11 : CHARLOTTA SMITH
Farmount Hotel yang punya kawasan Residence di sayap kanan ternyata cukup membuat Charlotta kelelahan untuk menyebrang ke sisi bangunan lain bagian Reguler Suite. Untung ia masih bawa kartu uang--selama ini Charlotta menyebut black card dengan kartu uang--untuk menginap di hotel mahal ini. Jelas saja mahal, dari kamar Charlotta, membentang pemandangan semenanjung Liujiazui yang panjang dan penuh gedung menjulang-julang. Pearl Tower dan dua menara kembar lainnya nampak megah dari kejauhan. Walaupun pemandangan Shanghai di dekat tepi sungai Huangpu itu sangat indah, ia bisa merasakan sensasi tertepa bangunan ala-ala Perancis itu di sepanjang jalan Nanjing. Infrastruktur yang tidak begitu beda dari New York, keramaian dan city vibes-nya terasa berputar dalam jetlag yang masih CS rasakan.
Belum selesai jetlag, ia sudah melihat Felicia menggandeng Karry. Itu saja sudah membuat tubuhnya panas dingin. Bisa-bisanya gadis itu seenaknya menyambar tangan seseorang yang sudah punya kekasih. Apa Karry benar-benar tidak memberitahu hubungannya ke gadis itu? Keterlaluan, ia ingin tahu apakah Karry menghubunginya malam ini atau tidak. Saat mengecek ponsel, pesan dari Cindy masuk. Ia baru sadar belum ganti provider, tapi tidak peduli. Biayanya juga Karry yang bayar.
Aku sudah mengontak Jackson. Ia akan mencari jadwal kosong untuk menemuimu membahas Karry.
Apa kau memberitahu misiku?
Saat itu, Cindy langsung membalas. Di New York masih cukup pagi sepertinya.
Tenang saja, misi ini aman. Ku jamin.
Charlotta mengempaskan diri ke atas kasur yang empuk lalu menarik napas panjang-panjang sambil menatap langit-langit kamar yang mewah. Aroma sabun dari seprai meringankan pusingnya. Mungkin akan terasa lebih baik lagi jika ia mandi. Charlotta menarik kopornya, mengambil gaun tidur lalu pergi mandi. Ia meninggalkan ponsel di atas westafel yang berlapis marmer itu.
Kalau dulu Charlotta tidak bertemu Karry, mungkin ia merasa hotel bintang lima ini sangat mewah dan berkilau seperti berlian. Dinding toiletnya dilapisi marmer, cahaya ruangan sengaja dibuat redup supaya kesan hangat menyebar pandangan. Tapi setelah satu tahun tinggal di Crown Garden, Charlotta mulai bisa merasakan perbedaannya hidup miskin dan mewah. Mereka sama-sama menggunakan air untuk mandi, mereka sama menggunakan nasi untuk makan, dan mereka sama-sama menggunakan tulisan untuk berkomunikasi. Yang Charlotta rasakan justru malah betapa merepotkannya semua peralatan orang kaya perlu diperindah seperti kita membuat tart. Padahal, rasanya sama saja seperti cupcake tanpa topping.
Mungkin itulah kebiasaan orang kaya, uang bisa membuat segala sesuatunya lebih berguna. Padahal, cupcake tanpa topping tetap terasa manis dan manusia masih bisa hidup.
Selesai mandi dan mengeringkan rambut, gaun tidur yang agak rendah itu memperlihatkan leher Charlotta yang agak terbuka. Rambut pendeknya tertepa angin dari pengering rambut, membuat lehernya terlihat kosong dan aneh. Seketika, Charlotta mematikan pengering rambut. Ia melihat pantulannya dari cermin, lalu menyentuh jejak benda itu di sana sebelumnya.
Liontin giok hilang?
Charlotta panik, ia bergegas mengecek lapisan lantai shower tempatnya mandi tadi. Astaga, apa jangan-jangan masuk ke got? Charlota mengecek saluran pembuangan air, tapi tidak mungkin. Lubang-lubang penyaringnya kecil, giok itu pasti tersangkut kalau terlepas. Jantungnya mulai berdebar-debar, ia melupakan rambutnya yang masih basah lalu buru-buru menunduk, meratapi lantai seperti memindai jejak kakinya di bawah sana. Ia mengelilingi kamar, memeriksa ranjang sampai melepas seprainya, bersujud, mengecek bawah ranjang, mengaduk-aduk isi kopor, membongkar ransel, mengintip ke dompet, lalu berakhir ke depan itu kamar.
Ya tuhan, di mana aku menjatuhkan kalung keramat itu? Karry bsa mengomeliku kalau sampai hilang.
Sebelum berjalan terlalu jauh mengikuti lorong ke lobi lift, Charlotta mengambil mantel panjang dan mengantongi ponsel dompet. Ia memutuskan untuk mengulangi jejaknya sebelum sampai di hotel. Mungkin saja kalung itu terjatuh di lorong. Bisa mati kalau kalung itu jatuh di pesawat. Ia benar-benar tidak memperhatikan seluruh penampilannya hari ini karena jetlag dan Karry. Otaknya terlalu bertabrakan dengan segala kepenatan yang meledak-ledak. Padahal Shanghai menyambutnya dengan aroma hangat, tapi terlalu hangat membuat Charlotta terlalu panas.
Sepanjang koridor lobi, lantai lift, ia terus menunduk, mengamati lantai marmer yang berkilau itu dengan seksama sambil dalam hati berdoa benda itu masih ia temukan. Dari Reguler Suite, Charlotta menyebrang ke sayap kiri bangunan, ke Premium Suite yang hanya memiliki sepuluh residence besar di setiap lantainya. Charlotta mengikuti jejak sebelumnya ke ruang Lounge Suite VIP Premium tempat siang tadi ia mengintip Karry. Mungkin saja ia bisa menemukan benda itu di sana.
Sambil melangkah hati-hati, ia mengamati ruang yang tadi siang pintunya tertutup, namun sekarang sudah terbuka. Ia berderap cepat, mengamati lantai itu dengan jawaban tidak mungkin ada giok jatuh di lantai seluas itu. Ia mengikuti langkahnya sampai ke depan ruangan Lounge yang besar itu. Charlotta mendesah dalam hati, jadi ini tempat kelas bisnisnya? Keren sekali. Sangat luas dan mewah.
Tapi ketika ia hendak berbalik, terdengar suara lift berdenting dari tengah koridor.
Punggung Charlotta menegap panik. Ia melotot ke arah pertigaan tempat lift itu berada. Kakinya mematung, bibirnya membeku. Jantungnya berdegup keras, menanti seseorang menangkap basah Charlotta yang berdiri di depan ruang privasi orang lain. Ia menenggak ludah, berdoa dalam hati itu bukan Karry atau siapa pun yang ia kenal.
Ketika seorang cowok muncul, Charlotta refleks melipat bibirnya bungkam. Langkah cowok yang mungkin melihat bayangannya dari ujung koridor itu langsung berhenti dan menoleh ke arahnya.
Jantung Charlotta mencelus, ia menghela napas lega. Bukan siapa-siapa. Eh tunggu--Charlotta menatap pemuda yang juga mengamatinya dari jauh.
Bukankah itu pemuda yang menabrakku tadi?
Ia menghampiri Charlotta dalam hoodie kebesaran dan rambut di kuncir membentuk ekor tupai di belakang kepalanya. Poni rambut pemuda itu sedikit menutupi matanya yang besar, langkahnya terhenti ketika ia agak menunduk menatap Charlotta dengan kerut bingung.
"Kebetulan sekali," katanya sambil tersenyum singkat. Ia terlihat merogoh sesuatu dari saku celana training-nya. Lalu hampir membuat Charlotta menjerit, pemuda itu menyodorkan kalung giok yang dari tadi ia cari.
Ia menatap pemuda--entah siapa namanya ini--dengan tatapan sumringah. Charlotta memekik rendah, "ya tuhan, terima kasih! Terima kasih!"
"Ceroboh sekali. Harusnya kau mentraktirku, bukan?"
Belum selesai Charlotta merenggut benda itu kembali, tangan pemuda itu ditarik kembali lalu memasukkan kalungnya ke saku celana. Charlotta mengerjap bingung.
"Hey, itu milikku."
"Kalau kau mencarinya sampai ke sini, itu artinya benda itu sangat berharga untukmu, kan? Dan coba kutebak, apa kau punya kartu akses untuk masuk ke sini?" Mata pemuda itu menyipit, mencurigai gerak-geriknya. Tentu saja, mana mungkin ia bisa mempercayai dirinya yang menyelonong ke Premium Suite tanpa tanda pengenal yang jelas. Charlotta berdeham sejenak, ia mengatur jawaban-jawaban cerdik sebelum menyahut.
"Bukankah sudah kubilang aku salah ruangan? Tadi siang aku mau mengambil kamar, tapi aku tidak tahu kalau aku malah tersesat di Premium Suite. Saat aku mengecek ruangan ini, kukira sedang dilakukan untuk--kau tahu--perbuatan kotor para staf," Charlotta mendesis sambil tersenyum kering, "makanya aku segera berbalik dan hendak pergi. Eh, tapi malah menabrakmu, kan."
Bukannya menjawab, pemuda itu malah terdiam beberapa saat untuk memastikan apakah yang dikatakannya jujur. Mengamati hal itu, Charlotta langsung mengeluarkan dompet, lalu menunjukkan kartu pengenalnya yang tertera tulisan besar "New York State" di baris utama kartu itu. Pemuda itu agak menunduk, mengernyit tipis lalu mengangguk.
"Kau dari New York? Liburan?"
Dengan gerak gagap, Charlotta kembali menyimpan kartu pengenalnya ke dompet lalu mengangguk.
"Yah, begitulah. Sekarang, apa boleh kuminta kalungku?"
Pemuda itu menyunggingkan senyum tipis. "Nanti saja setelah kau menemaniku makan malam."
Charlotta membeliak pelan, ia mengikuti arah pemuda itu berbalik dan mulai melangkah pergi.
"Hey, tunggu--"
"Sudah makan malam?" tanya pemuda itu tiba-tiba. Charlotta terdiam sejenak, ia menatap garis wajah ramah pemuda itu. Baru ia sadari, sepertinya pemuda itu berdarah Asia.
"Be--belum. Tapi--"
"Oke, ayo temani aku. Semua kerabatku sedang menikmati restoran di sekitar Nanjing Lu. Aku malas ikut, sudah sering makan di sana. Dan lebih tertarik dengan steak restoran hotel ini."
Charlotta mengernyit hendak menolak, "aku tidak peduli dengan steakmu, atau apa pun itu yang barusan kau sebutkan. Kembalikan kalungku, sekarang!"
Lagi-lagi pemuda itu malah tersenyum tipis, lalu berbalik, "terserah kalau begitu."
Yang benar saja?
****
Aku lupa, kukira udah update part ini kemarin huhu. Oh ya, yuk jangan lupa share ke temen2 kalian buat yg suka cerita kayak gini. Siapa tau jodoh sama Karry kan #eh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro