Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14). The Pretty You

Vico menyaksikan adegan tarik-menarik yang dilakukan Owen pada Hara hingga akhir dengan tatapan yang penuh selidik, lantas menyeletuk, "Ini kenapa jadi genre romansa? Bukankah seharusnya gue yang tersinggung karena Owen main tarik-tarik Gara sesuka dia sampai bikin gue kepo banget sama jawabannya?"

Helaan napas panjang Galang dari sebelah Vico menjadi jawaban atas pertanyaannya, membuat yang mendengar menjadi tidak puas. Lantas, dia mengalihkan atensinya ke arah teman-teman yang lain, berharap setidaknya ada yang mau menghibur.

Ekor mata Vico secara refleks menangkap ekspresi wajah Maya yang menatap sedih bangku milik Owen yang sekarang tidak berpenghuni; begitu baper dan tampak tidak bersemangat.

Membuat Vico merasa ingin menghiburnya.

"Mei."

Maya menoleh ke arah Vico, berusaha mengurangi ekspresi sedihnya tetapi gagal sehingga terlihat dia memaksakan senyuman.

"You deserve better than him," hibur Vico, nadanya benar-benar tulus di luar dugaan, membuat Maya seketika tersentuh tetapi hanya beberapa detik saja karena kata-kata hiburan tersebut belum selesai. "And of course, I'm the best one."

Vico mengakhiri sindrom narsisnya dengan menatap satu titik ke samping lantas mengangkat sebelah tangan membentuk isyarat pistol dengan ibu jari dan jari telunjuknya, lalu menempelkannya di depan tulang hidung.

"Kalo dari segi wajah sih iya, lo lebih ganteng dari Owen," jawab Maya dengan nada manis di luar dugaan, membuat mata Vico memancarkan binar kebahagiaan tetapi hanya beberapa detik saja karena kata-kata pujian tersebut belum selesai. "Tapi dari segi hati, lo lebih payah dari Owen. Jelas dia yang terbaik."

"Terbaik dari mananya?" tanya Alka, nadanya jelas tidak terima hingga terkesan lebih galak dari seharusnya. "Gue terbaik dari segi keduanya, bahkan otak gue lebih berbobot sebagai pelengkapnya. Apa lagi yang kurang?"

"Ada kok yang kurang," jawab Maya cepat.

"Apa?"

"Kurang daya tariknya. Gimana ya... tiap natap lo, gue nggak merasa ada aliran listrik gimanaaa gitu. Beda sama Owen."

Ekspresi Alka seperti ditampar telak di wajah sehingga membuat Vico tergerak untuk menghiburnya.

"Alka."

"Apa?" tanya Alka, mood-nya jelas sedang kacau, tetapi cowok itu masih berbaik hati untuk balas menatap mata Vico demi kepentingan sopan santun.

"You deserve better than her," hibur Vico bersungguh-sungguh, tetapi hanya beberapa detik saja karena Alka telah mengambil buku paket tebal lantas melemparkannya ke arah cowok laknat itu dengan emosi yang patut diacungkan jempol.

Meski lemparan tersebut gagal karena Vico berhasil menangkap buku tersebut di saat yang tepat, cowok itu mendengus kesal pada Alka dan menatapnya tidak percaya. "Ini buku paket loh, Alka! BUKU PAKET!"

"Iya gue juga tau itu buku paket meski gue berharap gue bisa lempar lo pake bom sekalian biar tau rasa!" omel Alka dengan kekesalan yang masih mengental.

Vico membuka mulut, tetapi deringan bel masuk menghalanginya untuk mengeluarkan unek-unek sebagai balasan, membuatnya keki sendiri. Untungnya situasi tersebut tidak berlangsung lama karena dia sadar kalau Owen dan Hara belum kembali.

"Eh, kok mereka belum balik, sih?" tanya Vico kepo pada Galang sementara yang ditanya juga tampak khawatir, tetapi dia hanya bisa mengangkat kedua bahunya sebagai isyarat clueless.

Beruntung sekarang adalah jatahnya pelajaran Pak Yunus dan beliau dikabarkan sedang berhalangan sehingga sudah dipastikan akan terlambat selama 30 menit pertama.

Owen dan Hara kembali ke kelas 15 menit kemudian yang tentu saja disambut secara kepo oleh Vico.

"Kalian ngerumpi atau lagi sembunyi-sembunyi makan di kantin?" tanya Vico, memutar tubuhnya lagi menghadap Hara, membuat cewek itu balas menatapnya dengan jengah meski sudah tidak segalak awal-awal.

"Kepo banget sih," komentar Hara, lantas memilih mengeluarkan buku paketnya daripada meladeni Vico.

"Tuh kan galak lagi!"

"Lo nggak cocok dibaikin soalnya, suka ngelunjak."

"Kayak lo nggak aja! Sifat kita kan sama; sama-sama anak laknat."

"Oh."

"Oh?" ulang Vico, masih tidak puas dengan karakter Hara. "Gue kangen Gara yang dulu, yang dengan senang hati nge-ghibah-in orang trus main celetuk-celetukan mesra sama gue, yang mana nggak bakal bisa lo lakuin bareng Owen dan Galang. Kalo sama Owen kalian seringnya kontak fisik trus sama Galang seringnya curhat-curhatan."

Hara refleks melirik Owen yang jelas mendengar semuanya, tetapi segera menundukkan wajah begitu ekor matanya menangkap mata tajam milik Hara. Wajahnya dibuat memerah lagi tanpa bisa dicegah.

Pemandangan tersebut sukses membuat Hara menunjukkan senyum seringainya yang khas.

"Nah bener, kan? Lo kangen juga kan dengan masa-masa itu?" tanya Vico yang sempat salah paham dengan seringai pada bibir Hara. "Gitu dong, Gara Arganta. Kita bahkan belum mendiskusikan topik rahasia kita."

"Topik rahasia?" ulang Hara gagal paham. "Lo yakin kita pernah saling berbagi rahasia? Untuk tipe cowok laknat kayak lo?"

"Ck! Lo nggak percaya? Sini, gue bisikin ke telinga lo," kata Vico dengan nada pelan dan lantas membisikkan kata-katanya ke sebelah telinga Hara setelah yakin tidak ada yang bisa mendengar mereka. "Ini topik tentang back up data yang sempat gue salin ke laptop elo. Kita belum sempat diskusi nih mau back up ke media mana supaya aman terkendali."

Vico menjauhkan kepala setelah selesai membisikkan diskusinya sementara Hara menghirup oksigen banyak-banyak demi kepentingan emosinya.

Hara tidak menyangka saja akan berinteraksi dengan cowok laknat yang mana persis seperti Gara Arganta.

Hara merasa Vico Anderson lebih cocok menjadi kembarannya Gara daripada dirinya.

"Gue bakal hapus tanpa jejak saat mendapat kesempatan pertama, jadi lo siap-siap aja ya," kata Hara dengan nada menutup pembicaraan, mengabaikan seru protes dari Vico tetapi membalas senyuman Galang yang tertawa begitu mendengar rencana cewek itu.

Galang mengacungkan kedua jempolnya ke Hara, ikut membalas senyuman cewek itu dengan tidak kalah manisnya.

*****

"Udah gue duga. Galang pasti udah tau penyamaran gue," kata Hara setelah menghela napas pendek. Cewek itu berjalan melewati Owen dan duduk di sisi ranjang sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil.

"Kok lo bisa tau?" tanya Owen gagal paham, mengekori langkah Hara dan duduk di kasur lantai dengan gaya memeluk lututnya menghadap cewek itu.

"Sekali lihat, gue bisa rasain kalo dia itu pinter dan cepat tanggap, nggak kayak lo."

"Kok malah ngejek gue, sih?" protes Owen meski dia tidak benar-benar marah. "Tapi Galang juga sempat bilang kalo dia merasa lo udah menduga kalo dia tau soal penyamaran lo. Dan juga... Galang sempat ngelarang gue sekamar sama lo."

"Kenapa?"

"Gue cowok, lo cewek," jawab Owen dengan nada sungkan. "Kita tidur dalam ruangan yang sama."

"Emang Galang ngira lo bakal grepe-grepe gue?" tanya Hara frontal, yang bagi Owen terlalu terus terang hingga kesannya tidak peduli.

"Hmm... bukankah persepsinya gitu, kan? Cowok sama cewek dalam satu ruangan...."

"Ini udah malam ketiga, Wen. Pertanyaan gue, apakah selama tiga hari ini lo berani grepe-grepe gue?"

Owen menggelengkan kepalanya kuat-kuat, persis seperti anak kecil yang dipaksa harus jujur atas perbuatan jahat yang tidak pernah dilakukannya.

"Nah, pertanyaan berikutnya, apakah selama gue di sini, lo bakal ngelakuin hal yang nggak wajar?"

Owen menggelengkan kepalanya lagi dengan tatapan yang lebih waspada, membuat Hara melayangkan tatapan jenaka yang jarang ditunjukkannya. "Nggak usah khawatir kalo gitu, kan? Bahkan seharusnya gue curiga karena gue taunya lo sering meluk-meluk Gara sampai dicap sebagai gay. Untung aja lo udah tau dari awal kalo gue adalah Hara jadi lo nggak pernah grepe-grepe gue."

"Hmm... kalo lo nggak merasa nyaman, gimana kalo lo pindah ke kamar Galang? Galang yang tidur sama gue, mengingat sekarang situasinya lo udah tau."

"Nggak."

"Loh, kenapa?"

"Kamar lo jauh lebih gede. Ada toiletnya lagi. Masa gue harus pindah ke kamar Galang yang nggak ada toiletnya?"

"Hmm... kalo gue pindah ke kamar Galang?"

"Nggak."

"Loh, kenapa?"

"Gue nggak mau disangka menistakan elo yang jelas-jelas pindah ke kamar yang lebih kecil sedangkan gue enak-enak di kamar gede. Gue nggak sejahat itu, loh."

"Trus gimana?"

"Susah amat. Ya gini aja!" seru Hara, tiba-tiba emosi.

"Trus rencana awal pindah ke kamar Gara, jadi?"

"Lo ngusir gue?"

"Hng... nggak, kok. Jangan salah paham. Gue... hmm... gue yang pindah ke kamar Gara aja, ya?"

"Gue bercanda kok," kata Hara sambil tersenyum tipis, tangannya telah berhenti mengeringkan rambutnya. "Setelah kamar Gara siap, gue pindah. Biar sama-sama nyaman, kan?"

"Lo boleh pake kamar mandi sesuka lo, kok. Gue...."

"Iya, gue paham maksud lo. Thanks, ya."

Owen terdiam, lebih tepatnya dia terpaku menatap senyuman Hara yang tampak sangat manis.

Seharusnya Hara terus tersenyum daripada memasang ekspresi galak dan menatap tajam.

"Lo cantik, Ra," puji Owen, refleks.

"Apa?" seru Hara, jelas kaget dengan pujian yang tidak disangka-sangka ini.

Owen tampak seperti baru menyadari telah mengatakan sesuatu yang pastinya akan membuat canggung satu sama lain. Oleh karena itu, dia segera berdeham keras-keras dan berusaha menguranginya dengan berkata, "Maksud gue, lo lebih cocok banyak senyum daripada galak."

"Lo nggak pernah gombalin cewek, ya?" tanya Hara tiba-tiba.

"Hmm... belum sih."

"Gue juga belum, tapi gue rasa gombalan gue bisa lebih berkelas daripada lo. Mau bukti?"

Owen mengangguk polos sementara Hara menaikkan sebelah alis untuk menyombongkan dirinya.

"Lo tau hormon dopamin? Ck! Payah lo, masa hormon dopamin nggak tau? Itu tuh senyawa kimia yang ada dalam tubuh kita!" jelas Hara ketika melihat gelengan kepala Owen yang bermakna kalau dia tidak tahu apa itu dopamin. "Hormon dopamin adalah senyawa kimiawi di otak yang berperan untuk menyampaikan rangsangan ke seluruh tubuh. Hormon dopamin juga disebut sebagai hormon pengendali emosi. Saat dilepaskan dalam jumlah yang tepat, hormon ini akan meningkatkan suasana hati, sehingga orang akan merasa lebih senang dan bahagia.

"Efek dopamin bermacam-macam, salah satunya adalah efek positif waktu kita lagi jatuh cinta. Katanya saat kita suka sama seseorang, hormon dopamin akan meningkat yang lantas membuat suasana hati kita menjadi lebih baik dan bahagia," lanjut Hara sembari berpindah dari sisi ranjang ke sisi kasur di sebelah Owen, berhasil membuat cowok itu ketar-ketir hingga gemetaran dengan caranya sendiri. "Jadi tiap berada di dekat lo, gue merasa hormon dopamin gue meningkat."

Hara tidak hanya mengatakan itu semua dengan nada serius, tetapi juga menatap Owen dengan intens hingga yang ditatap merasakan desiran cepat di dalam jantungnya.

"Hara, gue...."

"Nah, gimana? Hebat kan gombalan gue?" tanya Hara bangga, mengabaikan Owen yang telanjur baper sampai wajahnya memerah lagi.

"Ternyata itu bukan kenyataan ya, Ra?" tanya Owen polos setelah lebih tenang dan Hara sudah kembali ke ranjangnya. "Gue kira lo beneran suka sama gue."

"Ck! Polos banget, sih. Tapi gue jadi teringat sama kata-kata lo di gudang sekolah. Lo... sejak kapan lo suka sama gue? Jangan bilang, lo udah suka sama gue sejak kita masih kecil?"

"Hmm... mungkin. Soalnya gue nggak pernah dekat sama cewek lain selain lo."

"Mungkin?"

"Gue nggak tau tepatnya kapan, yang jelas gue semakin sadar kalo gue nggak bisa kehilangan lo setelah lo pergi."

Hara speechless, otaknya seketika buntu karena tidak tahu harus merespons apa.

"Ironis ya, lo malah mau nahan gue pergi sementara keluarga gue mau buang gue," kata Hara pelan akhirnya, setelah mengingat sebesar apa kepentingan dia dalam keluarganya sendiri.

"Nggak, Ra. Mereka nggak buang lo. Percaya sama gue, ini juga nggak gampang buat mereka. Yang harus lo tau, rasa kehilangan mereka sama besarnya sama rasa kehilangan gue dan bahkan mungkin jauh lebih besar dari yang bisa lo bayangin.

"Gue nggak mau kehilangan lo lagi, Ra. Jadi plis, meski pada akhirnya lo tetap mau pergi, lo harus ingat kalo gue nggak akan tinggalin lo. Gue bener-bener tulus sama lo," lanjut Owen lagi setelah jeda yang cukup lama di antara mereka.

Hara tidak mengatakan apa pun pada Owen sebagai balasan atas ungkapan perasaannya, tetapi cowok itu tidak tahu kalau hatinya menghangat secara tidak terduga karenanya.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro