BABY BLOODS
"Salam buat Mamah ya, maaf aku nggak bisa nemenin kamu ke sana."
Aku melihat pantulan suamiku yang masih terlihat begitu mengantuk lewat cermin. Tak mengucapkan apapun. Hanya tersenyum, menenanangkan. Toh aku sudah terbiasa pergi sendiri ke Bandung. Raka membalas senyumku. Lantas kembali memejamkan matanya.
Setelah memastikan beberapa hal, aku langsung menaiki mobil sedan hitam yang terparkir di garasi. Menghidupkan mesin mobil, memanaskannya beberapa menit. Setelah itu, berangkat meninggalkan komplek perumahan. Memasuki jalanan protokol Ibukota yang terlihat lengang di Sabtu pagi.
Tangan kanan memegang setir, sedangkan tangan kiri mengoperasikan iPad. Memilih lagu yang cocok untuk menemani perjalananku ke Bandung. Aku juga mengabari Mamah, bahwa aku sudah berangkat dari Jakarta.
***
"Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik."
Lelaki itu tertawa, mendengar pujian yang ditujukan untuknya. Lantas tersenyum hangat, begitu dia selesai tertawa. Meski dia tahu, perempuan yang berada di seberang sana, tak bisa melihat senyumnya.
Percakapan selesai setelah satu dua kalimat lainnya. Lelaki itu bergegas membuka pintu apartemennya, karena sepertinya tamu tersebut adalah jenis orang yang tidak sabaran, terlihat jelas dari caranya mengetuk pintu.
Kosong. Tidak ada seorang pun di depan apartemennya. Bahkan hingga di belokan lorong. Sepi. Seperti tak ada orang yang pernah mengetuk pintu apartemennya beberapa waktu lalu.
Saat lelaki itu menutup pintu apartemennya. Seseorang memukul kepalanya dengan keras. Membuat hilang kesadarannya.
***
Feng membuka matanya. Mengerjap-ngerjap perlahan, berusaha melihat di tengah kegelapan. Kepalanya berdenyut nyeri. Dan badannya tak bisa digerakkan sama sekali. Lelaki itu kini terikat di kursi. Mulutnya ditutup oleh lakban hitam. Terasa nyeri sekali.
"Apa kamu yakin telah melakukannya dengan baik?" perempuan itu berdiri menghadap ke balkon apartemen.
Feng berusaha menggelengkan kepalanya. Ilusi gila macam apa ini. Ini pasti mimpi. Ini pasti mimpi. Mimpi yang buruk sekali.
Perempuan itu tertawa terbahak, mendekati Feng yang tak bisa melepaskan diri. Di tangannya tergenggam pisau kecil.
Dia menghentikan tawanya. Menggunakan sebelah tangannya untuk membuat kepala Feng menghadap ke arahnya. Matanya menyorot tajam, menyuarakan kebencian. Feng menutup matanya, menolak bersitatap dengan wanita itu.
Salah. Feng melakukan kesalahan. Maka tanpa segan, si perempuan membuat goresan di wajah Feng. Tanpa ragu memainkan pisaunya, membuat segaris luka di pipi.
Darah segar segera mengucur keluar. Feng hanya bisa memejamkan mata, mencoba meredam rasa sakit yang mendera.
"Kenapa kau sekarang tak bisa tertawa, eh?" suara manis si perempuan kembali terdengar.
Tak ada jawaban. Kesalahan lain yang Feng lakukan. Lagi, pisau itu menari di pipinya. Kali ini di kiri. Membuat segaris lurus lagi.
Si perempuan tersenyum manis, menatap hasil karyanya.
Feng mencoba meredam semua rasa sakit. Kali ini lelaki itu membuka mata, mencoba bernegosiasi dengan si perempuan.
"Apa? Kenapa melihatku begitu?"
Feng tetap memusatkan pandangannya. Berusaha mencari celah untuk bisa selamat.
Salah. Feng salah lagi. Dengan ringan, si perempuan mendaratkan tamparan. Membuat pipi Feng semakin berdenyut menyakitkan.
"Jangan mencoba merayuku, bangsat!" ujar si perempuan dengan penekanan di setiap matanya.
Perempuan itu berjalan menjauhi Feng, memasuki kamar tidur. Feng berusaha mengatur detak jantungnya yang berpacu tak karuan. Otak cerdasnya berusaha berpikir keras, memikirkan cara untuk meloloskan diri.
Si perempuan kembali ke ruang tengah dengan membawa laptop putih. Lantas mengoperasikan benda tersebut. Senyum manis tak lepas dari bibir ranumnya.
"Selesai."
Feng seperti diguyur air dingin, ia diperlihatkan oleh si wanita apa yang baru saja ia lakukan. Foto-fotonya. Koleksi pribadinya. Kini file itu telah diunggah ke jejaring sosial.
Dengan tanpa ampun, si perempuan menghujamkan pisaunya ke perut Feng, berkali-kali, membuat si empunya kehilangan kesadaran. Darah segar langsung membanjiri karpet putih di ruangan itu.
"Lain kali jika kau ingin menghabisiku, pastikan hal itu dengan benar. Dasar pedofil bajingan!"
Setelah membersihkan semua jejak yang bisa menjadi bukti penyelidikan, si perempuan melenggang keluar apartemen dengan santai. Menelepon sebuah rumah sakit dekat sini, menggunakan ponsel Feng, lantas membuang benda tersebut di tempat sampah.
Feng tidak pantas mati. Bukan karena Feng adalah pedofil pemerkosa anak orang. Feng harus menanggung semuanya. Sanksi hukum dan juga sosial. Lelaki sebusuk dia, akan senang bila langsung dikirim ke neraka. Daripada harga dirinya terluka. Maka, perempuan ini tak mengirimnya kesana.
***
Terdengar desahan menggelikan dari dalam sana. Membuat senyuman manis kembali terukir di wajah cantiknya.
Setelah menunggu beberapa saat. Kamar itu hening. Seperti tak pernah ada kejadian. Dengan perlahan, perempuan itu masuk ke sana.
Benar saja. Kedua gadis yang tak mengenakan sehelai benang pun dibalik selimut mereka, kini terlihat begitu terlelap.
Dengan perlahan, si perempuan mendekati si gadis bersurai kemerahan. Membiusnya agar tertidur selama beberapa waktu ke depan.
Kini beralih ke gadis satunya. Tanpa ampun, menghujamkan pisau ke perut korban, menusuknya dalam. Bahkan sempat mengoreknya dengan tawa senang. Tak ada teriakan kesakitan. Mungkin saja, dia sudah mati sebelum bisa berteriak kaget juga sakit.
Selimut putih itu segera berubah warna. Darah segar mengotori seprai. Pisau tajam itu masih menancap di sana.
Dengan senyum yang tak lepas, si perempuan juga membuat beberapa luka goresan yang mengerikan di wajah gadis yang mungkin sudah tak bernyawa ini. Dia melakukan semua hal itu dengan senang. Tanpa sedikitpun ketakutan.
Selesai. Karyanya telah selesai. Dia pergi dari sana tanpa menelepon rumah sakit, seperti yang dilkakunnya saat mengunjungi si tamu pertama.
***
Apartemen itu sepi. Hanya ada dirinya seorang di sini. Berita kriminal di televisi sedang menayangkan Feng, orang kanan salah satu pengusaha ternama. Feng ditemukan dengan kondisi mengenaskan di apartemennya sendiri.
Meski banyak luka yang dia dapat atas tindakan penyerangan oleh orang tak dikenal, Feng bisa diselamatkan. Nyawanya tertolong. Entah dia beruntung atau sial. Karena proses hukum tengah menanti lelaki itu.
Feng adalah pedofil yang bahkan menjadikan anak-anak temannya sendiri sebagai korban. Hasil kejahatannya disebarluaskan di jejaring sosial.
Mungkin banyak orang tua korban yang ingin membunuh lelaki itu. Namun, proses hukum terus berjalan. Penyelidikan terus dilanjutkan, meski si tersangka kini belum juga sadar dari komanya.
Pesan ancaman yang terselesaikan dengan baik. Polisi sudah tahu siapa pelakunya. Aku kini adalah seorang buronan.
Senyumku mengembang sempurna. Melihat Raka dikejar begitu banyak wartawan. Bukan hanya Feng, si tangan kanannya. Namun juga Novi, si sekretaris pribadi.
Novi ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri, di salah satu kamar hotel ternama. Di sampingnya, ditemukan mayat perempuan dengan luka tusukan paling parah di perut. Juga di wajah cantiknya.
Anroy, kekasih lesbian Novi, tewas dengan mengenaskan bahkan sebelum mendapatkan pertolongan. Dan yang lebih mengejutkan keduanya di temukan dalam keadaan tanpa mengenakan busana.
Sampai saat ini, Novi masih dijadikan sebagai saksi. Namun, statusnya akan segera meningkat setelah ditemukannya barang bukti.
Polisi menutup-nutupi bahwa Novi begitu terguncang, bahkan depresi. Karena kekasih yang begitu dikasihinya tewas mengenaskan. Dan Novi, adalah satu-satunya terduga yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai tersangka.
Hal ini tentu saja mengejutkan publik. Ini sperti sedang menerror hidup si pengusaha ternama, Raka. Bukan, mereka salah. Ini hanya awalan saja.
Soal Feng dan Novi, aku menghukum mereka. Karena mereka telah membunuh bayiku. Darah dagingku, bahkan sebelum aku sempat menatap mata buah cintaku dengan Raka.
Mereka pembunuh. Mereka berdua pantas mendapatkan ini. Feng yang akan membusuk di penjara juga Novi yang akan segera kehilangan kewarasannya. Akan kupastikan itu dengan baik.
Dan Raka, juga akan segera mendapatkan hadiahnya. Dia berusaha menyingkirkan aku. Namun, dia salah. Aku tak mati. Aku berhasil selamat.
Air mata mengalir turun, aku mengelus perutku yang rata. Tak ada lagi anakku disana. Mereka pembunuh. Mereka jahanam. Akan kupastikan mereka menerima hadiah dariku.
Kebencian itu memuakkan. Dan mereka harus bertanggung jawab atas itu. Para jahanam itu.
Raka, mungkin dia tak menyangka aku akan seperti ini. Dia tak menyangka istrinya yang manis akan berubah menjadi penebar terror seperti ini.
Raka, aku yang membawanya ke puncak keemasan. Aku yang menyelamatkan hidupnya saat dihambang kehancuran. Keluargaku menerimanya dengan penuh cinta.
Namun, bajingan itu justru membalasnya dengan memelihara jalang. Gadis manis yang memuakkan. Sok suci.
Aku tahu. Raka dan gadisnya sudah bersama selama beberapa bulan. Aku tak perduli. Karena setelah aku melahirkan, aku akan menggugat cerai lelaki itu.
Tapi, Raka yang menghancurkan hidupnya sendiri. Dia berusaha menyingkirkanku dengan halus. Tapi salah, dia hanya membunuh bayi kami. Aku tak mati. Aku belum mati. Dan sebentar lagi, aku akan mengunjungi suami tercintaku.
***
Aku melangkah dengan santai memasuki rumah. Menemukan suami tercinta dengan gadisnya sedang bercumbu mesra di ruang tengah rumah kami.
Aku bertepuk tangan heboh. Lantas tertawa kencang-kencang. Kedua orang itu kaget luar biasa.
Raka bahkan menatapku seperti melihat hantu. Mungkin tak menyangka, aku akan mengunjunginya secara terbuka. Sedangkan gadis memuakkan itu menundukkan kepalanya. Tangannya terlihat gemetar. Aku mencium aroma ketakutan menguar disini. Dan tawaku semakin membahana.
"Apa yang kamu mau?" Raka bertanya, membuka pembicaraan. Matanya terlihat lelah. Juga pasrah.
"Kenapa kamu berbicara begitu suamiku, aku ini baru pulang. Kenapa tidak menyambutku dengan hangat?" aku berkata, seolah merajuk.
Gadis itu semakin terlihat ketakutan. Aku menatapnya lucu. Raka justru memegang lenganku dengan paksa, mencengkramnya.
"Apa yang kamu lakukan pada Feng dan Novi?" Raka bertanya perlahan.
Aku menatapnya polos. "Astaga, aku dituduh suamiku sendiri."
"Jangan bersandiwara, aku tahu kamu pelakunya."
Aku tertawa. Menatapnya menantang.
"Kamu pembunuh, brengsek!" aku menghardiknya kasar.
"Aku tak perduli padamu, juga jalangmu. Tapi kamu membuat aku harus melakukan semua ini. Baiklah," lanjutku masih dengan intonasi terkendali. Aku tak merasa emosi sama sekali.
"Olla."
Gadis itu mengangkat kepalanya. Terlihat begitu terkejut, seperti tak menyangka bahwa aku akan memanggilnya.
"Pergilah ke neraka, sayang."
Dengan itu. Aku menembakkan pistol ke kepalaku sendiri.
Dor!
Inilah terror terbesarku. Mereka akan mengingatnya sepanjang hidup. Akan ketakutan terus sampai ajal datang.
Mampuslah kalian.
Karya : girlandsky
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro