Chapter 3 - A Glimpse of Tarkh's Conquest (1)
"Aku akan menaklukkan seluruh kerajaan."
Satu kalimat yang keluar dari mulut Tarkh di suatu malam lima tahun yang lalu membuat seluruh pangeran Tzaren yang sedang makan malam bersama menoleh. Mereka menatap heran pada Tarkh yang berdiri di ujung meja makan. Tarkh merupakan Raja Tzaren sekaligus saudara tertua mereka.
Khrush-lah yang pertama kali memecah keheningan. "Hahaha! Kau bercanda, Kak? Hahaha!" Khrush tidak berhenti meski hanya ia yang tertawa.
Tarkh mengentakkan meja makan dengan gelas peraknya, membungkam Khrush. "Aku tidak mengumpulkan kalian malam ini hanya untuk makan malam santai dan bercanda!" geramnya.
"Jadi Kakak serius?" Tanpa sadar Azkhar melontarkan pertanyaan.
Tatapan mata Tarkh menyapu ruangan, menatap adik-adiknya satu persatu. "Tentu saja aku serius. Aku sedang menyusun rencana perang. Siapa saja yang berkenan membantuku, akan kuberikan hadiah setimpal."
"Pfftt ...." Suara Khrush yang menahan tawa menarik perhatian Tarkh. "Bukan maksudku mengejek, Kak. Tapi rencanamu terdengar terlalu berlebihan. Kerajaan-kerajaan utara bukan sesuatu yang bisa kau anggap remeh."
Tarkh terdiam. Khrush tampaknya tidak peka terhadap tatapan tajam Tarkh ataupun pandangan penuh arti adik-adiknya.
"Kau boleh tinggal di istana dan meringkuk seperti anjing pengecut, Khrush," timpal Tarkh.
Khrush mengangguk-angguk. "Ide yang bagus. Aku bisa menjaga pertahanan kerajaan selama kalian pergi berperang." Ia tersenyum mengejek sembari meminum anggur hitam khas Tzaren.
Wajah merah Tarkh menandakan kemarahan atas tanggapan adiknya itu.
"Siapa pun yang mau terjun bersamaku ke medan perang, temui aku di ruang kerjaku." Tarkh tidak menyelesaikan makan malamnya. Ia pergi, meninggalkan ruang makan yang sontak dipenuhi riuh rendah suara para pangeran Tzaren.
***
Penaklukan Innist
"Jadi kalian yang mendukungku?" Tarkh memandangi satu persatu pangeran yang berdiri di seberang meja kerjanya: Zakh, Oukha, dan Rakha. Ia sudah menduga adiknya yang menyebalkan, Khrush, tidak akan mendukungnya jika kesempatan menang tidak besar. Sementara adiknya yang paling manja, Azkhar, terlalu pengecut untuk pergi berperang.
"Memang rencanamu terdengar klise, Kak. Tapi aku akan selalu berada disisimu, entah memperingatkanmu atau turut serta dalam rencana gilamu," ungkap Zakh.
"Azkhar bilang ia takut berperang, tapi aku tidak. Kemampuan bertarungku memang tidak sehebatmu, Kak. Karena itu aku mungkin bisa membantu menyempurnakan taktik perangmu," tambah Oukha.
Rakha, si pangeran paling muda, hanya menatap ragu Tarkh. "Aku ... aku akan membantu sebisaku."
Tarkh tersenyum tipis. "Baiklah, aku percaya kalian semua bisa membantuku." Ia berdiri dari kursi dan melangkah ke meja besar di sudut ruangan yang lain diikuti ketiga adiknya. Tiga orang jenderal sudah bersiap di dekat meja besar tersebut, salah satunya adalah Jenderal Sirgh. Tampak peta besar sudah dibentangkan.
"Kita akan mulai dengan yang paling lemah, Kerajaan Innist." Tarkh membuka pertemuan malam itu. Sorot tajam matanya menunjukkan tekad yang kuat. Pantulan cahaya lampu minyak dan perapian membuat Tarkh terlihat lebih kejam.
"Sejujurnya, Yang Mulia." Salah seorang jenderal membuka mulutnya. "Jika ingin menyerang, lebih baik menyerang Kerajaan Zetaya lebih dulu. Kerajaan Innist memang lemah, tapi mereka memiliki perjanjian kerja sama dengan Kerajaan Ezze. Innist rutin menyetor upeti sebagai ganti perlindungan dari Ezze.
"Kita bisa menghadapi Kerajaan Ezze. Jika mereka akan membantu Innist, berarti mereka akan datang melewati laut sempit. Kita sambut mereka di darat, kacaukan pasukan mereka. Bahkan bisa langsung menyerang Ezze setelah mengamankan Innist," balas Jenderal Sirgh.
"Terlalu berisiko untuk langsung menaklukkan Kerajaan Ezze, Jenderal Sirgh. Kerajaan Kraalovna tidak akan tinggal diam jika melihat ancaman mendekati wilayah mereka. Tidak. Mungkin kita memang harus menuju Zetaya terlebih dahulu." Zakh menunjuk satu kerajaan di peta. "Membuang-buang pasukan jika harus menghadapi Kerajaan Ezze di awal hanya untuk kerajaan miskin seperti Innist. Belum lagi Kerajaan Aritoria akan merasa kesal jika jalur perdagangan mereka terganggu karena perang."
Terdengar beberapa perdebatan.
"Cukup!" Suara menggelegar Tarkh mendiamkan seisi ruangan. "Tadinya aku ingin menaklukkan Innist terlebih dahulu karena posisi kerajaan mereka. Tapi benar, lebih baik kita menuju Zetaya lalu Aritoria dan Bielinca sebelum mengambil alih Innist."
Orang-orang di dalam ruangan mengangguk-angguk.
"Sebenarnya ...." Oukha menarik perhatian. "Kita bisa menguasai kedua kerajaan, Innist dan Zetaya dalam waktu bersamaan."
"Apa Pangeran tadi tidak mendengar kalau risikonya lebih besar jika menyerang Kerajaan Innist?" Seorang jenderal lainnya tampak tidak sabar membalas perkataan Oukha.
"Hanya karena paling lemah, bukan berarti mudah untuk diserang, Dik," tambah Zakh.
Oukha menyadari tatapan orang-orang yang seolah berkata kau-belum-berpengalaman-jadi-diam-saja. Ia mendengus. "Kerajaan Ezze tidak akan membantu Innist."
"Pangeran tahu kan perjanjian antara ...."
"—Aku tahu," potong Oukha. "Aku tadi berkata kita bisa menguasai, bukan bisa menyerang."
Tarkh tampak tertarik. Ia tahu adiknya satu itu memang cerdas meski sering bertindak semaunya. Tidak mungkin Oukha tidak mengerti situasi. "Katakan apa maksudmu, Oukha. Aku mendengarkan."
"Kita semua tahu Innist merupakan kerajaan yang miskin. Kondisi rakyatnya pun menyedihkan. Tapi yang kudengar kehidupan raja dan bangsawan di sana berkecukupan."
Merasa telah menarik perhatian saudara dan para jenderal perang di hadapannya, mendorong kepercayaan diri Oukha. Ia melanjutkan, "Kita bisa mempersenjatai rakyat Innist untuk mengambil alih istana. Biarkan mereka menentukan siapa yang berkuasa nanti setelah mereka menulis perjanjian untuk menjadi aliansi Tzaren. Beberapa bangsawan kelas rendah Innist sepertinya bisa diajak kerja sama jika kita menjanjikan mereka posisi bangsawan tertinggi."
"Kau tahu bangsawan mana yang bisa dipercaya memimpin revolusi dan berjanji untuk menjalin aliansi dengan kita?" tanya Tarkh.
Oukha tersenyum lebar. "Aku kenal beberapa bangsawan Innist yang cukup serakah dan tidak puas pada apa yang diberikan raja mereka. Kerajaan Ezze tidak akan bergerak hanya untuk perebutan kekuasaan di internal Kerajaan Innist. Sementara itu, pasukan kita akan menyerang Zetaya."
Mendengar penuturan tersebut, seketika para jenderal perang mengubah pandangan mereka pada Oukha. Mereka menatap kagum pada Oukha, kecuali satu orang.
"Bocah itu berbahaya," batin Jenderal Sirgh.
***
Penaklukan Zetaya
Suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Jembatan-jembatan di Kerajaan Zetaya satu persatu dihancurkan, kecuali di beberapa titik yang sudah didirikan kamp-kamp prajurit Tzaren di dekatnya.
Zetaya, kerajaan yang memiliki banyak sungai berarus deras, amat bergantung pada jembatan untuk mobilisasi. Dengan memanfaatkan jembatan yang tersisa, pasukan Tzaren berhasil menjebak pasukan Zetaya pada serbuan dan kepungan di suatu tempat tertentu. Pasukan Zetaya kocar-kacir dengan kacaunya komunikasi karena mereka tersebar di beberapa titik untuk mengambil alih jembatan.
Tzaren bahkan tidak mengerahkan setengah dari kekuatan perangnya untuk menaklukkan Zetaya. Cukup beberapa batalion prajurit khusus yang ahli membuat serangan kejutan dan pandai bersembunyi.
Satu gelombang serbuan sudah bisa menerobos istana Zetaya dan mengeksekusi keluarga kerajaan dengan cepat.
"Salah sekali mereka membangun ibu kota di tenggara kerajaan yang berdekatan dengan Tzaren," komentar Tarkh sambil menyusuri istana Zetaya yang baru saja kehilangan pemiliknya. Istana unik yang dibangun memanjang sepanjang tebing dan berbatasan langsung dengan laut.
Terdengar derap langkah yang sedikit terburu-buru menuju Tarkh. Tarkh menoleh, dilihatnya Oukha muncul dari ujung lorong dengan wajah sumringah, tampak membawa kabar baik.
"Bagaimana dengan Kerajaan Innist?" tanya Tarkh. Adiknya, Pangeran Oukha, ia perintahkan untuk mengurus pemberontakan Innist.
"Sudah beres, Kak. Tiga bangsawan Innist berhasil menjalankan skenario yang kubuat. Rakyat yang kelaparan itu mudah sekali dihasut oleh orang-orang yang sebenarnya turut andil dalam kehidupan glamor Raja mereka. Rakyat Innist sendiri yang berlumuran darah membantai keluarga kerajaan. Saat ini ketiga bangsawan tersebut mengambil alih sementara kepemimpinan sampai Kak Tarkh memberikan perintah lanjutan."
Tarkh terus menyusuri koridor dari batu dan berjalan menuju ke arah luar istana diikuti oleh Oukha. "Kau yakin mereka tidak akan menusuk dari belakang?"
Oukha menyunggingkan senyum. "Aku sudah mengancam mereka akan konsekuensi jika berkhianat."
"Bagus. Kau akan kuserahi tanggung jawab untuk mengawasi Kerajaan Innist dan Zetaya sementara aku bergerak menuju Kerajaan Aritoria. Awasi pergerakan bangsawan dan jenderal yang tersisa! Bawa Rakha bersamamu agar ia bisa belajar padamu. Penaklukan Kerajaan Aritoria akan sedikit memakan waktu," lanjut Tarkh.
"Serahkan padaku, Kak."
Mereka sampai di halaman istana. Tarkh memanggil ketiga jenderalnya. "Siapkan pasukan! Kita berangkat menuju Aritoria!"
"Sekarang?" Seorang jenderal tampak terkejut.
"Ini akan menjadi serangan kejutan untuk Aritoria, prajurit mereka tidak akan siap. Kita akan menyerbu langsung markas-markas tentara bayaran agar Aritoria tidak mendapatkan bala bantuan. Bawa kemari kudaku!"
***
Penaklukan Aritoria
Tarkh membagi beberapa pasukan yang menyerbu langsung kota-kota pelabuhan di Aritoria. Terdapat sedikit perlawanan yang berasal dari tentara bayaran. Namun, Tarkh memilih untuk bernegosiasi dengan para tentara bayaran itu. Mereka diberi pilihan: diam dan bersikap netral, tidak membantu Kerajaan Aritoria juga tidak melawan Kerajaan Tzaren. Atau melawan Kerajaan Tzaren dengan konsekuensi kekalahan yang nyata mengingat pasukan Tzaren sudah menduduki kota-kota pelabuhan tempat markas mereka berada.
Tentara bayaran Aritoria memang lihai dalam berperang, tapi tidak ada komunikasi yang baik antara satu kelompok tentara bayaran dengan kelompok lainnya. Biasanya istana-lah yang akan menyatukan mereka di bawah satu komando dan hal tersebut tidak terjadi saat itu.
Para tentara bayaran yang berasal dari gilda-gilda berbeda pun menilai situasi dengan cepat. Penyerangan tiba-tiba ke banyak titik secara bersamaan membuat mereka kewalahan. Apalagi pihak Tzaren menjanjikan setengah harta rampasan perang dari gudang harta istana Aritoria untuk disebar ke seluruh gilda tentara bayaran yang mendukung Tzaren, ditambah bebas pajak selama tiga tahun jika Tzaren berhasil menguasai Kerajaan Aritoria.
Bayangan akan emas berlimpah yang sanggup menghidupi mereka selama bertahun-tahun dengan nyaman membuat seluruh gilda tentara bayaran sepakat jika mereka tidak akan ikut campur, bahkan mereka mau membantu perang selanjutnya begitu mendapat bagian rampasan perang.
Hanya tinggal ibu kota Aritoria yang bertahan. Ibu kota yang berbatasan dengan laut dan memiliki tembok pembatas terkuat itu belum pernah sekali pun ditembus.
Prajurit yang dimiliki Aritoria memang tidak seberapa karena mereka banyak mengandalkan tentara bayaran. Namun, dengan mundurnya tentara bayaran, pihak Aritoria menarik semua pasukan mereka untuk mempertahankan ibu kota yang dikepung prajurit Tzaren.
Pertahanan ibu kota Aritoria memiliki dua lapis dinding tebal yang membentang luas, mengelilingi ibu kota dari serangan darat maupun laut. Dua lapis dinding itu terdiri dari tembok luar dan tembok dalam dengan ketinggian berbeda, di mana tembok dalam dibuat lebih tinggi dengan puluhan menara. Pertahanan Aritoria juga ditambah dengan parit lebar yang dibuat sedikit berjarak dari tembok luar. Pemanah-pemanah pun selalu bersiaga di dua lapis tembok pertahanan tersebut. Jalur masuk ibu kota hanya ada tiga, tapi menyerbu masuk melalui gerbang sama saja dengan bunuh diri.
Pertahanan yang luar biasa mahal itu, hanya mampu dibangun oleh sebuah kerajaan kaya seperti Aritoria.
Tarkh tahu, pengepungan ibu kota Aritoria akan menjadi pengepungan yang lama. Aritoria pasti memiliki persediaan pangan untuk waktu yang cukup. Tarkh memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mulai mengumpulkan hasil panen petani-petani Aritoria sebagai ganti perlindungan keamanan. Tarkh memastikan masalah logistik tidak akan menyulitkan puluhan ribu tentara-tentaranya, karena itu ia tidak pernah menyerang daerah-daerah pertanian, perkebunan, juga peternakan.
Aritoria mulai mengalami gejolak dari internal kerajaan. Pengepungan selama hampir tiga tahun terasa amat sangat menyiksa. Kapal-kapal asing berkurang drastis karena mereka hanya mau bersandar di ibu kota. Para pedagang asing yang bersandar di kota-kota pelabuhan yang telah dikuasai Tzaren mendapat pengalaman tidak menyenangkan, mereka terpaksa menyetor dua kali lipat lebih banyak dari setoran biasanya pada Tzaren untuk izin bersandar dan berdagang.
Bangsawan-bangsawan Aritoria mendesak Raja Aritoria untuk mengadakan negosiasi dengan Tzaren. Namun, sang raja tahu jika Tarkh, Raja Tzaren, menginginkan kepalanya. Ia pun tidak turun tangan sendiri, dikirimnya seorang bangsawan untuk bernegosiasi.
Salah satu bangsawan Aritoria menemui Tarkh di zona aman untuk bernegosiasi. Zona yang tidak berada dalam jangkauan pemanah Aritoria maupun Tzaren.
"Menyerahlah." Tarkh membuka percakapan.
"Saya yakin ini merupakan pengepungan terlama yang pernah kami alami, tapi kami tidak akan menyerah."
"Pertahanan itu suatu saat akan runtuh. Berapa lama cadangan makanan kalian akan bertahan? Empat tahun? Lima tahun? Aku yakin, aku akan mampu menunggu sebentar lagi."
Bangsawan Aritoria yang berkepala botak tersebut menatap Tarkh lama lalu menoleh ke belakang, menatap tembok pertahanan Aritoria yang kokoh tak tersentuh. Pandangannya kembali pada Tarkh, matanya menyipit untuk melihat Tarkh lebih jelas. "Saya dengar Anda tidak menyentuh rakyat-rakyat kami di luar ibu kota. Bahkan tidak menghancurkan kota-kota lain juga tidak menyerang para tentara bayaran. Ini berbeda dari perang biasanya yang bertujuan untuk menghabisi bangsa lain. Jadi apa sebenarnya yang kalian mau?"
"Kepala seluruh keluarga Kerajaan Aritoria," jawab Tarkh tanpa ragu.
"Hanya itu?"
"Dan wilayah kekuasaan Aritoria. Aku tidak akan menyentuh bangsawan lain. Aku hanya ingin Aritoria tanpa pewaris takhta satu pun."
Si bangsawan Aritoria melihat Tarkh dengan bingung. Sejurus kemudian ia tersadar. "Anda ... sudah menetapkan seseorang dari Tzaren untuk menjadi raja baru rupanya."
"Karena itu aku masih membutuhkan para bangsawan untuk mengatur Aritoria. Serahkan keluarga kerajaan! Tidak ada jalan keluar lain. Aku tidak akan mundur sebelum mendapatkan mereka."
Negosiasi usai dengan mundurnya Tarkh, meninggalkan bangsawan Aritoria yang kembali masuk ke ibu kota dengan wajah serius.
***
"Surat dari istana, Yang Mulia." Seorang prajurit memberikan gulungan surat bersegel saat Tarkh tengah berbincang dengan para jenderal perang dan adiknya, Zakh, di tenda pertemuan.
Wajah Tarkh berubah mengerikan.
"Ada apa, Kak?" tanya Zakh. Ia menebak dari raut wajah kakaknya, pasti bukan sesuatu yang beres.
"Ezze sialan! Mereka mencoba mengambil keuntungan dengan menyerang wilayah barat Tzaren. Mereka tahu sebagian besar pasukan kita mengepung ibu kota Aritoria."
"... Atau Kerajaan Aritoria mengirim permohonan pada Kerajaan Ezze," cetus seorang jenderal.
"Bagaimana mungkin? Kita memblokir semua komunikasi dari dan ke ibu kota Aritoria," balas Jenderal Sirgh.
"Selalu ada celah," potong jenderal lain.
"Bagaimana keputusanmu, Kak?"
Tarkh mengetuk-ngetuk gulungan surat di tangannya dan terdiam sebentar. "Pihak Ezze mengirimkan hanya tiga kapal perang. Sepertinya mereka sekadar ingin mengetes pertahanan Tzaren sepeninggal kita. Zakh, kau pergilah ke Tzaren! Bawa beberapa pasukan berkuda agar kalian bisa bergerak cepat, tambah dengan infanteri yang tersisa di kerajaan kita. Jangan beri ampun! Bantai yang bisa dibantai! Tapi jangan mengejar mereka ke wilayah Ezze! Cukup buat Kerajaan Ezze berpikir kita tidak menjadi lembek terhadap perbatasan kita."
"Akan kulaksanakan," sahut Zakh. "Tapi bagaimana jika ternyata mereka memutuskan untuk menyerang besar-besaran?"
"Kita tinggalkan Kerajaan Aritoria dan langsung menghadapi Ezze. Agar lebih cepat aku dan pasukan di sini akan memotong jalur, langsung melewati wilayah Innist, meski hal itu berarti kerajaan-kerajaan lain akan tahu jika Innist sudah jatuh ke tangan kita. Aku tidak akan kehilangan wilayah timur kerajaan kita untuk Aritoria yang masih sanggup bertahan setahun-dua tahun lagi di balik tembok sialan itu!"
Ternyata Ezze memang hanya menguji pertahanan Tzaren. Tidak ada serangan balasan setelah Zakh memimpin pasukan yang dengan mudah menghabisi segelintir pasukan Ezze di wilayah barat Tzaren.
Selain itu, siapa sangka persediaan bahan pangan Aritoria jauh di bawah ekspektasi Tarkh. Setengah tahun kemudian, bangsawan yang sama yang dulu menemuinya di zona aman, kembali mengajak Tarkh bernegosiasi.
"Kami memutuskan untuk menyerah."
Tarkh tahu cadangan makanan pihak Aritoria sudah hampir habis. "Bawa keluarga kerajaan padaku."
"Keluarga kerajaan melarikan diri menuju negeri yang jauh. Kami tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pelarian itu karena para prajurit masih loyal pada keluarga kerajaan."
Tarkh tertegun.
Si bangsawan melanjutkan, "jadi ... apa tawaran sebelumnya masih berlaku? Anda akan menjamin keselamatan bangsawan lain?"
Tarkh menatap tajam bangsawan di hadapannya. "Tentu saja. Aku sebisa mungkin menghindari peperangan yang tidak perlu. Para bangsawan tetap bisa menempati kedudukan yang sama. Lempar senjata-senjata kalian dari tembok terluar, agar kami merasa aman memasuki ibu kota."
Bangsawan Aritoria tersebut tampak ragu-ragu. "Dan jika kalian memutuskan untuk mengubah pikiran begitu memasuki ibu kota, kami akan ...."
"Kalau kau mendengar yang terjadi di Zetaya," potong Tarkh. "Kau tentunya tahu jika aku memegang kata-kataku. Buka gerbangnya sekarang kecuali kalian mau mati kelaparan di dalam sana! Karena kupastikan, tidak ada lagi negosiasi lanjutan setelah ini."
Terbukalah gerbang ibu kota Aritoria. Prajurit-prajurit Tarkh memenuhi jalan-jalan ibu kota yang sepi karena para penduduk meringkuk ketakutan di dalam rumah mereka. Sementara beberapa bangsawan tinggi Aritoria memberanikan diri untuk menyambut penguasa baru di depan istana yang terletak berseberangan dari gerbang utama ibu kota. Pakaian-pakaian mewah dan perhiasan-perhiasan mencolok bangsawan Aritoria kontras dengan wajah khawatir mereka. Tampak jelas jika mereka tetap mencoba mempertahankan martabat meski sedang diliputi ketakutan.
Tarkh mengeluarkan perintah pertama begitu memasuki ibu kota: "susul keluarga Kerajaan Aritoria! Bawa kepala mereka padaku!"
***
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro