Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16 - Emerald

"Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak apa-apa. Ibu tidak perlu khawatir, gadis penyakitan sepertiku cenderung dijauhi orang. Aku akan baik-baik saja. Kuharap. Mungkin aku harus lebih bisa mengurus diriku sendiri jika suatu saat tidak ada yang bisa kumintai pertolongan."

Emerald duduk bersandar pada dinding batu yang dingin sambil mengingat sekelebat kata-kata terakhir yang ia ucapkan pada ibunya.

Tiba-tiba suara bantingan pintu di sampingnya membuat Emerald bergidik. Sesosok besar keluar dari ruangan tersebut. Emerald tak bisa melihat jelas wajah sosok besar itu di kegelapan puncak menara tempat ia dan adiknya, Pearl, ditempatkan oleh Raja Azkhar.

Setelah langkah berat yang bergema di tangga menara perlahan menghilang, Emerald bangkit. Ia memaksakan dirinya memasuki ruangan satu-satunya di puncak menara tempatnya berada meski perasaannya sangat sesak.

Sesosok tubuh kecil tak berdaya, tergeletak pasrah di atas sebuah dipan kayu sederhana.

Emerald menyeret sebuah kursi lalu mendudukinya di sebelah dipan kayu tersebut. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuh kecil tanpa busana yang tak bergerak di atas kasur.

Air mata Emerald turun tanpa bisa ditahan ketika meraih tangan mungil pemilik tubuh kecil itu. "Pearl ...," gumamnya sambil terisak.

Adiknya, Pearl, hanya terdiam tak menanggapi panggilan sang kakak.

Emerald merengkuh tangan tersebut ke dalam pelukannya yg bergetar. Ia tak menyangka seburuk itu nasib mereka berdua.

Emerald tahu jika sang raja tak tertarik pada mereka berdua. Namun, mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bukan sikap Raja Azkhar pula yang menyakiti mereka, tapi efek yang timbul dari keputusan sang raja.

Mimpi buruk yang menimpa mereka dimulai ketika Raja Azkhar menyingkirkan Emerald dan Pearl dari kamar mereka yang berada di lorong yang sama dengan kamar raja.

Masih teringat jelas dalam benak ketika sang raja memerintahkan beberapa pengawal untuk menyeret Emerald yang terbaring lemah di kasur dan Pearl yg sedang berusaha merawat Emerald. Mereka berdua digiring ke menara teratas yang gelap dan berbau apak.

"Ini akan menjadi tempat tinggal kalian berdua. Jangan mengganggu hidupku lagi dengan keributan kalian!" hardik Raja Azkhar saat itu.

Emerald tidak mengerti sama sekali apa yang sudah mereka lakukan hingga membuat sang raja marah.

Ruangan baru tempat Emerald dan adiknya, Pearl, berada di menara istana paling tinggi. Ia mendengar bisikan pelayan-pelayan di dapur jika ruangan itu adalah ruangan untuk menghukum anggota kerajaan yang melakukan kesalahan berat.

Setelah pengusiran tersebut, Emerald tidak pernah lagi mendengar suara ataupun melihat sosok Raja Azkhar. Tidak ada yang mendatangi mereka bahkan sekadar pelayan. Akhirnya, sang adik yang langsung mengambil makanan di dapur dan meminta tolong sana sini demi mencukupi kebutuhan mereka karena Emerald terlampau lemah untuk naik turun menara istana.

Tidak ada keluhan dari Pearl yang mungil. Setiap hari dengan rutin ia merawat kakaknya, Emerald, dengan suara riang meski sesekali Pearl menangis karena rindu pada keluarganya.

Emerald pun merasa bersalah karena seharusnya dirinyalah yang mengurus Pearl, bukan sebaliknya.

Ketika Emerald mengutarakan rasa bersalahnya, Pearl justru bersikeras bahwa ia bukan anak kecil manja yang tidak bisa membantu kakaknya. Kata-kata itu diakhiri dengan tawa riang Pearl yang ceria.

Emerald bersyukur ia bisa mempunyai adik yang begitu baik. Ia harap mereka bisa saling menguatkan sekalipun hidup tampak sulit. Harapan yang segera sirna saat seorang laki-laki bertubuh besar mulai berkunjung di suatu malam.

Laki-laki berambut merah yang tidak pernah dilihat Emerald sebelumnya tiba-tiba masuk tanpa mengetuk ke dalam kamar mereka. Ia lantas menarik Emerald dari tempat tidur lalu melempar gadis lemah itu ke salah satu sisi dinding.

Emerald nyaris kehilangan kesadarannya, tubuhnya yang sakit semakin terasa sakit. Laki-laki tersebut kemudian melakukan sesuatu yang mengerikan pada Pearl.

Pearl berusaha memberontak ketika laki-laki berambut merah itu menindihnya. Emerald juga berusaha bangkit dan entah kekuatan dari mana, ia mendorong tubuh kurusnya hingga laki-laki tersebut terpental ke lantai batu yang dingin.

Laki-laki itu sontak berdiri dan meraung murka. Ia mencekik leher Emerald dengan tangan kekarnya.

Emerald mengira ia akan segera mati. Napasnya tersengal-sengal. Kesadarannya pun perlahan menghilang.

Ketika kemudian Emerald bangun keesokan harinya, ia sudah mendapati adiknya meringkuk kesakitan di atas kasur dengan hanya memeluk selimut tipis. Tubuh kecil itu penuh lebam di sana sini. Emerald tahu apa yang terjadi saat ia tidak sadarkan diri, sebuah tebakan yang mengerikan.

"Ka ... k ... s-sakit ...."

Rintihan Pearl bagai panah yang menghunjam jantung Emerald. Hatinya terasa sakit dan air matanya tanpa sadar turun membasahi pipi.

"Ibu ... sakit, Bu ... sakit ...."

Emerald meraung. Ia yakin suara saat itu merupakan suara paling besar yang pernah ia keluarkan seumur hidupnya.

Emerald berlari keluar dan menuruni menara secepat yang ia bisa. Ia merasa harus melaporkan hal tersebut pada Raja Azkhar. Ia yakin seburuk apa pun perlakuan Raja Azkhar pada mereka, tidak mungkin masalah seperti itu akan dibiarkan begitu saja. Seorang Tzaren yang dibawa sang raja ternyata memiliki perilaku monster yang tega memangsa anak kecil.

Emerald tidak menghiraukan napasnya yang terasa hampir putus pun badannya yang terasa sangat sakit. Ia juga tidak memedulikan tatapan keheranan para pelayan istana yang melihat seorang putri Naz yang biasanya hanya bisa tergeletak pasrah di atas tempat tidur, sedang berlarian di lorong istana.

Emerald bertanya dengan napas pendek-pendek pada siapa pun yang terlihat tentang keberadaan Raja Azkhar. Setelah mengelilingi istana, sampailah ia di depan ruang kerja sang raja. Terlihat seorang bangsawan berkumis tipis baru keluar dari sana, tampak membaca sebuah kertas sambil mengusap dagu.

Bangsawan tersebut menyadari kehadiran Emerald yang sedang mengatur napas di depannya.

"Maaf ... hah ... apakah Yang Mulia ... ada ... di dalam?" tanya Emerald dengan terbata.

"Sayang sekali, Nona Emerald. Baru saja Yang Mulia pergi ke kamar. Ada apa? Anda bisa menyampaikannya pada saya."

Emerald meremas gaun lusuhnya. "Tolong adikku. Semalam ...."

"Sebentar, Nona. Bagaimana jika Anda menjelaskannya di dalam ruang kerja raja?"

Bangsawan berkumis tipis itu membuka pintu dan melirik sekilas pada penjaga pintu ruang kerja raja.

Tanpa berpikir panjang, Emerald memasuki sebuah ruangan berkarpet tebal yang tampak cukup mewah. Ruang kerja raja tersebut kontras dengan kamar-kamar yang pernah ia tempati di istana Innist, termasuk kamar yang sebelumnya berada di lorong yang sama dengan kamar raja.

Bangsawan berkumis tipis tadi menuju salah satu meja kecil di sudut ruangan dan menuangkan air berwarna keunguan lalu menyodorkannya pada Emerald. Emerald sempat mencium baunya dan lantas menggelengkan kepala, menolak.

"Ah, sayang sekali. Ini adalah anggur berkualitas bagus. Raja Azkhar cukup bermurah hati membiarkan siapa pun yang datang untuk mencicipinya." Bangsawan berkumis tipis itu tersenyum dengan senyum yang entah mengapa Emerald tidak menyukainya. "Lantas apa yang terjadi semalam, Nona Emerald?"

Emerald pun berusaha menjelaskan keadaan adiknya dengan suara lirih sambil menahan tangis. Ia menengadah pada si bangsawan, "Raja Azkhar harus menemukan dan mengadili orang itu!" katanya dengan tegas.

Di luar dugaan, bangsawan berkumis tipis tadi hanya memasang wajah datar sambil manggut-manggut tanpa terlihat sedikit pun simpati pada wajahnya.

"Saya tidak tahu harus berkata apa tentang situasi ini."

"Ap-apa maksudnya? Ada pendosa yang memangsa anak kecil di sini dan Anda akan membiarkan hal ini?!" pekik Emerald.

"Tenanglah, Nona. Masalahnya adalah seisi istana sudah diberi mandat oleh Raja Azkhar untuk tidak mengganggunya perihal apa pun yang berkaitan dengan para putri Naz. Apalagi orang yang melakukan hal tersebut adalah seorang Tzaren. Apa menurut Nona, Yang Mulia akan memihak kalian?"

Bibir Emerald bergetar menahan tangis. Belum sempat ia melanjutkan, si bangsawan berkumis tipis memotong tiba-tiba.

"Tunggu ... tunggu .... Ah, saya rasa saya melihat Raja Azkhar semalam berbicara dengan seorang Tzaren di dekat tangga menuju menara. Yang Mulia menunjuk ke atas dan tertawa bersama orang itu. Saat saya menghampiri, beliau berkata bahwa beliau sebentar lagi bisa mengatasi para putri Naz. Apakah maksud beliau saat itu ...."

"T-tidak ... mungkin ...." Emerald melotot. Kakinya perlahan mundur ke belakang dengan tidak stabil. Pikiran Emerald mendadak gelap seperti gelapnya badai wilayah selatan.

"Nona ...." Bangsawan berkumis tipis memegang lengan Emerald. "Anda baik-baik saja?"

Napas Emerald tersengal-sengal. "Lepaskan aku!" Mendadak ia berlari keluar dari ruang kerja raja, menuju kamar tidur sang raja dengan bangsawan berkumis tipis yang mencoba mengikuti langkahnya.

Bohong! Tidak mungkin Raja Azkhar sekejam itu Setitik harapan yang redup menemani langkah kaki Emerald.

Di depan kamar tidur raja tampak dua pengawal berjaga di masing-masing sisi pintu. Mereka kaget akan kedatangan dan permintaan Emerald yang ingin bertemu sang raja.

"Yang Mulia sedang sibuk, Nona. Anda bisa kembali lain kali."

"Yang Mulia sedang sibuk apa?!" teriak Emerald. "Saya ingin bertemu!"

"Ssstt .... Pelankan suara Nona. Yang Mulia akan marah jika ada yang mengganggunya," lanjut salah satu dari pengawal kamar tidur raja. Mereka sebenarnya bisa saja mengusir Emerald. Namun, pengusiran terakhir para gadis itu ke menara sebenarnya sudah memberikan kegelisahan bagi para pengawal. Siapa yang setega itu terhadap para putri Naz? Apalagi mereka tidak melakukan kesalahan apa pun.

Akan tetapi, Emerald tidak peduli. Ia tetap berteriak-teriak meminta Raja Azkhar keluar dari kamarnya.

Tidak lama kemudian pintu dibanting terbuka. Raja Azkhar berdiri setengah telanjang di depan pintu dengan ekspresi marah. Romannya sungguh mengerikan saat menatap Emerald yang membuat keributan. "Ada ribut-ribut apa ini?!" teriaknya.

Emerald mengabaikan suasana hati sang raja. Di tengah pikirannya yang kalut, ia hanya memikirkan adiknya. "Yang Mulia, saya mohon tolonglah adik saya. Tolong ...," pintanya sambil menangkupkan kedua tangan. "Seorang Tzaren telah berbuat jahat pada adik saya, Pearl."

"Hah?" Raja Azkhar mengorek kuping dengan kelingkingnya.

"Adik saya, Pearl, butuh pertolongan Yang ...."

"—Memangnya aku peduli dengan apa yang terjadi pada adikmu?" potong Raja Azkhar dengan dingin.

Emerald membeku. "Tolong dengarkan penjelasan saya dulu."

"Berisik! Kau mengganggu kesenanganku untuk hal sepele seperti itu?"

Sepele katanya? Putri Naz bertubuh lemah itu berharap pendengarannya salah. Bagaimana mungkin ada orang di dunia itu yang menganggap apa yang dialami adiknya sebuah hal yang sepele?

"Yang Mulia sedang apa? Permainan kita belum selesai, loh." Sebuah suara genit terdengar dari belakang Raja Azkhar. Seorang wanita cantik berambut pirang menolehkan kepalanya dari balik badan sang raja.

Raja Azkhar menoleh. Ekspresinya yang mengerikan seolah lenyap disedot lumpur isap. Ia tersenyum lebar, senyum yang tidak pernah dilihat Emerald selama ia bertatap muka dengan sang raja. Bahkan suara yang keluar pun sangat lembut. "Ayo kita lanjutkan, cantik."

Saat Raja Azkhar hendak berbalik ke kamar tidurnya, Emerald berlutut dan memegang kaki Raja Azkhar.

"Apa-apaan ini? Lepaskan!" Raja Azkhar menendang Emerald hingga gadis rapuh itu tersungkur.

Para pengawal dan bangsawan berkumis tipis yang melihat kejadian tersebut hanya bisa terdiam meskipun kaget.

Akan tetapi, Emerald tidak menyerah. Ia kembali memegang kaki Raja Azkhar. "Yang Mulia tolong adik saya. Saya tidak akan meminta apa pun lagi. Kali ini ... kali ini bantu kami, Yang Mulia. Saya mohon."

Raja Azkhar kembali menendang Emerald. Namun, gadis itu masih tidak menyerah.

"Sialan! Pengawal! Singkirkan si tolol ini dari kakiku!" seru sang raja.

Seolah baru tersadar dari mimpi panjang, dengan gelagapan kedua pengawal kamar tidur raja memegang lengan Emerald dan membantunya berdiri sambil menahan gadis yang meronta-ronta itu.

"Suruh tabib siapkan obat-obatan dan suruh pelayan dapur kirim makanan ke kamar mereka di menara! Jangan biarkan mereka berkeliaran di istana lagi! Kalau sampai aku bertemu dengan salah satu dari putri Naz, aku akan memenggal kepala orang di sekitar yang sudah membiarkan aku bertemu mereka!" Raja Azkhar lalu menoleh ke bangsawan berkumis tipis dan menunjuk pria itu. "Kau! Kau kuberi tanggung jawab untuk mengurus putri-putri Naz. Urus semua tentang mereka!"

***

Emerald sungguh tidak menyangka Raja Azkhar begitu kejam terhadap dirinya dan adiknya. Setelah kejadian di depan kamar raja, raja itu benar-benar mengancam seisi istana. Bahkan suatu ketika ia baru sampai di dasar tangga menara, ingin meminta tambahan menu lain berupa sup ringan karena Pearl mulai tidak bisa makan makanan yang keras, pelayan yang berada di sekitar langsung panik dan berlutut memohon Emerald untuk diam di atas menara. Para pelayan tersebut dengan cepat membawakan apa yang ia minta.

Bangsawan berkumis tipis pun tidak bisa diharapkan. Bangsawan yang disuruh sang raja untuk mengurus para putri Naz tersebut jarang berkunjung dan tiap kedatangannya, ia hanya sekadar mengajukan pertanyaan basa-basi tanpa minat atau simpati.

Laki-laki itu kembali lagi.

Emerald hanya bisa terdiam pasrah di luar kamar. Ia tidak memiliki keteguhan hati untuk memandang Pearl setiap laki-laki itu melakukan hal yang mengerikan pada adiknya. Ia juga tidak dapat berbuat apa-apa. Laki-laki tersebut mengancam akan semakin kasar setiap ia mencoba melindungi Pearl. Emerald sudah tidak bisa menghitung kunjungan si laki-laki berambut merah. Bahkan ada hari di mana laki-laki itu datang lebih dari sekali.

Biasanya Emerald akan duduk menunggu duduk di samping pintu kamar menara sambil menutup telinga, menggumamkan lagu-lagu yang dulu sering dinyanyikan ibunya saat menemani ia tidur. Namun, pada hari itu Emerald merasa gelisah tidak seperti biasanya.

Entah mengapa ia hanya berdiri mematung di depan pintu.

Selang beberapa lama, pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Sedetik kemudian Emerald terjatuh karena laki-laki Tzaren yang biasa berkunjung itu menabraknya lalu menuruni tangga dengan sangat cepat seolah-olah melarikan diri dari sesuatu yang mengerikan.

Perasaan gelisah Emerald semakin menguat. Ia bangkit berdiri lalu perlahan berjalan ke dalam kamar. Napasnya menjadi sesak. Semakin masuk, langkahnya semakin goyah.

"Pearl ...." Emerald memanggil dengan suara lirih.

Tubuh sang adik tergeletak pasrah di tempat tidur tanpa sehelai kain menutupi badannya yang kecil. Namun, entah mengapa di mata Emerald tubuh itu tampak begitu pucat.

Setelah mencapai tempat tidur, Emerald menyelimuti adiknya seperti yang biasa ia lakukan. Tangannya membelai pipi Pearl yang sudah tidur.

"Pearl, bangunlah. Aku akan membawakan air. Apa kamu juga lapar?" Biasanya adiknya selalu meminta air minum setiap laki-laki berambut merah selesai berkunjung.

Akan tetapi, kali itu tidak ada jawaban.

"Pearl ... Pearl ...."

Perasaan Emerald semakin tidak enak. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Pearl. Namun, gadis kecil itu tidak kunjung membuka mata.

"T-tidak ... Pearl ... kumohon bangunlah. Jangan bercanda! Kau membuat Kakak takut."

Terjadi keheningan yang panjang.

Emerald menaruh telinganya ke dada Pearl. Sejurus kemudian ia menegakkan badan dan gemetar. Jantungnya berdetak cepat. Rasa sakit yang sempat tak terasa beberapa hari belakangan setelah rutin mengurus adiknya, kembali muncul di sekujur tubuh. Bagai dihantam gada, ia jatuh tersungkur di samping tempat tidur di mana Pearl berbaring tak bergerak.

***

"Nona ... bangunlah."

Emerald membuka matanya yang berat. Terdengar suara-suara riuh rendah di sekelilingnya. Ia menoleh ke kanan. Seorang pelayan kurus tampak ketakutan di sebelahnya.

Kemudian Emerald teringat kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran. Emerald duduk dengan cepat. Namun, ia tidak terbangun di atas lantai batu ataupun kasur keras berbau apak di menara. Ia ternyata berada di tempat tidur besar di sebuah ruangan besar, kamar pertamanya begitu sampai di istana Kerajaan Innist. Kamar yang cukup luas dengan furnitur kayu berlapis pernis dan bernuansa hijau tua.

Emerald melihat sekeliling, tampak beberapa pengawal dan bangsawan menatapnya gelisah. Sementara di seberang tempat tidurnya, Raja Azkhar memasang ekspresi mengerikan dan mondar-mandir tidak tenang. Ia mencari sosok adiknya.

"Pearl ... di mana Pearl?!" jerit Emerald.

Selain Raja Azkhar, orang-orang yang berkumpul di ruangan itu menunduk.

"Pearl!" Emerald hendak menurunkan kakinya. Pikirannya kalut.

"Dia sudah mati!" Raja Azkhar memotong dengan suara tinggi.

Emerald terdiam membeku. Mati ...? Mati?! "T-tidak mungkin!"

Emerald turun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan dan menarik lengan baju Raja Azkhar. "Bohong!"

Raja Azkhar menepis dengan keras tangan Emerald hingga gadis itu kembali terduduk di tempat tidur. "Pemakamannya sore ini. Cepatlah kau bersiap kalau ingin melihatnya!" balas sang raja.

Emerald dapat merasakan bahwa raja itu sedang menutupi kegusarannya dengan sikap kasar. Namun, ia tidak peduli akan hal tersebut. Ditatapnya Raja Azkhar lekat-lekat. Pandangannya tajam seolah ingin mengoyak wajah sang raja, memisahkan kulit dari dagingnya.

"Lihat apa yang sudah kau lakukan, Raja Azkhar! Kalian semua pembunuh! Pembunuh! Kalian pasti akan mendapatkan balasannya!" geram Emerald dengan suara rendah yang mampu membuat semua yang hadir bergidik tanpa alasan.



***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro