Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - Para Raja

"Kak Ruby, aku takut ...," isak gadis paling kecil di ruangan tersebut. Tubuh kecilnya berguncang-guncang di pelukan gadis lainnya.

Anak-anak dan istri Naz berkumpul di ruang doa keluarga di puncak menara tertinggi Puri Naz. Mereka mengenakan jubah putih sederhana, pakaian sehari-hari. Mereka tahu bahwa pasukan yang dipimpin langsung Maharaja Tarkh sudah memasuki Kota Suci dan bergerak lurus menuju puri. Ayah mereka, sang Naz, sudah bersiap di depan pintu puri, berharap dapat melakukan yang terbaik untuk melindungi kota dan keluarganya.

Ruby, putri Naz paling tua di ruangan, menatap adiknya satu persatu dengan tatapan khawatir lalu pandangannya bertabrakan dengan ibunya. Adik laki-laki satu-satunya masih tertidur tenang di pelukan ibu mereka. Adik yang tidak mempunyai nama karena setiap anak laki-laki Naz yang dipersiapkan untuk menggantikan ayah mereka tidak diberikan nama dan hanya dipanggil dengan sebutan Az. Naz adalah seorang pemimpin sekaligus pelayan, tidak boleh memiliki nama untuk mencegah timbulnya rasa sombong.

"Apa yang akan mereka lakukan pada Ayah?"

"Dan apa yang akan mereka lakukan pada kita?"

"Bagaimana bisa mereka menyerang Kota Suci?"

Gumaman-gumaman terdengar di sana sini.

"Anak-anakku ...." Satu panggilan dari ibu mereka membuat semua putri-putri Naz terdiam, menoleh pada sosok wanita berumur yang tampak lemah di balik jubah putih sederhana. Ia pasti sudah memikirkan kemungkinan yang terjadi dan itu membuat semangat hidupnya seolah sirna. Matanya menjadi basah saat menatap anak-anaknya satu-persatu, tetapi ia merasa harus mengatakan sesuatu. Sebuah petuah yang mungkin akan menjadi pesan terakhir untuk anak-anaknya.

"Ingatlah! Dalam keadaan seburuk apa pun, kalian memiliki satu sama lain." Suara sang ibu bergetar. Ia lalu menatap balik Ruby, seorang gadis yang memiliki garis wajah tegas yang selaras dengan sifatnya, tampak cantik dengan karakter kuat. "Ruby, kamu adalah kakak yang paling tua. Jaga adikmu sebisamu. Suatu saat mereka akan membutuhkanmu, baik mereka utarakan ataupun tidak."

"Mengapa Ibu berkata seperti itu? Seolah-olah ada hal buruk yang akan terjadi."

Istri Naz menoleh ke asal suara. Ditatapnya anak keduanya, gadis yang paling cantik di antara anak-anaknya. Anaknya itu memiliki tubuh ideal, suara paling merdu, kulit paling halus dan paling bercahaya. Namun, ia justru sangat khawatir dengan anak tersebut. "Sapphire ...."

"Ya, Bu?" Gadis yang sebelumnya bertanya, menjawab panggilan ibunya.

"Akan ada masa di mana kecantikan membawa petaka. Suatu saat nanti kamu akan mengutuk hal tersebut. Tetaplah tegar apa pun yang terjadi, kamu lebih kuat dibanding yang kamu pikirkan."

Sapphire terdiam, mencoba mencerna arti kata-kata tersebut.

"Alexandrite ...." Si ibu mendongak, menatap anaknya yang duduk paling jauh darinya.

Gadis yang satu itu selalu mencoba melawan arus dan berkali-kali harus dinasehati oleh ibunya karena tingkahnya yang jauh dari kata anggun. Walaupun memiliki rambut bergelombang yang paling halus dan paling indah, ia selalu berusaha memotongnya menjadi pendek meski hanya diizinkan sampai sependek bahu. Gadis yang dipanggil hanya diam menatap ibunya.

"Kamu yang paling berbeda di sini, anak Ibu yang paling nakal. Ibu tahu selama ini kamu belajar pedang pada Komandan Otto secara diam-diam."

Alexandrite menegakkan tubuhnya, tidak menyangka ibunya tahu akan hal itu. Padahal sudah ia tutupi sebisa mungkin. Semua orang berharap putri Naz akan berlaku seanggun putri kerajaan tapi ia tidak suka hal feminim tersebut. Ia suka menunggang kuda, berlatih pedang ataupun panah, dan berharap bisa berdiri tegak tanpa dibayang-bayangi seorang lelaki.

"Tapi Ibu bahagia kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Ibu harap apa pun yang terjadi, kamu tidak kehilangan jati dirimu."

Alexandrite pun terharu mendengar kata-kata ibunya.

Si ibu menoleh pada anaknya yang keempat. Seorang gadis yang ceria dan paling feminim. Ia masih ingat ketika anaknya itu memetik bunga karena ingin membuat mahkota bunga, padahal di Kota Suci Verhalla dilarang merusak tanaman. Anak keempatnya lantas dimarahi oleh kepala pendeta dan menangis sambil membawa kabur mahkota buatannya ke arah kota.

"Apa Ibu akan berkata sesuatu yang mengerikan untukku?" tanya Taaffeite.

Ibu mereka menggeleng dan mengelus punggung Taaffeite. "Tidak Fe, ini hanya sebuah nasihat. Kamu adalah anak Ibu yang paling perasa. Suatu saat kamu harus tegas memutuskan sesuatu dan berani mengambil risiko. Bahkan mungkin membantu saudara-saudaramu yang lain."

Terdengar suara batuk di sisi kanan. Ruby dengan cepat mengambil air dari salah satu meja pendek di ruangan berfurnitur sedikit itu dan memberikannya pada saudarinya yang tadi terbatuk-batuk.

Ibu mereka menatap iba pada anaknya yang lemah tersebut. Sejak lahir anak kelimanya mudah terserang sakit. Berbagai tabib sudah didatangkan tapi kondisinya tidak kunjung membaik.

"Em ...."

"Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak apa-apa. Ibu tidak perlu khawatir, gadis penyakitan sepertiku cenderung dijauhi orang. Aku akan baik-baik saja. Kuharap. Mungkin aku harus lebih bisa mengurus diriku sendiri jika suatu saat tidak ada yang bisa kumintai pertolongan," lanjut seorang putri Naz yang bernama Emerald.

Si ibu menutup mulutnya. Apa yang ingin ia sampaikan sudah terucap dari mulut Emerald.

"Tidak usah khawatir padaku juga, Bu ...," ucap sebuah suara dari sebelah kiri. Istri Naz menoleh, tampak anaknya yang masih muda tapi paling dewasa dan paling sabar. Wajah anaknya itu juga terlihat teduh dan memberikan ketenangan.

"Jade ...."

"Aku akan berusaha sebaik-baiknya. Mungkin akan ada nasib buruk menanti di depan. Tapi aku akan menghadapinya. Ibu sudah mendidikku dengan baik agar menjadi wanita sehebat Ibu."

Si ibu kembali menitikkan air mata haru karena merasa terlambat menyadari anak-anaknya sudah semakin dewasa dengan cepat. Ia mengalihkan pandangan pada dua anaknya yang paling kecil, mereka hanya selisih dua tahun.

"Ibu mempunyai pesan untukku?" tanya gadis yang sedang memeluk adiknya yang masih terisak.

Si ibu tersenyum meski air matanya tetap berjatuhan. "Lazuli, kamu anak Ibu yang paling cerdas. Kamu cepat belajar. Gunakan kelebihanmu itu untuk membantu saudari-saudarimu yang lain."

Lazuli tersenyum kaku. "Terima kasih, Bu."

"Bagaimana denganku, Bu?" tanya putri Naz paling bungsu. Ia menegakkan tubuhnya dan melepaskan diri dari pelukan kakaknya. Matanya merah karena menangis.

"Anakku sayang ...." Sang ibu menelan ludah. Selain Sapphire, putri terakhirnya itu yang paling ia khawatirkan. Masih kecil dan sangat polos. Dunia terkadang cukup kejam sekalipun pada seorang gadis kecil. Ia berharap Maharaja Tarkh akan melepaskan putri bungsunya tersebut. "Meskipun kamu paling kecil, Ibu tahu kamu anak yang tegar. Ibu yakin kakak-kakakmu akan melindungimu."

Istri Naz kembali mengedarkan pandangan pada anak-anaknya. "Ayo kita berdoa pada Ahurz. Semoga Naz mengatasi masalah ini tanpa hambatan berarti."

***

Saat pintu terbuka, kepala pendeta dan beberapa lelaki berpakaian perang yang juga berwajah keras muncul dari balik pintu.

Semua yang berada di dalam ruangan menjerit dan menangis ketika laki-laki yang berada di tengah melempar kepala Naz ke arah mereka.

Ruby sontak memeluk Emerald yang tampak hampir pingsan, padahal ia sendiri gemetar ketakutan. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengira hal itu akan terjadi. Tidak ada pula yang berani memandangi wajah ayah mereka yang berlumuran darah dan berekspresi mengerikan, seolah hal terakhir yang dilihat Naz adalah neraka.

Tidak lama kemudian kepala pendeta mendatangi Ruby yang masih terguncang. Ia berjongkok dekat gadis tersebut. "Nona Ruby, Maharaja Tarkh menyuruh kalian semua untuk turun ke bawah dan naik kereta kuda."

"Ka ... kami ...?" tanya Ruby dengan bibir gemetar.

"Kecuali Nyonya dan Az, ya ... kalian semua. Cepatlah! Aku takut kalian akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan jika tidak mematuhinya."

Eskpresi takut kepala pendeta menyadarkan Ruby jika semua yang terjadi adalah nyata dan Maharaja Tarkh bukanlah orang yang sabar.

Ruby mengangkat Emerald yang lemah. Ia menoleh pada adik-adiknya. "Kita diperintahkan untuk pergi bersama mereka."

Wajah ketakutan Ruby membuat adik-adiknya ikut berdiri dengan ragu.

"Cepatlah! Lambat sekali kalian!" seru Khrush yang menghambur masuk ke dalam ruangan. Beberapa putri Naz menghindarinya dan mendekati Ruby, seolah-olah Ruby dapat melindungi mereka semua.

Khrush pun mengarahkan mereka untuk turun, membuatnya seperti seorang penggembala yang menggiring domba-domba.

Mereka melangkah keluar, meninggalkan sang ibu yang menangis meraung-raung tak berdaya sambil mendekap anak satu-satunya yang tersisa. "Kenapa Ahurz ... kenapa ...?!!"

***

"Otto!!" Alexandrite berlari menghampiri komandan tentara kota yang masih setia berlutut di samping tubuh Naz. Beberapa tentara kota berusaha membantu membebat tangan komandan mereka yang tinggal setengah.

"Apa yang terjadi pada tanganmu?!" pekik Alexandrite. Disentuhnya lengan berdarah Komandan Otto. Ia yang menahan diri untuk tidak menangis saat kepala ayahnya dilemparkan, sontak membiarkan air matanya menetes.

Komandan Otto menatap gadis cantik yang mendatanginya, "Maaf Nona Al. Saya ... saya tidak mampu menjaga Naz."

Spontan Alexandrite memeluk tubuh kekar sang komandan dan menangis tersedu-sedu di bahunya.

Komandan Otto bahkan belum balas memeluk Alexandrite ketika ia merasakan besi yang dingin merobek kulit punggungnya.

"Wah ... wah .... Aku tidak menyangka seorang putri Naz akan menjalin cinta dengan komandannya." Khrush sedikit menancapkan pedangnya di punggung komandan Otto. "Cantik ... sekarang lepaskan pelukanmu atau pedangku akan maju lebih dalam lagi."

"Hentikan!" seru Alexandrite. Ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Jubahnya yang putih bersih lantas ternoda darah.

Khrush mengangkat pedangnya dan menggerakkan pedang itu sebagai isyarat agar Alexandrite kembali pada saudari-saudarinya yang lain. Dengan enggan Alexandrite melangkah sambil tetap menatap Komandan Otto.

"Tenang saja Komandan. Aku akan 'mengurus'nya dengan baik," bisik Khrush dengan nada menghina.

"Sialaaaaan!" teriak Komandan Otto terakhir kali sebelum Khrush menghadiahinya sebuah tinju yang membuat sang komandan jatuh tak sadarkan diri.

***

Rombongan Maharaja Tarkh berhenti di ibu kota Kerajaan Bielinca. Kerajaan Bielinca berbatasan langsung dengan pegunungan di mana Kota Suci Verhalla berada dan merupakan kerajaan kedua yang terakhir ditaklukkan Tarkh. Di kota tersebutlah adik-adik sang maharaja menunggu kakak tertua mereka.

Tarkh segera menggelar pertemuan penting sehari setelah rombongannya sampai.

"Aku akan melepas gelar maharajaku dan membagi kerajaan-kerajaan yang sudah takluk pada kalian." Ucapan Tarkh membuat seluruh yang hadir di pertemuan tersebut menjadi tegang.

"M-maksudnya?" tanya Khrush. Bahkan ia yang selalu mengikuti Tarkh dalam setiap penaklukan tidak menyangka jika kakaknya akan mengambil keputusan tersebut. Ia memang mengharapkan pembagian kekuasaan, tapi diberikan sebuah kerajaan ....

"Mengatur banyak kerajaan yang ditaklukkan dalam waktu dekat akan sangat sulit dilakukan sendiri. Jangankan kerajaan berbeda, mengatur adik-adikku saja sudah sulit." Tarkh menoleh pada beberapa adiknya. Ia yang terkadang merasa muak dengan adik-adiknya yang banyak tingkah, berharap akan terlepas dari mereka jika masing-masing memiliki kekuasaan sendiri.

"Beberapa dari mereka gila kekuasaan, suatu saat salah seorang dari mereka akan menusukku jika tidak kuberi jatah. Lagi pula aku sudah mendapat apa yang kuinginkan," batin Tarkh.

"Bagaimana kau akan mengaturnya, Kak?" tanya seorang pria yang duduk berseberangan dengan Tarkh.

Tarkh tampak menimbang-nimbang, meski ia sebenarnya sudah mengatur siapa mendapatkan apa.

"Aku akan kembali ke Tzaren. Kurasa aku tidak cocok dengan wilayah utara, iklimnya menyebalkan."

"Yang benar saja. Pfftt ... Tzaren memang luas, tapi hasil alamnya tidak melimpah dan terlalu dingin," celetuk salah seorang adik Tarkh.

Tarkh menoleh pada adiknya tersebut dengan tatapan yang jelas menunjukkan ketidaksukaannya. "Azkhar, kau akan kuberi Kerajaan Innist."

"Ap-apa? Innist? Kerajaan itu sangat miskin! Tidak berbatasan dengan laut dan terlalu di tengah. Jika boleh, bisakah aku meminta Kerajaan Aritoria?"

"Jangan mendebatku, Azkhar! Kontribusimu paling sedikit dalam perang dan kau meminta wilayah kaya?!" geram Tarkh. Semua yang di ruangan langsung terdiam. Tarkh memang sangat otoriter. "Aritoria akan kuberikan pada Zakh. Dia banyak membantuku saat menaklukkan sebagian besar kerajaan."

Tampak Azkhar menatap tajam pada kakaknya yang bernama Zakh.

Siapa yang tidak ingin Kerajaan Aritoria? Pintu utama perdagangan asing dari negeri-negeri yang amat jauh. Banyak menghasilkan uang dari perdagangan dan setiap bangunan di sana dibangun dengan indah. Pedagang-pedagang dari negeri yang amat jauh akan berlabuh pertama kali di timur dataran tersebut. Sebuah kerajaan yang beradab dan makmur meski tidak cukup kuat untuk membela diri. Kerajaan Aritoria takluk di kaki Tarkh tanpa perlawanan yang berarti.

"Terima kasih, Kak." Zakh menyunggingkan sebuah senyum tipis.

"Bagaimana denganku? Aku juga membantumu dalam setiap pertempuran," cetus Khrush

"—Awalnya," potong Tarkh. "Kau menghinaku pada saat aku mengumumkan niatku menaklukkan semua kerajaan. Tawamu saat itu masih berdenging di telingaku." Tarkh menyunggingkan senyum mengejek pada Khrush. "Kau akan kuberikan Kerajaan Zetaya yang berada tepat di samping Tzaren, Khrush. Bukankah kau senang tetap dekat dengan kakakmu ini?"

"Zetaya?!" Khrush tidak kalah kaget dengan Azkhar. Jelas ia tidak setuju akan pembagian tersebut.

Khrush mengumpat dalam hati. "Jika tahu begini lebih baik aku diam saja, tidak turun ke medan perang. Huh! Aku berharap saat itu kau mati!" Khrush mengingat salah satu perang ketika seorang musuh mengendap di belakang Tarkh yang segera disadari Tarkh begitu ia berteriak memperingatkan kakaknya tersebut dari jauh.

"Oukha, ambillah Kerajaan Ezze. Aku tahu kau gila perempuan. Kontribusimu dalam perang membuatmu pantas mendapatkan Ezze," lanjut Tarkh saat Khrush bersiap ingin memprotes pembagian wilayah tersebut.

"Wah, kau baik sekali, Kak! Siapa yang tidak suka wanita-wanita berambut pirang Ezze?"

"Jenderal Sirgh," panggil Tarkh.

Seorang jenderal bertubuh besar mendekat dari pojok ruangan. Wajahnya tidak kalah bengis dari Khrush dengan sebuah codet di mata kanannya. Umurnya jauh lebih tua dibandingkan Tarkh, nyaris menyentuh angka empat puluh. Ia mengamati pertemuan dan menjaga Tarkh seperti seekor anjing menjaga tuannya.

"Apa apa, Yang Mulia?"

"Kau banyak berjasa padaku. Aku tidak akan melupakan saat kau hampir mengorbankan dirimu untuk melindungiku di perang melawan Kraalovna."

Jenderal Sirgh spontan menyentuh bekas lukanya di lengan kiri. Luka yang dia dapatkan ketika menghalau sebuah pedang yang mengincar Raja Tarkh dan nyaris memutus lengannya di perang terakhir.

"Kraalovna benar-benar memberikan perlawanan sengit. Pasukan mereka cukup tangguh. Suatu kehormatan bisa melindungi Anda, Yang Mulia."

"Aku adalah orang yang akan selalu membalas perbuatan orang lain terhadapku, baik ataupun buruk. Kuberikan padamu wilayah Kraalovna."

Terdengar beberapa ketidaksetujuan dari adik-adik Tarkh.

"Yang benar saja! Dia hanya orang luar, Kak!"

"Aku juga membantumu, tapi yang kudapatkan adalah wilayah tidak strategis!"

"Jika memberikan satu wilayah wajar saja, tapi satu kerajaan ... itu agak berlebihan, bukan?"

Tarkh menggebrak meja. Ia benar-benar tidak suka ada yang mendebatnya, adik-adiknya benar-benar tidak tahu cara bersyukur.

"Kraalovna berisi pejuang-pejuang tangguh. Orang lembek seperti kalian hanya akan menimbulkan pemberontakan. Mereka lebih suka dipimpin oleh raja yang berlatar belakang kesatria." Tarkh setengah mengejek adik-adiknya. "Jenderal Sirgh pantas untuk itu dan jangan lupa bahwa dia bukan benar-benar orang luar! Aku hanya memberikan hak yang seharusnya ia nikmati sejak lama."

"Hadiah yang amat luar biasa, Yang Mulia. Yang Mulia sungguh dermawan." Jenderal Sirgh sedikit membungkuk pada Tarkh.

"Duduklah di kursi ini. Sekarang kau sejajar dengan kami." Awalnya tidak ada yang memberi perhatian pada kursi kosong di dekat Tarkh. Dengan sedikit gerakan kaku, Jenderal Sirgh duduk di kursi tersebut.

"Lantas siapa yang akan memegang wilayah ini?" tanya Oukha.

"Kerajaan Bielinca akan kuberikan pada Rakha."

Semua mata lantas menuju pada seorang anak berumur lima belas tahun yang sedari tadi diam di kursinya.

"Eh ... aku ...?" tanya bocah tersebut sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Tidakkah Rakha masih terlalu kecil untuk mempimpin kerajaan?" lanjut Oukha.

"Menurutku sudah waktunya dia terlepas dari kakak-kakaknya dan menjadi mandiri. Lagi pula Kerajaan Bielinca dekat dengan Kota Suci sehingga orang-orangnya lebih patuh dan ramah. Aku akan mengirimkan banyak orang kompeten dari Tzaren yang akan membantu Rakha sampai ia cukup pengalaman untuk memimpin sendiri."

Tidak ada yang protes kali itu. Mereka merasa sia-sia saja mendebat Tarkh.

"Ada yang ingin kalian sampaikan kecuali permintaan mengubah kerajaan yang kuhadiahkan pada kalian?"

Hening sejenak, kemudian Khrush angkat bicara. "Bagaimana dengan putri-putri Naz?"

"Ah soal itu ...." Tarkh memanggil seorang prajurit penjaga pintu lalu menginstruksikan sesuatu. Prajurit tersebut bergegas pergi ke balik pintu.

Tidak lama kemudian, muncul satu persatu putri Naz yang dibariskan di hadapan Tarkh dan para raja baru. Mereka berdiri dengan takut-takut sambil menundukkan kepala, tetap cantik sekalipun terlihat sedikit berantakan.

"Nah, saudara-saudaraku. Aku persilakan untuk kalian memilih. Mereka harus menjadi ratu kalian di kerajaan yang baru!"

Ucapan Tarkh membuat semua yang hadir terpana. Mereka baru kali itu melihat dan membuktikan kabar burung akan kecantikan putri-putri Naz. Apalagi putri-putri tersebut akan diberikan pada mereka!

"Kami boleh memilih yang mana pun?" Khrush terdengar amat bersemangat.

"Aku yang akan menentukan urutan memilih."

"Tapi mengapa harus menjadikan mereka seorang ratu di kerajaan baru kami?" tanya Khrush lagi.

"Kita membunuh semua keluarga kerajaan di kerajaan-kerajaan yang kita taklukan," jawab Tarkh sambil memandangi adiknya satu persatu dan mondar-mandir mengelilingi mereka. "Hal itu agar keluarga kerajaan tidak memberontak balik menuntut hak mereka sehingga kalian bisa berkuasa. Akan timbul pergolakan di kalangan rakyat dan beberapa bangsawan tersisa yang pura-pura patuh pada kita ketika kerajaan mereka dipimpin oleh orang asing. Namun, keadaan akan sedikit berbeda jika yang menjadi ratu adalah putri-putri Naz. Apalagi daerah utara, mereka sangat mengagungkan dan menghormati Naz dibanding kita yang berasal dari selatan."

Para lelaki di ruangan tersebut mengangguk-angguk setuju, tidak terkecuali Jenderal Sirgh.

"Nah, Jenderal Sirgh. Pilihlah duluan."

Adik-adik Tarkh kembali gusar melihat Jenderal Sirgh kembali mendapat perlakuan istimewa.

"Terima kasih lagi, Yang Mulia." Tanpa ragu Jenderal Sirgh menunjuk seorang wanita di urutan kedua dari kiri.

"Pilihan yang bagus, Jenderal. Dia memang gadis yang paling cantik di antara putri-putri Naz." Dengan isyarat tangan Tarkh menyuruh gadis tersebut mendekat.

Dengan ragu dan hampir menangis gadis itu datang.

"Siapa namamu?"

"Sapphire," jawab si gadis dengan nada putus asa.

"Nama yang secantik orangnya."

"Ck. Padahal tadi aku ingin memilihnya," gerutu Khrush yang didengar oleh Tarkh.

"Sudah tidak sabar huh, Khrush? Kau pilihlah dulu."

Dengan pandangan sedikit kesal, Khrush melihat satu persatu putri-putri Naz. "Ah ... aku melihat ada yang menarik. Gadis itu!" Khrush menunjuk seorang gadis di tengah dengan jubah bernoda darah yang sudah mengering.

"Aku tidak menyangka kau akan memilihnya, Khrush. Gadis itu tampak paling liar. Bukankah dia yang menimbulkan drama di depan Puri Naz?"

Khrush terkekeh. "Aku akan menjinakkannya. Dia tidak akan membosankan." Ia berdiri dan menarik gadis yang ditunjuknya ke dalam pelukannya. Gadis tersebut sedikit memberontak.

"Terserahlah. Zakh, giliranmu."

Zakh merupakan salah satu adik Tarkh yang lebih banyak diam. Ia melihat dengan tatapan dingin dan menunjuk seseorang. "Siapa namamu?"

"Jade."

"Berdirilah di dekatku."

Jade pun mendatanginya dengan langkah pelan.

"Laki-laki pendiam dengan gadis yang tampaknya juga pendiam. Aku penasaran akan sesunyi apa kamar kalian. Heheh ...," ejek Khrush.

"Tentunya tidak sehina kamarmu," balas Zakh datar.

Khrush tidak tersinggung dan malah tertawa terbahak-bahak.

"Apa kami rampasan perang? Kami bukan barang!" desis seorang putri Naz yang berdiri di ujung kiri barisan.

"Siapa namamu?" Tarkh menoleh pada gadis itu.

"Ruby ...." Ruby berusaha menjawab tanpa gentar.

"Ah, kau anak tertua Naz, bukan?"

"Ya."

Tarkh tersenyum lalu berdiri dan menatap Ruby tajam. Tangannya bergerak cepat menjambak rambut Ruby dan membuat gadis itu berteriak kesakitan.

"Kalian tidak punya kuasa untuk tawar menawar di sini! Harusnya kau berterima kasih aku memerintahkan adik-adikku untuk menjadikan kalian ratu di kerajaan baru. Atau kau mau kulempar ke rumah pelacuran bersama saudari-saudarimu?"

Ruby menggeleng sebisanya, air mata meleleh dari sudut matanya.

"Nah, Oukha. Giliranmu memilih," lanjut Tarkh tanpa melepas cengkeraman tangannya dari rambut Ruby.

Oukha menatap barisan putri-putri Naz di hadapannya.

"Aku tidak menyukai gadis yang lebih tua dariku seperti putri Naz bernama Ruby itu, tapi aku lebih tidak suka bocah!" batin Oukha. Ia menimang-nimang antara Ruby yang berusia lebih tua atau gadis pucat yang yang kira-kira seusia dengannya.

"Lama sekali! Apa yang kau pikirkan, sih?" keluh Azkhar.

Oukha mengabaikan ocehan saudaranya dan menunjuk Ruby yang terlihat menahan sakit akibat cengkeraman tangan Tarkh. "Aku pilih putri tertua Naz."

"Aku tidak menyangka kau akan memilihnya," balas Tarkh yang menatap Oukha dengan pandangan bingung. Ia lalu mendorong Ruby ke arah Oukha.

"Aku suka sikapnya." Oukha terkekeh. Lagi pula putri Naz tidak berguna kalau cepat mati. Lebih baik pilih yang masih sehat.

"Hei ... yang tersisa untukku hanya bocah-bocah dan seorang yang pucat, terlihat seperti akan mati," protes Azkhar meningkahi suara tawa Khrush.

"Kau!" Tarkh menunjuk seseorang anak perempuan yang kira-kira seusia adiknya yang paling bungsu. Gadis kecil tersebut dengan ragu menghampiri. "Berapa usiamu?"

"Ti-tiga belas."

"Oh. Kau akan sangat cocok untuk Rakha. Kalian hanya selisih dua tahun."

"Bielinca akan jadi teman bermain," celoteh Khrush.

"Khrush, tidak bisakah kau menjaga mulutmu!" hardik Tarkh. "Azkhar, ambil sisanya. Terserah kau pilih yang mana untuk menjadi ratumu."

Azkhar menatap Tarkh seperti melihat hantu. Ia ingin protes lagi tetapi diurungkannya saat melihat ekspresi mengerikan kakak tertuanya itu.

"Bagaimana dengan Anda, Yang Mulia?" tanya Jenderal Sirgh. "Yang Mulia tidak memilih siapa pun?"

"Oh ... aku sudah mengambil gadisku. Milikku. Tentu tidak akan kubiarkan kalian memilihnya."



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro