15 : CINDY YOUNG
CROWN GARDEN
CINDY YOUNG
Ia sedang mengamati dirinya sendiri dari pantulan cermin dengan bingkai berlapis emas di kamarnya, sembari memastikan kalau gaun satin merah dengan kalung mutiara Bunakennya cocok dengan sepatu tumit tinggi putih berkilau dari Toronto.
Ponsel dari nakas berbunyi, sejenak ia meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon.
"Bagaimana? Apa sudah sampai di Crown Garden?"
Cindy berputar di depan cermin dengan tetap berbicara di telepon. "Sudah. Pukul dua tadi aku tiba. Sekarang kami akan makan malam. Bukankah di Singapore seharusnya kau sudah tidur?"
"Ya. Ibu hanya ingin memastikan apakah keadaan di sana masih baik-baik saja." Suara wanita tua itu sedikit serak karena bangun tidur. Perbedaan waktu di Singapore dan New York tekadang membuat Cindy agak malam mengabari ibunya karena takut mengganggu waktu istirahat. Tapi dalam perihal perjodohan ini, ia seharusnya tahu kalau ibu atau ayahnya bersungguh-sungguh atas keniatannya.
"Memang kenapa tidak baik-baik saja?" tanya Cindy sambil memajukan wajah, mengamati mutiara yang berkilauan menempel di daun telinganya, sedikit tertutup oleh rambut gelombang cokelatnya yang sepunggung.
"Yah, kau tahu sendiri Karry sulit untuk di ajak basa-basi."
"Ah, tenang saja Mom. Urusan itu sudah kupikirkan. Lagi pula, ini hanya makan malam penyambutan biasa," sahutnya santai, mengusapkan kedua bibirnya untuk meratakan lipstick lalu bersiap keluar ruangan.
"Okey. Titipkan salam untuk Natalie, ya."
"Ya. Selamat istirahat, Mom." Telepon ditutup, dan untuk yang terakhir kalinya, ia berputar lagi seperti mencari kepercayaan diri.
Sudah hampir sepuluh tahun lebih sejak pertemuannya dengan cowok itu. Semenjak keluarga Wang memutuskan untuk pindah ke New York, tinggal dan menetap di sini, rentang saudara yang di ikat oleh status kestrataan, seakan-akan membuat antara keluarga Young dan Wang memberikan sebuah jarak. Sebenarnya baik ia atau ayahnya sendiri sama-sama tahu kalau masing-masing dari keluarga mereka adalah tetap bersaing. Ketika menerima pesan kalau Bernard Wang, ayah Karry ingin menjodohkan Putra Emasnya dengan dirinya, si Putri Jelita dari Young, ayah Cindy langsung antusias dan mengangguk lebar setuju akan hal itu. Walau sebenarnya agak ragu dan curiga, tapi mereka sangat senang ketika percaya kalau ia adalah seseorang yang cocok untuk Karry.
Tentu saja ia cocok. Cindy sangat jelas tahu kemauan dan tipe-tipe cowok kaya seperti Karry. Dan ia merasa, semua poin itu sudah terpenuhi ketika ia berputar sekali lagi.
Yang paling utama dalam kunjungan keluarga adalah kecantikan. Dan ia, sudah memiliki itu semua, bahkan sejak lahir.
"Permisi, Nona Young, seluruh keluarga sudah menunggumu untuk perjamuan pertama, apa kau sudah siap turun sekarang?" sahut seorang pelayan berdasi kupu-kupu dan berkuncir kuda menunduk.
"Ya, aku akan turun sekarang," sahutnya sambil berbalik dan melangkah angkuh keluar dari kamar, berjalan ke lorong menuju tangga melingkar ke bawah.
Samar-samar, instrumen klasik mulai terdengar ketika langkahnya tiba di ambang pintu ruang makan yang sangat besar itu. Mengangkat senyum tipis sambil menajamkan dagunya yang runcing, ia memandang penuh pesona kepada seluruh orang yang menoleh ke arahnya begitu langkah sepatu tumitnya memecah keheningan.
"Selamat malam, semua," sapa Cindy sopan sambil mendunduk. Dari meja perjamuan yang panjang dan penuh makanan itu, berdiri seorang wanita dengan balutan gaun panjang mengembang bewarna hijau tosca berjalan menghampirinya dengan senyum lebar. Itu Natalie.
"Selamat datang, Cindy, kau sangat menawan malam ini."
"Terima kasih," sahut Cindy yang digiring mendekat ke meja makan penuh saudara-saudara keluarga Wang yang memandangnya. Karry Wang duduk di barisan pertama dari kursi tengah, sedangkan di sebelahnya dudu seorang gadis berambut pendek dengan kerut di dahi menatapnya dari kejauhan.
Siapa yang duduk di sebelah Karry itu? Sepertinya bukan salah satu anggota keluarga Wang.
"Silakan duduk, Cindy. Karry, kalian pasti sudah lama sekali tidak bertemu," ujar Natalie mencairkan suasana ketika Cindy sadar kalau gadis itu bukan anggota keluarga Wang. Siapapun yang melihat pasti akan tahu, wajah itu bukan wajah keturunan orang kaya. Mata bulat dengan hidung mancung yang tinggi seperti wajah pribumi Amerika, juga potongan rambut pendek yang sama sekali tidak mencerminkan dia seorang putri atau model. Tanpa sadar, Cindy balas mengerut pelan, lalu siapa dia?
Beralih memandang Karry yang tersenyum tipis sekilas ke arahnya, Cindy mengangguk dan tersenyum lebar.
"Hai Karry, apa kabar?" sapanya dari sebrang meja. Karry tepat duduk di sebrangnya, saling tatap muka dari tempat ini memang nyaman sekali. Apalagi, semakin bertambahnya usia dan waktu remaja, Karry yang kecil, bukan lagi cowok pendiam yang misterius, melainkan cowok tampan dan gagah. Di sebelahnya duduk seorang wanita paruh baya, adik dari Natalie, pribumi asli Amerika.
"Baik. Kau sendiri?" balas Karry dengan suara datarnya.
"Luar biasa. Aku senang atas perjodohannya, terlebih, bertemu dan tinggal di kediaman Wang yang sangat jauh dari publik," sahutnya sambil menatap gadis berambut pendek itu yang kali ini menunduk menatap piring kosong di bawahnya.
"Oh ya, kenalkan, ini Charlotta Smith." Gadis itu mengangkat wajah dengan gerak tersentak, lalu, "dia kekasihku," selesai Karry melempar senyum ke arahnya yang entah kenapa terasa seperti senyum mengejek. Apa-apaan itu?
Cindy menahan kerutan dalam di dahinya, lalu buru-buru tersenyum manis ke arah gadis yang tergagap itu.
"Halo, selamat malam."
Charlotta tersenyum kaku lalu menganggu. "Selamat malam. Kau sangat cantik hari ini."
Huh, memang kau pernah melihatku lagi selain hari ini? Kata-katanya sok dekat sekali.
"Terima kasih. Kau juga."
Miris. Kata-kata barusan adalah omong kosong. Charlotta Smith, sama sekali tidak cantik. Lihat saja potongan rambut pendek itu. Begitu cowok dan sangat tidak elegan. Tapi tadi Karry baru saja menyebutkan kalau gadis ini adalah kekasihnya. Yang benar saja?
"Cindy, maafkan aku kalau acara perjodohan yang Bernard bilang tidak sesuai dengan kenyataannya. Beliau tidak tahu kalau Karry, punya pacar sendiri," sahut Natalie dari tengah meja makan. Beberapa pelayan mulai hilir mudik dengan nampan dan tutup berkubah dari aluminium di sekitar meja, sibuk menurunkan sajian demi sajian ke atas meja.
Seharusnya ini sangat merendahkan martabatku. Tapi, yang benar saja aku bisa ditepis seperti itu.
"Oh, tidak masalah, bibi. Bahkan aku ke sini sama sekali tidak memikirkan perjodohan itu. Bagiku, pertemuan kali ini seperti reuni dengan Karry. Sayang, kurang Jackson," alihnya sambil menyesap air putih, berusaha mengendalikan panas yang menggelora dari tubuhnya.
Jika disaingkan dengan gadis ini, dia sama sekali bukan apa-apa.
"Jackson sekarang sibuk di Taiwan. Artis dadakan," komentar Karry melahap daging sapi yang dipotongnya kecil-kecil.
"Oh ya, dia sangat keren sekarang. Beberapa stasiun TV di Singapore sering menayangkan acara Dance with Me itu. Aku bahkan tidak tahu kalau dia pintar menari," kata Cindy memasukan anggur ke dalam mulutnya. Ia melirik kecil ke arah Charlotta yang sedikit kesulitan membelah daging sapinya.
Bahkan, sebelah tangan kananya seperti memotong daging itu dengan penuh tenaga. Menyadari dirinya yang memandang setengah berkerut, Karry pun ikut menoleh ke arah gadis itu.
"Kenapa? Dagingnya keras, ya?"
Charlotta menghela napas dan menjauhi garpu pisaunya dari daging itu. "Menyebalkan. Sepertinya begitu."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Karry langsung memanjangkan leher dan memanggil pelayan terdekat untuk mengganti daging gadis itu. Cih, dia saja yang norak. Itu bukan salah dagingnya, tapi salah tangannya. Lihat saja, sama sekali tidak memiliki table manner.
Karry kembali melanjutkan makannya, dan gadis itu memotong dagingnya lagi. Kali ini, sebelah tangannya diturunkan sedikit, dan ia berhasil menyuap satu potong.
"Jadi, kau akan tinggal berapa lama di sini, Cindy?" tanya cowok di sebrangnya sambil menyesap air putih dari gelas kaca tingginya kemudian mengusap bibirnya dengan serbet.
"Hm. Entahlah. Aku juga sedang liburan setelah menyelesaikan ujian modelku."
"Ah, banyak-banyak istirahatlah, Cindy. Jadi model pasti melelahkan, bukan?" ujar Natalie sambil memasukkan udang bakar ke dalam mulutnya.
Cindy menggeleng lembut, "tidak juga, bibi. Aku senang menjadi model. Kalau Charlotta, apa yang sedang kau lakukan akhir-akhir ini?"
Yang ditanya mendadak berhenti mengunyah dan terdiam. Tapi kemudian ia terbatuk sekali, lalu berujar, "hm. Yah, sekolah saja. Hm-mm, aku sibuk sekolah dan. . ."
"Melukis," sambar Karry tiba-tiba. Charlotta menoleh melotot ke cowok itu, tapi Karry tak menggubris. Diam-diam, Cindy menyipitkan mata.
"Melukis? Wah, aku sangat jauh dari seni semacam itu. Kalau boleh tahu, kau sudah melukis berapa gambar? Boleh ajari aku?" pernyataan itu lebih mengarah ke pancingan belaka. Sebenarnya ia ingin tahu apakah sambaran Karry tadi benar adanya. Apakah gadis bertampang "tidak bisa apa-apa" ini benar-benar bisa melakukan seni yang tergolong cakap itu.
"Dia masih baru belajar, Cindy. Masih pemula. Tapi dia sangat ambisius ingin belajar lukis demi aku, bukan begitu, sayang?"
Cindy memberenggut tanpa sadar. Gadis di sebelah Karry menoleh tersenyum hingga matanya menyipit lalu tertawa. Cara Karry memandang matanya, cara Karry mengulas tawa yang membuat hatinya berdebar-debar. . . sial.
Bagaimana bisa itu semua bukan untuknya?
***
Fyi, foto mulmed di atas adalah gambaran sosok Cindy Young. Hm, bingunh sih, harusnya Cindy itu cantik banget kayak putri. Karena pinterest tdk menyediakan sosok itu, jadi sementara kalian bayangin sendiri aja. Yang dimulmed itu cuma bayanganku aja sih ha.
Mulai hari ini sampai besok, kuusahakan apdet tiap hari ya. Karena ada beberapa alasan yang buat cerita ini jauh dari feelsku, jadi kuputuskan untuk apdet tiap hari aja supaya feelsnya kerasa terus. Hm, doakan lancar ya.
Terima kasih buat yang sudah mengikuti cerita ini sampai bab ini, hehe tanpa kalian i am nothing. See you tomorrow!^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro