Chapter 24 - Kerajaan Zetaya: Raja Gila
"Zetaya bukanlah kerajaan yang kaya, Zetaya juga bukan kerajaan yang kuat. Zetaya hanyalah kerajaan di tenggara yang mengandalkan hasil laut untuk kehidupan sehari-hari. Zetaya, bangsa dengan rambut berwarna gelap serupa tanah yang gembur, tapi tidak lantas membuatnya rendah serendah tanah yang dipijak. Zetaya berada di tebing-tebing tinggi yang tanah-tanahnya dipisahkan oleh jurang-jurang dalam dan tersambung oleh jembatan-jembatan kokoh, tapi orang-orangnya bukan orang yang tinggi hati. Orang-orang Zetaya memang tidak seramah orang-orang utara tapi bukan berarti merupakan bangsa barbar yang tidak tahu tata krama. Sejak dahulu Zetaya hanya bisa ikut arus peperangan karena terpaksa, di mana harus memihak salah satu kubu perang jika ingin bertahan. Salah memihak, maka Zetaya akan menderita. Memihak yang menang pun tidak lantas membuatnya sejahtera. Padahal sejak dulu yang diimpikan kebanyakan di Zetaya hanyalah sebuah kehidupan yang damai, bisa mencukupi kehidupan sehari-hari dengan layak, mendapatkan air bersih dengan mudah, atau sekadar atap yang kokoh untuk bernaung.
"Sekalipun keadaan kerajaan tetangga di utara tampak lebih indah, orang-orang Zetaya tidak lantas meninggalkan tanah kelahirannya. Juga ketika kerajaan tetangga lain di selatan yang sering menindas hanya sekadar bersenang-senang menunjukkan kehebatan mereka, orang-orang Zetaya tidak meringkuk ketakutan seperti pengecut. Mereka hanya bersabar agar selamat, karena ada keluarga yang menunggu mereka pulang.
"Orang-orang Zetaya cukup puas dengan apa yang ada di Zetaya. Tanahnya, hasil lautnya yang berlimpah, juga kehidupan tenang di saat perang tidak sedang berkecamuk. Sekarang pun masih sama, Bangsa Zetaya hanya ingin hidup damai dan layak. Tapi lagi dan lagi, kerajaan lain merenggut keinginan sederhana itu. Awalnya hanya mengambil alih kekuasaan Kerajaan Zetaya, kemudian lantas menyiksa orang-orang Zetaya. Mulai dari rakyat jelata hingga bangsawan pun tidak luput dari kebiadaban orang asing di tanah Zetaya. Anak-anak Zetaya semakin terlilit kelaparan dan wanita-wanita Zetaya diperlakukan seolah pelacur.
"Sekarang jawab! Apa belum cukup penderitaan kita? Setelah kita berdiam diri dengan sabar, ternyata orang asing itu makin melonjak. Mereka tidak menganggap kita, orang-orang Zetaya, sebagai manusia yang setara dengan bangsa mereka! Aku! Aku berdiam diri karena kupikir orang asing itu mampu memimpin lebih baik dariku! Tidak kusangka kepasrahanku membuat rakyatku menderita. Bahkan maaf pun tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku pada rakyat Zetaya yang sudah menderita karena aku melarikan diri dan menyerahkan kalian pada orang asing itu. Cukup sudah! Jika kalian mau bersama-sama denganku memperjuangkan Zetaya, angkatlah senjata bersamaku! Aku tidak akan memaksa. Kalian boleh pilih hidup terinjak-injak atau mati bersama demi kebebasan dan harga diri. Bagi yang mengikutiku, angkat tangan kalian tinggi-tinggi dan serukanlah! Demi Zetaya!"
"Demi Zetaya! Demi Zetaya! Demi Zetaya!" Elu-eluan terdengar bersahut-sahutan, menggetarkan suasana di penghujung malam yang gelap itu.
Alexandrite ikut bergetar menyaksikan semangat yang membakar, menghangatkan cuaca yang dingin menjelang terbitnya matahari. Ia berdiri dekat dengan pusat dari semua mata di tempat itu: Pangeran Luthe yang sedang menularkan semangat di atas sebuah panggung pendek dari kayu yang dibuat ala kadarnya. Pria berwajah kasar dengan kulit gelap tersebut baru saja memberikan sebuah pidato yang sangat dibutuhkan untuk memberikan dorongan lebih. Karena mereka tidak tahu, apakah mereka masih bisa hidup setelah malam itu?
Di hadapan Pangeran Luthe dan Alexandrite, berdiri berbaris-baris pasukan Zetaya. Mereka terdiri atas rakyat biasa yang melarikan diri, bandit-bandit yang selama itu mencuri dari kerajaan lain untuk menghidupi para rakyat, juga prajurit-prajurit dari bangsawan yang dibunuh karena sekadar melindungi kehormatan wanita di rumah mereka.
Tujuan mereka malam itu hanya satu: mengambil alih istana dari seorang penguasa asing yang kejam.
Di tengah kobaran semangat dan seruan pendukungnya, seorang berpakaian compang-camping mendekati Pangeran Luthe dan membisikkan sesuatu. Wajah Pangeran Luthe pun berubah serius, pertanda telah terjadi sesuatu di luar perkiraan.
"Ada apa?" tanya Alexandrite.
"Perubahan rencana. Kita tidak akan menyerang istana hari ini." Pangeran Luthe lantas berseru keras, membuat orang-orang terdiam memandangnya. Ia menjelaskan bahwa ada perubahan rencana di menit terakhir dan memanggil pemimpin pasukan masing-masing regu.
***
Tarkh mengernyit ketika melewati kota-kota Zetaya dalam persinggahannya menuju istana Zetaya di ibu kota. Kota-kota tersebut terlihat mati, seperti tidak ada kehidupan. Yang terdengar dari rumah-rumah hanyalah erangan dan suara tangis. Tarkh tahu Zetaya cukup miskin, tapi seharusnya masih ada orang-orang yang berlalu-lalang sekadar melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Ketika rombongan Tarkh tiba di salah satu kota terdekat dengan ibu kota, seorang anak kecil bertubuh kurus melemparkan diri ke jalan, nyaris terdepak oleh salah satu kuda pengawal Tarkh yang berjalan paling depan.
"Apa yang terjadi?" Tarkh berteriak dari dalam kereta kuda ketika rombongan tiba-tiba berhenti.
"Ada anak kecil menghalangi jalan, Yang Mulia. Akan kami bereskan."
Tarkh tampak memikirkan sesuatu. Ia kemudian melongokkan kepala dari jendela kereta kuda. "Berhenti! Bawa anak itu padaku!"
Tarkh turun dari kereta kudanya. Tampak seorang anak kecil yang sangat kurus dengan mata yang nyaris mencuat keluar duduk tak berdaya di atas jalanan rusak dan berlumpur gelap. Tarkh tertegun, bagaimana mungkin ada anak kecil bertubuh sekurus kerangka seperti itu?
"Berikan ia roti!"
Salah seorang pelayan memberi anak kecil tersebut roti panjang dari kereta perbekalan. Anak kecil tersebut melotot memandang roti yang disodorkan padanya, lantas dengan cepat mengambil dan memakan dengan rakus seolah-olah roti di tangannya akan hilang jika tidak segera dihabiskan.
Sedetik kemudian mulai muncul kepala-kepala yang mengintip dari dalam rumah. Beberapa orang memberanikan diri keluar dan berjalan ke arah rombongan Tarkh dengan setengah membungkuk, ada juga yang menyeret diri mereka di tanah. Badan orang-orang itu pun kurus seperti anak kecil yang menghalangi jalan tadi. Pakaian-pakaian mereka tidak jelas warnanya dan sudah compang-camping.
Prajurit-prajurit Tarkh melepaskan pedang dari sarungnya, mengantisipasi jika ada serbuan massal yang ditujukan untuk raja mereka.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Tarkh dengan suara keras.
Seorang wanita tua berlutut di dekat Tarkh. "Apa Yang Mulia punya sedikit makanan sisa?" tanyanya dengan suara serak dan bibir gemetar.
"Tolong ... kami sudah seminggu tidak punya apa pun yang layak untuk dimakan." Seorang pria dengan pakaian sewarna lumpur di jalan menyeret dirinya mendekati Tarkh. Kakinya seperti hanya pajangan yang tidak bisa dikendalikan.
Lalu terdengar satu persatu suara menyedihkan yang meminta tolong pada Tarkh dan rombongannya. Kerumunan itu makin mendekat, seolah tidak takut pada kilauan pedang-pedang kesatria pengawal raja.
Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki kuda mendekat dari kejauhan.
"Petugas pemungut pajak!" Terdengar suara panik dari arah datangnya kuda-kuda yang terpacu.
Orang-orang yang berkerumun tampak terkejut. Susah payah mereka kembali ke rumah menyedihkan mereka masing-masing dan bersembunyi.
Kuda-kuda putih kotor mendekat ke arah rombongan Tarkh. Penunggang-penunggangnya adalah prajurit-prajurit berlambang kerajaan Zetaya dan seorang lagi berpakaian rapi dari kulit yang sepertinya merupakan pegawai pemerintah.
Lelaki berpakaian kulit turun dari kuda diikuti prajurit lainnya. Mereka mendekati Tarkh lalu memberi hormat.
"Kami mendengar kedatangan Yang Mulia Raja Tarkh ke kerajaan ini. Kami datang untuk mengawal sampai ke istana."
"Apa adikku yang menyuruh?"
"Benar, Yang Mulia."
"Baiklah. Kau!" Tarkh menatap lelaki berpakaian kulit di hadapannya. "Kau ikut denganku naik kereta kuda."
Lelaki berpakaian kulit menunduk. "Saya rasa tidak pantas bagi saya berbagi kereta kuda dengan Yang Mulia."
"Kalau begitu aku akan naik kuda dan kau harus berjalan di sisiku! Pengawal! Siapkan kudaku!"
***
"Jadi apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Tarkh saat rombongan mereka mulai keluar dari perbatasan kota.
"M-maksud Yang Mulia?" Lelaki berbaju kulit tampak tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. Ia seolah-olah berkonsentrasi untuk menyamai kecepatan kuda Tarkh, meski hal tersebut tidak perlu dilakukan dengan penuh perhatian.
Tarkh tertawa mengejek. "Kau tahu maksudku. Kota-kota yang kudatangi ... semua tampak menyedihkan. Semua penduduknya takut keluar rumah dan kulihat mereka sangat takut pada kalian, prajurit kerajaan ini, dibandingkan pada orang asing seperti kami."
Lelaki berbaju kulit menghela napas. "Kami hanya menjalankan perintah."
"Dan perintah seperti apa yang dikeluarkan adikku yang satu itu?"
"Yang Mulia Raja Khrush memerintahkan kami untuk mengumpulkan pajak lebih banyak dari yang biasanya. Awalnya Raja Khrush hanya memerintahkan tiap minggu, lalu menjadi tiap tiga hari sekali, kemudian kami harus mengambil apa saja yang bisa diambil dari para rakyat setiap hari."
"Apa?!" Tarkh berseru kaget. "Perintah macam apa itu?! Apa dia ingin membunuh rakyatnya sendiri?"
"Raja Khrush berkata bahwa pajak-pajak yang sampai saat ini dikumpulkan masih belum cukup. Raja Khrush ingin membangun istana semegah istana Aritoria. Kami sebagai pengumpul pajak pun tidak berani membantah. Jika menurut Raja Khrush apa yang kami setorkan kurang, maka raja akan terjun sendiri mengecek ke tiap kota. Kalau ada yang bisa diambil dan tidak kami ambil, maka kepala kami akan melayang."
Ekspresi Tarkh makin menggelap. "Apa yang terjadi seandainya satu keluarga tidak mampu membayar lagi?"
"Maka kami akan menyeret anggota keluarga yang masih sehat dan mampu bekerja. Laki-laki akan dipekerjakan paksa untuk membangun istana dan yang perempuan akan ...."
"Aku rasa aku bisa menebak kelanjutannya. Bagaimana dengan bangsawan-bangsawan Zetaya?"
Lelaki berbaju kulit tampak menimbang-nimbang. "Sejauh ini ... sudah ada sepuluh keluarga bangsawan yang digantung."
Tarkh membelalakkan matanya. "Apa?! Apa karena mereka melawan perintah Khrush terkait pengumpulan pajak itu?"
"Sebagian karena hal tersebut. Sebagian lainnya karena mereka menolak memberikan putri atau istri mereka saat diminta Raja Khrush."
"Gila! Dasar bedebah gila!" Tarkh mengumpat dengan suara keras. Wajahnya tampak merah menahan kemarahan yang meluap. Ia tidak menyangka adiknya akan berbuat sebodoh itu. "Kalian semua! Pacu lebih cepat lagi! Aku harus memberikan pelajaran pada adik tolol itu secepatnya!"
***
Bahkan pemandangan ibu kota tidak kalah mengenaskan dibanding kota-kota lainnya di Zetaya yang telah dilewati Tarkh. Dengan yakin Tarkh merasa kondisi Zetaya saat itu jauh lebih buruk dibandingkan Innist yang terkenal sebagai kerajaan paling miskin, bahkan mungkin jauh lebih buruk dibanding kondisi saat perang. Dari gerbang ibu kota, Tarkh dapat melihat pilar-pilar bangunan yang tampaknya akan menjadi istana baru yang sebelumnya disebut pegawai pemerintah berbaju kulit.
Lokasi pembangunan istana baru tersebut terletak di tengah-tengah pusat kota. Cukup jauh dr istana lama di ujung ibu kota yang dekat dengan tebing.
Semakin mendekati pusat kota, Tarkh dapat mendengar teriakan-teriakan mandor, rintihan para rakyat yang dipaksa bekerja, dan suara gerobak pengangkut bahan bangunan di sana sini. Bangunan istana tersebut baru mencapai tahap pembangunan pilar. Dari lahan yang dibentuk cukup tinggi, Tarkh dapat melihat betapa besar istana yang akan dibangun itu.
Rombongan Tarkh melewati area pembangunan tersebut. Tarkh menyadari tatapan-tatapan benci para pekerja paksa yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Tarkh pun kembali memacu kudanya. Ia sudah tidak sabar ingin menuntut penjelasan terkait kehebohan yang sedang terjadi.
Begitu memasuki gerbang istana lama Zetaya, kekacauan istana sudah dapat terlihat. Taman-taman tidak terurus, pelayan-pelayan dengan roman menderita mondar-mandir entah sibuk melakukan apa, hingga prajurit-prajurit yang sangat banyak berjaga seolah-olah sedang terjadi perang.
Sesaat setelah memasuki istana, Tarkh kembali dikejutkan. Tidak pernah Tarkh melihat sebuah istana yang sangat mirip dengan kondisi rumah bordil. Para wanita, entah yang mengenakan pakaian lengkap atau hanya selembar kain, tersebar di sudut-sudut istana. Wajah mereka sembap, memar, dan kehilangan cahaya. Seolah-olah energi kehidupan telah dirampas paksa dari mereka. Wanita-wanita beragam usia dan status itu terduduk dan tergeletak tidak bergerak meski banyak mata yang masih terbuka. Di antara mereka mungkin ada putri seorang bangsawan atau istri seorang nelayan.
"Di mana Khrush?" tanya Tarkh yang terdengar seperti geraman.
"Sebelah sini, Yang Mulia. Raja Khrush ada di aula utama istana." Pegawai istana berbaju kulit memimpin arah di depan Tarkh. Mereka sampai di sebuah pintu besar seperti yang umumnya dimiliki aula-aula istana.
Begitu pintu terbuka, tampak sebuah kasur besar di tengah ruangan dengan Khrush di atasnya. Tangan kiri pria berwajah kasar itu mengelus rambut seorang wanita yang tampak tidak sadarkan diri sementara tangan kanannya memegang sebuah gelas piala dari emas.
Para wanita yang tersebar di aula tersebut jauh lebih banyak dari bagian lain istana yang dilihat Tarkh. Namun, tidak satu pun wanita yang berada di dalam aula memakai sehelai kain, begitu pula dengan Khrush.
Emas-emas tersebar di lantai-lantai aula, kain-kain indah tertumpuk di salah satu sisi dinding, permata-permata berhamburan di seantero ruangan, dan guci-guci indah tergeletak begitu saja. Seolah-olah aula tersebut adalah tempat penyimpanan harta kerajaan yang disatukan dengan rumah bordil.
"Halo, Kak!" sapa Khrush. Wajah laki-laki itu tampak kacau dan tidak terurus. Kantung matanya menggelap. Janggutnya tumbuh tidak beraturan.
Tarkh mendekati Khrush dengan sebisa mungkin tidak menginjak wanita-wanita yang tergeletak kehilangan kesadaran di jalur jalan menuju Khrush.
"Apa-apaan ini?!" bentak Tarkh. Namun, Khrush bergeming. Ia hanya memandang kakaknya cukup lama lalu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak berhenti tertawa sampai Tarkh menamparnya dengan keras.
Seisi aula menjadi hening. Semua orang seperti lupa untuk bernapas.
"Hentikan tindakan gilamu sekarang!"
Khrush mengembalikan pandangannya menatap Tarkh. Sebelah bibirnya terangkat, menyunggingkan senyum menyebalkan. "Gila? Ini luar biasa!"
"Apa yang luar biasa dari memperbudak rakyatmu sendiri?!" Tarkh masih tidak menurunkan nada suaranya.
Khrush menunjuk pintu aula yang terbuka, ke arah pusat kota.
"Kakak lihat itu? Istanaku akan berdiri megah! Lebih menakjubkan dibanding istana Aritoria! Aku tidak akan bisa membangunnya jika hanya mengandalkan keuangan kerajaan miskin yang Kakak berikan padaku ini! Semua tidak akan terjadi jika Kakak memberiku kerajaan kaya seperti Aritoria!" Khrush membalas perkataan Tarkh sambil berteriak. Urat-uratnya menegang dan wajahnya memerah.
"Aritoria yang kaya pun akan jatuh miskin jika dipegang raja tolol sepertimu! Harusnya kau berterima kasih sudah kuberi wilayah kekuasaan!"
"Tolol? Berterima kasih? Hahaha!" Khrush kembali tertawa terbahak-bahak. "Aku akan berterima kasih jika kau memberikan kerajaan yang layak. Mengapa orang asing seperti Sirgh justru mendapatkan kerajaan seperti Kraalovna? Kau lah yang tolol, Kak! Kau menggali kuburanmu sendiri!"
"Untuk apa kau menyebut Sirgh?"
"Hahaha! Lihat! Lihatlah ketololanmu itu! Oh ... aku tidak akan menjelaskannya. Aku ingin kau membusuk bersama keputusanmu! Hahaha!"
"Hentikan tawa konyolmu itu! Aku muak mendengarnya! Sekarang juga hentikan tindakan bodoh ini atau—"
"—Atau apa, hah?" Khrush melotot memandangi Tarkh. Telunjuknya mengarah ke arah kakaknya tersebut. "Kau lah yang harusnya berhenti bertindak bodoh! Kau sudah memberikan kerajaan ini padaku. Terserah aku akan berbuat apa di sini! Bukan urusanmu lagi soal rakyatku, para pekerja paksa itu, atau wanita-wanita Zetaya yang tidak satu pun bisa memuaskanku seperti Alex! Oh Alex ...." Khrush tiba-tiba memasang wajah sedih. "Aku merindukanmu, Alex ... Alex ... Alex ...."
Khrush mulai bergumam sendiri lalu menarik salah satu wanita yang terduduk di dekatnya hingga wanita tersebut berdiri. Khrush mencengkeram dan mengguncang kedua lengan si wanita sambil berteriak, "Mengapa kau tidak bisa sedikit saja seperti Alex?!"
Wanita di tangan Khrush mulai terisak. "Ampuni hamba, Yang Mulia." Namun, yang ia dapat justru tamparan bertubi-tubi dari Khrush.
"Tidak! Tidak! Tidak! Alex tidak akan meminta ampun. Bertindaklah seperti Alex!"
"Cukup, Khrush!" Tarkh melepaskan wanita itu dari genggaman Khrush. "Kau sudah gila!"
Khrush hanya melengkungkan bibirnya dan berkata, "Ya? Lalu?"
Tarkh mengernyit. "Kau benar-benar perlu diberi pelajaran keras!"
"Ah ... kau sedang mengancamku, Kak?" Khrush menyeringai. "Ini bukan Tzaren. Aku raja di sini. Kau hanyalah orang asing dan kau sekarang mengancamku? Oh ya ... tadi kau juga menamparku, bukan? Berapa banyak raja yang diam saja saat ditampar raja lainnya? Seharusnya aku bertindak. Ya ... ya ... prajurit!" Khrush berteriak. "Kepung mereka! Raja Kerajaan Tzaren mengumumkan perang pada Zetaya!"
Tarkh tersentak saat tiba-tiba beberapa baris prajurit Zetaya muncul dari pintu aula yang berbeda dari pintu yang dilewati Tarkh. Prajurit-prajurit tersebut tampak sudah disiapkan sebelumnya.
Pasukan elite pengawal Raja Tarkh refleks mengeluarkan pedang dan membentuk formasi lingkaran dengan Tarkh di pusatnya.
"Kau ... kau sudah merencanakan ini?!" geram Tarkh.
"Hahaha! Tentu saja! Jika aku tidak hadir di pemakaman bocah putri Naz itu, kau pasti akan datang kemari dan bertindak-sok-berkuasa dengan menekanku. Tapi sayang sekali ... kau jatuh dalam perangkap adik yang sering kau sebut bodoh ini. Jika kau mati, bukankah aku akan menjadi Raja Tzaren selanjutnya?"
"Jangan mimpi!" Tarkh meludah.
"Yang Mulia sebaiknya kita pergi dari sini!" Seorang pemimpin prajurit elite pengawal raja lantas berdiri dengan tangan melintang di depan Tarkh.
"Kau benar."
Dengan gerakan perlahan, barisan pasukan Tarkh mundur keluar dari ruangan.
"Kau tidak berpikir aku akan membiarkanmu begitu saja kan, Kak?" Khrush menyuruh pelayan memakaikannya baju sambil memberi instruksi. "Serang—"
"—Yang Mulia!" Seorang prajurit Zetaya tiba-tiba menyerbu masuk ruangan dan membuat semua mata menatapnya.
"Ada apa?!" Khrush tampak tidak senang dengan interupsi tersebut.
Prajurit tadi mengatur napas sambil berkata dengan terbata-bata. "Prajurit ... Innist .... Barisan prajurit Innist dan Ezze menembus gerbang ibu kota dan mengepung gerbang istana!"
"Apa?! Bagaimana bisa mereka berada di sini tanpa kuketahui?!"
"Tidak banyak prajurit yang tersisa setelah perang besar dahulu. Hampir semua prajurit yang ada telah Yang Mulia kerahkan untuk pembangunan istana baru dan berjaga di istana lama. Sementara prajurit milik para bangsawan yang Yang Mulia gantung menghilang entah ke mana." Seseorang yang tampaknya pemimpin dari para prajurit berusaha menjelaskan situasi pada rajanya. "Karena itu tidak banyak prajurit di perbatasan dan pos-pos penjagaan. Mungkin mereka telah ...."
Khrush berteriak murka. "Innist ... Ezze ...?! Hah ... dasar bocah Oukha sialan!" Ia menendang seorang wanita yang tergeletak di lantai.
Prajurit lain menyusul masuk ke dalam aula dan menambahkan kabar yang memusingkan Khrush. "Yang Mulia, perwakilan Kerajaan Ezze mengatakan jika Raja Tarkh tidak keluar dalam waktu sepuluh menit, maka mereka akan menerobos masuk. Selain itu, ada kabar dari perbatasan bahwa tentara bayaran dari Aritoria mendekati perbatasan."
"Sial! Sial! Siaaaal!" Khrush berteriak murka.
"Yang Mulia ...." Pemimpin dari prajurit Zetaya berbisik di dekat telinga Khrush, "Sebaiknya kita lepaskan saja Raja Tarkh. Jika mereka menyerbu masuk, kita sudah pasti kalah."
"Jadi menurutmu aku harus menyerah pada takhta Tzaren yang sudah di depan mata?!"
"Kalau kita kalah sekarang, takhta itu akan jatuh ke tangan saudara lain Yang Mulia. Saya menyarankan kita mundur untuk rencana lainnya."
Khrush terdiam. Ia menoleh pada prajurit pemberi kabar. "Berapa banyak prajurit Innist dan Ezze di depan gerbang istana?"
"Hampir dua kali lipat tentara kita yang sedang berada di ibu kota, Yang Mulia. Setengahnya adalah prajurit Ezze."
Khrush membelalak. Ia terkejut akan jumlah prajurit Ezze yang dibawa adiknya. Bagaimana bisa sebanyak itu prajurit Ezze yang mengelilingi istananya jikalau bukan karena Oukha memang sudah membawa banyak prajurit sejak awal kedatangan adiknya ke Kerajaan Innist? Apakah adiknya mengetahui rencananya sejak awal? Khrush menggelengkan kepalanya, menolak pemikiran tersebut.
"Kalau hanya prajurit Innist, aku masih percaya diri dapat bertahan sambil menunggu pasukan tambahan ditarik ke ibu kota. Tapi prajurit Ezze .... Aku tahu benar kemampuan mereka, tidak semengerikan prajurit-prajurit Kraalovna, tapi tetap saja mereka bisa dengan mudah melibas prajurit-prajurit tolol Zetaya. Belum lagi prajurit bayaran Aritoria menuju ke sini. Pasti Oukha yang memberi tahu Zakh. Sialan kau, Oukha! Suatu saat aku akan membalasmu!" gerutu Khrush dalam hati. Ia kemudian menyuruh prajuritnya melepas kepungan Tarkh dengan nada jengkel.
"Aku tidak akan memaafkan apa yang terjadi saat ini, Khrush!" geram Tarkh. "Berani-beraninya kau menodongkan senjata padaku!"
"Diam dan cepatlah keluar, Tarkh! Akan kubunuh kau jika mereka menyerbu masuk kemari! Dan jangan coba-coba datang kembali membawa pasukan Tzaren ke Zetaya atau akan kubunuh satu rakyat Zetaya untuk setiap prajurit Tzaren yang masuk ke wilayah kerajaanku! Ingatlah! Ini belum berakhir!" Kalimat terakhir Khrush pada Tarkh diucapkan dengan penuh tekanan dan kebencian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro