Chapter 29 - Kerajaan Innist: Utusan
Utusan dari Tzaren dijadwalkan akan menghadap Raja Innist akhir pekan itu. Seorang utusan berambut merah dengan garis wajah tegas, berkumis tipis, dan sorot mata tajam sendirian menghadapi Raja Azkhar dan beberapa dewan penasihat raja juga Jenderal Besar Innist. Pria berusia lanjut tersebut menguarkan aura yang sombong. Dengan cepat, Emerald yang duduk di samping Azkhar memutuskan untuk tidak menyukai utusan itu.
"Kami melihat masih banyak tanda-tanda bekas peperangan di wilayah Innist. Pemulihan kalian begitu lambat meski infrastruktur yang telah ada memanglah kurang. Maafkan saya, tapi itulah kenyataannya. Beberapa infrastruktur penting diperbaiki asal-asalan dan ada yang diabaikan begitu saja." Utusan Tzaren tersebut langsung menyerang dengan fakta-fakta yang menyakitkan, membuat seisi ruangan mengernyit tidak suka padanya meski ia tampak tidak peduli akan reaksi tersebut.
"Maafkan kondisi kerajaan kami yang menyedihkan. Tapi kami kesulitan untuk membangun dengan cepat. Kami bukan kerajaan yang kaya seperti Tzaren," balas seorang bangsawan.
"Apa Anda datang untuk memberi tahu fakta ini semata? Kami tidak perlu diingatkan, kecuali ... Tzaren mau membantu kami dengan semua itu, heh?" cibir bangsawan lainnya.
"Ya. Kerajaan Tzaren akan membantu," cetus si utusan.
"Eh? Apa?"
Orang-orang yang berada di pertemuan itu tampak bingung.
"Raja Tarkh memerintahkan untuk membantu pembangunan infrastruktur di Innist. Beliau begitu dermawan dan mulia karena berkenan menganggarkan dana yang cukup besar kali ini," kata sang utusan dengan nada yang tersirat kesombongannya.
"Tzaren akan membantu pembangunan infrastruktur?!"
Terdengar bisik-bisik di sana sini. Setahu mereka, Tzaren bukanlah kerajaan yang dermawan seperti itu. Di antara banyak kerajaan, orang-orang Tzaren terkenal senang merebut ketika menginginkan sesuatu dan sangat jarang memberikan simpati. Sudah jelas apabila Tzaren menginginkan sesuatu hingga berkenan mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk pembangunan infrastruktur Innist yang bobrok.
"Benar. Jika kalian menerima bantuan ini. Kami akan mulai secepatnya."
"Dan ... apakah yang akan Tzaren dapatkan dari membantu Innist?" Sebuah suara terdengar dari mulut seorang bangsawan sepuh yang duduk jauh dari jendela.
Utusan Tzaren tersenyum. "Dengan menerima bantuan dari kami, itu sudah menjadi balasan yang tepat untuk Tzaren."
"Bagaimana bisa menerima bantuan disebut sebagai balasan?"
"Keadaan tidak akan selamanya tenang seperti sekarang. Mungkin sepuluh, lima puluh, seratus tahun lagi ... atau mungkin esok hari keadaan bisa tiba-tiba bergejolak. Di beberapa perang yang lalu sebelum perang besar, kami cukup kesulitan karena kerajaan yang menyerbu Tzaren bisa melewati Innist dengan mudah seolah-olah tidak ada kerajaan berdiri di antara mereka. Dengan ini, kami harap pertahanan Innist dapat jauh lebih baik lagi. Ditambah Raja Innist kali ini berasal dari Tzaren. Kami tentu ingin keturunan kami bisa tenang dibalik tembok-tembok yang cukup aman."
Bangsawan sepuh tadi mengelus-elus janggut putihnya yang panjang. "Ah ... jadi kalian ingin menjadikan Innist seperti sebuah benteng bagi Tzaren? Ketika ada yang menyerang Tzaren, tentunya mereka akan kerepotan jika Innist memiliki pertahanan yang baik. Tapi mengapa tidak kami lakukan seperti yang dulu-dulu saja? Membiarkan mereka lewat."
"Saya yakin mereka tidak hanya sekadar lewat, bukan? Para pasukan yang melewati Innist pasti melakukan perampasan bahan pangan atau mungkin wanita. Apa Anda bisa jawab, berapa banyak Anda menundukkan kepala, melepas harga diri untuk menjilat kerajaan-kerajaan yang melewati Innist dalam rangka berperang agar Anda bisa selamat?"
Bangsawan sepuh tersebut menatap sang utusan dengan pandangan murka karena tersinggung. Usianya yang sudah tua adalah bukti dia bisa bertahan dalam beberapa peperangan. Itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan karena juga berarti dia telah melakukan banyak hal yang merendahkan martabat untuk bisa menyelamatkan diri. Sebelum ia bisa membalas, utusan Tzaren tadi melanjutkan kata-katanya.
"Jika pertahanan Innist jauh lebih baik dan bisa menahan pasukan penyerbu. Tzaren akan mempunyai waktu untuk membantu Innist. Kalaupun kalian memutuskan untuk mengizinkan iring-iringan prajurit kerajaan lain melintas, Innist bisa meminta biaya menyeberang karena kalian punya pertahanan yang diperhitungkan."
"Tapi kami sudah mempunyai perjanjian dengan Kerajaan Ezze," cetus Jenderal Besar Innist.
"Apakah perjanjian lama itu masih berlaku setelah pemegang kekuasaan di Kerajaan Ezze berubah? Apa kalian sudah memastikan keberlanjutan perjanjian tersebut dengan Ezze?"
Semua bangsawan saling memandang. Mereka jelas lupa untuk memastikan perjanjian yang dimaksud.
Utusan Tzaren tersenyum puas. "Begini ... apakah dalam perjanjian lama itu kalian tidak boleh memperoleh bantuan dari kerajaan lain?"
Jenderal Besar Innist menggelengkan kepalanya. "Tidak. Ezze hanya tidak ingin wilayah Innist jatuh ke tangan kerajaan lain, karenanya Ezze akan membantu Innist apabila Kerajaan Innist diserang. Tapi jika suatu kerajaan yang berperang hanya sekadar lewat dan tidak berniat mengambil alih Innist, Ezze tidak akan bertindak. Itu sebabnya mereka selalu menyiagakan pasukan dalam jumlah besar di markas dekat selat agar mereka bisa bertindak cepat setelah memantau tindakan dari pasukan kerajaan lain yang melintasi Innist. Selain itu, ada juga perjanjian perdagangan ...."
"—Kami tidak peduli tentang perjanjian perdagangan itu," tukas utusan Tzaren. Siapa pun tahu jika Kerajaan Innist menjual wanita dan anak-anak sebagai budak pada Kerajaan Ezze. "Kami tidak berniat menguasai Innist. Hanya ingin menjadikan peluang Tzaren dalam perang lebih baik lagi. Saya rasa ini adalah hubungan yang saling menguntungkan. Kalian mendapat pertahanan yang lebih baik dan kami mendapat benteng tambahan jika diserang."
Para penasihat raja yang hadir saling memandang tidak yakin.
"Pertimbangkanlah! Selama ini kalian mengalami kesulitan dalam perang karena bantuan dari Ezze selalu terlambat, bukan? Posisi Tzaren jauh lebih dekat sehingga lebih cepat ketika mengirimkan pasukan. Ditambah lagi kalian tidak perlu dibebankan dengan syarat perdagangan tertentu."
Jenderal Besar Innist mengernyit. "Tapi Ezze akan murka jika kami mengadakan perjanjian di atas perjanjian pada perihal yang mirip. Akan terjadi kekacauan di lapangan andaikan Innist diserang lalu pasukan Ezze dan Tzaren bertemu karena sama-sama membantu Innist."
"Kalau begitu sebaiknya kalian memperbarui perjanjian dengan Kerajaan Ezze. Saya yakin raja baru kalian bisa lebih mudah menegosiasikan ini pada Raja baru Ezze."
Semua mata pun menoleh pada Raja Azkhar dan sontak semua terkejut. Raja Azkhar sedang tertidur di kursinya, menopang kepala dengan tangannya.
Bangsawan yang duduk paling dekat dengan raja melakukan upaya untuk membangunkan Raja Azkhar dengan cara yang ia harap tidak menyinggung sang raja.
Azkhar pun terbangun tanpa rasa bersalah. "Eh ... ya-ya .... Apa yang kulewatkan?"
Para bangsawan Innist menutup muka dan menggeleng-gelengkan kepala karena malu akan kelakuan raja mereka. Bisa-bisanya sang raja tertidur di tengah pembicaraan penting dengan utusan kerajaan lain!
Seharusnya utusan Tzaren tersebut tersinggung akan kelakuan sang raja, tapi ia justru tersenyum. "Tampaknya Yang Mulia kelelahan setelah bekerja keras menyambut saya. Bagaimana jika Yang Mulia mendiskusikan hasil pertemuan tadi dengan bawahan Anda? Saya akan menunggu hasil keputusan Innist."
"Tidak. Tunggu! Tunggu dulu! Aku mengizinkan bantuan Tzaren," ucap Azkhar sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Yang Mulia!"
Terdengar suara protes dari para penasihat raja. Bagaimana bisa seorang raja memutuskan sesuatu semudah itu setelah bangun tidur di tengah rapat?!
Utusan Tzaren masih tersenyum, tapi sorotan matanya seolah merendahkan Azkhar. "Saya rasa Yang Mulia perlu mendengar dari penasihat Yang Mulia terkait bagian yang tadi terlewatkan."
"Ya ... ya ... kau benar." Azkhar menoleh pada bangsawan yang duduk paling dekat dengannya. "Jelaskan secara singkat hasil pertemuan tadi!"
Bangsawan di samping Azkhar pun berusaha menjelaskan sambil khawatir apabila ada kata yang terlewat atau rajanya tidak mengerti maksud penjelasannya. Namun, ia lebih mencemaskan yang terakhir tadi. Raja Innist yang baru itu tampak tidak mengerti sama sekali tentang pemerintahan. Sang raja hanya mengangguk-angguk sepanjang penjelasannya.
"Yap. Sudah kuduga keputusanku memang benar. Aku memutuskan untuk menerima bantuan dari Kerajaan Tzaren," kata Azkhar secepat kilat setelah menerima penjelasan.
"Ap-apa tidak lebih baik kita diskusikan terlebih dahulu, Yang Mulia?" Seorang bangsawan tampak terkejut dengan sikap rajanya.
"Untuk apa? Perjanjian itu jelas menguntungkan kita."
"Memang. Tapi Ezze akan tersinggung karenanya. Kalaupun kita memutuskan menerima bantuan Tzaren, kita harus terlebih dahulu membahas pembaharuan perjanjian dengan Ezze." Jenderal Besar Innist mengurut keningnya. Tampaknya ia benar-benar pusing menghadapi kelakuan raja muda di hadapannya.
"Itu soal yang mudah. Untuk apa kalian repot memikirkannya? Bukankah bantuan dari Tzaren adalah keputusan kakakku, Raja Tarkh? Sementara Raja Ezze saat ini adalah Oukha yang juga merupakan saudara kami. Apa kalian pikir Oukha akan berani memprotes dan menghalangi keputusan kakaknya?"
Kata-kata Azkhar membuat para bangsawan penasihat raja tersentak. Mereka lupa memikirkan faktor persaudaraan antar raja yang sedang berkuasa di semua kerajaan yang ada di daratan tersebut. Mungkin ada di antara mereka yang sempat terpikir seperti itu. Namun, kejadian yang baru terjadi di istana Zetaya, di mana salah satu adik Raja Tarkh nyaris membunuh kakaknya sendiri, membuat orang-orang berpikir jika persaudaraan antar raja tampaknya tidak begitu baik. Ternyata masih ada adik Raja Tarkh yang menghormati kakaknya.
Utusan dari Tzaren tersenyum lebar. "Sungguh keputusan yang bijak, Yang Mulia! Anda benar-benar raja yang luar biasa! Mungkin kita bisa mendiskusikan lebih lanjut tentang perjanjian dan mekanisme bantuan yang akan kami berikan? Kami juga bisa membantu untuk diskusi lebih lanjut dengan pihak Kerajaan Ezze."
Azkhar menguap. "Tidak. Tidak. Aku lelah. Kau bisa mendiskusikannya dengan dewan penasihatku. Aku undur diri dulu." Ia berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Emerald yang duduk di sampingnya. "Ayo pergi, Em. Kau pasti bosan kan di sini?"
Utusan Tzaren lantas menoleh ke arah Emerald. Sejujurnya, dirinya lupa akan kehadiran gadis yang akan menjadi Ratu Innist itu. Ia meneliti wajah Emerald yang tampak sangat bosan. Mata gadis tersebut begitu sayu dengan ekspresi hampa.
"Ck! Gadis itu tidak jauh berbeda dengan saudarinya di Tzaren. Mengapa putri-putri Naz begitu cantik tapi begitu bodoh? Ia pasti tidak mengerti sedikit pun tentang pembicaraan tadi. Untuk apa mengajaknya di pertemuan ini? Mempertontonkan betapa Raja dan calon Ratu Innist adalah pasangan tolol? Mereka berdua cocok sekali! Raja Azkhar sungguh anak manja yang tidak punya otak, ternyata pasangannya pun sama! Misi ini jadi lebih mudah berkat kebodohan raja itu. Hahaha!" Sang utusan menghina dalam hati.
Emerald bangkit dengan anggun dan perlahan ia bersama Azkhar berlalu dari ruangan diikuti tatapan kesal beberapa bangsawan penasihat raja di sana.
***
"Hahhh .... Bagaimana aktingku tadi?" Azkhar mengempaskan dirinya ke sofa di kamar tidurnya.
Emerald memilih duduk di salah satu kursi yang jauh dari Azkhar.
"Bagus sekali! Sepertinya sifat alamimu memang seperti itu." Di saat sedang berdua, Emerald tidak lagi menggunakan bahasa yang sopan pada Azkhar.
Azkhar tidak tersinggung karena ia sama sekali tidak peka. "Kau juga. Dengan ini orang-orang di Tzaren pasti yakin kita berdua adalah orang-orang bodoh yang bisa mereka kendalikan."
"Aku sangat tidak suka dianggap bodoh bersama orang sepertimu! Huh!" Emerald membatin dengan kesal.
"Kapan kita perlu menyetor wajah dan bertindak bodoh lagi?" lanjut Azkhar. Ia tampak tidak awas akan rencana yang sudah disiapkan untuknya.
Emerald mendengus. "Nanti malam ada perjamuan sederhana untuk menjamu utusan."
Azkhar menguap. Ia jadi mengantuk sungguhan. "Suruh pelayan membangunkanku untuk bersiap nanti."
"Ya-ya ...." Emerald bangkit berdiri.
"Kau mau ke mana?"
"Mencari hiburan."
Emerald sangat tidak tahan jika harus berlama-lama di ruangan yang sama dengan laki-laki yang amat ia benci itu. Laki-laki yang tampaknya tidak ingat sudah pernah menendang dan menyakitinya. Namun, Emerald tidak akan lupa. Ia bertekad suatu saat nanti akan membalas anak manja yang menjadi raja tersebut. Ia hanya perlu bertahan lebih lama lagi karena seorang gadis yang tidak punya kekuatan apa-apa membutuhkan waktu untuk melakukan sebuah pembalasan.
***
Emerald berjalan santai di taman istana. Ia pun teringat, di saat paling sehatnya dahulu, pernah berjalan di taman kota ketika masih berada di Kota Suci. Taman di Kota Suci Verhalla tersebar di beberapa titik. Karena Kota Suci Verhalla dibangun dengan memahat gunung batu putih, maka tidak banyak lahan yang bisa dijadikan taman dan taman yang didatangi Emerald kala itu hanyalah taman kecil.
Oleh karena itu, semenjak ia bisa berkeliling istana Innist dengan leluasa, Emerald sangat terkagum-kagum dengan betapa luasnya taman tersebut dan betapa beragamnya bunga-bunga yang ditanam. Ukuran yang jauh berbeda dibanding taman-taman Kota Suci.
Emerald sadar dirinya diikuti. Karenanya ia segera berbelok ke balik pagar tanaman yang tinggi dan menunggu di baliknya.
"Tidak sopan sekali mengikuti seorang wanita diam-diam," ucap Emerald begitu sosok yang mengikutinya muncul dari balik pagar tanaman.
"Eh ... maafkan saya, Nona."
Sosok itu adalah Einz yang tampak salah tingkah begitu tertangkap basah.
Emerald tersenyum lebar. "Kau datang!"
"Begitulah .... Saya harus menemani ayah saya yang sedang ikut pertemuan di istana." Einz menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Emerald pun memasang wajah sedih. "Aku pikir kau datang karena permintaanku malam itu."
"Ten-tentu saja itu juga menjadi alasan saya datang ke istana." Einz makin salah tingkah.
"Kalau begitu maukah kau menemaniku jalan-jalan lagi kali ini?"
Einz mengangguk dengan cepat dan wajahnya langsung memerah begitu Emerald meraih lengannya.
"Sampaikan padaku jika kau keberatan kalau aku menyentuhmu."
"Tidak ... tentu tidak. Saya merasa sangat tersanjung Nona berkenan didampingi oleh saya." Einz yakin ia bisa mendengar debaran jantungnya sendiri.
Mereka berdua lalu menyusuri hampir setiap sudut taman yang luas. Emerald begitu bersemangat dan bertanya tentang bunga atau tanaman yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Einz menjawab pertanyaan sambil mencuri-curi pandang, memandangi ekspresi cerah gadis yang sangat ia damba itu. Einz tidak menyangka putri Naz yang disebut muram tersebut ternyata memiliki sifat yang secerah mentari dan cukup lincah untuk seorang gadis penyakitan, meski terkadang mereka harus berhenti untuk istirahat karena Emerald tidak cukup kuat berjalan lama di bawah matahari.
Semakin menghabiskan waktu bersama Emerald, Einz makin menyukai kepribadian sederhana gadis itu. Di tengah keluarganya yang memandang status dan harta dengan pandangan rakus, Emerald bagaikan mata air di padang gersang. Putri Naz tersebut dengan mudah memandang takjub pada sebuah bunga yang sedang mekar, terkejut akan cerita-cerita perjalanannya di beberapa kota baik di dalam maupun luar kerajaan, dan tidak segan-segan memberinya pujian.
Pujian seperti 'kau tinggi sekali! Raja Azkhar saja tidak setinggi dirimu', 'wah kau sudah mencapai pangkat itu di usia muda? hebat!', atau 'sungguh memalukan untukku mengatakan hal ini, tapi menurutku tidak ada yang lebih tampan di Innist melebihi dirimu.' Untuk pujian yang terakhir itu sukses membuat wajah Einz menjadi sangat merah seperti kepiting rebus.
Einz merasa tahun-tahun keras di rumahnya di mana ia dibesarkan tanpa pujian dan penghargaan lantas terbayar lunas oleh pujian bertubi-tubi yang diberikan Emerald.
"Wajahmu mudah sekali merah, ya?" goda Emerald.
Tanpa terasa matahari mulai terbenam. Entah sudah berapa kali mereka mengelilingi taman istana. Waktu terasa cepat sekali berlalu bagi kedua orang itu.
Einz memalingkan wajah. "Saya tidak selalu seperti ini."
"Jadi apa yang membuat wajahmu semerah itu?"
Einz berhenti. Ia memandang Emerald lekat-lekat. Tangannya menyentuh pipi Emerald yang terasa dingin oleh semilir angin senja. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, seorang pelayan mendatangi mereka dengan tergesa.
"Nona, maaf mengganggu waktu Anda. Tapi kami harus mempersiapkan Anda sebelum pesta malam ini," kata pelayan tersebut. Ia menghindar dari tatapan tajam Einz yang seolah ingin mencincangnya.
"Ah. Aku lupa tentang pesta itu." Emerald lantas menoleh pada Einz. "Kau datang juga malam ini, kan?"
Einz melunakkan ekspresinya dan tersenyum. "Tentu saja, Nona. Sebaiknya saya segera kembali untuk bersiap-siap juga. Maaf sudah membuang waktu Anda yang berharga."
Emerald tersenyum lebar. "Tidak. Aku justru senang sekali! Aku menantikanmu malam ini. Selamatkanlah aku lagi di pesta membosankan itu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro