Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 - Ritual Doa Putri Naz

Ruang doa keluarga raja di istana Innist disusun dari tembok batu yang terletak di bagian istana lama yang sudah ada sejak zaman dahulu kala, sementara pintunya terbuat dari kayu tebal yang kokoh. Ruangan tersebut dijadikan tempat suci untuk berdoa karena mempunyai nilai sejarah dan suasana di dalam sangat sunyi. Tidak terdengar suara dari luar dan dari luar pun tidak bisa mendengar suara di dalam. Di tempat itu pula para putri Naz akan melaksanakan ritual doa khusus.

Ruangan disiapkan saksama dengan persiapan secepat mungkin. Lilin-lilin dan simbol-simbol khusus diatur sedemikian rupa. Para prajurit penjaga ditempatkan di sekitar ruang doa, sedikit jauh dari pintu dengan jumlah cukup banyak.

Oukha sudah memastikan agar tidak ada prajurit yang tidak ia kenal berjaga di sana. Jarak antar prajurit sangat rapat sehingga mustahil jika ada yang menerobos masuk tanpa terlihat.

"Apa penjagaan ini tidak terlalu berlebihan?"

Sirgh tiba-tiba berdiri di dekat Oukha yang sedang memandangi ruang doa dari jarak cukup jauh. Tampak putri-putri Naz satu per satu berjalan perlahan di koridor dengan jubah putih tanpa riasan lalu menghilang di balik pintu ruang doa.

Oukha tersenyum miring. "Aku khawatir jika ada kejadian yang tidak diinginkan seperti kematian mendadak Nona Pearl. Kau tahu? Aku tidak suka kejutan."

Sirgh tertawa kasar lalu menepuk bahu Oukha. "Aku tidak mengerti mengapa kau berpegang pada bunga-bunga rapuh. Mereka tidak akan kuat menyelamatkanmu jika kau jatuh ke dalam jurang."

"Bunga ya ...." Oukha ikut tertawa. "Apa kau takut pada jalinan bunga-bunga yang akan mengikat kakimu?"

"Aku? Takut?" Sirgh kembali tertawa dengan lebih keras. "Apa pun yang bunga-bunga itu lakukan, mereka tetaplah bunga. Tenang saja, kali ini akan kubiarkan para bunga terjalin sebentar ... sebelum kucabut dan kucabik mereka satu persatu."

***

Bisikan-bisikan doa keluar dari mulut para putri Naz yang duduk bersimpuh melingkari lilin-lilin merah dengan simbol berwarna senada terlukis di lantai. Tangan-tangan mereka ditangkupkan dan didekatkan ke bibir. Air mata mengalir deras membasahi pipi tanda permohonan yang diucapkan tulus dari lubuk hati paling dalam.

Setelah beberapa jam berlalu, Ruby tiba-tiba mengeluarkan suara. "Adik-adikku ...."

Para putri Naz lain yang sedang tenggelam dalam doa lantas menghentikan kegiatan yang sedang mereka lakukan. Semua kepala menoleh ke arah Ruby.

Ruby balas memandangi dengan saksama adik-adiknya satu persatu. "Apakah kalian tahu apa yang sedang terjadi?"

"Kematian Pearl, bukan?" jawab Lazuli. Namun, ia yakin ada jawaban lain atas inisiatif kakaknya, Ruby, yang tiba-tiba mengadakan doa khusus yang membuat mereka bisa berkumpul tanpa ada telinga yang mencuri dengar percakapan antar putri Naz.

"Juga kematian Alex ...," tambah Ruby. Ia terdiam sejenak seolah sedang memilah-milah kata dalam pikirannya.

Terdengar suara sesenggukan dari arah Taaffeite.

"Kematian Alex, seperti yang sudah kalian dengar, adalah akibat dari Raja Khrush yang sudah menginjak-injak kehormatannya bahkan di tempat yang terlihat banyak orang. Alex bukan tipe orang yang pasrah saja diperlakukan seperti itu. Aku yakin Alex sudah melawan, meski pada akhirnya ia menyerah dan lebih memilih kematian dibandingkan penghinaan tanpa henti. Sementara Pearl ...." Ruby menoleh ke arah Emerald. "Apa ada yang perlu kau sampaikan terkait kematian Pearl, Em? Aku rasa ada sesuatu dibalik kejadian 'tiba-tiba terjatuh dari menara'."

Emerald tersentak. Ancaman Oukha terngiang-ngiang di benaknya. Aku ingin kau merahasiakan penyebab kematian adikmu, Pearl. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu selain orang di istana ini, Azkhar, kau, dan aku. Terutama Ruby, dia tidak boleh tahu sama sekali .... Jika kau bekerja sama denganku, aku akan menjamin kenyamanan Ruby dan dirimu ... jika kau tidak berkenan bekerja sama denganku ... akan kusuruh Azkhar mengurungmu dan memaksamu makan potongan-potongan tubuh saudari-saudarimu. Hingga ketika tidak ada lagi saudarimu yang tersisa, aku akan membunuhmu dengan sangat perlahan.

Emerald menggigit bibir, tenggelam dalam dilema. Ia cukup paham jika Oukha adalah orang licik yang bisa mewujudkan ancaman. Namun, Ruby sang kakak tertua juga seseorang yang bernaluri tajam. Jika ia mengatakan penyebab kematian Pearl sama seperti yang diketahui banyak orang, sudah pasti kakaknya itu akan tetap curiga dan mencari tahu ke sana kemari.

Bahkan Oukha sudah tahu jika Ruby akan curiga pada kematian Pearl. Cukup aku yang tahu kenyataannya. Aku tidak bisa membiarkan saudariku dalam bahaya!

"Pearl didorong jatuh dari menara." Kebohongan lain pun diucapkan di atas kebohongan sebelumnya.

Seluruh putri-putri Naz menarik napas, terkejut.

"Siapa yang mendorongnya?!" Pertanyaan Ruby terdengar mengandung kemarahan yang ditahan.

Emerald telah dilatih Oukha untuk memberikan jawaban-jawaban sebagai pendukung cerita bohongnya tentang kematian Pearl. Ia sampai khawatir jika dirinya akan percaya pada kebohongan yang dibuat-buat itu.

"Aku tidak pernah mengenalnya. Seorang laki-laki Tzaren tiba-tiba muncul dan pergi begitu saja."

Air mata Emerald jatuh kembali bersamaan dengan emosi yang timbul saat mengingat laki-laki berambut merah yang sudah menyiksa Pearl di depan matanya.

"Laki-laki Tzaren?"

"Ya ... rambutnya berwarna merah, yang sebagian dipotong pendek dan sebagian lagi dibiarkan panjang."

Ruby menggeram. "Mengapa kau menyembunyikan penyebab kematian Pearl yang sebenarnya?"

"Raja Azkhar panik dan ia menghubungi Raja Oukha. Kemudian Raja Oukha memberi tahu kalau kami harus merahasiakan hal tersebut. Kata beliau, itulah yang diinginkan musuh-musuh kita. Kemarahan Raja Tarkh pada Raja Azkhar dan mereka akan membuat laki-laki Tzaren tersebut seolah-olah merupakan bawahan dari Raja Azkhar."

"Musuh? Siapa? Apa kita punya musuh?" Taaffeite mengernyitkan keningnya. Baru pertama ia mendengar perihal itu.

"Aku tidak tahu pasti siapa saja musuh-musuh kita, Kak Fe. Tapi aku yakin salah satunya adalah Raja Sirgh," lanjut Emerald.

"Bagaimana kau bisa yakin?"

"Raja Sirgh mengucapkan selamat atas keterlibatanku saat ia baru sampai di istana kemarin."

Ruby menegang. Ia tidak menyangka Raja Sirgh begitu cepat mendapatkan informasi tentang adiknya, yang menjadi bukti betapa banyak mata-mata musuh yang sudah ditanam di sekitar mereka. "Aku tahu siapa saja yang dimaksud musuh-musuh kita. Karena itu ...."

"Tunggu! Tunggu dulu! Apa yang terjadi? Musuh apa? Tolong jelaskan lebih merunut!" potong Lazuli. Gadis itu tadinya berpikir musuh yang harus dihadapinya hanyalah kubu-kubu bangsawan dan pengaruh raja-raja pada Rakha.

Ruby menoleh ke arah Lazuli. "Karena itulah aku mengumpulkan kalian semua sekarang. Ritual doa ini hanyalah alasan agar aku bisa bertemu kalian tanpa terganggu oleh orang lain. Dengarkan aku baik-baik!" Nada tegas Ruby membuat adik-adiknya memperhatikan Ruby dengan lebih saksama.

Ruby kemudian memulai penjelasan panjang lebarnya. "Semua ini terjadi dimulai dari Raja Tarkh yang tidak menyatukan seluruh kerajaan di bawah kuasanya. Ia justru memberikan kerajaan yang telah ditaklukkan pada adik-adiknya dan jenderal kepercayaannya: Raja Sirgh. Raja Tarkh tahu kalau tidak semua adik-adiknya bisa memegang kerajaan dengan baik. Karena itu ia memaksa setiap raja baru untuk mengambil putri-putri Naz sebagai ratu mereka dengan tujuan meredam kemungkinan pemberontakan. Namun, Raja Tarkh memercayai orang yang salah. Ia tidak tahu jika Raja Sirgh ternyata diam-diam berencana menguasai seluruh kerajaan yang ada dan sudah mulai menjalankan rencana yang melibatkan putri Naz.

"Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa para putri Naz dilibatkan dalam rencana pihak Raja Sirgh? Karena kita adalah tumbal di peperangan takhta ini. Kita akan menjadi alasan untuk melemahkan para raja adik Tarkh. Bagi mereka, putri-putri Naz hanyalah sebatas alat mencapai kekuasaan."

Terjadi keheningan yang panjang. Semua sedang mencoba untuk mencerna kata-kata Ruby yang di luar dugaan.

"Lantas apa yang harus kita lakukan, Kak?" Lazuli akhirnya memecah keheningan.

"Sebelum aku melibatkan kalian lebih jauh, aku ingin bertanya tentang keadaan kalian yang sebenarnya di kerajaan tempat kalian berada, satu persatu. Dimulai dari kau, Fe." Ruby memandang Taaffeite dengan tatapan seolah ingin mengorek isi kepala adiknya.

Taaffeite terkejut, tidak menyangka akan ditanya terlebih dahulu. Ia menatap kedua tangannya yang tergenggam. Akhirnya tiba saatnya Taaffeite bisa menumpahkan keluh kesahnya dengan bebas. Hanya pada saudari-saudarinya ia bisa melakukan hal tersebut tanpa khawatir konsekuensi yang mungkin timbul.

"Raja Tarkh begitu baik padaku. Apa pun yang aku inginkan akan ia penuhi. Meski demikian, dia terlalu protektif, seolah-olah setiap saat ada yang berencana untuk menjahatiku. Mungkin semua itu akibat pelemparan batu pada hari pernikahan kami. Awalnya aku merasa ia sangat berlebihan dengan semua perlindungannya. Sampai kemudian ...."

"Kemudian?"

"Tiba-tiba istana terasa sesak. Semua orang memandangku dengan tatapan benci meski mulut mereka tersenyum di depanku. Aku mendengar bisik-bisik setiap aku berjalan di dalam istana. Yang paling parah adalah dayang dan pelayan yang melayaniku. Mereka menyisir rambutku dengan kasar, menyiapkan air di bak mandi terlalu panas, berulang kali menginjak gaunku hingga aku terjatuh di hadapan orang-orang, dan lain sebagainya. Semua terjadi saat tidak ada Raja Tarkh di dekatku. Bahkan beberapa minggu belakangan, diperparah hingga ke makanan yang dihidangkan untukku. Entah terasa hambar, terlampau manis, terlalu asin, atau sangat pahit."

Seluruh saudari Taaffeite memandang gadis itu dengan terkejut. Penyiksaan seperti itu memang tidak akan tampak di fisik orang yang disiksa. Namun, akan melukai mental orang yang mengalaminya.

"Mengapa tidak kau laporkan pada Raja Tarkh?"

"Aku ... aku takut, Kak. Semenjak aku mengetahui jika aku penyebab perang besar yang melanda seluruh kerajaan, aku tahu pasti ada yang membenciku. Mungkin saja mereka yang menyakitiku mengalami kehilangan atau hal tidak mengenakkan selama perang besar itu. Aku tidak tega melihat mereka mengalami hal yang lebih menyakitkan lagi. Pernah suatu saat, aku tidak tahan dengan rasa asin daging yang kumakan, sehingga tanpa sadar kuungkapkan pada Raja Tarkh. Ia nyaris memenggal kepala koki jika tidak kumohon untuk diampuni." Air mata Taaffeite terjatuh. Ia pasti mengalami kebimbangan harus berbuat apa untuk kejadian-kejadian menyakitkan yang dialaminya.

"Adikmu, Ratu Taaffeite, berada dalam bahaya. Dan aku yakin dia tidak secakap kamu dalam mengatasinya."

Tiba-tiba terlintas kata-kata Oukha saat pertama kali raja itu mengajak Ruby dalam rencananya. Rupanya Oukha sudah tahu keadaan di dalam istana Tzaren dan aku dengan gampangnya ingin langsung memberi tahu Raja Tarkh. Padahal Raja Tarkh yang bertindak serampangan tanpa memandang posisi Taaffeite hanya akan memperburuk keadaan. Bodohnya!

"Aku turut bersedih terhadap apa yang kau alami, Fe. Aku tahu kamu pasti sakit hati. Akan kulihat apa yang bisa kulakukan untukmu. Sementara itu, jelaskan perihal keadaanmu, Emerald ... mungkin kau bisa sekaligus membahas Pearl."

Isak Taaffeite semakin kencang mendengar nama Pearl disebut.

Emerald menunduk dalam sebelum menjelaskan ... sebuah kenyataan yang dicampur dengan kebohongan.

"Raja Azkhar tidak memedulikan aku dan Pearl, tidak menyentuh kami pula. Ia sudah jujur mengatakan jika tidak menginginkan kami berdua. Tidak masalah, kami justru senang dengan keadaan seperti itu. Meski demikian, seisi istana memperlakukan kami selayaknya putri Naz. Sampai kemudian ... lelaki Tzaren yang tidak pernah kulihat sebelumnya tiba-tiba muncul saat aku dan Pearl menjelajahi menara. Aku ... tidak cukup kuat menghentikan laki-laki itu. Aku ...." Suara Emerald bergetar. Ia menggigit bibirnya menahan tangis.

Bahkan tanpa dilarang Raja Oukha pun, rasanya aku tidak sanggup menceritakan penderitaan Pearl pada orang lain.

"Oh ... Em ...." Taaffeite mendekati Emerald dan memeluk gadis itu.

"Kejam!" Jade bergumam.

Ruby mencengkeram kain di bagian dadanya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sambil mengumpulkan informasi. "Bagaimana denganmu, Jade?"

"Raja Zakh adalah pria yang kaku. Tapi ia sangat menghormatiku. Dia selalu berkata jika kehormatan ratunya adalah kehormatannya juga. Aku bahkan diberi pengawal dan diizinkan berjalan-jalan dengan bebas di ibu kota. Raja Zakh selalu memastikan apa yang diberikan padaku adalah yang terbaik. Selalu menyempatkan diri sarapan bersama meski ia sangat sibuk." Wajah Jade merona. "Aku ... aku merasa bersalah mengatakan ini. Tapi kurasa ... aku ... aku mencintai Raja Zakh."

Ruby terperangah, tidak menyangka jika Jade akan mengatakan hal itu. Ia pikir Jade akan sedikit menyelipkan kisah sedih. Namun, tampaknya kehidupan Jade-lah yang paling bahagia di antara para saudari tersebut.

"Kau beruntung, Jade. Mencintai pria yang menghormatimu," batin Emerald pedih.

Ruby dengan cepat menoleh pada Lazuli. "Bagaimana denganmu, Dik? Aku sempat mengunjungi istanamu, juga satu kereta kuda denganmu dan Raja Rakha sepulang dari pernikahan Jade. Kurasa keadaan istana baik-baik saja, begitu juga dengan Raja Rakha. Ia tampak menyukaimu." Ruby memaksakan diri tersenyum singkat.

Lazuli lantas mengulum senyum. "Dia benar-benar raja yang baik dan polos. Ia menuruti hampir semua kata-kataku. Orang-orang di istana pun menghormatiku sebagai seorang putri Naz. Hanya saja ...." Senyum Lazuli menghilang. "Aku harus berhadapan dengan kubu-kubu yang ingin mengendalikannya. Rakha tidak sadar tentang hal itu."

"Kubu?"

Lazuli menjelaskan tiga kubu yang saat itu memegang peranan penting di Bielinca.

"Aku mengerti. Katakan jika kau perlu bantuan. Apakah kau bisa pergi ke Kota Suci Verhalla?"

Semua putri Naz menatap Lazuli dengan penuh harap. Kerajaan Bielinca memang merupakan satu-satunya jalur menuju Kota Suci Verhalla.

Lazuli menggelengkan kepalanya dengan sedih. "Gerbang benteng utara menuju Kota Suci Verhalla menjadi markas militer Tzaren di Kerajaan Bielinca. Mereka menerima perintah langsung dari Raja Tarkh dan tidak mengizinkan siapa pun menuju ke sana. Bahkan Rakha pun tidak diizinkan lewat."

Ruby manggut-manggut, sangat jelas baginya jika Rakha nyaris tidak mempunyai kuasa meski berstatus sebagai raja.

Ruby kembali menatap satu per satu adik-adiknya kemudian menghela napas. "Keadaanku di Kerajaan Ezze cukup baik. Orang-orang yang kutemui di istana menghormatiku. Sama seperti Emerald, Raja Oukha jujur berkata kalau aku bukanlah tipenya. Tapi ia akan tetap menjadikanku ratu dan akan memperlakukanku dengan baik. Ia menjanjikanku banyak hal, salah satunya adalah kebebasan kita semua jika kita ikut berpartisipasi dalam rencananya."

"Kebebasan?"

"Kita bisa memilih apa yang akan kita mau pada hidup kita. Tetap di istana sebagai atau kembali ke Kota Suci Verhalla. Ia juga akan memberikan kita kepuasan jika kita ingin balas dendam pada orang-orang tertentu."

"Dan ... kau percaya janjinya?" celetuk Lazuli.

"Sementara, iya. Tidak ada pilihan lain. Kita tidak mempunyai tentara ataupun sekutu lain yang bisa membela kita jika terjadi perang lagi."

"Apa?" Taaffeite mengernyit. "Akan ada perang lagi?!"

"Ya. Dan musuh kita sudah menghimpun kekuatan. Aku butuh sekutu untuk melindungi kalian semua. Karena itu, aku ikut serta dalam rencana Oukha."

"Mengapa harus Oukha? Mengapa tidak kakak ceritakan saja pada Raja Tarkh agar ia bersiap-siap." Taaffeite yakin ia tidak mendengar ataupun melihat tanda-tanda persiapan perang pada Tarkh.

Ruby menggeleng sedih. "Jika Raja Tarkh tidak tahu ada perang yang sedang disusun, maka aku tidak bisa bergantung padanya. Karena itu berarti dia tidak cukup jeli melihat musuh dalam selimutnya."

"Aku akan mengingatkannya."

"Jangan!" seru Ruby. "Jika kau memperingatinya, ia akan berbuat ceroboh dengan emosinya yang meledak-ledak itu. Nyawa kalian bisa terancam jika perang meletus sebelum waktunya! Persiapan Oukha belum cukup untuk menghadapi kerajaan bermiliter kuat seperti Kraalovna dan Tzaren sekaligus."

"Tapi ...."

"Tolong turuti kata-kataku, Fe! Aku sedang mengusahakan keselamatan kalian semua. Ah, jangan lupa Sapphire masih ada dalam kendali Raja Sirgh."

"Kak Sapphire?!" Adik-adik Ruby selain Emerald berseru bersamaan.

"Apakah terjadi sesuatu padanya?" Jade tampak khawatir.

"Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada kalian, terlalu kejam untuk sekadar didengar. Aku akan menceritakannya jika kalian ikut berpartisipasi pada rencana Raja Oukha."

"Apa yang Raja Oukha rencanakan?" Lazuli tampak sangat penasaran. Ada perang yang sedang disusun dan ia tidak tahu sama sekali tentang hal itu. Lazuli merasa kecolongan.

"Sebelum kulanjutkan, tolong jawab pertanyaan ini dengan sejujur-jujurnya."

Keempat putri Naz yang lain mengangguk pelan.

"Apakah kalian sanggup membunuh jika Raja Oukha mengharuskan untuk membunuh sebagai bagian dari rencananya?"

"Ap-apa? Membunuh?!" Taffeite berharap ia salah mendengar kata-kata Ruby barusan.

"Ya. Dan yang aku maksud membunuh juga bisa berarti membunuh raja pasangan kalian."

"Apa-apaan itu?!" Lantas Lazuli ikut bersuara.

"Aku serius, Lazuli."

"Aku pun begitu, Kak. Tidak mungkin aku membunuh Rakha!"

"Jika kau dihadapkan pada pilihan antara Rakha dan saudari-saudarimu, siapa yang akan kau pilih?"

"Aku ...." Lazuli menggigit bibir. "Aku pilih keduanya! Pasti ada cara lain, kan?"

"Jangan terlalu naif, Laz! Terkadang kau harus memilih pilihan sulit," tukas Ruby dingin.

"Kita tidak akan tahu sebelum mencoba. Bagaimana kalau Kak Ruby jelaskan pada kami rencana Raja Oukha terlebih dahulu."

"Aku tidak akan menjelaskan pada kalian yang tidak sanggup berkata 'ya' untuk pertanyaanku tadi."

"Maafkan aku, Kak Ruby. Tapi aku tidak akan sanggup membunuh Raja Zakh." Jade ikut menyampaikan pendapatnya.

"Aku pun tidak akan tega membunuh Tarkh. Tidak! Aku tidak akan bisa membunuh siapa pun!" Taaffeite mulai histeris.

Ruby menurunkan pundaknya. Ia menarik napas dalam-dalam. Ruby sudah menduga jawaban adik-adiknya seperti itu. Karenanya ia memilih bertanya terlebih dahulu sebelum menjelaskan kondisi Sapphire. Ruby merasa mereka masih terlalu naif memandang situasi yang ada, hanya karena mereka lebih beruntung disandingkan dengan pasangan yang tepat.

"Kalau begitu tidak ada gunanya lagi. Hari sudah menjelang pagi. Mari kita sudahi ritual doa ini. Emerald, apa kau tetap bersamaku?" Ruby memandang adiknya.

Emerald mengangguk. "Aku percaya padamu, kak. Aku akan menuruti rencanamu."

Ruby kemudian menoleh pada ketiga adiknya yang lain. "Aku harap kalian merahasiakan apa pun yang kita bicarakan di ruang doa ini. Terutama pada raja pasangan kalian masing-masing, setidaknya sampai aku bisa menyelamatkan Sapphire. Nyawanya dalam bahaya."

"Aku akan memberitahu Tarkh agar ia bisa menyelamatkan Kak Sapphire," tukas Taaffeite.

"Jangan bodoh, Fe!" Sadar jika nada suaranya meninggi dan mengejutkan adiknya yang paling sensitif tersebut, Ruby memelankan suaranya kembali dan berkata-kata dengan nada datar. "Akan aku tekankan lagi akibatnya jika kau memberi tahu Raja Tarkh. Raja Tarkh yang kau cintai akan menjemput kematiannya sendiri lebih cepat dari yang diperkirakan. Itu akan memicu genderang perang dan aku tidak akan punya cukup kesempatan menyelamatkan kalian."

"Ba-bagaimana bisa Kak Ruby berpikir seperti itu? Kita semua tahu kalau Raja Tarkh adalah pemimpin yang berkuasa penuh sekaligus jenderal perang yang sangat lihai. Siasatnya sudah membuat semua kerajaan bertekuk lutut padanya." Taffeite masih ingin mendebat Ruby.

"Siasat? Apakah maksudmu siasat perang yang merupakan hasil dari pemikiran dari Raja Oukha dan Jenderal-Jenderal Tzaren? Kau pikir Raja Tarkh yang meledak-ledak itu bisa memikirkan strategi rumit yang dipikirkan secara dingin? Kesuksesannya saat itu juga didapat karena semua bangsawan Tzaren mendukungnya, mulai dari penyediaan tentara sampai pembiayaan perang. Kerajaan Tzaren ... sudah lepas dari genggaman Raja Tarkh. Hanya saja ia tidak mengetahuinya. Bahkan Oukha tidak tahu pasti siapa saja bangsawan berkedudukan tinggi di Tzaren yang masih bisa dipercaya. Ada banyak cara untuk menghabisi Raja Tarkh dari dalam istananya sendiri. Aku harap penjelasan ini sudah cukup meyakinkanmu untuk tidak melakukan kecerobohan yang akan kau sesali, Fe." Nada suara Ruby mengandung keseriusan yang tidak pernah didengar adik-adiknya sebelumnya, membuat para putri Naz menyadari bahwa apa yang dikatakan Ruby bukanlah sekadar gertakan semata.

Taaffeite terkejut hingga menutup mulutnya dengan tangan. "Ja-jadi apa yang harus kulakukan?"

"Karena kau tidak berniat untuk ikut dalam rencana Oukha, sebaiknya kau pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Tetaplah bersikap seperti biasa dan rahasiakan dari Raja Tarkh! Kalau kau masih bersikeras memberi tahunya tentang apa yang kita bicarakan di sini, setidaknya mulailah dengan menjelaskan tentang keadaan kondisimu yang sebenarnya di istana. Lihat apakah dia sanggup mengatasi permasalahan kalian atau bangsawan Tzaren memutuskan untuk menghabisi Raja Tarkh lebih cepat dari jadwal."

Taaffeite tersentak dan gemetar. Ia tidak yakin akan sanggup menjelaskan tentang penderitaannya pada Tarkh dan tidak berani menghadapi risiko yang disebut Ruby.

Ruby memandang Jade dan Lazuli berurutan. "Begitu pula dengan kalian. Kau anak yang cerdas, Lazuli. Kau tentunya paham jika lebih bijaksana merahasiakan tentang pembicaraan ini dari Raja Rakha yang baik dan polos itu."

Lazuli menggigit bibirnya lalu mengernyitkan kening sambil menutup mata. "Tentu saja aku tidak ingin Rakha jadi sasaran karena mengetahui tentang hal ini."

"Aku ... aku akan menilai situasi yang ada. Tapi aku tidak akan memberi tahu Zakh tentang percakapan kita di sini. Aku akan membantu sebisaku jika kalian memerlukan bantuan, selama bantuan itu tidak mengancam keselamatan Zakh."

"Ah ... benar-benar. Jade selalu bisa bersikap tenang dan dewasa," batin Ruby dalam hati.

"Satu hal lagi ...." Ruby mengucapkan kalimat penutup sebelum mereka membubarkan diri dari ritual doa itu. "... Jika kalian berubah pikiran, segera beri tahu aku, maka aku akan langsung mencari cara untuk menemui kalian sekalipun dalam kondisi perang."



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro