Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Weird Couple

Hari ini seperti hari biasanya, membosankan. Sangat malas rasanya mengikuti mata kuliah Undang-Undang dan Etika Kesehatan yang dibawakan oleh Ibu Naolla. Dosen dengan tubuh yang melebihi kapasitas seharusnya, membuat pakaian yang dia gunakan sangat pas dan nyaris sempit di tubuh gembulnya. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa kasihan pada pakaiannya. Oh jangan lupakan kacamata bundar yang setia menempel di kedua matanya, memberi kesan nerd yang walaupun tanpa kacamata itu kita sudah bertanya 'dari planet mana dosen ini berasal?'

Satu hal lagi yang membuatku bertanya, bagaimana selera faishon manusia satu ini, lipstik merah menyala yang membentuk bibir sexy-nya. Persis seperti yang biasa digunakan cabe-cabean di pinggir jalan. Tuhan maafkan aku yang terlalu jujur ini.

Mata kuliah selama dua kali empat puluh lima menit ini, serasa sangat lambat. Berpuluh kali aku mencoba untuk mengecek jam yang akhirnya menunjukkan pukul lima sore, tanda mata kuliah ini berakhir.

"Sekian materi hari ini. Selamat sore dan sampai jumpa minggu depan," ucap Ibu Naolla, mengakhiri sesi kuliah hari ini.

Ingin rasanya aku bersorak mendengarnya, setidaknya satu hal membosankan akhirnya berakhir juga. Aku segera merapikan binder bersampul warna merah muda, menampakkan sosok kartun pujaanku. Siapa lagi kalau bukan, Patrick The Star, bintang laut super lucu dari serial kartun Spongebob Squarepants.

Aku segera melangkahkan kakiku menuju gedung 'F' tempat di mana laboratorium farmakologi-toksikologi berada. Aku melupakan hasil praktikum tadi siang di sana. Semoga saja cleaning service fakutas belum membersihkan laboratorium. Bisa-bisa aku tidak lulus mata kuliah kali ini. Mana dosen penanggung jawab mata kuliah ini sangat cerewet. Terkadang ingin ku jahit saja mulutnya saat ia mengocoh tanpa henti. Pantas saja Kak Novi menjadi perawan tua, diusianya yang sudah mencapai usia lima puluh tahun.

Saat aku tiba gedung 'F', jam sudah menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit. Sehingga wajar saja kampus terasa sepi. Apalagi koridor gedung 'F' yang sangat jarang dikunjungi. Hanya anak-anak yang memiliki jadwal menggunakan laboratorium yang akan berada di sana. Dan malangnya kegiatan laboratorium di kampusku berakhir maksimal jam empat sore.

Aku segera menuju ruangan lab yang tadi pagi yang aku gunakan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitarku. Dan sialnya lab tadi sudah tertutup. Aku pun mencoba melihat ke dalam lab melalui celah kecil di jendela yang tak tertutupi gorden, berharap ada sedikit kehidupan di dalam. Alangkah senangnya ketika aku melihat seseorang pria di dalam lab sedang membelakangiku.

Namun niatku itu langsung terhenti saat melihat ada percikan warna merah tersebar di jas laboratorium putih yang ia gunakan, apalagi saat melihat scalpel di tangan kanannya yang dipenuhi darah segar yang menetes ke lantai.

"Aku tau kamu ada di luar?" ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya ke belakang.

Aku tersentak kaget mendengar ucapannya. "Bagaimana bisa dia tahu aku ada di luar?" pikirku dalam hati.

"Masuk sini!" perintahnya dengan suara datar, masih tanpa mengalihkan pandangannya terhadap objek di depannya yang entah apa.

Aku menghembuskan napas dengan kasar, sambil mengumpulkan keberanian untuk berjalan meraih gagang pintu tidak jauh dari posisiku mengintip tadi.

"Ckrekk." Pintu kayu lab yang berwarna coklat tua itu berbunyi dengan nyaringnya ketika aku menekan gangangnya. Padahal aku sudah mencoba menekannya dengan sangat pelan.

Mendengar bunyi pintu, pria dengan jas putih tersebut menghentikan kegiatan yang sedang ia lakukan dan membalikkan badannya untuk melihatku. Ia menampakkan seringai tipis, nyaris tak terlihat. Jika saja aku tak sangat mengenalnya, aku akan mengatakan wajahnya datar tanpa ekspresi. Karena begitu biasanya orang menyebutnya.

"Sini gue punya mainan baru Yang!" serunya dengan suara yang tak sedatar tadi. Aku pun segera berjalan menghampirinya. Namun sebelum itu aku tak lupa menutup pintu dan menguncinya rapat.

"Emang mainan apasih? Serius amat," tanyaku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.

"Ini," jawabnya sambil mengangkat seikat rambut yang masih melekat di sebuah kepala tanpa badan. Aku pun mencoba memperhatikan siapa kira-kira pemilik kepala yang dipenuhi darah itu.

Aku tidak mampu menahan seringaiku begitu berhasil mengidentifikasi pemilik kepala tersebut. Aku pun segera mengeratkan pelukanku di punggungnya pria itu dan mencium tengkuknya yang tak tertutupi rambut dengan mesra. "Makasih," ujarku antusias.

"Hmm." gumamnya dan kembali menyibukkan dirinya membongkar organ bagian dalam badan, pemilik kepala yang tadi.

"Yang simpanin otaknya buat jadi koleksiku ya," pintaku manja sambil tetap memeluknya. Tak ada tanda-tanda ia merasa risih ataupun terganggu atas pelukanku yang bisa dikatakan membatasi ruang geraknya, untuk segera menyelesaikan kegiatannya.

Lagi-lagi hanya gumaman tanpa kata yang aku dapatkan sebagai jawaban. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan mengoceh, "Lainnya jadiin makanan Bruno aja Yang. Dia kan udah tua bangkotan pasti udah gak ada nilainya lagi. Itu pun bagus kalau Bruno mau makan."

Bruno adalah anjing peliharaanku. Anjing spesies American Pit Bull Terrier (APBT)itu merupakan hadiah ulang tahun dari pacarku ini. Oh iya aku tak lupakan, memperkenalkan lelaki yang aku peluk ini? Dia bernama Feihung, lelaki dengan hobi yang bisa dikatakan anti mainstream ini, entah mengapa bisa menjeratku dalam pesonannya.

Ah, mungkin saja karena kegemaran kami yang sama. Aku sangat suka mengoleksi organ dalam manusia, terutama otak dan bola mata. Sedangkan Feihung sangat suka melihat darah segar yang mengalir langsung dari sumbernya. Mungkin kesamaan itulah yang membuat kami langgeng hingga bisa menjalin hubungan hampir lima tahun lamanya.

"Eh betewe kenapa kamu pilih Kak Novi? Diakan udah tua. Eh tapi gak apa-apasih, gua sebel sama dia. Cerewet banget. Mulutnya minta dijait."ucapku seakan bermonolog sendiri. Dan soal tubuh yang sedang dibongkar oleh Feihung adalah Kak Novi. Iya dia adalah si dosen cerewet yang sempat aku ceritakan saat menuju ke gedung laboratorium. Agak kasihan juga sih dia harus tewas dalam keadang masih ting-ting.

"Jadi mau dijahit nih?" tanya kekasihku itu.

"Iya!" jawabku dengan antusias. Mendengar ucapanku dia bergerak untuk mengambil sebuah jarum hecting (jarum bedah) dan segulung benang sintesis dari tasnya yang terletak di sisi kanannya. Gerakannya itu membuat pelukanku di punggungnya terlepas.

Lelah berdiri aku pun memutuskan untuk duduk di kursi milik Kak Novi, biasanya kursi ini tak ada satu pun yang berani mendudukinya. Menyentuhnya saja kalian bisa mendapatkan ceramah singkat sepanjang novel setebal seratus halaman. Untung saja dia sudah menjadi mayat.

Aku pun kembali memusatkan perhatian pada pacarku yang dengan lincahnya menjahit mulut Kak Novi. Tidak sia-sia pacarku ini menjadi mahasiswa kedokteran. Hasil karyanya begitu indah, lihat saja kepala Kak Novi yang sudah dikeluarkan otak dan tanpa bola matanya, dapat terlihat sedikit lebih indah daripada melihatnya waktu hidup.

Aku bertepuk tangan dengan semangat begitu ia selesai menjahit mulut Kak Novi. Feihung lalu memasukkan organ-organ tubuh Kak Novi yang masih bagus ke dalam beberapa gelas kaca yang berisi cairan formalin. Sisanya dia masukkan dalam kantung plastik berwarna hitam. Aku yakin itu untuk makan malam Bruno.

Saat Feihung hendak membersihkan sisa darah yang bercereran di lantai ataupun meja, aku segera menahannya. "Biar Sila yang membersihkannya," ujarku. Sila adalah seorang yang telah menjadi menjadi pengawalku hampir sepuluh tahun terakhir. Walaupun seorang wanita, jangan pernah menganggap remeh Sila. Ia salah satu pembunuh berdarah dingin yang pernah aku kenal. Sudah ratusan kali aku melihatnya membunuh dengan sadisnya, saat aku menginginkan koleksi organ baru. Namun tugasnya agak berkurang selama aku berpacaran dengan Feihung.

"Sil ke lantai dua lab farmakologi, sekarang," ucapku kepada orang di seberang sana. Tanpa menunggu jawabannya aku segera mematikan sambungan teleponku.

"Eh Yang kamu tahu Anroy gak?" tanyaku dengan suara satu oktaf lebih tinggi dari biasanya.

"Yang mana Yang?" Bukannya menjawab pacarku itu malah balik bertanya. Dasar lelaki.

"Itu loh teman satu fakultasku, yang dandannya menor banget. Kayak bencong mau mangkal."

"Oh yang itu."

"Iya, kayaknya matanya bagus buat dijadiin koleksi deh Yang," ujarku semangat sambil menyeringai misterius.

"Matanya bagus, soalnya suka dipake buat ngintipin orang lain." Begitu aku selesai menyelesaikan ucapanku terdengar suara demum yang lumayan nyaring disertai sebuah siluet yang seperti seseorang berjalan dengan tergesa-gesa.

Lagi-lagi aku hanya dapat menyeringai melihat hal itu. Sebenarnya aku sudah menyadari keberadaan Anroy yang mengintip melalui celah jendela yang tadi aku gunakan. Ia sudah berada di sana tak lama setelah aku masuk ke dalam lab. Aku dapat melihat tampangnya melalui pantulan cermin yang terdapat di hadapan Feihung. Dan tadi aku sengaja menaikkan volume suaraku untuk memancingnya keluar.

"Target baru nih Yang," ujar Feihung sambil mengacak rambutku.

"Iya ingat ya matanya."

"Hmm, mau diambil sekarang?"

"Kagak, aku lapar Yang, makan dulu yuk. Bruno juga mesti dikasi makan," ucapku sambil menarik tangannya untuk keluar dari lab.

"Kamu ini ya cowok kok manja sih? Hmm."

"Alah, manja gini juga kamu suka," jawabku sambil memeletkan lidahku. Dan respon yang aku dapatkan adalah sebuah ciuman singkat di bibirku. Setelahnya Feihung gantian yang kini menarikku untuk menuju ke parkiran. Saat turun ke lantai satu, aku melihat Sila sedang berjalan ke arah kami. Ia sepertinya akan menuju ke lantai dua untuk membereskan hasil perbuatan Feihung.

"Beresin, jangan sampai ada jejak," ucapku saat kami berpapasan di depan tangga.

"Baik Tuan Raka." Sila pun berlalu ke lantai dua.

***

Beberapa hari kemudian, kampus terdapat gembar-gembor yang menghebohkan hampir setiap warga kampus, terutama para penghuni fakultas farmasi. Gembar-gembor ini berkaitan dengan hilangnya Anroy dan Bu Novi. Mereka di beritakan hilang sejak beberapa hari yang lalu.

Hampir tiap orang mulai mengeluarkan teorinya, perihal menghilangnya Anroy dan Bu Novi. Aku hanya dapat tersenyum manis dalam hati, saat mendengar curhatan mereka. Sebab hanya aku dan Feihung yang mengetahui, alasan di balik menghilangnya kedua gadis tersebut.

End

***

Karya : andieeeeer

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro