1 : CHARLOTTA SMITH
NEW YORK
CHARLOTTA SMITH
Udara pagi di New York berembus dingin. Charlotta Smith lupa membawa mantel panjangnya akibat tenggelam pada mimpi indahnya bertemu kedua orang tuanya. Yah, siapa yang tahu kalau seseorang yang kita rindukan terkadang membuat kita nyaman walau hanya di alam mimpi? Pula sudah hampir 17 tahun ia tidak pernah bertemu, dan judul anak yatim piatu masih digenggamnya.
Dengan hentakan kuat, ia mengayuh sepeda peninggalan bibi Tania penuh tenaga, pemilik flat sekaligus wanita yang di anggap sebagai bibinya sendiri itu. Persimpangan 10th Avenue di Midtown, Manhattan mulai padat kendaraan, namun Charlotta dengan gesit menyalip-nyalip di antara padatnya jalan, hingga berbelok ke arah West 50th South tepat menuju Manhattan Bridge High School. Sekolah kedua setelah ia pindah dari Chilton, San Fernando ke Manhattan.
Ia memakirkan sepeda Simplex keluaran tahun 2000 miliknya ke jejeran tempat parkir sepeda di halaman depan sekolah yang sudah sepi. Tambahan, hanya sepeda miliknya saja yang masih onthel.
Charlotta mengerang ketika melihat pintu kelas di koridor lantai dua gedung sekolah tingkat tinggi yang megah itu tertutup.
Keparat, ini semua karena mimpi orang tuanya ia jadi telat bangun dan sialnya hari ini adalah ujian pertengahan di minggu pertama. Apa jadinya jika Marcus---guru matematika---tercerewetnya tahu, pasti akan. . .
Charlotta berderap melintasi koridor sepanjang kelas satu, menaiki tangga lebar di depan lobi, lalu melangkah cepat hampir setengah berlari ke tangga lantai dua di dekat ruang guru. Suara teredam murid yang beragam terlintas di sepanjang koridor ketika ia berbelok ke ujung kelas.
Sebelum hampir berhasil mencapai kelas, ia terkesiap keras ketika melihat seorang pria yang tiba-tiba muncul dari pintu ruang guru yang terbuka. Hampir terjatuh karena tertabrak cukup keras, ia menjerit kecil sambil meringis kala hantaman itu menyakiti pundaknya.
"Ouch! Perhatikan. . ."
"Kau terlambat?" Suara berat pria di depannya yang berkacak pinggang mengusir amarahnya seketika. Charlotta tersentak kaget langsung menjaga sikap sembari melicinkan rok seragamnya yang kusut ketika melihat Marcus berdiri di depannya.
"Ya! Aku terlambat! Sekarang lihat siapa yang menghalangiku ketika sudah tahu aku sudah benar-benar telat!" gertaknya berusaha kabur dari ceramahan Marcus, pria jangkung muda, berkacamata dan berjanggut tipis. Pria itu menatapnya setengah marah setengah khawatir.
"CS, kau ingat hukuman minggu kemarin terhadap Ms. Frose?" tanya Marcus tetap dengan tenang walau sudah melihat dirinya berdiri dengan penuh gerak gelisah sambil mengamati pintu kelasnya yang masih tak bergeming. Khawatir sudah seterlambat apa dia mengerjakan ujian penting ini.
"Hukuman apa lagi, Marcus? Aku sedang tidak bisa dan tidak ingin bernegosiasi tentang itu sekarang."
"Kau di skors dari kelas E dan dipindahkan akibat susu sapimu itu!" seru Marcus.
Charlotta mengacak-acak poninya dengan gemas dan setengah melompat di tempat, "aku tahu! Tidak sekarang! Aku sedang terlambat!"
Tangan Marcus terulur ke pundaknya seakan menghentikan kegelisahannya lalu menatapnya tajam.
"Kau dipindahkan ke kelas A, SEKARANG!"
Charlotta mengerang cukup keras sambil menepis tangan pria itu.
"Kau berjanji padaku minggu depan! Lagi pula Ms. Frose belum masuk juga! Aku masih berkesempatan mengikuti ujian di kelas E. Setelah begitu baru aku resmi pindah ke kelas busuk itu," elak Charlotta berusaha kabur dari hukuman.
Kemarin siang, ia lagi-lagi berbuat jahil pada Ms. Frose. Beliau terkenal dengan alergi susu sapi, yang membuatnya hanya minum susu kambing atau kedelai. Dua hari yang lalu adalah hari ulang tahunnya, dan berupaya membuat kejutan, Charlotta menyiapkan sesuatu yang berbeda. Ia dan teman-temannya ingin Ms.Frose mengingat ulang tahunnya yang ke lima puluh enam itu, maka Charlotta menyiapkan sepuluh kaleng susu kambing untuk dikenangnya dalam beberapa hari.
Di kenang maksud Charlotta adalah, beliau mengenang kejadian itu dengan terbaring di rumah sakit selama seminggu karena setelah dianalisis, susu yang Charlotta berikan adalah murni susu sapi. Saat itu Charlotta tertawa puas bersama teman-teman sekongkolnya, Anna dan Marie ketika tahu wanita malang itu akan ijin masuk kelas selama seminggu untuk pengobatan alergi. Namun detik itu, Marcus langsung menyentak pintu kelas dan memanggil Charlotta ke ruang guru.
Bodohnya, Ms. Frose akan tahu jelas kalau itu semua adalah rencana jahilnya. Well, siapa yang tidak kenal Charlotta si Ratu Jahil?
Tetapi, hukuman mengenai pindah ke kelas A itu pula bukan berita yang cukup baik.
Bagi murid kelas E dengan tingkat kepintaran yang sangat standar, kelas A adalah kelas teraneh yang pernah ada. Di Manhattan Bridge, kelas A adalah kelas bagi murid cerdas, kaya dan pintar. Menurun begitu teratur hingga ke kelas E yang merupakan perkumpulan murid bodoh dan malas. Terutama untuk Charlotta yang miskin dan bodoh, ia merasa akan teramat terpojok bila berada di dalamnya. Perkumpulan orang pintar baginya adalah hal yang mengerikan. Cara mereka tertawa bukan yang terbaik. Bahkan mereka tidak tahu lelucon, mungkin. Apapun itu, kelas A adalah mimpi buruk. Terlebih di kelas itu terdapat salah satu murid yang. . .
"Tidak untuk kali ini. Kau tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau membantah lagi," ujar Marcus bersikeras.
Charlotta menarik napas panjang kemudian menahannya. "Aku terlambat, Marcus!"
"Kau akan mengikuti ujian di kelas A. Sekarang atau tidak selamanya!" Marcus mulai tak sabar dan tetap pada pendiriannya. Kalau begini, ia sudah kalah telak. Pria itu mulai menggiring tubuhnya secara paksa ke koridor pintu kelas A yang hening. Charlotta tersontak kala langkahnya yang susah payah tetap tidak bisa menahannya untuk mencapai ambang pintu kelas itu.
"Kau bercanda! Aku tidak akan pindah, Marcus!"
Charlotta membalik tubuhnya sendiri hingga rompi seragamnya nyaris terbuka. Ia berdecih kesal melihat gurunya ini begitu bersikeras. Padahal selama ini hukuman atas tingkah kejahilannya tidak pernah membuat hidupnya susah. Tapi kali ini mungkin Ms. Frose adalah guru teladan dan ia cukup kurang ajar untuk menjahilinya.
"Dengar. Kami sudah tidak akan menegaskan ini lagi, kau akan kami keluarkan jika tidak menuruti hukum, ingat peraturannya?"
"Tapi hukuman macam apa yang membuatku harus pindah segala! Mustahil! Apalagi ke kelas A! Aku kan murid kelas E! Terbodoh! Sangat konyol jika aku masuk ke kelas ini! Bukan membuatku jera tapi ini namanya membuatku merasa terpojok! Dan itu bukanlah hukuman yang baik!" gertak Charlotta kesal.
"Kau tidak tahu baik atau tidaknya suatu hukuman, CS. Kau tidak bisa menilainya lewat sudut pandangmu yang tidak tahu mana baik dan buruknya suatu tindakan."
"Baik. Tapi tidak di kelas A, kumohon! Bisa rusak reputasiku, Marcus!"
"Reputasimu memang buruk."
"Kumohon, jangan pindahkan aku begitu mendadak begini. Konyol sekali hukuman ini!" Tidak ada keinginan untuk mundur, Charlotta semakin resah.
"Konyol juga tindakan jahilmu itu." Marcus mulai menunjuknya dengan mata terpicing, "kau tahu seberapa sekarat beliau sekarang di rumah sakit berkat perbuatan bodohmu itu? CS, alergi itu bukan main-main!"
Seketika tubuh Charlotta menegang, bibirnya terkatup detik itu ketika membayangkan wajah Ms. Frose tertutup masker napas dengan komputer detak jantung yang berjengit di nada tinggi tanda akhir ajalnya. Beberapa saat kemudian, Charlotta bergidik ngeri. Kalau sudah begini, hukuman memang seharusnya sebagai tindakan permintaan maaf, kan? Mungkin ia memang sudah kelewatan akhir-akhir ini.
"CS, kau akan mengikuti ujian masuk Universitas tahun depan. Cobalah bersikap dewasa sebelum waktunya. Aku mengatakan ini supaya kau bisa mencari orang tuamu. Bukankah itu mimpimu?"
Jauh mata memandang, bayangan burung camar yang melintas di langit perlahan-lahan terlukis sendu dalam hatinya.
Ya. . . Aku sangat ingin mencari mereka. Aku sangat ingin mengetahui mereka. . .
"Tapi kau harus berubah. . ." Seakan bisa menjawab benak Charlotta, Marcus berdiri di samping bahunya sambil menggenggamnya sepenuh hati. Meski Marcus agak keras, namun sebetulnya, hanya dia yang peduli terhadap nasib seorang yatim piatu.
"Aku janji, bila kau menurut sekali saja, ini adalah hukuman terakhir yang kami lakukan karena jika tidak," kepala Marcus tertunduk, dengan lemah ia menghentikan kalimatnya. Charlotta menoleh, ingin melihat raut kecemasan pria itu.
"Dengan berat hati kami akan memindahkanmu ke sekolah lain, alias kau akan dikeluarkan."
***
Malam, pembaca TPF ini bab pertama dari revisi yang paling baru. Part ini aku rombak habis-habisan, karena di balik layar pun ada alur yang kuubah juga.
Terima kasih sudah mampir ya. Untuk memudahkan update selanjutnya, kalian silakan tambahkan ke librarymu dan jangan lupa juga berbaik hati untuk votes cerita ini. Semakin banyak respon, aku semakin semangat dan siapa tahu bisa lebih cepat untuk menyelesaikan deadline revisi Maple ya ha ha. Soalnya aku sendiri juga ga sabar mau lanjutin ini.
Keep contac yaa. Kalau ada yang mau kasih cerita ini ke temen-temen yang lain untuk rekomen, silakan. Aku akan sangat berterima kasih. Terima kasih untuk yang sudah votes dan komen, keramaian lapak adalah salah satu pemacu semangat dan lancarnya inspirasi, percayalah HAHA.
See you very soon.
NEXT CHAP COMING SOON
VERY SOON
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro