BAB XXI : Keluarga Alden
Hujan telah reda sejak dini hari, dan matahari mulai memunculkan sinarnya di balik langit yang masih sedikit berawan. Namun, mendung masih menyelimuti hati Jonathan. Dia bangun lebih awal dari Summer dan pergi ke ruang kerjanya, kembali membaca semua laporan dari Ethan. Berulang kali ia membaca dan mencermati laporan itu, namun hasilnya tetap sama. Setiap kata dalam laporan tersebut terasa seperti tusukan yang semakin menyakitkan, karena Jonathan tidak pernah membayangkan bahwa adiknya sendiri, Alexander Alden, adalah dalang di balik percobaan pembunuhan yang hampir merenggut nyawanya.
Menurut laporan Ethan, sejumlah perusahaan yang dimiliki oleh mantan karyawan Alden Corporation ternyata bergerak di bawah seorang individu bernama Alexander Greyson. Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa Freeman Oakley, mantan direktur di Alden Corporation, menerima investasi besar dari Alexander Greyson untuk mendirikan perusahaan konstruksi baru. Penelusuran jejak digital kemudian mengarah pada sebuah akun yang terkait dengan Alexander Greyson, yang ternyata adalah alias yang digunakan oleh Alexander Alden.
Lebih jauh lagi, ditemukan komunikasi rahasia antara Freeman Oakley dan Alexander Alden, di mana mereka mendiskusikan rencana mengakuisisi proyek Eldoria Heights. Tujuan dari akuisisi ini adalah untuk mengendalikan arus keuangan yang masuk dan keluar dari proyek tersebut. Meskipun ini tampak seperti urusan bisnis biasa, bukti lainnya menunjukkan adanya keterkaitan yang lebih dalam.
Nama Felix Darren muncul dalam laporan itu, dan ketika disandingkan dengan informasi mengenai Freeman dan Alexander, koneksi di antara mereka menjadi jelas. Mendekati pemilu, Freeman sering bertemu dengan Felix, dan setelah kemenangan pemilu, mereka berdua bertemu dengan Alexander. Ethan juga menemukan bahwa Alexander beberapa kali terlihat di gedung apartemen tempat Jessie tinggal, dan mereka diketahui bertemu di sana. Motif pertemuan Alexander dan Jessie belum sepenuhnya jelas, tetapi yang mencurigakan adalah setelah kasus percobaan pembunuhan itu terungkap, Alexander tidak pernah menanyakan kondisi Jonathan atau memberikan informasi apapun tentang siapa sebenarnya Jessie.
Selain itu, ditemukan bahwa semua uang yang diterima Felix Darren berasal dari rekening perusahaan-perusahaan cangkang yang dimiliki oleh Alexander. Transaksi satu arah ini menimbulkan banyak spekulasi yang membuat kepala Jonathan hampir pecah. Semua bukti ini secara tak terbantahkan mengarah pada keterlibatan Alexander, membuat Jonathan semakin terpuruk dalam kebingungan dan kesakitan yang mendalam.
Suara erangan kecil terdengar dari arah pintu penghubung dengan kamar tidur, menandakan bahwa Summer telah bangun. Jonathan memutuskan untuk menyimpan semua pertanyaan dan kekhawatirannya hingga nanti saat bertemu dengan ayahnya. Ia memilih untuk menghampiri Summer terlebih dahulu.
Jonathan menemukan Summer sedang menggeliat di atas kasur, tangannya meraba-raba tempat tidur, mencari kehadiran Jonathan. Ketika ia menyadari bahwa Jonathan tidak ada di sampingnya, Summer bangkit dari tidurnya dan duduk sambil memandang ke luar jendela. Pemandangan itu membuat Jonathan tersenyum, ia baru menyadari bahwa saat pagi Summer terlihat sangat imut dalam kebingungannya. Jonathan mendekat dan memeluknya dari belakang. Ia masih mendapati Summer sedikit terkejut dengan sentuhan fisik seperti itu, sering kali berjengit saat Jonathan menyentuhnya.
"Good morning, Princess," ucap Jonathan lembut.
Summer tertawa kecil, "Apa wajah bangun tidurku benar-benar terlihat seperti seorang putri?"
Jonathan tidak menjawab, hanya membenamkan kepalanya di bahu Summer. Mungkin ini adalah kebiasaan baru Jonathan. Summer mencoba melihat ke belakang untuk menangkap ekspresi wajah Jonathan, namun tak bisa. Akhirnya, ia mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala Jonathan dengan lembut. "Apakah kau jadi mengunjungi rumah ayahmu?" tanya Summer dengan suara pelan.
"Ya, setelah sarapan aku akan segera berangkat," jawab Jonathan.
"Apakah kau perlu aku temani?" tawar Summer dengan perhatian.
Jonathan terkejut dengan tawaran itu, namun setelah dipikir-pikir, ia merasa tidak perlu. Situasi yang dihadapinya saat ini tidak akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi Summer, terutama jika bertemu dengan keluarganya dalam kondisi seperti ini. "Tidak perlu, Bree. Kau bisa melanjutkan istirahatmu, atau nanti aku bisa mengantarmu pulang."
"Kau tidak perlu khawatir tentang aku. Fokus saja pada apa yang harus kau lakukan hari ini," balas Summer dengan tulus.
Setelah membersihkan diri, Jonathan dan Summer sempat menikmati sarapan bersama. Jonathan kemudian berangkat menuju kediaman ayahnya, meninggalkan Summer di rumah. Meskipun secara teknis itu juga rumahnya, sudah lama Jonathan merasa bahwa tempat itu tidak lagi seperti rumah baginya. Setiap kunjungan terasa seperti bertamu, bukan pulang.
Jonathan memutuskan untuk mengendarai mobilnya sendiri, terpisah dari para ajudannya. Ia meminta mereka untuk mengikutinya dari belakang, memberi dirinya waktu untuk merenung. Pikiran tentang masalah yang ia hadapi membuatnya ingin marah atau bahkan menangis, namun ia tak ingin orang lain tahu apa yang ia rasakan saat ini.
Perjalanan memakan waktu 45 menit sebelum Jonathan tiba di kediaman orang tuanya. Pagar tinggi menjulang di depan, seakan menahannya untuk tidak mendekat. Setelah beberapa menit, pagar akhirnya terbuka, dan Jonathan memarkir mobilnya di depan pintu masuk. Ia disambut oleh kepala pelayan yang wajahnya asing bagi Jonathan. Wajar jika rumah ini semakin terasa asing, banyak pelayan yang tidak mengenalnya lagi. Jonathan memberitahu bahwa ia ingin bertemu dengan ayahnya dan dibuat menunggu.
Tak lama kemudian, seorang pria yang lebih muda dari ayahnya muncul. Wajahnya adalah salinan sempurna dari ayah mereka, namun sikapnya jauh berbeda. Dengan langkah angkuh, tangan di saku, dan senyum meremehkan di bibir, Alexander Alden, teman bermain masa kecil Jonathan, mendekat.
"Mengapa kau ingin menemui ayahku?" tanya Alexander dengan nada mengejek.
Awalnya, Jonathan berniat berbicara terlebih dahulu dengan ayahnya. Meskipun ayahnya tidak suka padanya, Jonathan tahu pria itu lebih dewasa dan bijaksana untuk diajak berdiskusi. Namun, kedatangan Alexander membuat semua rencana berubah.
"Oh, baguslah kau ada di sini. Aku ingin menanyakan sesuatu," ucap Jonathan sambil melempar beberapa dokumen dan foto di meja di depannya.
Alexander melihatnya sekilas. Foto-foto tersebut menunjukkan dirinya sedang merangkul Jessie. Tidak ada ekspresi terkejut, bersalah, atau penyesalan di wajahnya. Ia malah tertawa terbahak-bahak.
"Apakah benar kau yang melakukannya?" tanya Jonathan.
Alexander hanya mengangkat bahu dengan senyum mengejek. "Kenapa kau melakukan itu? Aku hampir sekarat saat itu. Apakah benar itu yang kau inginkan? Melihatku mati? Apa salahku padamu?" tanya Jonathan dengan nada penuh emosi.
Wajah Alexander berubah serius. Ia mendekat ke arah Jonathan, meskipun sedikit lebih pendek, matanya sejajar dengan Jonathan. "Kau bertanya apa salahmu?" Alexander mendengus keras.
"Kau ambil ibuku, kau ambil kakekku. Kau hanya seorang yatim piatu pencari perhatian yang menghancurkan hidupku. Aku tidak ingin kau bahagia, aku tidak ingin kau mendapatkan kehormatan sebagai anak, pria, ataupun sebagai pemimpin di kerajaan ini," teriak Alexander, suaranya penuh amarah.
Sejak remaja, Alexander memang dikenal kehilangan temperamennya dan sering meledak-ledak. Mendengar kata-kata Alexander, Jonathan tertegun. Kenangan masa lalu berputar di benaknya. Ia sangat menyayangi adiknya, bahkan sejak Alexander masih dalam kandungan. Jonathan selalu menjaga dan bermain dengannya, tanpa pernah merasa iri atau ingin merebut kasih sayang seperti yang dituduhkan adiknya.
Saat Jonathan masih dalam keterpakuan, terdengar suara langkah berat dari arah belakang Alexander. Thomas Alden, ayah mereka, muncul dengan raut wajah serius. "Ada apa ini?" tanyanya dengan suara berat yang penuh otoritas.
"Ayah," Jonathan memulai dengan nada yang masih berusaha tenang. "Aku menemukan sebuah bukti bahwa Alexander... dia ... dia bersekongkol dengan sekertarisku untuk mebunuhku. Dan baru saja ia mengakuinya,"
Thomas menatap tajam ke arah Jonathan, lalu beralih ke Alexander yang masih berdiri dengan wajah penuh kebencian. "Aku sudah tahu tentang itu, Jonathan," ucap Thomas dengan tenang namun dingin.
Jonathan terkejut. "Kau tahu? Dan kau membiarkannya?"
Thomas mendesah berat, seolah-olah ia sangat lelah dengan percakapan ini. "Alexander hanya melakukan apa yang ia anggap benar. Kau tahu, hidupnya tidak pernah mudah sejak kau datang. Dia merasa tersisih, Jonathan. Kau harus memahami itu."
"Mengerti? Ayah, dia mencoba membunuhku!" Jonathan hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku memintamu untuk tidak memperbesar masalah ini, Jonathan. Kita bisa menyelesaikannya secara internal, sebagai keluarga. Minta maaf pada Alexander dan tutup kasus ini. Demi kebaikan kita semua," kata Thomas dengan nada tegas.
Jonathan merasakan kemarahan dan kekecewaan bercampur menjadi satu. "Aku tidak bisa melakukan itu, Ayah. Kasus ini sudah berada di tangan polisi, dan di bawah pengawasan Raja. Aku tidak bisa mencampuri proses hukum yang sedang berjalan."
Thomas menggelengkan kepala dengan ekspresi kecewa. "Kau memilih jalan yang salah, Jonathan."
Dengan perasaan hancur dan kecewa yang mendalam, Jonathan berbalik dan berjalan keluar dari rumah itu. Tempat yang seharusnya menjadi rumah baginya, kini terasa lebih asing daripada sebelumnya. Ia keluar dari sana dengan langkah cepat, meninggalkan bayang-bayang keluarganya yang sudah tidak lagi ia kenali. Jonathan masuk ke dalam mobilnya dan segera melaju pergi, meninggalkan kediaman keluarga dengan perasaan yang hancur, tidak hanya karena pengkhianatan Alexander, tapi juga karena sikap ayahnya yang lebih memilih membela tindakan salah adiknya.
Oh, Poor Mr. Jo🥺
Peluk online dari aku🫂
Terima kasih yang sudah mampir, jangan lupa vote, comment dan ❤️ nya ya 🙏🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro