmu. Dan tiba-tiba pula ... aku bisa sedekat ini denganmu. Aku bukan orang yang peduli akan kepercayaan juga tidak berdoa pada Ahurz di saat-saat paling sulitku dulu. Tapi aku malah tertarik dengan seorang putri Naz. Apakah ini cobaan? Ataukah hadiah agar aku dekat pada Ahurz? Ah ... tanganmu ini ... begitu hangat."

***

Emerald membuka mata di pagi itu dengan sedikit berat. Ia menyadari matanya mungkin bengkak akibat menangis semalam. Emerald kemudian merasakan sesuatu, tangannya terasa hangat. Ia menoleh ke samping dan mendapati Einz duduk di sampingnya dengan memegang tangannya.

"Selamat pagi, Nona," sapa Einz sambil mencoba tersenyum.

Emerald kaget dan terduduk. "Bagaimana bisa kau berada di kamarku?"

"Nona tertidur semalam di hutan. Tidak mungkin saya membiarkan Anda tidur di sana. Karena itu saya menggendong Anda kembali ke istana."

Wajah Emerald seketika memerah. "Ka-kau menggendongku?"

Einz menjadi sangat gemas dengan perubahan warna pipi gadis itu. "Tidak berat, kok."

"Bu-bukan itu ...." Emerald memegang pipinya. Tidak pernah ia sampai digendong oleh seorang lelaki selain di masa kecilnya.

"Saya minta maaf kalau itu mengganggu Anda. Tapi lebih baik Nona marah pada saya daripada saya membiarkan Anda tidur di hutan."

"Ugh ... baiklah. Tidak apa-apa." Emerald pun mengatur napas untuk menenangkan debaran hatinya. Ia kemudian tersadar akan sesuatu. "Kalau begitu kau tidur di mana semalam?"

"Saya tidak tidur. Saya menjaga Anda semalaman."

"Eh! Kau tidak tidur semalaman?!" Emerald nyaris berteriak. "Padahal sofa di sana cukup empuk. Kau bisa tidur di sana," lanjutnya sambil menunjuk salah satu sofa.

"Tidak apa-apa. Sebagai kesatria, saya bisa terjaga semalaman tanpa beranjak ke mana-mana. Dalam perang, kondisi seperti itu bisa saja muncul."

"Tapi ...."

"—Selain itu ...," potong Einz. "Saya tidak suka tidur di sofa. Saya lebih suka di tempat tidur. Tapi tidak mungkin saya tidur di samping Nona Emerald."

Semburat merah di wajah Emerald kembali muncul. Ia terdiam, tidak sanggup membalas kata-kata tersebut. Seharusnya dirinyalah yang menggoda Einz, tapi sepertinya laki-laki itu makin berani balas menggodanya.

Einz bangkit dan membungkuk kemudian mencium tangan Emerald. "Kalau begitu saya permisi dulu. Saya akan sampaikan pada pelayan jika Anda sudah bangun," ucapnya sambil berlalu meninggalkan Emerald yang membatu.

Einz pun kembali ke kediamannya, rumah keluarga Jenderal Besar Innist. Begitu sampai di pintu masuk, seorang pelayan mengabari jika ayahnya ingin bertemu dengannya segera.

Einz pun mendatangi ayahnya yang seorang Jenderal Besar di ruang kerja sang ayah.

"Ada apa Ayah mencariku? Ini masih sangat pagi," tanya Einz.

Jenderal Besar Innist menatapnya tajam. "Aku mendengar gosip-gosip. Tentang kau dan putri Naz itu," ucapnya.

Einz sudah menduga ayahnya akan mengetahui dan menanyakan hal tersebut. "Iya Ayah. Saya memang baru-baru ini dekat dengan putri Naz."

"Apa kau tidak pulang semalaman karena berada bersamanya?"

Einz menarik napas. Ia berpikir jika ayahnya akan murka mengenai kedekatannya dengan Emerald.

"Ya ...," jawab Einz lemah.

Sang jenderal lantas tertawa terbahak-bahak, membuat Einz menatapnya dengan bingung.

"Bagus! Bagus!" serunya di sela-sela tawanya.

"Saya pikir Ayah tidak akan suka," balas Einz masih kebingungan. Padahal ia sudah bertekad akan melawan ayahnya jika dilarang menemui putri Naz lagi. Kalau perlu dengan diam-diam ia tetap akan mendatangi Emerald.

"Hahaha! Siapa bilang? Itu hal yang bagus untuk kita jika kau dekat dengan putri Naz. Bagaimanapun juga, dia akan menjadi ratu kerajaan ini. Kita semua tahu sang raja tidak tertarik pada putri Naz. Tentunya ratu akan memerlukan kekasih lain. Jika kau yang dipilihnya, itu akan menguatkan posisi politik kita. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi semenjak kedatangan Raja Oukha ke Innist, posisi putri Naz jauh lebih unggul meski dalam bayangan dan hal ini hanya diketahui segelintir orang. Orang-orang di dalam istana mengatakan jika kini Raja Azkhar lebih banyak mengalah dan mendengarkan putri Naz. Raja juga memperlakukan putri Naz dengan lebih hati-hati seolah-olah takut menyinggung perasaan gadis itu. Kau tahu apa artinya, kan? Artinya kita dapat mengendalikan kebijakan politik kalau kau membujuk putri Naz untuk memutuskan sesuatu! Bagus sekali! Hahaha! Aku tidak menyangka kau akan berguna juga suatu hari. Hahaha!"

Einz hanya memasang ekspresi datar, meski dalam hati ia merutuk keserakahan juga keegoisan ayahnya. Sebelumnya Einz tidak dianggap oleh ayahnya dan baru kali itu dipuji. Namun, dia justru merasa jengkel dengan pujian tersebut dan ia jauh lebih jengkel mendengar kalimat tersirat yang mengatakan putri Naz sebagai alat politik yang bisa dimanfaatkan.

"Apa dia pikir aku dan Nona Emerald akan mau begitu saja diperalat olehnya?!" batin Einz dengan murka.



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro