47 : CHARLOTTA SMITH
CROWN GARDEN
CHARLOTTA SMITH
Aku...
Bagaimana caranya bisa membuat Karry terpesona?
Jari jemari Charlotta saling mengait gelisah. Malam ini adalah perjamuan malam kecil-kecilan untuk mengantar Ryu pulang. Walau sosoknya belum begitu dikenal, tapi rasanya Charlotta akan kehilangan seseorang yang menjadi panutannya.
Cahaya lampu kaca berpendar memenuhi ruang makan yang besar. Meja panjang berisi beberapa masakan campuran chinese food dan tempura udon menghiasi lautan menu itu. Nic dan Ryu sedang bercengkrama akrab di sebrangnya. Karena kesamaan usia, dalam hal topik pembicaraan mengenai sistem pengembangan bisnis, fasilitas wisatawan di berbagai negara bahkan sampai kemajuan teknologi pun di singgung. Cindy duduk dengan tenang sambil memainkan ponselnya. Kalau diingat kejadian tadi siang lagi, rasanya riasan di wajahnya itu sangat tidak menggambarkan sosok Cindy yang licik dan cerdik itu.
Natalie masih belum datang. Karena kebetulan belum tepat pukul tujuh juga, jadi sementara obrolan Ryu dan Nic makin menguar hangat, Karry tenggelam dalam buku bacaannya. Di bawah meja makan dia membalik halaman selanjutnya.
"Karry," panggil Charlotta pelan tanpa menoleh. Suaranya sedikit gelisah.
Yang dipanggil menoleh pelan. "Hm?"
"Ng... " Keringat dingin menuruni pelipisnya, Charlotta me nenggak ludahnya susah payah.
"Apa sih?"
"Anu, itu... hmm, sebenarnya, aku ingin bilang terima kasih untuk Daftar Keinginan yang kau buat," aku Charlotta sedikit lega. Ia menghela napas diam-diam.
"Daftar Keinginan?" Karry berusaha mengingat. "Oh, daftar keinginan itu, ya. Kau membeli beberapa pasang sepatu sport seperti yang kau kenakan ini, bukan?" tunjuk cowok itu ke arah kaki mungil Charlotta di bawah meja. Walau memakai gaun malam biru dongker selutut, selama masih di dalam Crown Garden, ia akan memakai sepatu walau kontras perbedaannya sangat jauh.
Gaun malam biru dongker yang penuh gemerlap dengan butiran permata di pinggir jahitan dada dan pinggangnya jatuh menawan di bawah sinar lampu. Rambut Charlotta yang pendek, poninya di jepit satu ke belakang. Dari atas sampai lutut, penampilannya sangat normal malah terkesan cantik. Tapi jika bertemu dengan kaki yang dibungkus sepatu old school whitenya, Charlotta nampak sangat keren dan yang pasti, jauh dari heels.
"Apa itu masuk hitungan cek?"
Karry mendengkus pelan, kembali tertuju pada bukunya. "Aku bisa memasukkannya kalau kau mau," ujarnya cuek.
"Eh, eh, jangan..."
Karry melirik menggunakan ujung ekor matanya, lalu tersenyum kecil.
"Lagi pula kau belum memberikan itu padaku," katanya. Charlotta seakan baru mengingat dia menepuk keningnya. Astaga, bahkan sampai hari ini dia belum merencanakan akan menuliskan berapa dollar di kertas itu. Sial, ini semua gara-gara pelajaran tata tertib di rumah serta serangkaian adat istiadatnya.
"Eh, Karry," kali ini Charlotta semakin menipiskan jarak, memelankan suaranya sambil sesekali mengamati Cindy di tempatnya.
"Apa kau pikir kau bisa menyukai Cindy lagi? Bagaimana kalau tiba-tiba suka padanya lagi?"
Terdengar buku ditutup dan helaan napas panjang. "Kenapa kau selalu mengajukan pertanyaan itu? Apa kau benar-benar ingin aku menyukainya sehingga menyusahkan pekerjaanmu?"
"Eh, bukan. Bukan."
"Kalau begitu, kau harus mencuci otakmu dengan pernyataan aku adalah pacarmu. Dengan begitu, kau tahu kalau aku adalah milikmu dan kau adalah milikku. Tentu saja hanya di atas perjanjian itu," tuturnya dengan suara rendah.
Charlotta menahan-embuskan napasnya ketika mendengar penuturan cowok itu. Karry sangat yakin pada perasaannya untuk tidak menyukai Cindy. Kalau begitu, seharusnya itu bisa menjadi pondasi dan batu landasan untuknya, bukan? Bahkan tanpa Cindy tahu, seharusnya ia sudah memenangi perasaan Karry tanpa perlu repot-repot membuat cowok itu jatuh cinta sesungguhnya kepadanya. Lagipula, melibatkan perasaan dalam pekerjaan bukan urusan yang baik.
Ia menggeleng kepalanya pelan, mengusir segala kemungkinan ia akan membuat Karry jatuh cinta. Tapi belum melangkah lagi, Charlotta kembali ingat perdebatan keras antara dirinya dan Cindy kemarin siang. Saat itu, entah kenapa, Charlotta seperti yakin kalau Cindy memiliki semacam kekuatan untuk menarik Karry kuat-kuat pergi dari hidupnya.
Kalau benar Cindy memiliki kekuatan itu...
Cek akan ditarik kembali.
Dan ia akan kehilangan harapan untuk mencari orangtuanya.
Charlotta bergidik. Tidak. Tidak. Jangan sampai Cindy melakukannya. Ia harus siaga menjaga Karry tetap ada dipelukkannya. Paling mentok, sampai ia lepas dari perjanjian ini. Dengan begitu, urusan mengenai keluarga dan segala isinya bisa dengan mudah dilupakan dan ia bisa mencari orangtua dan kuliah dengan damai.
Perlahan-lahan, Charlotta menoleh ke arah Karry yang terdiam membaca bukunya lagi.
Tapi, apakah ketika aku keluar dari sini Karry akan tetap seperti orang yang kukenal pertama kali? Atau.. aku bisa melihat sisi lainnya yang tidak pernah diketahui orang lain? Jika iya, apakah dia bersedia menunjukkan padaku..?
Karry menoleh ke arahnya, seakan bisa merasakan energi yang terpancar itu.
"Kenapa melihatku begitu? Apa kau baru sadar kalau aku ini tampan?"
Gee.
Charlotta memutar bola matanya dengan jengah. Mencibir. Sepertinya aku tidak akan menemukan sisi lain yang dimaksud Nic waktu itu. Menjijikan.
Terdengar Karry mendengus tertawa pelan, tepat saat itu Cindy melirik keduanya dengan sinis. Charlotta mengabaikannya karena tepat setelah itu beberapa pengawal dari pintu masuk ruang makan berjejer menyambut Natalie tiba. Wanita yang berbalut gaun malam panjang itu tersenyum lebar ketika mendapati keempatnya di meja makan. Ryu menyambutnya sambil beranjak dari kursi.
"Kau tampak menawan," ujar Ryu yang mengantar Natalie ke kursi di tengah meja. Wanita itu tersenyum simpul.
"Terima kasih. Oh, rasanya sebentar sekali kau di sini."
"Maafkan aku kalau terkesan seperti menumpang tidur saja, tapi Crown Garden memang tidak pernah berubah. Aku merasa seperti di rumah," kata Ryu kembali ke kursinya.
"Oh tidak masalah. Di sini memang rumahmu. Oh ya, Karry, Nic, kau sudah melihat kemampuan Ryu? Dia berbakat sekali dalam melukis." Sementara obrolan menghangat, beberapa pelayan yang simpang siur di sekitar ruang makan sibuk menuangkan air mineral ke dalam gelas. Charlotta menahan senyum simpulnya beberapa saat sebelum akhirnya makanan dihidangkan dan obrolan malam menguar hangat.
Dari percakapan pekerjaan Nic, perkembangan Sarah dalam permodelan yang dikomentari Cindy. Kemudian kembali pada obrolan Ryu yang menceritakan tentang istrinya itu, lalu berujung pada Karry yang menanyakan perkembangan Charlotta.
"Jadi, sudah sampai di mana pembelajaran itu?" tanya Natalie tenang. Matanya sedikit berkilat, membuat Charlotta merasa harus menjawab dengan kalimat sempurna dan penuh tata aturan seperti yang sudah dipelajarinya dari beberapa minggu yang lalu.
Berdeham sekali, Charlotta melanjutkan sambil mengusap mulutnya dengan serbet. "Walau aku masih harus banyak belajar, tapi menurut laporan Fang, aku sudah berkembang cukup baik," jelasnya yang di balas wajah tak peduli Natalie. Ia sempat melirik Cindy yang tersenyum licik, puas dengan tanggapan Natalie.
"Cukup saja tidak cukup. Kau harus melampaui."
"Mom. Sudahlah. Ini bukan ujian kelulusan masuk Universitas," sela Karry.
Natalie mengangkat wajahnya, menatap Karry serius. "Tentu saja ini ujian kelulusan. Kau pikir ini main-main? Kalau kau tidak mau aku cerewet mengenai perkembangan Charlotta, lebih baik kau menyetujui perjodohan dengan Cindy karena dia sudah jelas paham silsilah keluarga kita."
Charlotta tertohok. Ia bergeming di antara pandangan kosongnya.
"Mom, jangan menyulitkan Karry." Kali ini Nic angkat bicara. Tapi Charlotta rasanya makin ingin membenamkan wajahnya pada bantal penghilang kenyataan dari hidupnya. Pasti sekarang Natalie merasa keberadaannya mengganggu keberadaan Cindy yang memang seharusnya menjadi pacarnya? Tidak. Itu salah. Ia pacar Karry, seharusnya Cindy lah yang mengganggunya. Gadis itu bisa jadi perusak hubungan orang. Bukan dia.
"Aku tidak menyulitkannya. Aku hanya menyampaikan amanat ayahmu! Kau lupa? Karry harus mendapat istri yang sangat mengerti rumah ini.
"Kau pikir Charlotta belum cukup?" Kali ini Karry membuka suara.
"Ya. Dia orang luar, maka itu aku merasa tidak yakin."
Tiba-tiba dari kursinya, Nic bangkit berdiri menatap serius ke arah ibunya yang tersentak. Lalu dua detik setelah hening, wanita itu seperti menyadari kesalahan letak kata-katanya.
"Mom. Kau lupa? Aku orang luar," ujar Nic membekukan suasana makan malam yang tadi berlangsung hangat.
"Itu dulu Nic. Sekarang kau adalah bagian penting dari keluarga ini," balas Natalie cepat.
"Tidak. Tapi aku tetap berasal dari luar."
Natalie menatapnya tak percaya, seperti hal ini sangat tidak penting untuk diangkat. Tapi bagi Nic, sebuah strata bukan sesuatu yang terhormat. Yang paling penting adalah bagaimana kita merespon opini orang-orang atau menghargai keberadaan mereka. Dan cara bicara ibunya seakan mencomooh kalau orang luar sama sekali tidak peduli dengan dirinya.
"Okay, okay," Natalie mengangkat kedua tangannya bergaya menyerah. "Maafkan aku atas perkataanku. Tapi, soal Charlotta, dia masih belum cukup---"
Belum selesai Natalie berbicara, Karry menyentak kursi dan berdiri. Ia sempat melihat ibunya beberapa saat sebelum akhirnya berujar, "Mom, kalau kau terus berpikir Charlotta belum cukup, aku, tidak segan-segan membuatnya lengkap dalam dan bagi kehidupan di rumah ini." Setelah berkata begitu, Natalie tak sempat mencegah Karry. Tangan Charlotta direnggut cepat oleh Karry yang menariknya untuk beranjak. Tanpa bisa mengelak, ia hanya bisa mengikuti langkah Karry yang sepertinya merasa marah.
Kenapa Karry marah? Apa pedulinya dia?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro