Chapter 15 - Taaffeite
"... Ini hanya sebuah nasihat. Kamu adalah anak Ibu yang paling perasa. Suatu saat kamu harus tegas memutuskan sesuatu dan berani mengambil risiko. Bahkan mungkin membantu saudara-saudaramu yang lain."
Kalimat itulah yang tiba-tiba terlintas dalam pikiran Taaffeite saat tanpa sengaja gelas yang diberikan padanya terjatuh, pecah menabrak lantai.
Buru-buru dayang pribadi ratu menyuruh pelayan yang berada di dekat gazebo tempat Taaffeite sedang menikmati kolam di suatu pagi, untuk membersihkan pecahan gelas keramik dan teh yang tertumpah.
Mendadak perasaan gelisah tanpa sebab menghampiri hati Taaffeite. Ia menatap langit abu-abu Tzaren. Ketika masih berada di Kota Suci Verhalla, langit sewarna itu hanya hadir ketika hujan akan turun. Namun, di Tzaren langit kelam tersebut menghiasi langit hampir sepanjang tahun.
Taaffeite kembali membandingkan tanah kelahirannya dengan tempat tinggalnya yang baru. Suasana, bangunan, bahkan orang-orang di Kerajaan Tzaren berbanding terbalik dengan kondisi di Kota Suci Verhalla.
Di Tzaren, suasananya sepi dan murung. Bangunan-bangunannya besar dan megah dengan dominasi warna gelap dan sedikit sentuhan warna mencolok seperti merah darah atau emas. Orang-orangnya pun dingin dan tak ramah.
Ingatan akan nasihat ibunya yang muncul sekelebat itu membuat Taaffeite rindu pada kampung halamannya juga pada ibu dan saudara-saudarinya. Ia bertanya-tanya dalam hati tentang kabar ibu dan adik laki-laki satu-satunya nun jauh di utara. Bagaimana pula nasib saudari-saudarinya yang telah terpencar-pencar?
"Apakah mereka baik-baik saja? Apakah mereka bersanding dengan raja sebaik Tarkh?" batin Taaffeite. Ia telah mengetahui jika Tarkh menjadikan saudari-saudarinya sebagai ratu baru di kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Tarkh. Meskipun Tarkh enggan menjelaskan lebih lanjut kabar mereka.
"Yang Mulia Ratu ...." Sebuah suara menyadarkan Taaffeite dari lamunannya.
Taaffeite tetap menoleh meski ia masih belum nyaman selalu dipanggil dengan gelar kehormatan seperti itu.
"Putri Kleih ingin menghadap Yang Mulia Ratu. Apakah Yang Mulia berkenan?"
"Putri Kleih?"
Taaffeite memang tidak banyak mengetahui tentang bangsawan Tzaren. Bahkan bisa dibilang ia tidak mengenal satu pun. Tarkh selalu melirik tajam setiap ada bangsawan yang menghampirinya untuk sekadar memberi salam. Ia hanya bersosialisasi ketika ada pesta bangsawan dan itu pun Tarkh selalu menempel erat padanya. Entah apa yang Tarkh lakukan, tapi bangsawan-bangsawan itu tidak berbicara banyak ketika berada di dekatnya. Taaffeite mengira mungkin selama Tarkh pergi menghadiri pernikahan Alexandrite dengan Raja Zetaya, barulah mereka memberanikan diri menghampiri.
Dayang pribadinya undur diri sebentar untuk memanggil Putri Kleih setelah Taaffeite memberikan izin.
Tidak lama kemudian beberapa orang mendekati Taaffeite yang sedang duduk di gazebo dekat kolam istana. Tiga orang putri bangsawan berambut merah yang berjalan dengan langkah tegas masuk dalam jarak penglihatannya.
Untuk beberapa saat Taaffeite sempat terpana. Salah satu di antara tiga orang putri bangsawan yang datang tampil sangat mencolok bagaikan bunga mawar segar yang tegak menampilkan diri di taman berisi aneka macam bunga.
Rambut merah salah satu putri bangsawan itu dibiarkan lurus menjuntai dengan indah, sudut wajahnya tegas, kulitnya bagaikan porselen halus tanpa cela, sorot matanya tajam dan memancarkan rasa percaya diri yang tinggi.
Entah bagaimana ... Taaffeite mengetahui gadis itulah yang bernama Putri Kleih dan seketika ia merasa terintimidasi. Menurut Taaffeite, kecantikan gadis itu bisa disandingkan dengan para putri Naz.
"Selamat pagi, Yang Mulia Ratu. Terima kasih Yang Mulia berkenan menerima kedatangan kami. Semoga Yang Mulia selalu dinaungi kebaikan," sapa ketiga putri bangsawan di hadapan Taaffeite sambil sedikit membungkuk memberi hormat.
Taaffeite hanya tersenyum kaku lalu mempersilakan mereka duduk di hadapannya dan menyuruh pelayan untuk menuangkan teh pada ketiga tamunya. Ia benar-benar tidak terbiasa dengan sapaan basa-basi dan sanjungan formalitas setiap bertemu seseorang.
Percakapan mereka diawali dengan basa-basi yang tidak begitu ditanggapi Taaffeite seperti perkenalan ataupun cuaca hari itu. Namun, sesuatu pada diri gadis yang paling menonjol tadi mengherankan Taaffeite hingga tanpa sadar ia berceletuk. "Baju zirah? Apakah Putri Kleih akan pergi berperang?"
Putri Kleih yang saat itu menjadi satu-satunya orang yang memakai baju zirah pun tersenyum. "Tidak, Yang Mulia. Hari ini pembagian zirah baru di istana untuk kesatria wanita. Sekalian saja saya pakai agar bisa menguji kenyamanannya."
"Seorang putri bangsawan menjadi kesatria?" batin Taaffeite heran.
Seolah bisa menangkap keheranan Taaffeite, Putri Kleih melanjutkan. "Saya rasa hal tersebut cukup aneh bagi Yang Mulia. Tapi Kerajaan Tzaren memiliki kesamaan seperti Kerajaan Kraalovna di mana seorang wanita bisa mengangkat pedang dan menjadi kesatria."
Taaffeite tidak mengerti mengapa ada seorang wanita yang menyukai perkelahian. Tiba-tiba saja ia teringat akan kakaknya, Alexandrite, yang diam-diam juga belajar berpedang pada komandan tentara kota. "Anda menyukai jalan itu?"
"Saya mengagumi almarhum ratu terdahulu. Karenanya, saya mengikuti jejak beliau."
"Ratu terdahulu?"
"Ibunda Yang Mulia Raja Tarkh. Beliau adalah salah satu kesatria wanita yang selalu menemani almarhum raja terdahulu pada hampir setiap peperangan. Kabarnya bahkan ada pangeran yang dilahirkan di tenda perang." Tersirat rasa superior dalam nada bicara Putri Kleih.
Taaffeite tertegun. "Ah ... ratu yang hebat ya ... ibunda Raja Tarkh itu."
"Tidak hanya almarhum ratu sebelum Anda, Yang Mulia Ratu," celetuk putri bangsawan lain, seorang gadis berwajah sinis yang memaksakan diri tersenyum meski lebih seperti menyeringai. "Ratu-ratu pendahulu yang lain juga berani turun ke medan perang menemani raja mereka saat itu. Sungguh contoh ratu yang mengagumkan."
Taaffeite merasa kata-kata itu diucapkan untuk menyindirnya. Awalnya ia pikir akan sesibuk Tarkh jika sudah menjadi ratu. Nyatanya ia justru lebih banyak berjalan-jalan di istana hingga bosan tanpa melakukan apa pun. Hal itu tentu bagai langit dan bumi dengan apa yang dikatakan putri bangsawan tadi tentang sosok seorang Ratu Tzaren.
"Saya berharap ... bisa semengagumkan beliau-beliau." Taaffeite tersenyum lemah.
"Tentu saja Anda sendiri mengagumkan, Yang Mulia. Yang Mulia amat dicintai raja. Tentunya Yang Mulia pun dicintai oleh rakyat Tzaren," balas Putri Kleih.
"Rakyat Tzaren ...." Taaffeite teringat adegan pelemparan batu padanya saat berjalan-jalan di ibu kota pada hari pernikahan dan penobatannya. " ... Apakah mereka benar-benar menyukaiku?"
"Jangan-jangan Yang Mulia masih memikirkan kejadian di ibu kota itu?" Gadis lain tiba-tiba menyahut. Seorang gadis dengan bintik-bintik di wajah.
Taaffeite menoleh cepat.
"Ah ... maafkan ketidaksopanan saya, Yang Mulia," tambah gadis berbintik meski tidak tampak penyesalan di wajahnya.
Taaffeite menatap lantai cukup lama dan mengepalkan tangannya dengan erat.
"Apakah kalian tahu mengapa ada yang berteriak tentang ratu penyebab perang?"
Akhirnya pertanyaan yang selama itu dipendam Taaffeite keluar dari mulutnya. Pertanyaan yang pertama kali ia ajukan pada Tarkh tetapi dibalas Tarkh dengan jawaban yang tidak memuaskan: "Lupakan saja! Selalu ada yang tidak senang akan sesuatu. Jangan pernah bertanya tentang hal itu lagi!"
"Anda tidak tahu? Itu kan ...." Gadis berbintik kembali berbicara tapi dengan cepat menutup mulutnya setelah kedua putri bangsawan yang lain menoleh padanya. "Ah ... maaf. Saya hampir berkata lancang lagi."
Rasa penasaran mendesak Taaffeite. "Tidak apa, katakanlah."
Putri Kleih menggeleng. "Kami semua akan dihukum berat oleh Yang Mulia Raja jika beliau mendengar hal itu dari mulut kami."
"Aku tidak akan mengadukan kalian pada Yang Mulia Raja. Jelaskan padaku!" Suara Taaffeite terdengar emosional.
Putri Kleih terdiam sejenak, menatap Taaffeite dengan tajam lalu tersenyum aneh. "Baiklah jika Yang Mulia Ratu yang memerintahkannya ...." Ia pun mulai menjelaskan panjang lebar, diawali dengan penyebab Tarkh memulai perang besar.
***
Seharian itu dihabiskan Taaffeite dengan meringkuk di bawah selimut di atas tempat tidurnya yang luas. Matanya merah dan bengkak. Ia masih terguncang akan kenyataan yang disampaikan ketiga putri bangsawan yang tadi pagi mendatanginya. Ia tidak ingin bertemu siapa pun. Bahkan dayang pribadinya tidak diizinkannya menunggu di dalam ruangan.
Keinginan pulang ke Kota Suci Verhalla kembali menguat ... tetapi Taaffeite takut untuk pulang. Tidak mungkin ia pulang setelah mengetahui bahwa penyebab perang besar yang meruntuhkan semua dinasti selain Tzaren adalah dirinya. Begitu banyak nyawa terbuang sia-sia hanya demi satu orang yang ia rasa tidak seberharga itu. Taaffeite adalah orang yang mencintai kedamaian. Ia membenci perang, tapi saat itu ia jauh lebih membenci dirinya sendiri.
"Tidak heran ada yang membenciku. Aku pantas mendapatkan lemparan batu itu. Aku pantas mendapatkan yang lebih menyakitkan lagi," gumam Taaffeite sambil menggigit bibirnya.
Kembali ia teringat keluarganya. Taaffeite bertanya-tanya dalam hati, apakah keluarganya yang berharga baginya turut membenci dirinya? Bagaimanapun juga, secara tidak langsung ia ikut bermandikan darah ayahnya yang tumpah. Bayangan kepala ayahnya yang menggelinding di lantai Puri Naz yang dingin membuatnya berteriak frustrasi.
Taaffeite berkubang dalam kesedihan hingga tidak menyadari pintu kamarnya dibuka. Selimutnya ditarik dan sepasang lengan kekar meraih tubuhnya dalam pelukan.
"Apa yang terjadi? Dayangmu berkata kalau kamu mengurung diri," bisik Tarkh.
"Tarkh ... kamu ... sudah kembali?"
Dada Taaffeite yang tadi terasa sesak menjadi ringan seolah dibanjiri kehangatan. Ia melepas pelukan Tarkh. Ditatapnya wajah Tarkh yang terlihat khawatir.
Taaffeite bingung, bagaimana ia bisa dengan mudahnya membalas cinta Tarkh? Mungkinkah karena perlakuan baik Tarkh yang hanya ditujukan untuknya sementara laki-laki itu amat keras pada orang lain? Atau mungkin juga karena Tarkh yang pertama kali menyentuh hatinya yang belum pernah terbuka untuk siapa pun. Bahkan setelah mengetahui kalau Tarkh memulai perang besar demi mendapatkan dirinya, ia bukannya membenci Tarkh melainkan dirinya sendiri.
Tarkh membelai pipi Taaffeite yang halus. "Apa terjadi sesuatu selama aku pergi? Kamu terlihat kacau."
Taaffeite menunduk sejenak, mengumpulkan keberanian sebelum ia mengangkat wajahnya dengan air mata yang kembali merembes di pipinya.
"Tarkh ... apa kamu ... harus melakukan itu?"
"Melakukan apa?" Alis Tarkh bertaut.
"Perang-perang itu .... Apa hubungannya nyawa orang-orang tidak berdosa itu untuk mendapatkanku? Tarkh ... mengapa kamu menyerang kerajaan lain?"
Tarkh membeku. Ia sudah menduga bahwa Taaffeite cepat atau lambat akan mengetahui hal tersebut meski ia sudah merahasiakan dan melarang semua orang di istana untuk membahasnya.
"Kamu mendengar sesuatu tentang itu? Dari siapa?"
Taaffeite menggeleng. "Itu tidak penting dan aku tidak bisa memberitahukannya."
"Aku akan menemukan orang itu! Akan kupotong lidahnya!" geram Tarkh.
"Tarkh ... haruskah ada darah yang tumpah lagi karena aku?" Taaffeite berbalik menyentuh wajah Tarkh. "Kumohon, jangan lakukan itu. Jawab saja pertanyaanku."
Tarkh meraih tangan Taaffeite dan menciumnya. "Aku hanya melakukan apa yang perlu untuk dilakukan."
Lagi-lagi jawaban yang tidak memuaskan Taaffeite.
"Apakah tidak ada cara lain selain perang?"
"Andaikan saja ada. Tentu sudah kulakukan."
"Semua gara-gara aku ... salahku ...." Air mata Taaffeite kembali mengalir.
"Fe ... jangan menangis. Jika ada yang patut disalahkan ... itu semua adalah kesalahanku."
"Tapi ...."
"—Tapi apakah itu salah?" Tarkh memotong cepat. "Apakah salah jika seorang lelaki mengejar cintanya? Mungkin kamu tidak menyukai caraku mendapatkanmu, Fe. Tapi aku tidak menyesal melakukannya. Demi merengkuhmu, semua akan kulakukan bahkan jika harus menjadikan seluruh kerajaan dibanjiri lautan darah."
Taaffeite bergidik mendengarnya.
"Apakah kamu membenciku, Fe?"
Taaffeite menggelengkan kepala. "Aku memang tidak menyukai cara kasarmu itu. Tapi aku tidak bisa membencimu, Tarkh. Aku ...." Taaffeite kembali menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Bahkan setelah beberapa saat menikah, ia masih malu saat mengucapkan kata-kata: "Aku mencintaimu, Tarkh."
Hati Tarkh membuncah oleh perasaan senang yang meluap setiap kali Taaffeite menyatakan cinta. Ia spontan memeluk Taaffeite dengan erat. Diciumnya rambut gelap Taffeite.
"Fe ... hanya demi satu kalimat itu, aku akan melakukan apa pun. Apa pun!"
Taaffeite hanya terdiam membalas pelukan Tarkh.
Di sisi lain Tarkh pun tidak mengira bahwa Taaffeite akan membalas cintanya. Ia pikir akan membutuhkan waktu bagi ratunya itu untuk tidak lagi takut padanya. Siapa sangka cinta yang selama itu ia tunggu-tunggu justru didapatkannya lebih cepat dari yang ia perkirakan. Meski begitu, ada satu hal yang mengganjal di hati Tarkh.
Bagaimana caranya menyampaikan berita duka tentang Alexandrite? Fe pasti akan semakin menyalahkan dirinya sendiri.
***
"Bukankah sudah kukatakan untuk tidak mendekati Ratu Taaffeite?" Tarkh langsung memanggil bendahara kerajaan ke ruang kerjanya keesokan hari.
"Maksud Yang Mulia?"
"Bagaimana kau akan menjelaskan hal ini, Bendahara Kiel? Anakmu, Putri Kleih, menemui ratu tanpa seizinku!"
Bendahara kerajaan yang berwajah elegan dan berbadan tegap tetap bersikap tenang. Rambut merahnya yang lurus sebahu diikatnya ke belakang. Bahkan di usianya yang sudah lanjut masih tampak jejak ketampanan yang juga ia wariskan pada putrinya. Ia sudah menduga Raja Tarkh akan mengonfrontasi terang-terangan.
"Putri saya kebetulan sedang memiliki urusan di istana ditemani putri bangsawan lain dan menyapa Yang Mulia Ratu. Jika Yang Mulia Raja ada di tempat, tentu putri saya akan meminta izin terlebih dahulu."
"Tapi Putri Kleih dengan seenaknya membicarakan tentang perang besar yang sudah kularang untuk dibicarakan!"
"Saya mendengar Yang Mulia Ratu sendiri yang memaksa putri saya untuk menceritakannya, padahal putri saya sudah menolak. Anda bisa mengklarifikasi pada Yang Mulia Ratu jika tidak memercayai saya."
Bendahara kerajaan yakin bahwa putri Naz adalah orang yang tidak mudah berbohong dan berhati lemah. Tentunya apa yang ia sampaikan memang benar dan putrinya pasti berhati-hati memancing sang ratu untuk memaksanya bercerita.
Tarkh mendengus. "Apa putrimu masih sakit hati setelah kuputuskan pertunangan dengannya?"
Di balik wajah datar yang dipasang bendahara kerajaan, hatinya memanas mendengar pertanyaan rajanya tersebut. "Tentu saja! Kau sudah menginjak-injak harga diri kami!" makinya dalam hati.
"Saya tidak akan berbohong, Yang Mulia. Putri saya pasti sakit hati. Apalagi dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi pendamping yang pantas bagi Yang Mulia. Tapi, tentu saja kehendak Yang Mulia adalah segalanya dan keputusan Yang Mulia bersifat mutlak. Saya yakin putri saya bisa berbesar hati akan keputusan Yang Mulia."
Tarkh terdiam sejenak lalu tersenyum sinis sebelum melanjutkan. "Kau tentunya sudah mendengar tentang pernikahan Khrush?"
"Sudah, Yang Mulia. Sungguh berita yang menyedihkan. Tidak ada yang menyangka Nona Alexandrite akan melakukan hal itu."
"Ya ... aku tidak heran jika itu Khrush. Aku sudah mendengar langsung dari bangsawan-bangsawan Zetaya tentang kelakuannya yang ...." Tarkh menghela napas.
Bendahara kerajaan bertanya-tanya apa yang dimaksud Tarkh akan kelakuan Raja Khrush. Sudah menjadi rahasia umum di Tzaren apabila adik Raja Tarkh yang satu itu memang sewenang-wenang dan sulit menjaga sikap.
"Jika Putri Kleih masih tetap ingin menjadi ratu, dia bisa menggantikan posisi Nona Alexandrite untuk menjadi pendamping Khrush. Aku yakin Putri Kleih adalah orang yang pantas dan ia bisa mengendalikan Khrush."
Kata-kata Raja Tarkh menampar bendahara kerajaan dengan keras. Ia kembali berteriak dalam hati, "Apa ini penghinaan lainnya?! Berani-beraninya kau melempar putriku menjadi pendamping raja busuk di kerajaan miskin itu!"
"Apakah ini sebuah mandat, Yang Mulia?" Bendahara kerajaan berusaha tetap bersikap tenang.
"Tentu tidak. Hanya jika Putri Kleih berkenan."
"Putri saya sudah mengabdi pada Tzaren hingga memutuskan untuk menjadi kesatria. Saya rasa dia akan sangat sedih jika harus mengabdi pada kerajaan lain."
"Begitu ya? Sayang sekali ...." Senyum sinis Tarkh kembali terlukis.
"Menurut saya akan lebih baik jika Raja Khrush menikahi salah satu putri bangsawan tinggi di sana untuk mendapatkan dukungan dari bangsawan Zetaya. Setidaknya itu akan mengurangi kekhawatiran Yang Mulia terhadap kemungkinan munculnya pemberontakan di Zetaya."
"Usulanmu bagus juga. Baiklah, kau boleh pergi."
Bendahara kerajaan menunduk, mengucapkan salam, lalu membalikkan badan keluar dari ruang kerja raja. Dalam hati ia yakin Raja Tarkh sudah mempunyai pemikiran akan saran yang ia ajukan, Raja Tarkh menyebut pernikahan dengan Raja Khrush semata-mata sebagai ancaman jika sang raja bisa saja menendang putrinya dengan mudah.
"Lihat saja pembalasan kami, Tarkh!" batin bendahara kerajaan dengan emosi yang memuncak.
Setelah bendahara kerajaan pergi dari ruang kerjanya, Raja Tarkh memanggil juru tulisnya. "Kirim pesan pada adik-adikku!"
"Apa yang harus hamba tulis, Yang Mulia?" tanya juru tulis raja.
"Sampaikan kalau aku telah mengizinkan mereka membawa serta putri Naz pada pernikahan Zakh bulan depan jika keadaan 'memungkinkan'. Beri penekanan pada kata terakhir itu! Lalu beri tambahan pesan untuk Oukha di Ezze ...."
Tarkh berdiri dari kursinya sementara juru tulisnya masih menunggu kalimat lanjutan sang raja.
" ... Bilang padanya jika aku mengundangnya pergi bersama-sama menuju Aritoria pada pernikahan Zakh nanti. Aku harap calon ratunya, Nona Ruby, bisa ikut menjelaskan perihal Alexandrite pada Ratu Taaffeite."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro