
11 : MARIE & ANNA
MANHATTAN BRIDGE HIGH SCHOOL
MARIE DAN ANNA
Kelas E yang berada di pojok koridor sekolah mendadak riuh ketika seseorang mengatakan sebuah gosip tentang Karry Wang yang akan dijodohkan oleh seorang keturunan Asia terkenal dari Singapore. Ah, sialnya, beberapa siswi dari kelas E adalah kelompok penggemar yang dicetuskan oleh salah satu junior kelas satu mereka yang sangat antusias pada berita kecil di internet mengenai kehidupan orang kaya.
"Sebenarnya aku penasaran, apakah mereka akan menyebut dirinya sekaya itu," sahut Anna sambil melemparkan kartu ke atas meja, meladeni permainan poker Marie yang nampak serius. Gadis berambut blonde itu masih berkerut samar mengamati lekat-lekat kartu-kartu di tangannya dengan berdeham panjang.
"Siapa? Mereka siapa, An?" tanya Marie yang baru melepas kerutannya dan bertanya keluar dari konsentrasi terhadap permainan kartunya.
Anna hanya menunjuk sekumpulan para gadis yang mengerumuni satu orang pencetus berita itu hingga menguar menjadi topik hangat perbincangan mereka pagi hari ini. Beberapa siswi mulai berbisik-bisik ricuh, mengganggu para cowok yang sedang bercanda-canda di pojok ruangan. Suara para siswi itu terkadang meledak karena mendesah ketika melihat wajah Karry Wang terpampang di papan dunia maya tersebut. Marie menggeleng takjub melihat mereka.
"Kupikir dia ada di pihak kita. Semenjak CS pindah ke kelas A, mereka semua pengkhianat murahan," desis Marie kembali berkonsentrasi pada kartunya.
Hari Senin, pelajaran Ms. Frose di jadwal pertama biasanya akan kosong. Hanya ada guru pengganti yang sebentar masuk untuk memberi tugas, lalu sisanya diserahkan kepada ketua kelas. Tetapi sayangnya, bukan kelas E jika sekelumat kalimat yang ditulis dipapan tulis mengenai pekerjaan rumah akan dibereskan tepat waktu. Karena pada kenyataannya, tiga jam kosong pada pagi hari ini adalah waktu yang tepat untuk mengisi waktu luang dengan bermain.
"Hm, aku khawatir CS akan tertular para siswa di kelas A," komentar Anna tidak semangat ketika menurunkan kartu As, ia kalah.
Marie mendesah, memandang Anna dari sebrangnya. "Tidak mungkin. CS tidak mungkin tertular gaya belajar mereka."
"Kau lupa? Ketika di kantin hari itu dia bilang ingin belajar untuk ujian masuk Universitas tahun depan? Selain itu, semenjak hukuman pindah kelas, kejahilannya benar-benar menghilang dari muka MB!" seru Anna mengingatkan sahabatnya itu sekali lagi.
"Tapi, itu bukan artinya dia mengkhianati kita. Aku tahu dia sangat ingin bertemu orangtuanya, dan aku sama sekali tidak keberatan jika ia belajar. Hanya saja, yang kutakutkan adalah, Karry yang sewaktu-waktu menurunkan mentalnya," ujar Marie meletakkan sisa kartu di tangannya ke atas meja, tanda kemenangannya.
"Tidak. Seharusnya Karry sudah tidak perlu menyinggung itu lagi, bukan? Di samping itu, CS sudah tidak melakukan tindakan jahilnya lagi."
Marie memandang ke langit-langit kelas, menerawang. "Kau benar."
"Ah, sejujurnya aku merindukannya. Sudah lama sekali ia tidak ke sini atau setidaknya kita menjahili orang, lagi."
"Yah, kurasa masa-masa mengenai itu juga seharusnya berhenti untuk kita."
Anna menegakkan punggunya setelah ia menguap dan merenggangkan otot malasnya. "Maksudmu, kau ingin kita berpaling menjadi salah satu penggemar Karry Wang?"
Marie berdecih. "Kau gila, ya. Lebih baik aku keluar sekolah saja ketimbang harus bertem---"
"Marie!" teriak seseorang dari pintu kelas. Sejenak, keriuhan yang menguap tadi seketika hening. Semua orang di dalam kelas menoleh ke arah sumber suara lalu perlahan-lahan mengerjap terkejut.
"CS!" seru beberapa cowok di depan kelas sambil beranjak berdiri dan merangkul pundak gadis itu dengan gerak bersahabat. Beberapa perkumpulan gadis tadi mendadak bubar, dan perbincangan mengenai pesona Karry pun hilang, berganti muka dua mereka. Charlotta melangkah riang ke dalam ruangan sambil tertawa-tawa ketika mendengar celotehan teman-teman cowoknya. Anna melambai kencang ke arah Charlotta yang berlari menghampirinya.
"Hai guys! Akhirnya aku memiliki waktu untuk menemui kalian!"
Marie memberenggut, memberesi kartu-kartu di atas meja lalu memasukkannya ke dalam boks.
"Kau ini, benar-benar keterlaluan," komentar Marie ketus. Anna yang duduk di sebrangnya seketika bangkit berdiri dan memeluk Charlotta erat-erat, ia menempelkan kepalanya di pundak gadis itu.
"CS! Aku sangat-sangat-sangat merindukanmu! Kapan kita bisa bermain bersama lagi?! Memangnya, sampai kapan sih, kau diskors dari kelas?"
Charlotta tertawa ragu, tak langsung menjawab pertanyaan Anna. Kemudian dengan sekali gerakan ia mengambil kursi dari salah satu bangku kosong di belakang Marie dan menariknya ke samping meja mereka mulai berbicara.
"Sebenarnya, aku kemari ada beberapa hal yang ingin aku katakan." Suara Charlotta mendadak pelan, tenggelam di antara samar-samar suara riuh obrolan dari para siswa cowok di depan kelas.
Anna memajukan wajahnya sedikit heran. "Apa? Kau ingin merencanakan sesuatu?" Marie meletakkan boks kartu dan memusatkan seluruh perhatiannya ke bola mata cokelat kuning itu.
"Jadi, sebenarnya aku sudah merencanakan sesuatu."
"Tentang Ms. Frose?" tebak Marie sambil menaikan sebelah alis.
CS menggeleng. "Atau tentang surat berantai?" kali ini Anna angkat pendapat.
"Bukan, bukan, dan bukan. Aku datang ke sini tidak ingin membicarakan rencana jahil lagi. Guys, kalian harus berhenti berpikir seperti itu. Aku sama sekali tidak berniat lagi untuk melakukan itu semenjak hukuman tanpa akhir ini. Tunggu, tadi aku bicara apa. . .oh---mengenai rencana itu. . ." Kali ini tatapan Charlotta berubah lemah, berpaling ke arah Anna yang menunggunya dengan penasaran dan menatap Marie yang mengernyit bingung.
"Karry Wang menawarkanku sebuah pekerjaan," sahut CS.
Marie dan Anna kompak tersontak. "Apa?!" seketika punggung keduanya bergerak mundur dan memandang tak percaya ke arah gadis yang sekarang meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruhnya diam.
"Pelan-pelan!" tukas Charlotta khawatir memandang sekeliling.
"Kau serius?! Karry---"
"Pekerjaan apa yang dia tawarkan? Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?!" Mata Anna semakin membesar.
"Dengar, teman-teman. Jangan salah presepsi dulu. Apa yang aku lakukan ini adalah demi masa depanku dan orangtuaku, jadi---"
"Pekerjaan apa, Charlotta?" potong Marie menatap Charlotta serius. Merasa bahwa berita ini sepertinya kurang mengenakkan.
"Karry memintaku menjadi pacar bohongannya, sedangkan aku dibayar dengan cek---"
"APA?!" Marie terpekik di luar kendali ketika menemukan Karry terselip di kalimat Charlotta. Karry Wang?! Ia tidak salah dengarkan?
Anna memandangnya bingung dari sebrang meja, kembali menatap Charlotta yang berkerut setengah risau.
"Lihat, ini bukan seperti apa yang kalian kira. Aku membutuhkan cek itu, lebih dari apapun. Demi mencari orangtuaku dan membayar kampusku tahun depan. Pekerjaan ini seharusnya mudah---"
"Kau bilang mudah? Apa kau ingin tahu reaksiku ketika mendengar nama Karry terucap dari mulutmu? Ini konyol sekali, CS!" sahut Marie setengah tak percaya.
"Aku tahu. Tapi kalian harus tahu, Karry melakukan ini atas dasar Simbiosis Mutualisme. Kau yang menyetujui aku untuk mewujudkan mimpiku di kelas A. Sekarang, akibat perjodohan yang tidak diingankan cowok itu, aku harus menjadi pacar bohongannya supaya Karry tidak dipaksa berjodoh dengan ibunya dan---"
"Aku tidak mau tahu tentang dia, CS. Buka matamu lebar-lebar," Marie menghempaskan poni rambutnya ke samping dan menatap tajam gadis di depannya yang terpana, "Karry itu musuhmu. Karry itu membencimu. Kau yakin kau akan untung dalam melakukan ini? Bagaimana kalau ia hanya ingin membalas dendam terhadap kejadian tahun lalu ketika kau hampir ingin menjahilinya dengan permen karet itu? Bagaimana kalau dia sama sekali tidak peduli terhadap cek itu kemudian kau dikucilkan karena kekuatannya dalam strata lebih tinggi darimu? Bagaimana, CS?"
Rentetan ucapan yang keluar dari mulut Marie seketika menghentikan alur ekspresi semangat Charlotta yang terulas sedari tadi. Kepalanya sedikit tertunduk, memandang boks kartu di atas meja dengan pandangan kosong. Anna di sebelahnya menyentuh pundak gadis itu dan meremasnya dengan lembut.
"Marie, aku tahu ini konyol. Tapi bisakah sekali saja kau membiarkanku mencoba?" suara Charlotta berubah serak, menumbuhkan sebuah rasa iba dari dalam lubuk hatinya. Marie tahu sebesar apa keinginan pencapaian sahabatnya itu. Ia tahu seberapa besar beban yang tinggal di dalam diri seorang gadis seumuran dengannya. Ketika kebanyakan gadis seumuran dengannya sibuk memilih warna apa yang bagus untuk mencat kuku-kuku mereka, sedangkan Charlotta harus dihadangkan pada permasalahan hidup yang paling mendasar bagi dirinya sendiri.
Anna menoleh ke arahnya dengan pandangan penuh harap. Ia tetap mengerti kalau kelemahannya adalah keras kepala. Tetapi tentang sahabatnya, ia harus melepaskan itu semua demi kebaikan Charlotta.
Karry Wang mungkin sudah berubah. Cowok itu mungkin bisa menjadi tempat berharap untuk sahabatnya ini. Walau sempat terluka karena cowok itu, tetapi setidaknya, ia masih bisa membela Charlotta jika sewaktu-waktu cowok itu berani berkata kasar di depan sahabatnya ini.
"Maaf," sahut Marie pelan, "aku hanya takut Karry akan menyakiti perasaanmu lagi. Aku tahu kau pasti kesulitan, tetapi, ide konyol seperti ini rasanya. . . sangat-sangat bukan menjelaskan dirimu seperti biasanya," ujar Marie yang beralih ke arah gadis itu.
"Aku tahu. Aku sendiri sebenarnya masih takut untuk melakukan tipuan demi uang ini. Tapi aku bisa apa? Sekarang, aku tidak bisa melangkah mundur lagi. Ibu Karry sudah mengajukan semua bayaranku, dan aku harus menurutinya demi pemenuhan sandiwara ini."
"Tapi aku tak habis pikir, menjadi pacar bohongan di keluarganya, bukankah resiko yang tinggi?" kali ini Anna mengajukan pendapat, memandang Marie dan Charlotta bergantian.
"Jangan bilang kau tahu keluarga Karry dari gosip-gosip anak kelas kita?" selidik Marie sedikit menaikan alisnya. Anna hanya tersenyum pendek dan mengangguk pelan.
"Sebenarnya begitu. Tetapi, selebihnya, ini semua karena perbincangan penggemar Karry di dalam kelas."
"Lalu, bagaimana dengan bibi Tania? Apakah dia tahu?"
Charlotta termenung dalam pikirannya sendiri.
"Ya. Dia. . . terlihat sedih."
"Kenapa memangnya?" tanya Anna sambil memiringkan kepalanya, bingung. Charlotta memandang bergantian ke arah Marie dan Anna. "Karena, ibu Karry menyuruhkan pindah ke sana dan belajar mengenai tradisi yang rumit."
Mata Marie dan Anna seketika terbelalak, berikut mulutnya yang ternganga tanpa sadar.
***
Heyhoo pembaca yang baik hati, boleh votesnya ya:)
Semakin ke sini, kira-kira ada yang makin penasaran nggak, sih? Komen dong biar semangat, waks.
Ditunggu ya part selanjutnya, akan ada ekstra part di minggu ini! See ya!^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro