BAB IV : Pertemuan Pertama
Eldoria, Reveria, 2017.
Jangan ragukan keprofesionalan seorang Jonathan Alden. Norin masih berdiri di hadapan Jonathan yang dengan serius membaca sebuah dokumen melalui Tab-nya. Di detik terakhir sebelum istirahat pun, Jonathan memprioritaskan pekerjaannya terlebih dahulu.
Sejenak pikiran Norin terlempar pada hubungan Jonathan dan Jessie. Menurutnya, Jonathan adalah perdana menteri yang sangat berdedikasi. Ia mengingat kembali pertemuan-pertemuan mereka di kantor, diskusi panjang tentang kebijakan, dan strategi yang penuh perhitungan. Tidak ada tanda-tanda bahwa Jonathan akan terlibat dalam skandal romantis, apalagi dengan seorang Jessie.
Selama ini Norin hanya diam, bukan tidak peduli tapi pikirannya hanya fokus pada bagaimana membuat Jonathan tetap nyaman dalam bekerja dan semua tujuannya tercapai tanpa gangguan skandal dari partai oposisi ataupun Jessie. Namun, saat ini rasa penasarannya telah memuncak. Norin pun memberanikan diri untuk menyinggung persoalan ini.
"Sir, saya masih tidak mengerti bagaimana Anda bisa terlibat dengan Jessie," kata Norin dengan suara penuh keraguan.
Jonathan hanya tersenyum tipis. Norin tahu senyum itu muncul kala Jonathan menghindar dari pertanyaan wartawan yang menyinggung atau saat Jonathan merasa tidak nyaman di dekat para warga yang merespon pertemuannya secara berlebihan hingga mencium atau mencubit pipinya.
" Aku sudah memberikan catatan, tolong carikan beberapa dokumen tambahan yang tertera di dalamnya," ucap Jonathan mengalihkan topik.
Norin menghela napas, senyum tipis Jonathan masih tersungging disana tapi tidak dengan tatapan matanya yang seakan ingin memakunya di tempat. "Baiklah, saya akan pulang dahulu. Nikmati makan malamnya, Sir."
Setelah berpamitan, Norin meninggalkan penthouse. Jonathan segera menuju ruang makan, dimana Jessie sudah menunggu. Jessie menyambut Jonathan dengan senyum yang lembut, tapi matanya penuh selidik.
Saat bersama, Jonathan selalu sulit untuk di baca. Pria itu selalu misterius. Terkadang ia merasa tatapan mata Jonathan sedang menelanjangi dirinya. Seperti saat ini, sebelum duduk gerakan Jonathan terhenti dan menatap menu makanan di meja selama beberapa detik. Pria itu tidak bicara tapi hanya tersenyum kecil. Jessie menebak bahwa Jonathan tahu semua makanan ini di pesan oleh Norin dan bukanlah dirinya.
Kegiatan makan malam berjalan begitu hening, Jonathan menangkap ada ketidaknyamanan dari Jessie. "Apa kau sedang tidak sehat hari ini?" tanya Jonathan dengan suara berat khasnya.
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu?" jawab Jessie yang langsung mendongak menatap Jonathan.
"Sebenarnya apa yang membuatmu tertarik padaku? karena aku sangat paham bahwa kita tidak berada dalam hubungan romantis pada umumnya. Kau bahkan tidak mengizinkanku menyentuhmu!" ujar Jessie yang sedikit meninggi diakhir ucapannya.
Jonathan menghelas napas, ia meletakkan alat makannya dan mengambil serbet untuk membersihkan mulutnya. Penatnya sedang menumpuk dan semua orang mempertanyakan hubungan ini. "Aku melihat diriku dalam dirimu. Kehidupan kita yang sulit, kau juga paham hubunganku dengan keluargaku. Kita saling mendukung satu sama lain dan aku merasa kita cocok. Makanya, aku mengambil resiko untuk hubungan ini," jelas Jonathan yang dengan serius menatap Jessie.
"Jadi selama ini kau hanya bersimpati kepadaku dan mencari kenyamanan emosional yang kau butuhkan? Hanya karena aku sering mendengarkanmu menceritakan tentang betapa kesepiannya dirimu setelah ibumu meninggal?"
Jonathan sedikit menghempaskan serbet yang masih dipegangnya ke atas meja dan berdiri, melangkah ke dekat jendela. Jessie merasa bahwa Jonathan tersinggung karena topik tentang kematian ibunya muncul. Pengakuan Jonathan membuat Jessie merasa kehilanngan arah. Meskipun ia tahu bahwa hubungan ini adalah bagian dari tujuannya, ia tidak bisa lagi memahami perasaannya sendiri.
Misi Jessie masuk ke dalam kantor perdana menteri adalah mengumpulkan informasi rahasia dan menciptakan skandal besar untuk menghancurkan reputasi Jonathan. Tapi tugas ini menjadi begitu sulit, ia baru mampu menaklukkan Jonathan setelah 3 tahun lamanya. Jonathan tidak pernah membawanya ketempat terbuka, mereka selalu berada diruangan tertutup. Sikap Jonathan yang selalu berhati-hati dan menjaga kesuciannya, membuat Jessie terpesona. Namun, semua itu terasa tak berarti saat Jonathan hanya menangkap semua tindakannya sebagai simpati belaka. Jessie bahkan dimanfaatkan sebagai tempat memperoleh kenyamanan emosional Jonathan.
Hingga misi lain datang, meminta Jessie untuk membunuh Jonathan. Di tengah kebimbangannya itu, Jessie melihat punggung Jonathan. Kelengahan Jonathan adalah berkah baginya. Dengan tangan gemetar, Jessie merogoh tasnya dan meraih pisau kecil yang disembunyikannya. Ia berjalan mendekat kearah Jonathan dan memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku, Jonathan," bisik Jessie dengan lirih.
Jonathan manangkap bahwa permintaan maaf itu karena perdebatan kecil mereka. Namun, detik berikutnya, rasa sakit yang tajam dengan tiba-tiba menyerangnya. Jonathan berbalik dengan cepat setelah merasa sebuah logam dingin menembus tubuhnya.
"Jessie?" tanya Jonathan dengan kebingungan. Jessie mundur beberapa langkah dan terlihat sebuah pisau kecil berlumuran darah ditangannya.
"Ini bukan masalah pribadi, Jon. Kamu harus lebih berhati-hati lagi. Ada banyak orang yang ingin melihatmu gagal," jelas Jessie yang tanpa penyesalan, menatap Jonathan dingin.
Jonathan yang mulai menangkap situasi berniat menahan Jessie, tapi gerakan wanita itu terlihat begitu cepat dan beringas. Jessie melanjutkan serangan dengan menusuk dada dan perut Jonathan. Sekali lagi, Jonathan mencoba melawan, meraih lengan Jessie dengan tangan yang mulai lemah, dan berusaha untuk menahan serangan berikutnya. Namun, semua perlawanan terasa mustahil. Jonathan menggunakan seluruh kekuatannya untuk mempertahankan diri, tetapi setiap tusukan melemahkannya.
Jessie menghentikan serangan membabi butanya, saat Jonathan sudah luruh di lantai. Darahnya mengalir deras dan sulit menggerakkan badannya. Tanpa berpikir lagi, Jessie segera menyambar tasnya dan pergi meninggalkan penthouse.
Sementara itu, Jonathan terbaring tak berdaya di lantai, tubuhnya dilingkupi rasa sakit yang menyakitkan. Pikirannya kacau balau, mencoba memproses pengkhianatan yang baru saja terjadi. Dengan napas yang terengah-engah, dan kesadaran yang semakin menipis, ia mencoba mencari pegangan untuk berdiri, namun terjatuh kembali. Jonathan hanya bisa berharap para ajudannya di depan menangkap keanehan Jessie dan menolong dirinya.
*****
Pada pukul 19.45 Waktu Reveria, Summer sudah berada di lobi Palace Royale Hotel dan menjelma menjadi Angela Travis dengan dress berbahan satin bewarna marah marun, berpotongan A-line dengan belahan paha disisi kanan yang menempel pas di tubuh memberikan kesan seksi namun tetap modis. Ia juga menyempurnakan penyamarannya dengan menyewa sebuah Mercedes Benz S-Class, sebuah mobil sedan dengan kemewahan yang tinggi dan cocok untuk kelas keluarga Angela Travis. Perekonomian keluarga Angela Travis cukuplah baik, bahkan tergolong sebagai orang kaya raya di East End. Summer tidak memilih limosin karena itu memancarkan kemewahan yang berlebihan dan biasanya mobil ini hanya digunakan oleh para pengusaha terkaya, pejabat tinggi juga keluarga kerajaan di Reveria. Jika ini adalah misi balas dendam mewakili warga East End mungkin Summer akan memesan limosin, supaya keesokan harinya seluruh pejabat di kantor walikota dapat kunjungan audit dari Departement Pajak Reveria.
Drrtt....
Langkah kaki Summer terhenti saat handphonenya berbunyi menandakan pesan masuk. Ia pun segera membuka pesan itu.
From : +11- 74XX - XXX- XXX
Whitehall Penthouse, Palace Royale Hotel, Eldoria. Pukul 8 malam, gunakan kartu akses untuk masuk ke dalam penthouse.
'Ah, ternyata dari bajingan pirang itu!' batin Summer, yang masih dongkol dengan perilaku perantara kliennya itu.
Selain meriset kepribadian klien, Summer juga akan mencari tahu detail tempat-tempat yang ia datangi. Salah satunya adalah hotel ini, ia mencari tahu seluruh pintu masuk dan keluar yang ada di sini, baik untuk staff maupun para pengunjung. Persiapan ini dilakukan untuk penyelamatan diri dikeadaan darurat dan menghindari situasi yang kikuk karena kebingungan menuju tempat yang ia harus datangi.
Seperti saat ini, Angela Travis tidak memiliki pengawal yang akan menuntun jalannya. Summer harus berjalan sendiri dengan percaya diri mengikuti gerak-gerik Angela Travis dan nanti dengan angkuh menunjukkan access card-nya pada petugas di dekat lift.
Saat menuju lift, melewati kursi tunggu. Seorang laki-laki mendadak berdiri sambil menerima telepon dan menabraknya.
"I'm sorry," ucap pria yang menabrak Summer sedikit terkejut.
"It's okay," ucap Summer mencoba seramah mungkin dengan suara sedikit mendesah ala Angela Travis, untuk menghindari keributan.
Pria itu terlihat tergesa-gesa, ia sempat menawarkan untuk membereskan barang yang tercecer namun ditolak oleh Summer. Alhasil, pria itu hanya membantu mengambilkan access card Summer yang terlempar jauh.
Setelahnya Summer segera menuju lift, ia menunjukkan access card kepada petugas. Dan benar, dengan ramahnya petugas itu memberikan petunjuk lift mana yang bisa Summer gunakan, petugas tersebut juga membantu menekan tombol memanggil lift dan memberi hormat sebelum lift tertutup.
Sebenarnya sejak kejadian tabrakan itu, perasaan Summer sudah tidak nyaman. Ia baru saja melakukan kesalahan fatal dengan berinteraksi dengan orang yang tidak seharusnya. Memang betul bahwa tabrakan tadi salah pria itu, tapi instingnya memintanya untuk kembali was-was.
Pintu lift terbuka, Summer menatap pada indikator lantai yang menunjukkan bahwa dirinya ada di lantai paling atas. Ada perasaan bimbang untuk keluar dari lift. Menurut risetnya, Whitehall Penthouse tidak ada di rooftop. Summer pun tetap keluar dengan langkah sedikit ragu dan menempelkan access card pada pintu putih yang sangat besar.
Klik....
Bunyi tanda pintu terbuka terdengar, Summer mendorong gagang pintunya dan masuk ke dalam. Mata Summer langsung disuguhkan dengan arsitektur yang megah, ditengah ruangan tergantung sebuah lampu kristal besar dan mengkilap. Dinding-dindingnya tergantung sebuah lukisan yang artistik.
Dari semua kemegahan itu, Summer dapat menangkap keanehan. Sofa di ruang tengah ini sedikit bergeser dan jadi tidak simetris, saat di dekati terlihat ada sobekan di ujung bagian atasnya. Pinggiran sobekan itu berwarna merah. Summer mendekatkan hidungnya dan sedikit mengendusnya, berharap apa yang dipikirkan tidak benar. Tapi timbul sedikit bau anyir khas dari darah.
Summer terkejut dengan penemuannya itu, ia tidak sengaja tertunduk dan melihat tulisan pada access card. Disana tidak tertulis Whitehall Penthouse, melainkan Royal Penthouse. Summer pun bergegas keluar dari ruangan. Tapi pendengarannya sekilas menangkap suara napas yang tersengal-sengal.
Summer dalam kesadaran penuh bahwa ia tidak boleh kembali melakukan kesalahan dan terlibat peristiwa apapun yang tidak ada hubungannya dengan kliennya. Tapi seluruh tubuhnya seperti ditarik oleh rasa penasaran. Kakinya berjalan menelusuri ruangan, menuju kearah ruang makan. Disana kursi sudah tidak tertata rapi, diatas meja terhidang makanan yang sudah tersentuh.
Bau anyir tercium sangat kuat disini, ia menunduk dan menemukan genangan darah. Tapi genangan darah itu pecah dan memperlihatkan sebuah jejak seperti diseret. Summer mengikuti jejak itu dan masuk pada sebuah pintu penghubung ke kamar tidur.
Di dalam sana terlihat Jonathan yang tergeletak terlentang di lantai dekat kasur, masih terdengar nafasnya tapi tak begitu jelas apakah ia masih hidup. Suara langkah kakinya teredam oleh lantai yang dilapisi karpet. Lampu kamar sedikit redup.
"Sir, are you okay?" tanya Summer dengan suara yang sedikit berbisik.
Jonathan tidak menjawab. Semakin dekat Summer dengan tubuh Jonathan, ia bisa melihat bahwa pria itu masih sadar dan hanya menatap langit-langit mengatur pernapasannya yang sudah tersengal-sengal. Sepertinya ia ingin berbicara.
Sebenarnya Summer sedikit kebingungan bagaimana menolong orang yang sekarat berlumuran darah seperti ini. Ia berniat untuk memapah dan membawa Jonathan ke rumah sakit tapi baru terangkat sedikit bagian kepala, ia langsung terbatuk keras dan menyemburkan darah.
"Uhuk..uhuk..."
"Okay, sepertinya saya harus melakukan panggilan ke 999," ucap Summer yang langsung di cegah oleh Jonathan dengan menahan tangannya dengan lemah saat mencari handphone.
"My phone..." terang Jonathan yang suaranya sedikit terputus karena tersedak oleh darahnya sendiri.
"Sir, tolong jangan memaksa untuk berbicara!" Seru Summer yang mengangguk mengerti akan keinginan Jonathan.
Summer menemukan ponsel Jonathan dan menyalakannya. Summer menebak bahwa Jonathan adalah seorang nasionalis sejati terlihat ditampilan awal layarnya terdapat lambang Kerajaan Reveria alih-alih sebuah foto keluarga. Ponsel tersebut tidak bisa terbuka, Summer melihat sebuah bentuk sidik jari di layar handphone tersebut dan menempelkan jempol Jonathan dengan layar handphone.
"Tekan.... angka satu,"jelas Jonathan dengan penuh usaha.
Summer mengikuti arahan Jonathan, tidak lama panggilan tersebut terjawab. Suara seorang laki-laki terdengar, "Selamat malam, Sir. Apakah ada sesuatu yang Anda perlukan?" tanya penerima panggilan.
"Hallo, pemilik telepon ini membutuhkan pertolongan medis, tetapi ia meminta untuk menghubungi Anda terlebih dahulu." jawab Summer.
"Jessie, tolong jangan main-main dengan telepon Tuan Jonathan. Berhentilah membuat lelucon," sahut penerima panggilan yang tak lain adalah Norin dengan suara yang kesal.
"What? Saya bukan Jessie dan pemilik telepon ini membutuhkan pertolongan segera. Bisakah kau segera menolongnya? karena pria ini menghentikan saya saat akan menghubungi 999," balas Summer yang dengan nada tidak kalah kesal.
Tidak ada jawaban untuk beberapa detik, "Sir, he will die if you don't do anything. Ada lima tusukan di badannya yang saya lihat dan dia sudah kehilangan banyak darah. Saya tidak bisa menghentikan perdarahannya," jelas Summer, yang memang sejak tadi meletakkan tangannya mencoba menekan sisi perut Jonathan yang tampat mengeluarkan darah.
"Siapa nama pemilik ponsel ini?" tanya Norin yang sudah mulai percaya bahwa panggilan yang masuk melalui nomor dinas Jonathan bukanlah penipuan.
"Kau masih saja tidak percaya ada orang sekarat disini? Sir, dia menanyakan nama Anda," kata Summer menyampaikan permintaan Norin.
Wajah Jonathan sudah semakin memucat, penglihatannya juga sudah mulai mengabur. "Jonathan..... Alden."
"Oh My God," suara Norin terdengar panik.
Summer mendengar Norin seperti memerintahkan sesuatu pada seseorang, bahkan sesekali terdengar berteriak. "Miss, please stay there!" pinta Norin pada Summer.
"Okay," Summer mengiyakan dan menutup panggilan tersebut. "Sir, bantuan akan segera datang dan saya akan tetap disini. Tolong tetap sadar dan jangan menutup mata Anda," ucap Summer sedikit menenagkan Jonathan.
Entah apa yang menghasut Summer untuk melepaskan pendapatannya malam ini yang mencapai 30.000 dolar, hanya untuk menolong orang yang tidak ia kenal. Bahkan sampai menjaga dan memastikan orang asing tersebut mendapatkan pertolongan. Padahal di kepala Summer sudah muncul banyak dugaan akan kemungkinan yang akan terjadi pada hidupnya.
Jonathan merasa sangat pasrah menerima ajal yang sudah di depan mata. Anehnya, ketakutannya menghadapi kematian dan kemarahannya pada Jessie lenyap begitu saja. Saat wanita penolongnya menyampaikan kata-kata penghiburan bahwa ia akan baik-baik saja, sambil menggenggam tanyannya, Jonathan merasakan ketenangan yang pernah ia rasakan saat kecil dulu.
Dengan genggaman tangan yang hangat dan penuh keyakinan, Jonathan merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya akan benar-benar baik-baik saja.
.
.
.
.
Yah, jadi agak kasihan juga sih sama Jonathan! Tapi gimana ya kan emang jalannya dia harus menderita dulu ya!
Terimakasih sudah mampir dan membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak ya!🤭
Good night!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro