Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB VII : Pencarian

Di balkon ruang santai sebuah kastil, Jonathan duduk bersama seorang wanita yang menurutnya paling cantik dan anggun di dunia ini. Menikmati sore yang indah dengan pemandangan Kota Reveria yang terhampar luas dengan gemerlap lampu yang menghiasinya. Namun, ada satu wilayah yang tampak berbeda. Di seberang sana, tampak gelap gulita.

"Mom, mengapa pulau di seberang sana gelap gulita? Apakah mereka tidak memiliki lampu seperti di kastil kita?" tanya Jonathan dengan rasa penasaran yang tak tertahankan.

Wanita yang dipanggil Jonathan sebagai ibu, menghentikan aktivitasnya menyesap teh hangatnya. Ia tersenyum lembut dan mengalihkan pandangannya kearah yang di tunjuk oleh Jonathan. "Ah, wilayah itu adalah Kota East End, salah satu kota di Reveria," jawab sang ibu dengan suara yang lembut. "Disana memang belum ada listrik. Kakek sedang berusaha membantu Yang Mulia Raja untuk memajukan wilayah itu. Banyak orang di sana yang hidup dalam kekurangan."

Alis Jonathan menukik sempurna, ia sedikit bingung dengan penjelasan ibunya. "Orang yang hidup dalam kekurangan itu seperti apa, Mom?" tanyanya dengan rasa ingin tahu yang semakin tinggi, matanya terus terpaku pada wajah ibunya.

Menurut Jonathan, berbincang dengan ibu dan kakeknya sangatlah menyenangkan. Banyak hal baru yang ia dengar dan tidak ditemukan di buku yang ada di perpustakaan kastilnya. Mereka juga akan memberikan penjelasan lengkap akan pertanyan-pertanyaan Jonathan yang cenderung kritis dan terkadang tidak masuk akal bagi orang dewasa.

Ibunya menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Mereka tidak bisa makan tiga kali sehari, tidak bisa pergi ke sekolah, tidak bisa pergi berkuda, dan bahkan yang paling parah, mereka tidak memiliki rumah," jelasnya pada Jonathan. Suaranya dipenuhi dengan keprihatinan, menunjukkan kepedulian pada orang-orang yang kurang beruntung.

Jonathan terdiam sejenak mendengarkan penjelasan ibunya, dan muncul perasaan asing yang memuncak pada dadanya. " Apakah aku bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka, Mom?" tanya Jonathan dengan tulus, berharap ia bisa sedikit mengurangi penderitaan orang-orang kekurangan yang ibunya katakan.

Ibunya tersenyum, kali ini lebih hangat dan penuh harapan. "Untuk saat ini, Jonathan hanya perlu belajar dengan giat,"jawabnya sambil mengusap lembut rambut Jonathan. "Kakekmu itu adalah Perdana Menteri negeri ini. Ia membantu Yang Mulia Raja untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik yang kaya maupun yang miskin, serta memajukan negara ini."

Jonathan merasa kagum mendengar penjelasan ibunya. Ia berpikir bahwa kakeknya adalah orang yang sangat hebat hingga mampu membantu meringankan beban seseorang. "Apakah aku nanti bisa menjadi seperti Kakek, Mom? Aku ingin membantu mereka untuk memiliki rumah, bisa makan tiga kali sehari, dan mungkin saat kelas berkuda, aku akan mengajak anak-anak di sana," ucap Jonathan dengan penuh semangat dan harapan.

Ibunya tertawa lembut, matanya berbinar menatap Jonathan. "Bisa, sangat bisa jika Jonathan belajar dengan baik," jawabnya, suaranya penuh kehangatan. "Untuk menjadi Perdana Menteri, tidak hanya harus cinta Kerajaan Reveria, tetapi juga harus cerdas untuk membantu mengatasi masalah rakyat. Jonathan paham, kan?"

Sebelum sempat menjawab, Jonathan merasa jarak tempat ia berdiri dengan tempat duduk ibunya terasa semakin menjauh. Ia ingin mengeluarkan suara untuk meminta tolong pada ibunya agar tidak menjauh, tapi dadanya seperti ditekan kuat-kuat, seluruh rongga dadanya terhimpit, membuatnya sulit bernapas dan mengeluarkan suara. Telinganya berdenging, suara monitor yang konstan bertumpang tindih. Perasaan seakan-akan jiwanya seperti ditarik, dan semua ketidaknyamanan itu memaksa matanya terbuka.

Penglihatan Jonathan awalnya buram. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengatur fokus pandangannya. Hanya langit-langit bewarna putih yang terlihat. Matanya berkeliling di seluruh ruangan dan melihat Norin, sekertarisnya, berdiri di dekat ranjang dengan telepon di telinga, memasang raut wajah frustasi. Jonathan merasa kebingungan dan tidak mampu mengingat informasi di otaknya, tentang apa yang menyebabkannya berbaring di tempat tidur asing.

Ketika kesadaran dan ingatannya mulai terkumpul, Jonathan berusaha memanggil Norin. Namun, ia tidak bisa; tenggorokannya terasa tidak nyaman, pita suaranya terasa tercepit. Tidak ada suara yang keluar. Perasaan frustrasi menguasainya; ia tidak bisa memanggil ibunya dan sekarang tidak juga bisa memanggil Norin. Ia terus berusaha bernapas, yang akhirnya memicu terbatuk-batuk.

Suara batuk yang mendadak dan keras menarik perhatian Norin. Jonathan merasa lega ketika Norin berbalik memandangnya. "Sir, Anda sudah sadar?" tanya Norin, segera mendekat dan memastikan bahwa Jonathan sudah sadar.

Norin menekan tombol darurat di sisi tempat tidur Jonathan. Dia bisa melihat mata Jonathan yang terbuka dan fokus menatapnya, tetapi batuk yang tidak mereda membuat Norin panik, terus menekan tombol darurat tersebut.

Sekumpulan dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan Jonathan. Mereka meminta Norin menjauh dari sisi tempat tidur dan memberikan ruang untuk menangani Jonathan.

Jonathan dapat di stabilkan, namun ia belum dapat bernapas secara normal karena terjadi kerusakan pada paru-parunya dan masih diharuskan menggunakan alat bantu bernapasan. Dokter mengatakan bahwa alat bantu tersebut akan dilepas saat paru-paru Jonathan di nilai dapat berfungsi dengan normal.

Dengan tenaga yang masih lemah, Jonathan memberi kode bahwa ia ingin mengatakan sesuatu. Norin, memahami isyarat tersebut, segera mengambil sebuah kertas dan pena. Jonathan menuliskan dua kata, 'Don't tell,' mengisyaratkan agar kondisinya tetap dirahasiakan sampai dirinya benar-benar pulih. Setelah itu, Jonathan kembali kehilangan kesadaran.

*****

Setelah 3 hari di rawat di ruang Intensif Care Unit, akhirnya Jonathan di pindahkan ke ruang rawat biasa. Ia di tempatkan di sebuah bangsal VIP dengan keamanan yang ketat. Ventilator, alat bantu napasnya sudah dilepas, tapi suara Jonathan masih sering tercekat.

Para perawat dan dokter sibuk melakukan pemeriksaan, mencoba memastikan bahwa Jonathan sudah pulih dan merasa nyaman. Di tengah semua itu, Dr. Frank, dokter yang bertanggung jawab atas perawatan Jonathan, berdiri di sisi tempat tidur, mengamati pasiennya dengan cermat.

"Sir Jonathan, selamat atas pulihnya diri Anda. Bagaimana perasaan Anda saat ini?" tanya Dr. Frank dengan nada ramah.

Jonathan, yang berbaring di atas tempat tidur dalam posisi setengah duduk, mengangkat tangan kirinya yang gemetar untuk menyentuh masker oksigen yang menutupi wajahnya. "Saya... dada saya terasa sangat sesak," jawabnya, suaranya lemah berusaha menyampaikan ketidaknyamanannya.

Dr. Frank mengangguk, mengatur tekanan oksigen. "Saya akan naikan tekanan oksigennya. Anda harus menghirupnya dan bernafas lewat hidung. Bertahannya Anda dari serangan mematikan itu adalah suatu keajaiban, tetapi saya akan jujur pada Anda. Kerusakan pada paru-paru Anda cukup parah. Walaupun penanganan maksimal telah diberikan, fungsi paru-paru mungkin tidak akan sepenuhnya pulih. Paru-paru Anda mungkin hanya akan bekerja 95%. Pneumotoraks yang Anda alami telah ditangani, tetapi Anda mungkin akan merasakan sesak napas jika terlalu lelah. Luka tusukan di punggung, perut dan pinggang Anda tidak sampai mengenai saraf vital atau organ dalam lainnya, namun bisa menyebabkan ketidaknyamanan atau rasa sakit saat bergerak, terutama saat menggunakan lengan kiri atau berjalan. Saya sudah menjadwalkan rehabilitasi untuk Anda. Selamat beristirahat, saya undur diri terlebih dahulu."

Jonathan mengangguk, merasa berat dengan kenyataan yang harus dihadapinya. "Terima kasih," katanya pelan, mengiringi kepergian Dr. Frank dan para perawat.

Sepeninggal mereka, suasana di kamar menjadi hening. Jonathan melirik ke arah Norin yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Dengan anggukan kepala, Jonathan memberikan kode agar Norin mendekat.

"Sir, Anda bisa bicara sekarang. Saya sudah memeriksa ruangan ini tidak ada alat penyadap," kata Norin dengan nada penuh keyakinan.

Jonathan menghela napas dalam-dalam, mata tajamnya tertuju pada Norin. "Siapa wanita itu?" tanyanya, mengacu pada Summer sang penolong yang misterius.

Norin tahu kondisi Jonathan masih lemah, pandangan tajam Jonathan masih terasa mengintimidasi. Ia membungkuk sedikit, merasa bersalah. "Saya minta maaf, saat di lobi saya tidak sengaja menabraknya. Kartu akses masuk penthouse kami tertukar, dan hal itu yang membuatnya bisa mengakses Royal Penthouse. Namun, kepolisian belum bisa mengidentifikasikan siapa perempuan itu. CCTV di beberapa titik di hotel tiba-tiba tidak bisa terakses, banyak kejanggalan dalam kasus ini, Sir. Apakah wanita ini yang menyerang Anda?"

"Bukan," jawab Jonathan dengan suara lemah, memejamkan mata sejenak. Tangan kirinya yang gemetar menyeka rambutnya yang turun ke dahi. Ada rasa malu dan amarah yang mendalam di balik kata-katanya. "Jessie yang melakukannya."

Norin terkejut, meski dalam hatinya ia telah merasakan kecurigaan itu sejak lama. "Sejak awal menjadi partner Anda, Jessie sudah terlihat mencurigakan," kata Norin dengan nada yang lebih serius. "Akhir-akhir ini tersebar sebuah rumor tentang Jessie di kantor. Jessie memiliki pengalaman yang minim di kantor pemerintahan, tapi entah bagaimana dia berhasil direkomendasikan sebagai asisten pribadi Anda. Tidak jelas siapa yang merekomendasikannya, tapi pekerjaannya selalu terkait dengan urusan pribadi Anda."

Jonathan menghela napas panjang, merasakan beban kebenaran yang harus dihadapi. "Apakah Private Investigator (PI) yang kuminta, sudah kau hubungi?"

"Sudah, Sir. Saat ini ia sudah berada di rumah sakit ini," jelas Norin.

"Norin, sampaikan padanya untuk cari tahu siapa wanita yang menolongku dan bawa padaku. Dia akan dijadikan kambing hitam oleh para pelaku. Temukan dia, karena wanita ini bisa menjadi kartu As kita. Serahkan semua penyelidikan Jessie pada pihak kepolisian, aku mau kasus ini terusut sampai tuntas. Tetap sembunyikan fakta bahwa Jessie adalah partnerku."

Norin paham perasaan Jonathan. Nada bicara saat menyebutkan nama Jessie, serta pemilihan kata 'partner' yang lebih dipilih diucapkan oleh Jonathan, yang dia gunakan, mencerminkan betapa muak dan kecewanya dia terhadap wanita itu.

"Baik, Sir. Akan saya sampaikan permintaan Anda, selamat beristirahat," ucap Norin yang pamit undur diri.

Sementara itu, di luar ruangan Norin bertemu dengan seorang pria berwajah tajam, tinggi sekitar 181 cm, dengan perawakan tegap, mengenakan setelan jas yang dipadukan dengan sweater turtleneck hitam yang menonjolkan otot-ototnya yang berisi. Pria itu bernama Ethan, seorang Private Investigator dan bodyguard berpengalaman yang jasanya sering digunakan oleh keluarga ibu Jonathan. Jonathan sepertinya sering menggunakan jasa pria ini, Norin bahkan tidak perlu repot-repot mencari keberadaan pria tersebut karena Jonathan langsung mengintruksikan untuk mencari nomor pria itu dalam ponselnya.

"Sir Ethan, kau pasti lebih paham cara kerja Tuan Jonathan. Ia hanya berpesan untuk mencari tahu tentang perempuan yang menolongnya kemarin. Kami tidak memiliki petunjuk apapun karena semua CCTV di hotel tidak bisa dilihat, pihak kepolisian pun kesulitan mencari identitasnya," perintah Norin dengan nada tegas.

Ethan mengangguk, ekspresinya serius. "Baiklah," jawabnya singkat, sebelum berbalik dan melangkah pergi untuk melaksanakan tugasnya.

Norin merasa lega karena dia merasa telah mengambil langkah yang tepat. Meskipun dia belum sepenuhnya mengerti rencana Jonathan, dia menyadari bahwa ke depan situasi ini tidak akan mudah. Dengan segala kerumitan yang ada, tampaknya tantangan yang akan dihadapi mereka semakin besar.
























.

.

.

.

.

.

.

Ouwhh, Summer kita bisa so sweet ternyata  🥰😍



Terimakasih sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya! 🤗👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro